Bukan hanya tamu undangan, banyak pula wartawan yang sedang melakukan wawancara. Hal itu lah yang membuat Sheilla menghentikan langkah. Ada rasa ingin mundur lalu pulang, tapi sepertinya tidak mungkin."Apa kita harus melewati kerumunan itu? Tidak ada akses jalan lain?" tanya Sheilla tanpa menoleh ke arah Mathew. Sejak dulu Sheilla memang anti bertemu wartawan, bahkan saat dia harus berpura-pura bahagia bersama kedua orang tuanya.Pertanyaan yang tak kunjung mendapat jawaban membuat Sheilla menoleh. Tatapan keduanya beradu, belum Sheilla buka suara, Mathew sudah lebih dulu menggeleng. Merasakan tubuh Sheilla memberontak, Mathew semakin mengeratkan pelukannya."Tenanglah, mereka tidak akan memakanmu. Lagipula sangat wajar di sini banyak wartawan, mereka ingin meliput. Tidak akan ada yang mengusikmu, sekalipun ada mereka yang akan berurusan denganku."Perkataan yang tidak bisa dibantah.Saking takut dan gugup, Sheilla tanpa sadar meremas ujung jas yang Mathew kenakan. Sheilla juga baru
Sudah berusaha semaksimal mungkin agar tidak ketinggalan, tetapi tetap saja tertinggal. Langkah Sheilla terhenti, kakinya menghentak karena kesal. Tidak perduli akan mendapat tatapan aneh, sekali kesal selamanya akan tetap kesal! Kesal bukan sembarang kesal, pasalnya kini Sheilla kehilangan jejak Mathew. Tadi pria itu masih tegur sapa dengan tamu lain, tetapi sekarang sudah hilang.Sheilla menoleh ke kanan dan kiri. Andai bisa memilih, ingin rasanya dia pulang detik ini juga. Perutnya sudah kenyang makan kue, mata pun mengantuk."Tuan Alexander, kenapa anda terlihat menjaga jarak dengan putri dan menantu anda? Kami melihat tidak ada tegur sapa.""Apa hubungan kalian baik-baik saja, Tuan?"Suara ramai di belakang membuat Sheilla menoleh. Tidak jauh dari tempatnya berdiri ada sang Ayah tengah dikerumuni para wartawan. Dalam hati Sheilla mengutuk mereka semua. Apa tidal bisa mereka semua diam atau pulang? Walaupun Sheilla penasaran dengan jawaban Ayahnya, tetapi dia berusaha menutupi dir
"Apakah plat nomernya sama dengan yang saya kirim?""Tidak, Tuan."Mathew mengangguk. Kejadian memang kemarin, tapi baru hari ini Mathew mencari tahu. Sebetulnya sudah lebih dulu mengintrogasi sang istri, tapi tidak ada jawaban serius. Maka dari itu, bertanya pada Steven dan George pilihan tepat. Awalnya Mathew menerka serta menebak kalau cerita hampir terserempetnya Sheilla karena ulah orang-orang Xaview atau bahkan Maurena.Akan tetapi, jawaban Steven seperti mematahkan dugaan Mathew. Walaupun begitu, bukankah bisa saja mereka pakai kendaraan lain supaya aksinya lebih mulus?"Kalian hanya menjaga satu wanita, apa tidak bisa mengawal dengan sempurna? Beda hal jika aku meminta kalian mengawal lima atau sepuluh orang. Satu saja kalian keteteran, tidak sanggup?" Mathew menatap dua pria di depannya secara bergantian. Keduanya memang sudah mengaku salah serta meminta maaf, tapi tetap saja bagi Mathew mereka seperti menyepelekan."Baik, Tuan, setelah ini saya pastikan jika nona Sheilla aka
Seolah kehilangan sosok Sheilla yang biasanya, sejak turun mobil sampai masuk ke dalam area kantor Mathew terus dibuat heran oleh tingkah Sheilla. Bukan bergelayutan manja di tangan, bukan pula tiba-tiba menari. Tetapi dari pintu utama, setiap sapaan yang terlontar, wanita di sampingnya sangat niat membalas.Mathew tidak bilang itu tingkah buruk, hanya saja ... heranPintu lift terbuka, Sheilla lebih dulu masuk. Saking dibuatnya bingung Mathew sampai tidak sadar kalau Sheilla tidak menarik ujung jas hitam yang dia kenakan. Lebih cocok terlihat anak menarik ayah memang daripada menarik suami. Di dalam lift hanya ada mereka berdua, maka dari itu Sheilla yang masih dengan senyumnya leluasa menatap sang suami."Aku khawatir," celetuk Mathew."Khawatir? Khawatir apa? Apa dunia akan musnah?" Sheilla menerjap, menatap polos pria di depannya. Sejak perjalanan dari rumah Mathew memang sedikit berbeda di mata Sheilla. Bukan berbeda yang berubah bentuk menjadi hulk, tetapi lebih banyak diam.Jaw
'Memang kamu di mana, Sheil? Perlu aku jemput atau bagaimana? Kalau mau dijemput, aku bisa.''Aku tahu kantor Mathew dari Arvel.'Read.Dua balasan pesan baru itu hanya Sheilla baca. Bukan sombong atau bagaimana, tetapi otak dan hatinya tengah bimbang. Entahlah, rasanya Sheilla paling tidak bisa menolak keinginan orang lain, tetapi kalau dia nekat urusannya akan panjang dengan Mathew.Lalu ... harus Sheilla jawab apa pesan dari Maurena tadi?Layar ponsel meredup, Sheilla meletakkan benda pipih itu di atas meja. Karena tak ada keinginan untuk membalas, Sheilla memilih menghempas kembali punggungnya kesanggahan kursi. Entah kenapa tiba-tiba otak Sheilla berfikir negatif tentang Maurena. Awalnya Sheilla menganggap biasa, tetapi seiring berjalannya waktu, wanita itu terkesan ingin selalu mendekat.Padahal ... keduanya tidak ada history pertemuan di waktu dulu.Tok..tok..tok!Suara ketukan serta pintu terbuka membuat lamunan Sheilla buyar. Di ambang pintu sana berdiri sesosok pria lumayan
"Sudah aku bilang, dan apa perkataanku benar.""Hujan. Apa harus kita berangkat?"Sesaat terjadi keheningan. Sheilla yang merasa ocehannya tak dianggap sontak menoleh ke arah belakang. Di atas sofa empuk sana suaminya tengah duduk sambil menyeruput kopi miliknya. Tatapan keduanya beradu, akan tetapi sepertinya Mathew enggan menjawab."Kau tidak dengar aku?" Kedua mata Sheilla memicing menatap Mathew."Dari banyaknya pertanyaan, jawabannya hanya satu."Sheilla menerjap, otaknya berusaha menelaah jawaban sang suami barusan. Diam buat jengkel, bersuara membuat otak lag. Itulah Mathew di mata Sheilla saat ini. Sheilla yang sejak tadi berdiri di depan jendela kini menghampiri dan duduk di samping Mathew."Apa yang kau risaukan, Sheilla? Kita pergi naik mobil, bukan naik motor apa lagi jalan kaki. Apa naik mobil tetap kehujanan?"Hari ini memang hujan mengguyur cukup lama. Sejak pukul lima, sampai sekarang hampir jam sembilan hujan tidak berhenti. Suasana dingin seperti ini cocok dipakai un
Pemeriksaan sudah berlangsung selama sepuluh menit. Selama sepuluh menit itu pula Sheilla menangkap raut wajah serta senyum lebar dari dokter yang kini sedang menyentuh perutnya. Sebelum melakukan USG, Sheilla memang habis melakukan tes darah serta urin terlebih dahulu. Sheilla tidak menyangka jika kontrol kehamilan memang sepanjang ini.Setelah serangkaian tes serta pemeriksaan usai, Sheilla dibantu Mathew turun dari atas kasur. Jujur saja saat ini Sheilla sangat kepo dengan apa yang akan dokter katakan. Karena sejak tadi dokter cantik itu terus mengumbar senyum manis penuh arti. Tentu Sheilla penasaran.Kini Sheilla dan Mathew duduk menghadap dokter yang sedang menulis sesuatu di kertas. Selagi menunggu, Mathew tidak melepaskan genggamannya pada tangan Sheilla. Mathew juga yakin jika buah hatinya baik-baik saja di dalam perut sang istri.Tok..tok..tok!"Silahkan masuk."Bukan hanya sang dokter, Sheilla serta Mathew pun ikut menoloh ke arah pintu. Di sana seorang perawat berdiri, dia
"Aku ingin mundur.""Aku tidak mau mengorbankan nyawa, karna nyawaku lebih berharga."Suara decihan terdengar disusul gebrakan meja. Maurena yang sejak awal menekan diri agar tidak terpancing emosi berusaha tetap tenang. Sudah dibilang, menghadapi manusia seperti pria di depannya perlu kesabaran super tebal."Berani kau membantah perintahku, Maurena?""Kenapa harus tidak berani? Aku tidak mau ikut campur, kau bisa menyuruh orang lain selain diriku!" sahut Maurena. Bukan apa-apa, sebagai seorang wanita, insting Maurena mengatakan situasi dirinya mulai tidak aman.Beribu kata manis yang Xavier lontarkan tak lagi menenangkan. Lebih dari itu Maurena takut mati muda karena harus mengusik Mathew melalui Sheilla. Selain itu, selama kenal Sheilla, wanita itu sangat baik. Tanpa menunggu sahutan lainnya Maurena pergi meninggalkan ruangan.Saat membuka pintu Maurena dibuat kaget mendengar suara gebrakan di belakang. Tidak perlu menoleh, dia sudah tahu barang apa yang Xavier tendang. Tapi sudahla