Abimana dan Nadia sedang membersihkan diri di kamar mandi di dalam kamar mereka. "Astaga Abi, lagi-lagi kamu tidak memakai pengaman!" Kedua alis Nadia sampai menukik."Tadi itu situasinya dadakan, mana sempat." Enteng Abimana yang sedang mengguyur rambut berbusanya."Harusnya kamu selalu siaga." Nadia tidak menerima kelalaian Abimana yang ke sekian kali."Siaga bagaimana hm, tidak mungkin kan saya harus mengantongi alat pengaman, apalagi saat ke perusahaan." Sikap santai Abimana masih mengutarakan kalimat entengnya."Ish, simpan di dompet juga kan bisa, benda itu hanya benda kecil dan tipis. Kalau kamu sering lalai lebih baik saya minum pil lagi!" ketus Nadia."Jangan sayang, saya khawatir pada rahim kamu." Perut bawah Nadia dielus mesra, "biarkan saja bayi itu tumbuh dan berkembang di sini jika Tuhan memang sudah menghendaki.""Tapi saya masih kuliah. Iya ampun ... mudah sekali kamu membahas kehamilan." Decak kecil Nadia yang terdengar sangat menggemaskan bagaikan anak beruang yang i
Sebuah panggilan asing masuk pada handphone Abimana. "Selamat siang, dengan siapa saya bicara?" Kalimat formal selalu digunakan Abimana karena mungkin si pemanggil adalah orang penting-pebisnis yang akan atau sudah menjalin kerjasama dengan Family Owned Company."Kami dari rumah sakit, mohon maaf pak kami mengundang Anda untuk datang menemui istri Anda.""Istri? Dia bukan istri saya.""Intinya datang saja karena pasien sangat membutuhkan bapak saat ini.""Iya, terimakasih sudah menghubungi," tandas Abimana yang segera menggerutu, "pasti Tania menyebut saya sebagai suaminya. Kali ini apa lagi yang dia inginkan!" Abimana tidak akan memerdulikan panggilan dari rumah sakit karena jika keinginan Tania terus dikabulkan maka wanita itu akan semakin besar kepala. Jadi, setelah urusan di perusahaan selesai pria ini segera menemui istrinya di rumah."Kok aneh, hari ini saya tidak melihat Tania!" ceplos Nadia."Memangnya kamu lebih suka melihat Tania, hm." Abimana melingkarkan pelukan di bagian
Setelah kembali ke kelas Nadia menyempatkan mengirimkan chat pada Kafka selama menunggu dosen. [Bapak apa kabar, apa bapak sengaja datang ke kota ini?] Basa-basinya.Kafka segera memberikan jawaban. [Ada waktu bertemu?]Nadia bergeming beberapa detik. [Nenek sedang sakit, jadi Nadia tidak bisa pergi kemanapun lagi selain kuliah.][Saya baru saja menemui Tania di rumah sakit. Apa benar kalian tinggal satu atap?] Pertanyaan Kafka segera ke intinya, hingga membuat Nadia membeku karena banyak rasa dalam hatinya kala mengungkit tempat tinggalnya kini yang juga dihuni oleh Tania.[Iya, Abi yang membiarkan Tania tinggal di rumah.]"Suami seperti itu ditinggalkan saja, untuk apa kamu memertahankannya!" geram Kafka yang mengira jika Abimana sengaja menyatukan kedua wanita itu karena ingin beristri dua, bagaimanapun juga bayi dalam perut Tania adalah anaknya, jadi Abimana tidak ingin kehilangan mereka. Pikiran Kafka sangat kontras dengan prasangka. [Saya harap kamu baik-baik saja walau sepertin
Panggilan kembali terhubung pada Kafka karena Tania pingan di kamar mandi, pihak rumah sakit meminta Kafka untuk menemani Tania dua puluh empat jam atau setidaknya bergilir dengan seseorang yang memiliki hubungan dekat dengan Tania demi menjaga kestabilan mental si pasien. Pria ini memang menemui kekasihnya, tapi yang dilakukannya mengantar Tania ke kediaman Abimana. "Turunlah, kamu tinggal di sini kan. Kalau kamu mau mengugurkan kandungan, saya bersedia menerima kamu lagi, tapi kalau tidak, saya anggap bayi itu memang milik Abimana." Raut wajahnya sangat santai, tapi jelas kalimatnya adalah pilihan sulit untuk Tania."Saya memang sudah mencoba mengugurkan bayi ini, tapi mungkin dia ingin hidup," lirih Tania seiring menyesali dosa besar karena telah berusaha melakukan pembunuhan."Kalau begitu tinggal saja dengan Abimana sampai dia bersedia bertanggung jawab, tapi jujur saja saya tidak yakin!" Ini adalah kalimat untuk menakuti Tania karena yang Kafka nilai justru Abimana inginkan Tani
Kafka tidak memerdulikan ancaman Abimana karena baginya dirinyalah yang lebih baik dan lebih pantas bersama Nadia yang juga gadis baik-baik. "Saya rasa percakapan kita cukup sampai di sini, biar Tuhan saja yang berkehendak." Senyuman misterius diulas menyebalkan di mata Abimana."Saat bayi itu lahir dan terbukti anak kalian, jangan mengelak lagi karena jika kamu melakukannya maka kamu adalah pengecut paling bejad yang pernah tinggal di muka bumi ini." Tatapan dingin Abimana sangat membidik lawan bicaranya. Namun, Kafka hanya bersikap santai diakhiri senyuman kecil kemudian berlalu.Abimana tidak memiliki niat mengejar pria brengsek itu karena dirasa akan sia-sia saja. Segera, rumah menjadi tujuannya. Sesampainya di syurganya, Nadia segera mengadukan sikap Tania. "Tania bilang dia adalah wanita beruntung yang sudah mengandung benih kamu, saat banyak wanita menginginkan kamu. Lalu, dia mengejek saya yang belum hamil!"Puncak kepala Nadia diusap lembut. "Jangan didengarkan, biarkan saja.
Hari baru tiba, untuk ke sekian kalinya Tania masih mengurung diri di kamar maka keseharian keluarga Wira cukup damai. Sama halnya dengan Nadia hingga gadis ini tiba di kampus. Tampaknya Amira dan Devan sedang bertolak belakang karena keduanya saling berjalan berjauhan. "Kenapa?""Devan menyebalkan," sendu Amira."Jangan dipikirkan, laki-laki memang menyebalkan, tapi semenyebalkannya Devan tingkat menyebalkannya pasti hanya sebesar biji jagung!" Kalimat enteng Nadia karena Abimana jauh lebih menyebalkan."Tapi tadi Devan bilang kalau saya sangat egois, padahal egois bagaimana coba, saya selalu menuruti yang dia mau, bahkan sering sekali saya ikut mamanya belanja karena Devan yang minta. Justru yang egois itu Devan kan!""Iya, Devan yang egois, tapi tingkat egoisnya biasa saja. Sudahlah jangan memersalahkan hal ringan seperti ini." Embusan udara tipis dibuang bersamaan dengan kalimatnya.Amira memandangi Nadia cukup insten. "Kamu bilang tingkat egois Devan biasa saja, apa Abimana sanga
Beberapa lama kemudian, Abimana memarkirkan mobilnya di halaman toko boneka dan benda-benda cute lainnya. "Pilih boneka yang kamu mau." Tatapan teduh mengisi kedua mata Abimana."Iya, saya sudah punya pilihan kok, saya sudah memikirkannya sejak tadi!" Santai Nadia seiring keluar dari mobil, beberapa menit kemudian Abimana tercengang karena boneka pilihan Nadia adalah hewan-hewan buas. Gorila, buaya, singa dan macan."Kamu tidak sakit, kan?" Abimana menempelkan punggung tangannya di dahi Nadia."Tidak kok, saya mau mereka dibawa pulang, mereka harus mengisi sopa yang saya pilihkan buat kamu.""Satu sopa panjang akan habis diduduki mereka." Abimana menggeleng kepalanya karena semua boneka itu berukuran jumbo. Namun, Nadia tetap bersikap santai. Gadis itu kembali melihat-lihat benda yang menurutnya bagus dan jarang dikoleksi orang lain, tapi setelah berkeliling dia tidak menemukannya."Sudahlah, itu saja."Abimana segera membayar sekaligus bersedia susah payah mengangangkut beberapa repl
Nadia segera memakai gelang yang berbentuk sangat imut, Kafka menduga-duga selera Nadia karena gadis itu adalah gadis yang manja nan manis sama dengan Amira. Segera, pria ini menemukan gelang yang memantulkan suara Nadia. "Bagus kamu menyukainya." Senyuman melengkung saat mendengar Nadia memuji gelang yang melingkar di pergelangan tangannya yang putih.Beberapa jam berlalu, Nadia kembali ke kediamannya. Saraswati mulai belajar melangkahkan kakinya lagi setelah beberapa hari ke belakang memakai kursi roda atau tongkat, tapi tubuhnya masih dibantu, dipapah oleh bibi. Gadis ini behagia dengan perkembangan sang nenek, tapi dirinya tidak bisa menemani terlalu lama karena butuh mengistirahatkan otak dan punggungnya setelah belajar dan duduk berjam-jam di kampus.Kali ini Nadia bertemu Tania yang hendak pergi dengan gaya elegan, tanpa sengaja keduanya beradu bahu. "Jalan pakai mata!" teguran Tania."Sudah tahu saya mau masuk, harusnya Anda tunggu saya masuk baru keluar!" Nadia tidak ingin ka