Ayu memikirkan dengan matang-matang mengenai tawaran Bi Sari untuk berkenalan dengan Adam, anak dari Pak Ramzi. Setelah tiga hari Ayu mempertimbangkan semua itu, akhirnya ia mau menerima tawaran itu. "Kamu sudah siap, Yu?" tanya Bi Sari. "Iya, Bi. Ini aku tinggal pake kerudung saja," jawab Ayu. Ayu memang tidak akan bertemu dengan Adam sendirian. Bi Sari dan Rey tentu saja akan ikut. Sedangkan Adam akan datang sendirian, karena ayahnya Pak Ramzi ada urusan mendadak keluar kota. *** Awalnya Pak Ramzi menawarkan bertemu di rumah Bi Sari, tapi Adam bilang kalau dia ingin bertemu di rumah makan milik Ayu saja. Selain memiliki toko, Ayu juga memiliki rumah makan, yang jarang ia kunjungi. Walaupun begitu, Ayu sudah mempunyai orang kepercayaannya yang bisa mengurus rumah makan miliknya, jika ia tidak bisa datang untuk berkunjung. Ayu dan Bi Sari berangkat saat siang, karena mereka akan menunggu Rey pulang sekolah dulu, baru bisa pergi ke rumah makan. "
Tidak bisa di pungkiri Ayu terkejut dengan perkataan Adam. Laki-laki itu seolah sudah mengenal Ayu dengan baik. Tentang pernyataannya yang akan menerima Rey sebagai anaknya. Semua itu menimbulkan banyak tanya dalam benak Ayu. Apakah Bi Sari yang sudah memberi tahu Adam banyak hal tentangnya? Tapi Ayu rasa tidak mungkin Bi Sari seperti itu. "Bunda, Rey lapar," rengek Rey. Ayu tersadar dari lamunannya. Bi Sari dan Adam juga menatapnya, dan hal itu membuat Ayu jadi salah tingkah. "I–iya sayang. Kita makan, ya?" ucap Ayu pada Rey. "Mari, Mas. Sambil makan dulu, Mas." Ayu mempersilahkan untuk mengambil makan siang yang sudah dihidangkan. "Nggak perluh sungkan, Nak. Ambil dan nikmati, tapi adanya ya seperti ini," ucap Bi Sari sambil mengambil makanan. "Makanannya sangat banyak, Bi. Sampai bingung mau pilih yang mana." Adam pun mulai mengambil makanannya, hal itu tak luput dari pandangan Ayu. Ayu tersenyum tipis saat ia melihat Adam yang terlihat lahap
Rey langsung berlari menghampiri Anton, "Ayah... Lihat, Rey dapat mainan baru. Bagus kan?" Anton menggendong Rey lalu mencium pipi putranya. Sedetik kemudian, ia menatap Bi Sari dan Ayu. Ayu bisa melihat dari raut wajah mantan suaminya itu, ada terbesit tanda tanya. "Iya, bagus sekali pesawatnya. Apa Bunda yang belikan?" tanya Anton. "Bukan Ayah, ini hadiah dari Om." Rwy begitu jujur. "Om? Om siapa?" Anton menurunkan Rey dari gendongannya. Matanya tertuju pada Ayu seolah ingin diberi penjelasan. "Ooh, Adam. Itu yang barusan pergi dari sini. Nanti Om Adam juga mau ngajak Rey sama Bunda jalan-jalan," ucap Rey pada sang ayah. Anton semakin penasaran setelah mendengar cerita Rey. Ia lalu mendekati Bi Sari yang masih duduk sedari tadi. "Siapa Adam?" Anton meminta penjelasan. Ayu lebih memilih diam. Ia tidak ingin mengatakan apapun pada mantan suaminya itu. "Dia putranya Pak Ramzi," jawab Bi Sari. "Pak Ramzi yang di kampung sebelah?" "Iya
Sikap Anton menjadi berubah semenjak ia mengetahui Ayu berkenalan dengan Adam. Anton menjadi sangat perhatian kepada Rey. Sudah beberapa hari ini dia memaksa untuk mengantar Rey ke sekolah.Rey tentunya senang dengan perhatian ayannya. Dibalik semua itu, Ayu harus menghadapi kecemburuan Vika yang sudah kelewatan. Bahkan adiknya itu mengucapkan kata-kata yang semakin pedas untuknya."Kamu jangan gunakan Rey buat cari perhatian Mas Anton dong, Kak. Kamu nggak kasihan sama Inara? Inara masih kecil dan butuh perhatian lebih dari ayahnya!"Vika datang pagi-pagi sembari menggendong bayinya yang sedang menangis, untuk melabrak Ayu dirumah Bi Sari, tepat setelah Anton berangkat mengantar Rey ke sekolah."Kamu kalau bicara jangan sembarangan ya, Vik. Bukan aku yang minta suami kamu buat antar-jemput Rey. Dia sendiri yang maksa buat melakukan itu!""Kamu nggak usah ngelak, Kak! Akui aja kalau memang kamu masih mengharapkan Mas Anton, tapi nggak kayak gini caranya, Kak Ayu!" Suara Vika semakin k
"Jahat! Ini terlalu sakit untukku. Sangat tidak adil. Kenapa dia bisa setega itu?" tangis Ayu pecah tak terkendali begitu mendapati kenyataan bahwa suaminya telah mendua. "Tenangkan dirimu, Yu .." pinta Bi Sari sambil berusaha memeluk Ayu yang berontak tak dapat mengendalikan diri. "Mereka jahat, Bi. Bagaimana mungkin adik kandung dan suamiku bisa setega itu? Mereka menusukku dari belakang. Adik yang aku besarkan penuh kasih sayang, ternyata begitu Licik!" pekikku keras. "Mengapa harus dia yang menjadi selingkuhan suamiku? Mengapa?! Kenapa dia harus mencintai pria yang sudah menjadi suami kakaknya?!" Ayu semakin histeris, rasanya tak sanggup menerima kenyataan. *** Entah salah apa yang telah Ayu perbuat, sehingga Tuhan memberikannya ujian yang bagi Ayu terasa berat. Sakit, sesak itu yang Ayu rasakan. Yang bisa ia lakukan hanya menangis dan menangis. Kadang Ayu bertanya-tanya dosa apa yang telah di perbuatnya, sampai-sampai Tuhan memberikannya hukuman dengan ada
Ayu merenung beberapa hari setelah perselingkuhan adik dan suaminya. Ayu tidak pulang, ia lebih memilih tinggal di rumah Bi Sari untuk menenangkan diri. Ayu tidak ingin bertemu dengan adik dan suaminya. Ayu juga tak melihat Rey, anaknya. Setiap hari Ayu hanya melamun, tak ada gairah hidup. Tiba-tiba Bi Sari memberi tahu Ayu kalau Rey sedang sakit. Entah kekuatan dari mana, Ayu langsung bangkit untuk pulang ke rumahnya, di temani oleh Bi Sari. "Ayu, akhirnya kamu pulang. Rey selalu cariin kamu. Dia rindu sama kamu, Yu." Ucap Anton. Ayu tidak menghiraukan Anton begitu juga dengan Vika yang berdiri di samping Anton. Pandangan Ayu hanya tertuju pada putranya. Ayu langsung memeluk putranya yang terkulai lemas di tempat tidur. Wajah Rey sangat pucat serta tubuhnya sangat panas. "Rey... Bunda disini, Nak. Maafkan Bunda." Bisik Ayu tepat di telinga Rey. "Bunda, Rey kangen Bunda." Igau Rey dengan mata tertutup serta mulut yang sedari tadi meracau memanggil nama Ayu. "Ta
Seminggu setelah pulang dari rumah sakit, Rey sudah kembali sehat dan riang seperti sedia kala. Adapun Vika masih harus beristirahat di tempat tidur. Ayu sendiri masih berusaha berdamai dengan keadaan. Ayu merenung, mengintropeksi diri. Ayu mencoba mencari ketenangan dengan medekatkan diri kepada Tuhan. Mungkin selama ini kehidupan Ayu lebih berpusat pada kehidupan dunia hingga ia jauh dari Tuhan, dan hingga Tuhan menghukum dengan cara seperti ini. Sebenarnya Ayu masih bimbang, merasa sakit dan kecewa. Semakin Ayu memikirkan itu, semakin membuat hati Ayu perih. Ayu hanyalah manusia biasa yang bisa merasakan sakit dan kecewa. Tidak mudah memang bila harus ada pada posisi seperti ini. "Ayu, apa kamu sudah yakin dengan keputusanmu?" Tanya Bi Sari. "Bi..." Ayu menghela napas berat. "Tetangga-tengga di sekitar mulai menjadikan rumah tangga kami sebagai bahan gunjingan. Mungkin ini keputusan yang terbaik." Ayu sendiri sebenarnya masih ragu dengan keputusannya itu. Ayu te
Ayu menghela napas panjang. Ayu beristighfar. Rasanya berat dan sulit untuk memohon ampun kepada Allah. Lidah Ayu mendadak kelu. Kemarahan telah menguasai hatinya. Lagipula, wanita mana yang tidak akan marah saat kenyataannya suami dan adiknya begitu tega melukainya, merusak kepercayaan yang selama ini Ayu berikan. "Ayu, apakah sudah nggak ada lagi tempat di hatimu untuk aku? Ayu, ingat ada Rey yang masih membutuhkan kita." Ucap Anton dengan wajah memelasnya. Ayu tersenyum kecut. Air matanya kembali menetes. Ayu masih sangat mencintai suaminya itu, tapi di lain sisi, Anton sudah menyakiti hatinya, bahkan sangat sakit. Tapi Ayu juga tidak mau jika Vika terabaikan. Masalah ini sangat berat bagi Ayu. Keputusan apapun yang Ayu ambil pasti akan membuatnya terluka dan sakit. Dalam masalah ini, Ayu adalah istri yang menginginkan sosok suami tetap ada, di lain sisi, Ayu adalah seorang kakak yang tidak mau adiknya terluka. Ayu menghapus air matanya, di tatapnya lekat-lekat
Sikap Anton menjadi berubah semenjak ia mengetahui Ayu berkenalan dengan Adam. Anton menjadi sangat perhatian kepada Rey. Sudah beberapa hari ini dia memaksa untuk mengantar Rey ke sekolah.Rey tentunya senang dengan perhatian ayannya. Dibalik semua itu, Ayu harus menghadapi kecemburuan Vika yang sudah kelewatan. Bahkan adiknya itu mengucapkan kata-kata yang semakin pedas untuknya."Kamu jangan gunakan Rey buat cari perhatian Mas Anton dong, Kak. Kamu nggak kasihan sama Inara? Inara masih kecil dan butuh perhatian lebih dari ayahnya!"Vika datang pagi-pagi sembari menggendong bayinya yang sedang menangis, untuk melabrak Ayu dirumah Bi Sari, tepat setelah Anton berangkat mengantar Rey ke sekolah."Kamu kalau bicara jangan sembarangan ya, Vik. Bukan aku yang minta suami kamu buat antar-jemput Rey. Dia sendiri yang maksa buat melakukan itu!""Kamu nggak usah ngelak, Kak! Akui aja kalau memang kamu masih mengharapkan Mas Anton, tapi nggak kayak gini caranya, Kak Ayu!" Suara Vika semakin k
Rey langsung berlari menghampiri Anton, "Ayah... Lihat, Rey dapat mainan baru. Bagus kan?" Anton menggendong Rey lalu mencium pipi putranya. Sedetik kemudian, ia menatap Bi Sari dan Ayu. Ayu bisa melihat dari raut wajah mantan suaminya itu, ada terbesit tanda tanya. "Iya, bagus sekali pesawatnya. Apa Bunda yang belikan?" tanya Anton. "Bukan Ayah, ini hadiah dari Om." Rwy begitu jujur. "Om? Om siapa?" Anton menurunkan Rey dari gendongannya. Matanya tertuju pada Ayu seolah ingin diberi penjelasan. "Ooh, Adam. Itu yang barusan pergi dari sini. Nanti Om Adam juga mau ngajak Rey sama Bunda jalan-jalan," ucap Rey pada sang ayah. Anton semakin penasaran setelah mendengar cerita Rey. Ia lalu mendekati Bi Sari yang masih duduk sedari tadi. "Siapa Adam?" Anton meminta penjelasan. Ayu lebih memilih diam. Ia tidak ingin mengatakan apapun pada mantan suaminya itu. "Dia putranya Pak Ramzi," jawab Bi Sari. "Pak Ramzi yang di kampung sebelah?" "Iya
Tidak bisa di pungkiri Ayu terkejut dengan perkataan Adam. Laki-laki itu seolah sudah mengenal Ayu dengan baik. Tentang pernyataannya yang akan menerima Rey sebagai anaknya. Semua itu menimbulkan banyak tanya dalam benak Ayu. Apakah Bi Sari yang sudah memberi tahu Adam banyak hal tentangnya? Tapi Ayu rasa tidak mungkin Bi Sari seperti itu. "Bunda, Rey lapar," rengek Rey. Ayu tersadar dari lamunannya. Bi Sari dan Adam juga menatapnya, dan hal itu membuat Ayu jadi salah tingkah. "I–iya sayang. Kita makan, ya?" ucap Ayu pada Rey. "Mari, Mas. Sambil makan dulu, Mas." Ayu mempersilahkan untuk mengambil makan siang yang sudah dihidangkan. "Nggak perluh sungkan, Nak. Ambil dan nikmati, tapi adanya ya seperti ini," ucap Bi Sari sambil mengambil makanan. "Makanannya sangat banyak, Bi. Sampai bingung mau pilih yang mana." Adam pun mulai mengambil makanannya, hal itu tak luput dari pandangan Ayu. Ayu tersenyum tipis saat ia melihat Adam yang terlihat lahap
Ayu memikirkan dengan matang-matang mengenai tawaran Bi Sari untuk berkenalan dengan Adam, anak dari Pak Ramzi. Setelah tiga hari Ayu mempertimbangkan semua itu, akhirnya ia mau menerima tawaran itu. "Kamu sudah siap, Yu?" tanya Bi Sari. "Iya, Bi. Ini aku tinggal pake kerudung saja," jawab Ayu. Ayu memang tidak akan bertemu dengan Adam sendirian. Bi Sari dan Rey tentu saja akan ikut. Sedangkan Adam akan datang sendirian, karena ayahnya Pak Ramzi ada urusan mendadak keluar kota. *** Awalnya Pak Ramzi menawarkan bertemu di rumah Bi Sari, tapi Adam bilang kalau dia ingin bertemu di rumah makan milik Ayu saja. Selain memiliki toko, Ayu juga memiliki rumah makan, yang jarang ia kunjungi. Walaupun begitu, Ayu sudah mempunyai orang kepercayaannya yang bisa mengurus rumah makan miliknya, jika ia tidak bisa datang untuk berkunjung. Ayu dan Bi Sari berangkat saat siang, karena mereka akan menunggu Rey pulang sekolah dulu, baru bisa pergi ke rumah makan. "
"Memangnya Bibi mau aku kenalan dengan siapa?" tanya Ayu penasaran. Sebenarnya Ayu masih tidak ingin untuk mengenal orang baru, tapi karena ia melihat kesungguhan di wajah Bi Sari, ia jadi tidak enak kalau menolak. "Kamu kenal dengan Pak Ramzi yang tinggal di kampung sebelah itu kan, Nak?" Ayu mengerutkan dahi, ia tahu orang yang dimaksud oleh Bi Sari. Pak Ramzi adalah seorang duda yang terkenal baik dan dermawan. Tapi, apa iya Bi Sari akan menjodohkan Ayu dengannya? Usia Pak Ramzi saja sama dengan usia ayah Ayu jika saja ayahnya masih hidup. "Kamu kenapa, Yu?" tanya Bi Sari yang melihat Ayu nampak kebingungan. "I–iya, aku tahu Pak Ramzi yang dari kampung sebelah. Dia yang juragan lele itu, kan?" tanya Ayu memastikan. "Iya, dia maksud Bibi." "Jadi Bibi mau menjodohkanku dengan Pak Ramzi?" sahut Ayu dengan cepat. Ia langsung panik. Mengapa Bi Sari ingin mengenalkan dirinya dengan orang yang lebih pantas menjadi ayahnya? Bi Sari tertawa mendengar
"Kamu harusnya bisa bersikap tegas pada istrimu, ketika apa yang dia lakukan salah. Aku nggak akan meminta kamu memberi yang lebih, cukup luangkan waktumu untuk Rey. Temani dia dan berikan kasih sayangmu. Kamu harus adil, Mas. Anak kamu bukan cuma Inara. Rey juga anakmu. Kamu juga tahu sendiri kan, bagaimana Rey sangat sayang dan mengidolakan kamu sebagai ayahnya," omel Ayu. Anton menghela napasnya dalam-dalam, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. "Aku bingung, Yu. Vika selalu menakutiku dengan banyak hal. Aku juga takut, kalau aku nggak menuruti keinginannya, dia akan kembali mencampakan Inara. Aku nggak tega dengan bayi kecilku," ucap Anton. "Jadi kamu nggak tega sama Inara, tapi kamu tega sama Rey? Iya?" Sungguh ucapan Anton benar-benar membuat Ayu semakin kecewa. "Bukan begitu, Ayu. Tolong kamu mengerti dengan kondisiku," ucap Anton dengan memelas. "Kalau aku berusaha mengerti kondisimu, apa kamu bisa mengerti keinginan Rey? Dia juga ingin di antar ke s
Ayu melangkah mendekati kamar Vika dan Anton, dan kini matanya tertuju pada bayi sedang berada di gendongan Anton. "Dia menangis terus dari tadi. Dikasih minum juga sulit." Anton sudah terlihat frustasi. Diberikannya bayi mungil yang sedang ia gendong. Ayu menerimanya bayi itu dan kini bayi Vika berada dalam gendongannya. Ia tidak langsung memberikan susu kepada bayi itu, tapi ia membaringkan bayi itu di ranjang dan mengecek kondisinya. Ayu merasa ada sesuatu yang membuat bayi itu merasa tidak nyaman. Ayu rasa mungkin ada yang kurang pas dengan bedongannya. Ia pun membuka kain yang melilit bayi mungil itu, kemudian membenarkan posisinya. Ia membedongnya lagi dengan rapat sehingga bayi itu bisa merasa hangat. "Sudah ya, sayang. Jangan menangis. Haus, ya?" tanya Ayu pada bayi mungil itu. "Sini sayang, minum dulu." Ayu memberikan sebotol susu pada bayi itu, dan bayi itu segera mengesap dengan kuat, dan tangisnya perlahan berhenti. Inara, nama bayi itu. Kini i
Vika semakin histeris dan memberontak. Ia tidak bisa menerima kenyataan yang baru saja ia ketahui. "Kalian pembohong! Dimana anak laki-lakiku? Aku ingin anak laki-lakiku," teriak Vika semakin memberontak. "Vika, tenang. Istighfar!" Bi Sari membujuk Vika dan ikut memegangi Vika. "Tenangkan dirimu. Jangan seperti ini!" Anton berusaha memeluk Vika. "Kalian pasti berbohong! Anakku pasti laki-laki. Dimana dia? Aku ingin melihatnya!" Vika berusaha melepaskan diri dari pegangan Bi Sari dan Anton. Ia yang tadinya terlihat lemah, tiba-tiba memiliki banyak tenaga untuk memberontak. Sedangkan Ayu hanya terpaku di tempatnya berdiri. Pikirannya berkecamuk. Di satu sisi ia kasihan melihat Vika yang seperti itu, tapi disisi lain, ia tidak ingin memperkeruh keadaan. Perasaan Ayu tidak enak. Jika ia ikut campur, Vika bisa saja menyalahkan dirinya dan Rey. Vika juga bisa saja menjadikan ia dan Rey pelampiasan atas apa yang tidak bisa dicapainya. Plaaakk! "Tenang,
Pintu ruang operasi telah dibuka, dan mereka bisa mendengar suara tangisan dari bayi. Mereka pun buru-buru menghampiri dokter yang sedang berdiri di ambang pintu. "Bagaimana anak dan istri saya, Dok?" tanya Anton dengan tidak sabar. "Ibu dan bayinya selamat. Tapi karena bayinya lahir prematur, harus kami rawat di inkubator," kata sang dokter. "Apa jenis kelamin anak saya, Dok?" tanya Anton lagi dengan ragu. "Selamat, anak Bapak perempuan. Untuk ibunya, saat ini masih dalam masa pemulihan. Sebentar lagi akan di pindahkan ke ruang perawatan," jawab sang dokter. Anton terpaku. Jujur ia bingung karena anak yang lahir tidak sesuai dengan harapan Vika. "Terimakasih, Dok," kata Bi Sari mewakili Anton yang masih membeku. "Sama-sama. Bapak bisa melihat bayinya, tapi yang lain menunggu diluar," kata dokter. "Iya, Dok." Lagi-lagi Bi Sari yang menjawab. "Anton," panggil Bi Sari yang langsung menyadarkan Anton dari lamunannya. "Adzani dulu anakmu," k