Makan malam sederhana namun penuh kehangatan membuat hati siapapun pasti akan bahagia. Hal itu pula yang kini Sheilla rasakan. Berada di tengah Mathew dan Elena, Sheilla merasa jika dirinya benar-benar hidup. Tentu hal hangat seperti ini tidak pernah dia rasakan sewaktu di rumah. Walaupun beberapa kali makan bersama, tetapi diisi oleh keheningan. Lalu setelah makan, mereka pergi meninggalkan meja makan.Akan tetapi, lihatlah sekarang. Obrolan singkat terjadi, bahkan apapun yang Sheilla tunjuk langsung dikabulkan oleh suami dan mertuanya. Bahagia? Tentu sangat. Sheilla merasa tak ingin kehilangan moment ini sampai mati."Ada rasa yang kurang sama masakan Mama? Ayo beri komentar, masukan juga boleh.""Semua sempurna. Tangan Mama memang tidak perlu diragukan."Percakapan antara Elena dengan Mathew membuyarkan lamunan Sheilla. Ditatapnya anak dan ibu itu secara bergantian, senyum simpul seketika terpancar di bibir Sheilla. Selagi mendengarkan percakapan keduanya Sheilla memilih lanjut mak
Hari-hari sebagai ibu hamil Sheilla lewati. Sejak awal kehamilan, sampai kini menginjak usia kandungan tiga bulan, semua Sheilla rasakan sendiri. Karena kalau bukan dirasa sendiri, mau berbagi kesiapa? Memang bisa ke Mathew, tapi tetap saja pria itu tidak bisa memindahkan rasa.Akan tetapi, walaupun sedikit tersiksa, Sheilla teramat beruntung akhir-akhir ini Daisy selalu datang. Baik Daisy ataupun Elena, mereka selalu datang bergantian jika ada kesibukan. Kalau free? Keduanya kompak datang bahkan menginap.Selain mendapat kasih sayang dari kedua ibu, kasih sayang lain juga dia dapatkan dari Mathew–suaminya. Sempat beberapa kali Mathew kesal, tapi ujung-ujungnya pria itu melunak sendiri. Selain itu, Mathew tidak lagi memaksakan kehendaknya.Pada pagi yang cerah ini, sebangunnya dari tidur, Sheilla sudah disambut hangat oleh suaminya. Saat bangun tadi sempat kaget, ternyata suaminya itu sudah ada di lantai bawah. Sheilla berlari kecil lalu memeluk Mathew yang sudah merenggangkan kedua t
"Berita kehamilan lo lagi panas banget, ya?"Sekilas Sheilla menoleh. Hanya beberapa detik, setelah itu dia kembali menatap layar televisi di depannya. Sudah satu jam lamanya Chelsea datang, banyak juga cerita yang gadis itu bawa. Akan tetapi, dari banyaknya pembahasan, Sheilla enggan membahas berita soal kehamilan dirinya.Sebetulnya Sheilla sempat kesal karena Mathew mempublikasi kehamilannya. Bukan apa-apa, Sheilla tidak suka menjadi pusat perhatian. Lebih dari itu dia takut jika ayahnya melihat lalu kembali tidak terima. Tapi Sheilla yakin berita itu sudah sampai ke telinga Alexander.Akan tetapi, karena pria itu memutus hubungan, jadi tidak ada alasan untuk bertanya lebih lanjut."Woy!"Sheilla menerjap ketika tangannya ditepuk oleh Chelsea. Lagi, Sheilla menoleh. "Gue dengar, Chels, dengar. Cuma gue bingung mau jawab apa. Sebetulnya gue lebih aman pakai mode private, tapi Mathew kekeh bilang kalau ini demi kebaikan bersama. Menurut lo, kebaikan apa yang dia maksud? Otak gue ngga
"Nona Sheilla, awas!"Sheilla tersentak kaget. Teriakan dibarengi tarikan membuat dirinya hampir saja terjatuh. Entah apa yang baru saja terjadi, otaknya belum mencerna. Dibantu oleh Steven dan Chelsea, ketiganya mudur menepi. Selagi menghilangkan rasa kaget Sheilla menoleh ke kanan dan kiri."Lo gapapa, Sheill? Serius, ada luka atau sakit?""Ngga, gue gapapa. Tadi itu ada apa?""Nona hampir saja terserempet mobil. George tidak berhasil menghentikan mobil itu." Bukan Chelsea, tetapi kini yang menjawab adalah Steven. Mendengar itu Sheilla mengangguk-anggukan kepalanya.Tidak ada rasa sakit apapun, nasib baik orang disekelilingnya bergerak cepat. Sheilla tidak tahu bagaimana nasibnya jika beberapa detik saja Chelsea telat menarik. Mungkin hari ini menjadi hari terakhir dirinya bisa ke luar rumah tanpa seorang Mathew. Mengingat ... pria itu teramat posesif.Merasa tidak ada masalah Sheilla mengajak Chelsea kembali berjalan. Tujuan Sheilla memang ingin menikmati udara di taman, tapi sebel
Layaknya sedang mengetik di laptop, jari telunjuk Sheilla sejak tadi menunjuk-nunjuk perut yang mulai tidak rata lagi. Itu semua bisa Sheilla lihat saat dia menggunakan dress atau tank top ketat. Walaupun ocehannya tak mendapat respon, tetap saja Sheilla tak menyangka di dalam perutnya ada calon manusia tengah berkembang.Kira-kira, mirip siapa nanti anak pertamanya?Memasuki trimester awal kedua perubahan memang Sheilla rasakan. Walaupun tidak semual trimester pertama, untuk saat ini dia bisa bernapas lega. Lebih dari itu, Sheilla penasaran apa jenis kelamin buah hatinya. Kalau boleh berharap, Sheilla ingin sekali anak pertamanya perempuan. Bukan tanpa alasan, karena bagi Sheilla bayi perempuan lebih banyak pernak-pernik lucu yang bisa digunakan."Apa di dalam sana kamu nyaman? Semoga kamu tidak menyesal pas lahir ke dunia nanti, ya. Aku memang tidak berbakat, tapi tenang saja, Ayahmu pasti akan menjaga dengan baik. Dan kita akan belajar sama-sama," tutur Sheilla. Senyum manis Sheill
Bukan hanya tamu undangan, banyak pula wartawan yang sedang melakukan wawancara. Hal itu lah yang membuat Sheilla menghentikan langkah. Ada rasa ingin mundur lalu pulang, tapi sepertinya tidak mungkin."Apa kita harus melewati kerumunan itu? Tidak ada akses jalan lain?" tanya Sheilla tanpa menoleh ke arah Mathew. Sejak dulu Sheilla memang anti bertemu wartawan, bahkan saat dia harus berpura-pura bahagia bersama kedua orang tuanya.Pertanyaan yang tak kunjung mendapat jawaban membuat Sheilla menoleh. Tatapan keduanya beradu, belum Sheilla buka suara, Mathew sudah lebih dulu menggeleng. Merasakan tubuh Sheilla memberontak, Mathew semakin mengeratkan pelukannya."Tenanglah, mereka tidak akan memakanmu. Lagipula sangat wajar di sini banyak wartawan, mereka ingin meliput. Tidak akan ada yang mengusikmu, sekalipun ada mereka yang akan berurusan denganku."Perkataan yang tidak bisa dibantah.Saking takut dan gugup, Sheilla tanpa sadar meremas ujung jas yang Mathew kenakan. Sheilla juga baru
Sudah berusaha semaksimal mungkin agar tidak ketinggalan, tetapi tetap saja tertinggal. Langkah Sheilla terhenti, kakinya menghentak karena kesal. Tidak perduli akan mendapat tatapan aneh, sekali kesal selamanya akan tetap kesal! Kesal bukan sembarang kesal, pasalnya kini Sheilla kehilangan jejak Mathew. Tadi pria itu masih tegur sapa dengan tamu lain, tetapi sekarang sudah hilang.Sheilla menoleh ke kanan dan kiri. Andai bisa memilih, ingin rasanya dia pulang detik ini juga. Perutnya sudah kenyang makan kue, mata pun mengantuk."Tuan Alexander, kenapa anda terlihat menjaga jarak dengan putri dan menantu anda? Kami melihat tidak ada tegur sapa.""Apa hubungan kalian baik-baik saja, Tuan?"Suara ramai di belakang membuat Sheilla menoleh. Tidak jauh dari tempatnya berdiri ada sang Ayah tengah dikerumuni para wartawan. Dalam hati Sheilla mengutuk mereka semua. Apa tidal bisa mereka semua diam atau pulang? Walaupun Sheilla penasaran dengan jawaban Ayahnya, tetapi dia berusaha menutupi dir
"Apakah plat nomernya sama dengan yang saya kirim?""Tidak, Tuan."Mathew mengangguk. Kejadian memang kemarin, tapi baru hari ini Mathew mencari tahu. Sebetulnya sudah lebih dulu mengintrogasi sang istri, tapi tidak ada jawaban serius. Maka dari itu, bertanya pada Steven dan George pilihan tepat. Awalnya Mathew menerka serta menebak kalau cerita hampir terserempetnya Sheilla karena ulah orang-orang Xaview atau bahkan Maurena.Akan tetapi, jawaban Steven seperti mematahkan dugaan Mathew. Walaupun begitu, bukankah bisa saja mereka pakai kendaraan lain supaya aksinya lebih mulus?"Kalian hanya menjaga satu wanita, apa tidak bisa mengawal dengan sempurna? Beda hal jika aku meminta kalian mengawal lima atau sepuluh orang. Satu saja kalian keteteran, tidak sanggup?" Mathew menatap dua pria di depannya secara bergantian. Keduanya memang sudah mengaku salah serta meminta maaf, tapi tetap saja bagi Mathew mereka seperti menyepelekan."Baik, Tuan, setelah ini saya pastikan jika nona Sheilla aka