Hari baru tiba, untuk ke sekian kalinya Tania masih mengurung diri di kamar maka keseharian keluarga Wira cukup damai. Sama halnya dengan Nadia hingga gadis ini tiba di kampus. Tampaknya Amira dan Devan sedang bertolak belakang karena keduanya saling berjalan berjauhan. "Kenapa?""Devan menyebalkan," sendu Amira."Jangan dipikirkan, laki-laki memang menyebalkan, tapi semenyebalkannya Devan tingkat menyebalkannya pasti hanya sebesar biji jagung!" Kalimat enteng Nadia karena Abimana jauh lebih menyebalkan."Tapi tadi Devan bilang kalau saya sangat egois, padahal egois bagaimana coba, saya selalu menuruti yang dia mau, bahkan sering sekali saya ikut mamanya belanja karena Devan yang minta. Justru yang egois itu Devan kan!""Iya, Devan yang egois, tapi tingkat egoisnya biasa saja. Sudahlah jangan memersalahkan hal ringan seperti ini." Embusan udara tipis dibuang bersamaan dengan kalimatnya.Amira memandangi Nadia cukup insten. "Kamu bilang tingkat egois Devan biasa saja, apa Abimana sanga
Beberapa lama kemudian, Abimana memarkirkan mobilnya di halaman toko boneka dan benda-benda cute lainnya. "Pilih boneka yang kamu mau." Tatapan teduh mengisi kedua mata Abimana."Iya, saya sudah punya pilihan kok, saya sudah memikirkannya sejak tadi!" Santai Nadia seiring keluar dari mobil, beberapa menit kemudian Abimana tercengang karena boneka pilihan Nadia adalah hewan-hewan buas. Gorila, buaya, singa dan macan."Kamu tidak sakit, kan?" Abimana menempelkan punggung tangannya di dahi Nadia."Tidak kok, saya mau mereka dibawa pulang, mereka harus mengisi sopa yang saya pilihkan buat kamu.""Satu sopa panjang akan habis diduduki mereka." Abimana menggeleng kepalanya karena semua boneka itu berukuran jumbo. Namun, Nadia tetap bersikap santai. Gadis itu kembali melihat-lihat benda yang menurutnya bagus dan jarang dikoleksi orang lain, tapi setelah berkeliling dia tidak menemukannya."Sudahlah, itu saja."Abimana segera membayar sekaligus bersedia susah payah mengangangkut beberapa repl
Nadia segera memakai gelang yang berbentuk sangat imut, Kafka menduga-duga selera Nadia karena gadis itu adalah gadis yang manja nan manis sama dengan Amira. Segera, pria ini menemukan gelang yang memantulkan suara Nadia. "Bagus kamu menyukainya." Senyuman melengkung saat mendengar Nadia memuji gelang yang melingkar di pergelangan tangannya yang putih.Beberapa jam berlalu, Nadia kembali ke kediamannya. Saraswati mulai belajar melangkahkan kakinya lagi setelah beberapa hari ke belakang memakai kursi roda atau tongkat, tapi tubuhnya masih dibantu, dipapah oleh bibi. Gadis ini behagia dengan perkembangan sang nenek, tapi dirinya tidak bisa menemani terlalu lama karena butuh mengistirahatkan otak dan punggungnya setelah belajar dan duduk berjam-jam di kampus.Kali ini Nadia bertemu Tania yang hendak pergi dengan gaya elegan, tanpa sengaja keduanya beradu bahu. "Jalan pakai mata!" teguran Tania."Sudah tahu saya mau masuk, harusnya Anda tunggu saya masuk baru keluar!" Nadia tidak ingin ka
"Saya sangat serius!" tegas Abimana pada Nadia yang memandang remeh dirinya."Terserah kamu deh, saya akan memakai gelang itu lagi!" Nadia tampak tidak peduli sama sekali ada atau tidaknya alat penyadap yang kata Abimana tertanam di dalamnya."Apa gelangnya sudah kena air dari tadi?" penyelidikan Abimana masih berlanjut."Tidak, saya melepasnya ketika mandi karena takut putus." Nadia masih tampak santai.Abimana segera menarik gelangnya dari dalam gelas, kemudian memerhatikan dengan detail. Ada sebuah lubang di ornamen bunga, dirinya yakin alat penyadapnya ada di sana, tapi sekarang tidak terlalu dipedulikan toh lubang itu sudah mengeluarkan tetesan air.Di seberang sana Kafka menggerutu karena alat penyadapnya tidak berfungsi. "Apa Nadia membawanya mandi? Mana mungkin, gelang itu memiliki banyak hiasan berbahan busa, itu utuk mencegah terkena air. Apa Nadia tetapnya memakainya saat mandi. Hm."Kafka harus memikirkan ulang demi menanamkan alat penyadap di tubuh Nadia. Namun, Abimana t
Ini waktu yang tepat untuk mengajak Nadia melihat proyek pembangunan rumah masa depan mereka. Abimana menunjukan satu-persatu ruangan dalam rumah besar itu hingga tiba di suatu ruangan yang besarnya sejajar dengan kamar utama. "Ini kamar untuk bayi kita nanti, letaknya sangat strategis karena menghadap langsung ke kamar kita.""Apa ini tidak terlalu besar untuk bayi." Dahi Nadia berkerut."Ini ukuran yang pas, di sini dijadikan area tidurnya, lalu di sana area bermain, di sisinya area membaca cerita, bahkan saat bayi kita sudah belajar makan, masih ada sisa area untuk ruang makan." Abimana menjelaskan seiring menunjuk satu-persatu sudut ruangan yang sudah menggambarkan imajinasinya."Kalau begini ceritanya, bayi kita punya rumah sendiri," ejek kecil Nadia hingga membuat Abimana tertawa kecil."Kamu benar, karena bayi kita juga memiliki kamar mandi sendiri." Pintu dibuka, hingga menunjukan kamar mandi yang setengah jadi."Iya, terserah. Nanti saya dan bayi kita hanya akan menghabiskan
Di waktu sarapan, Nadia hanya mengisi piringnya dengan sedikit makanan hingga menyita perhatian semua anggota keluarga. "Sayang, tambah nasi dan lauknya, makanan Nadia cuma sedikit loh," tawaran lembut Mila."Hari ini Nadia sedang tidak nafsu makan ma," keluhnya.Abimana menyampaikan berita yang akan membuat ambigu keluarganya. "Bangun tidur Nadia langsung mual, tapi tidak mau memeriksa menggunakan testpack.""Testpack!" Antuasias Mila dan Wira, sedangkan Saraswati tersenyum kecil wanita ini sudah mengetahui kebiasaan mual cucunya.Mila segera berdiri dari duduknya. "Sayang, mama punya banyak testpack, Nadia periksa dulu ya!" Semangatnya seakan menembus langit. Abimana mendukung usulan Mila karena dirinya juga ingin tahu alasan di balik mualnya Nadia walau sembilan puluh persen perasaannya mengatakan jika istrinya masuk angin. Dirinya juga hanya menyisakan satu persen kemungkinan Nadia mengandung, sedangkan sembilan persennya hanya harapan kehamilan."Tapi ma, Nadia yakin bukan hamil
Nadia dan Mila kembali dua jam kemudian. Gadis ini segera menemui Saraswati, menanyakan kabarnya dan apakah Tania mengganggunya. Wanita tua ini tidak mengadukan pristiwa kecil tadi, hingga dirinya memberikan jawaban jika semua baik-baik saja, kemudian menanyakan kondisi cucunya, "Nadia hamil atau masuk angin?""Masuk angin nek, seperti biasanya." Nadia tersipu malu karena mualnya menghebohkan semua anggota keluarga kecuali neneknya."Sudah nenek duga." Belaian lembut tangan kriputnya mengusao punggung Nadia, "bagaimana kata mertua Nadia?""Mama bilang tidak apa dan mama berpesan supaya Nadia lebih banyak beristirat untuk menjaga kesehatan.""Iya sudah kalau begitu. Nadia makan dan minum obat dulu baru beristirahat." Selesai Saraswati berpesan, Mila kembali membawakan menu-menu sehat untuk menantunya."Makan dulu ya, sayang ....""Iya ampun ma, Nadia jadi tidak enak sama mama. Padahal Nadia bisa ke ruang makan.""Tidak apa, mama ingin saja memanjakan Nadia." Senyuman tulus Mila. Jadi,
Esoknya keadaan Nadia mulai membaik, dirinya juga memaksakan diri ke kampus karena tidak ingin berada dalam lingkungan yang sama dengan Tania. Bibir pucatnya dipoles menggunakan lipstik merah yang dipinjamnya dari Saraswati. Kini, Nadia sudah tiba di kampus. Amira segera memberinya pertanyaan, "Kemarin kamu kemana, saya chat tidak dibalas.""Kemarin saya meriang, jadi terlalu malas membalas chat. Maaf ya.""Iya, tidak apa. Saya kira kamu kemana. Kemarin ada Pak Kafka loh datang kesini.""Mau apa?" Nadia mulai merisaukan Kafka karena perkara alat penyadap."Tidak tahu, tapi Pak Kafka mencari kamu. Ada apa sih sama kalian, kok bisa Pak Kafka mencari kamu?" Amira mulai menyelidik walau tidak menyimpan curiga ke arah negatif."Tidak ada apa-apa, mungkin Pak Kafka mau menanyakan Abi. Mereka berteman!" Senyuman lebar Nadia kala membuat alasan asal."Hah yang benar!""Eu-bukan seperti sahabat sih, lebih tepatnya teman bisnis." Senyuman lebar kembali dibuat Nadia."Masa sih, kan kekasihnya ..