Nadia segera memakai gelang yang berbentuk sangat imut, Kafka menduga-duga selera Nadia karena gadis itu adalah gadis yang manja nan manis sama dengan Amira. Segera, pria ini menemukan gelang yang memantulkan suara Nadia. "Bagus kamu menyukainya." Senyuman melengkung saat mendengar Nadia memuji gelang yang melingkar di pergelangan tangannya yang putih.Beberapa jam berlalu, Nadia kembali ke kediamannya. Saraswati mulai belajar melangkahkan kakinya lagi setelah beberapa hari ke belakang memakai kursi roda atau tongkat, tapi tubuhnya masih dibantu, dipapah oleh bibi. Gadis ini behagia dengan perkembangan sang nenek, tapi dirinya tidak bisa menemani terlalu lama karena butuh mengistirahatkan otak dan punggungnya setelah belajar dan duduk berjam-jam di kampus.Kali ini Nadia bertemu Tania yang hendak pergi dengan gaya elegan, tanpa sengaja keduanya beradu bahu. "Jalan pakai mata!" teguran Tania."Sudah tahu saya mau masuk, harusnya Anda tunggu saya masuk baru keluar!" Nadia tidak ingin ka
"Saya sangat serius!" tegas Abimana pada Nadia yang memandang remeh dirinya."Terserah kamu deh, saya akan memakai gelang itu lagi!" Nadia tampak tidak peduli sama sekali ada atau tidaknya alat penyadap yang kata Abimana tertanam di dalamnya."Apa gelangnya sudah kena air dari tadi?" penyelidikan Abimana masih berlanjut."Tidak, saya melepasnya ketika mandi karena takut putus." Nadia masih tampak santai.Abimana segera menarik gelangnya dari dalam gelas, kemudian memerhatikan dengan detail. Ada sebuah lubang di ornamen bunga, dirinya yakin alat penyadapnya ada di sana, tapi sekarang tidak terlalu dipedulikan toh lubang itu sudah mengeluarkan tetesan air.Di seberang sana Kafka menggerutu karena alat penyadapnya tidak berfungsi. "Apa Nadia membawanya mandi? Mana mungkin, gelang itu memiliki banyak hiasan berbahan busa, itu utuk mencegah terkena air. Apa Nadia tetapnya memakainya saat mandi. Hm."Kafka harus memikirkan ulang demi menanamkan alat penyadap di tubuh Nadia. Namun, Abimana t
Ini waktu yang tepat untuk mengajak Nadia melihat proyek pembangunan rumah masa depan mereka. Abimana menunjukan satu-persatu ruangan dalam rumah besar itu hingga tiba di suatu ruangan yang besarnya sejajar dengan kamar utama. "Ini kamar untuk bayi kita nanti, letaknya sangat strategis karena menghadap langsung ke kamar kita.""Apa ini tidak terlalu besar untuk bayi." Dahi Nadia berkerut."Ini ukuran yang pas, di sini dijadikan area tidurnya, lalu di sana area bermain, di sisinya area membaca cerita, bahkan saat bayi kita sudah belajar makan, masih ada sisa area untuk ruang makan." Abimana menjelaskan seiring menunjuk satu-persatu sudut ruangan yang sudah menggambarkan imajinasinya."Kalau begini ceritanya, bayi kita punya rumah sendiri," ejek kecil Nadia hingga membuat Abimana tertawa kecil."Kamu benar, karena bayi kita juga memiliki kamar mandi sendiri." Pintu dibuka, hingga menunjukan kamar mandi yang setengah jadi."Iya, terserah. Nanti saya dan bayi kita hanya akan menghabiskan
Di waktu sarapan, Nadia hanya mengisi piringnya dengan sedikit makanan hingga menyita perhatian semua anggota keluarga. "Sayang, tambah nasi dan lauknya, makanan Nadia cuma sedikit loh," tawaran lembut Mila."Hari ini Nadia sedang tidak nafsu makan ma," keluhnya.Abimana menyampaikan berita yang akan membuat ambigu keluarganya. "Bangun tidur Nadia langsung mual, tapi tidak mau memeriksa menggunakan testpack.""Testpack!" Antuasias Mila dan Wira, sedangkan Saraswati tersenyum kecil wanita ini sudah mengetahui kebiasaan mual cucunya.Mila segera berdiri dari duduknya. "Sayang, mama punya banyak testpack, Nadia periksa dulu ya!" Semangatnya seakan menembus langit. Abimana mendukung usulan Mila karena dirinya juga ingin tahu alasan di balik mualnya Nadia walau sembilan puluh persen perasaannya mengatakan jika istrinya masuk angin. Dirinya juga hanya menyisakan satu persen kemungkinan Nadia mengandung, sedangkan sembilan persennya hanya harapan kehamilan."Tapi ma, Nadia yakin bukan hamil
Nadia dan Mila kembali dua jam kemudian. Gadis ini segera menemui Saraswati, menanyakan kabarnya dan apakah Tania mengganggunya. Wanita tua ini tidak mengadukan pristiwa kecil tadi, hingga dirinya memberikan jawaban jika semua baik-baik saja, kemudian menanyakan kondisi cucunya, "Nadia hamil atau masuk angin?""Masuk angin nek, seperti biasanya." Nadia tersipu malu karena mualnya menghebohkan semua anggota keluarga kecuali neneknya."Sudah nenek duga." Belaian lembut tangan kriputnya mengusao punggung Nadia, "bagaimana kata mertua Nadia?""Mama bilang tidak apa dan mama berpesan supaya Nadia lebih banyak beristirat untuk menjaga kesehatan.""Iya sudah kalau begitu. Nadia makan dan minum obat dulu baru beristirahat." Selesai Saraswati berpesan, Mila kembali membawakan menu-menu sehat untuk menantunya."Makan dulu ya, sayang ....""Iya ampun ma, Nadia jadi tidak enak sama mama. Padahal Nadia bisa ke ruang makan.""Tidak apa, mama ingin saja memanjakan Nadia." Senyuman tulus Mila. Jadi,
Esoknya keadaan Nadia mulai membaik, dirinya juga memaksakan diri ke kampus karena tidak ingin berada dalam lingkungan yang sama dengan Tania. Bibir pucatnya dipoles menggunakan lipstik merah yang dipinjamnya dari Saraswati. Kini, Nadia sudah tiba di kampus. Amira segera memberinya pertanyaan, "Kemarin kamu kemana, saya chat tidak dibalas.""Kemarin saya meriang, jadi terlalu malas membalas chat. Maaf ya.""Iya, tidak apa. Saya kira kamu kemana. Kemarin ada Pak Kafka loh datang kesini.""Mau apa?" Nadia mulai merisaukan Kafka karena perkara alat penyadap."Tidak tahu, tapi Pak Kafka mencari kamu. Ada apa sih sama kalian, kok bisa Pak Kafka mencari kamu?" Amira mulai menyelidik walau tidak menyimpan curiga ke arah negatif."Tidak ada apa-apa, mungkin Pak Kafka mau menanyakan Abi. Mereka berteman!" Senyuman lebar Nadia kala membuat alasan asal."Hah yang benar!""Eu-bukan seperti sahabat sih, lebih tepatnya teman bisnis." Senyuman lebar kembali dibuat Nadia."Masa sih, kan kekasihnya ..
Nadia terpaku sendu karena Tania membahas Abraham-ayahnya yang telah tiada, meninggalkannya di depan matanya sendiri. Gadis ini tidak mengatakan apapun, kedua matanya basah, pun sebuah tetesan segera membasahasi pipinya.Tania merasa puas melihat pemandangan kali ini. "Asal kamu tahu ya, Abi tidak akan pernah bisa menjadi papa kamu, Abi itu cuma seorang pria biasa, dia bukan sosok orangtua yang kamu mau. Iya ampun ... kamu memang anak kecil, fantasi kamu masih sangat tinggi, tapi ingat fantasi itu hanya khayalan bukan kenyataan. Jadi, lepaskan Abimana dan biarkan dia menjalani perannya sebagai suami dan ayah dari bayi kami." Perutnya dielus lembut, kemudian menyeringai tipis seiring membidik Nadia yang sedang rapuh. "Sepertinya sampai di sini kamu mengerti." Tania berlalu dengan puas, raut wajah kemenangan menjadi satu-satunya ekspresi yang dipertontonkan.Nadia mematung di hadapan daun pintu. "Pa ..., Nadia tidak pernah mengharapkan siapapun menggantikan papa, karena tidak akan ada y
Tepatnya di depan kampus, kala Nadia keluar dari mobil Abimana, sebuah motor melaju kencang, memepet para mahasiswa dan mahasiswi yang sedang berjalan di depan gerbang, tapi tidak satupun yang terluka hingga suara jeritan Nadia melengking. Gadis itu ambruk setelah kakinya tersambar motor, alhasil Abimana segera melarikannya ke rumah sakit. "Sayang, sabar ya!" paniknya walau kalimatnya sangat berlainan."Sakit," rintih Nadia yang seakan kesadarannya segera lenyap. Team medis segera melakukan perawatan kala Nadia masuk ke dalam ruangan, sedangkan Abimana menunggu di luar."Pemotor sialan, siapa dia!" Pihak kampus segera dihubungi, Abimana meminta rekaman CCTV karena mungkin dirinya bisa mencari identitas si pemotor di sana. Cukup lama, pria ini menunggu kabar dari dokter padahal sekian menit waktunya sudah dipakai untuk menghubungi pihak kampus.Beberapa menit kemudian, dokter kembali. "Kaki pasien mengalami benturan keras jadi bisa dipastikan pasien bernama Nadia tidak akan bisa menggu