Tuhan, tolong maafkan saya T.T. Terasa sangat berdosa menulis seperti ini. Padahal di awal saya juga sudah menulis adegan yang serupa.
Memang keberuntungan untuk Marley. Dirinya tidak pernah merasa sangat beruntung seperti saat ini. Yaitu ketika istri dari kekasihnya, Diana, memergoki mereka yang bertubuh polos saling menindih di sofa apartemen miliknya. Marley tahu, selama dua tahun Edwin tidak pernah menyentuh Diana. Dan ketika melihat keadaan mereka sekarang, Marley bisa dengan keras mendengar suara hati Diana yang hancur dan pecah. Hingga wanita itu hanya dapat terus membeku di tempat. Tidak berteriak ataupun menjambak Marley seperti dua tahun lalu.Marley tersenyum. Keberhasilannya sudah hampir ia capai. Dan ketika mendengar Diana mengatakan, "Aku ingin kita cerai. Apapun yang kamu katakan tidak akan mampu mengubah keputusanku. Terima kasih 4 tahun ini." Marley menang. Istri dari kekasihnya itu segera berlari pergi. Edwin hendak mengejarnya. Namun Marley yang hanya memakai kemeja saja itu dengan cepat menangkap tangannya. "Tidak! Jangan kejar dia!" tahan Marley. Edwin menatap ke arahnya. Wajahnya menampilk
Dalam satu dobrakan saja, pintu di depan Edwin terbuka. Tanpa peduli dengan rasa sakit di bahunya, Edwin segera mengangkat tinju dan memukul lelaki yang telah melecehkan istrinya. "Beraninya kamu menyentuh milikku!" Tubuh Zerkin yang tidak siap menerima itu segera terjatuh ke lantai. Rasa nyeri segera menyerang rahangnya. Seketika rasa anyir memenuhi mulut.Zerkin dengan segera menatap siapa orang yang telah memukulnya. Mata mereka beradu dengan penuh kemarahan. Mata Edwin kemudian melirik pada Diana yang setengah sadar. Tubuh atasnya polos, dan lehernya penuh dengan bekas kemerahan. Melihat itu, Edwin mengambil vas bunga yang berada di samping meja dekat pintu, kemudian tanpa ragu melemparkannya ke arah Zerkin. Bunyi kaca pecah segera memenuhi kamar itu. Prang! Zerkin berguling ke kiri. Kemudian dirinya segera berdiri dengan memegangi rahangnya yang sedikit kebas. Mulut Zerkin meludahkan air liur yang berisi darah. Dia sedikit menekan rahangnya agar rasa kebas dan sakit sedikit
Oliver sudah bersiap untuk pergi tidur. Badannya sangat lelah karena tidak segera beristirahat setelah penerbangan panjang Belanda-Indonesia. Maka dari itu, walau waktu baru menunjukan pukul delapan, dirinya telah membersihkan diri dan berbaring nyaman di kasur. Lampu utama telah dimatikan dan diganti dengan lampu tidur yang memberi cahaya remang-remang. Tidak perlu waktu lama, mata Oliver yang tinggal satu watt sudah tertutup. Baru tidur lima menit, ponsel Oliver berbunyi. Membuat Oliver yang baru saja akan jatuh ke alam mimpi terbangun. Oliver tidak memperdulikan ponselnya yang terus saja berbunyi. Dirinya lebih memilih untuk menutup matanya kembali. Tapi sialnya, orang yang menelfon dirinya tidak menyerah begitu saja. Hingga ponsel Oliver terus menerus berbunyi. Membuat Oiver kesal karena tidak bisa tidur. Oliver segera menyambar ponsel miliknya. Dan decakan sebal segera keluar ketika melihat bahwa Zerkin yang menganggu dirinya. "Apa?!" tanya Oliver setelah memutuskan mengangkat
Diana tidak dapat memproses hal yang telah terjadi dengannya. Dirinya terkejut setengah mati melihat siapa yang berada di sampingnya. Suaminya, yang tidak pernah menyentuh Diana selama dua tahun dan selalu memunggungi Diana ketika tidur, kini berada di sampingnya dalam keadaan telanjang.Ada apa sebenarnya? Diana tidak mengerti dengan ini semua. Apakah dirinya baru saja 'tidur' dengan Edwin? Apakah semua itu bukan imajinasinya? Hati Diana berdebar kencang. Apakah dia harus senang dengan ini? Namun bagaimana Diana bisa senang jika dirinya sudah sangat yakin ingin menceraikan Edwin? Tidak bisa. Diana harus segera pergi dari sini. Maka dari itu Diana segera memegang erat selimutnya, kemudian hendak pergi dari kasur dan ke kamar mandi. Namun saat akan melangkah, bagian bawah Diana sangat sakit hingga Diana terjatuh. "Akh!" Diana tidak bisa menahan jeritannya. Suara Diana membuat Edwan membuka matanya. Melihat Diana yang merintih dan terduduk di lantai membuat dirinya dengan segera m
Sarah panik setengah mati ketika menerima telfon dari Diana dan mengatakan dirinya di rumah sakit. Sarah kira wanita itu kecelakaan. Atau apapun hal menyeramkan lainnya. Hingga membuat Sarah yang sedang dalam perjalanan menuju perusahaan miliknya memilih segera membanting stir ke arah rumah sakit yang dimaksud Diana. "Diana!" Sarah berteriak ketika melihat wanita itu terduduk di depan UGD. Hingga saat Sarah baru saja masuk lewat pintu utama, dirinya segera menemukan Diana. Diana segera menoleh ke arah Sarah. Wanita itu berpakaian acak-acakan serta terdapat bercak darah di kemeja yang dirinya pakai. "Diana, kamu baik-baik saja?!" tanya Sarah khawatir. Diana berdiri dari duduknya. Kemudian menghampiri Sarah dan memeluk wanita itu erat. Diana tidak kuat menahan tangisannya. Sarah yang awalnya ingin bertanya tentang apa yang terjadi mengurungkan niatnya dan mengajak Diana duduk dengan dirinya yang mengelus punggung Diana lembut. "Sa-sarah ...," suara Diana bergetar ketika memanggilny
"Aku akan beli makan dahulu," pamit Sarah kepada Diana. Diana hanya mengangguk sembari terus terduduk di samping ranjang Edwin. Menemani suaminya yang masih belum sadar setelah melakukan operasi. Diana sedikit bernafas lega ketika mengetahui bahwa pisau itu tidak mengenai bagian yang fatal. Sekarang dia sendirian di ruangan tempat di mana Edwin dirawat. Terdiam dan menatap wajah Edwin yang tertidur tenang. Dirinya sangat khawatir hingga hampir saja lupa untuk memberitahu kantor mereka bahwa mereka tidak berangkat. Untung saja Sarah sudah mengatasi segalanya. Sekarang Diana hanya perlu menunggu hingga Edwin sadar.Mengamati wajah Edwin membuat Diana bernostalgia tentang masa kuliah. Empat tahun mereka bersama. Kemudian berakhir dengan Edwin yang melamar Diana. Tidak Diana sadari, bahwa itu sudah bertahun-tahun lalu. Dan Diana juga tidak menyangka, bahwa pernikahan mereka tidak seindah yang Diana bayangkan. "Diana." Diana yang melamun tersentak mendengar namanya di panggil. Segera d
"AKHHH SIAL!" Marley berteriak sekuat tenaga sembari melempar ponselnya. Berulang kali dirinya menghubungi Edwin namun tidak pernah ada balasan. Hingga kemudian nomor Edwin tidak dapat dihubungi lagi. Apakah Edwin memblokirnya?! Marley menatap bayangan dirinya yang berada di cermin. Kemudian tangan Marley menyentuh lehernya sendiri. Sial, bekas tangan Edwin masih tercetak sangat jelas. Marley sampai mengambil cuti karena dirinya bingung dengan apa harus menutupi ini. Lagipula, mentalnya juga sedikit terguncang. Kaki Marley berjalan menjauh dari cermin kemudian menghampiri ponsel yang tadi dirinya banting. Dengan sebal ia duduk di kasur miliknya. Kemudian mencari nomor Via. >> Bilang ke Mas Edwin aku mencarinya. Tidak lama dari itu, ponselnya berdering. Dan segera Marley membuka pesan yang dirinya dapatkan dari Via. >> Maaf Marley. Mr. Edwin tidak berangkat. Marley mengerutkan kening bingung. >> Hah, kenapa?! Via membalas dengan cepat. >> Tidak tahu. Aku kira kau berbohong me
Hari senin telah tiba. Sudah tiga hari Marley berusaha menghubungi Edwin. Dari jum'at, sabtu, dan minggu. Namun tidak pernah sekalipun panggilannya terjawab. Dan ketika Marley ke apartemen Edwin, masih tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Diana dan Edwin seperti hilang. Marley hanya mengambil cuti satu hari saja. Maka dari itu, sekarang dirinya sudah mulai bekerja. Sepanjang perjalanan menuju devisi, masih terdengar bisikan yang membuat kepala Marley terasa panas. Sebelum menuju meja miliknya, Marley membelokkan langkah menuju ruang kerja milik Edwin. Namun saat sampai, pintu masih tertutup. Membuat Marley berdecak sebal. Apakah Edwin masih mengambil cuti? "Nyari Mr. Edwin, Ley?" Suara seseorang membuat Marley menoleh. Kemudian dirinya menemukan Andrew. HRD itu tampak lesu dengan segepok dokumen yang berada di kedua tangannya. Marley meringgis melihat tampilannya. Tampak lusuh sekali, batin Marley "Iyaa," balas Marley. Matanya masih menatap dari atas sampai bawah tubuh Andre
Jika kalian pikir dengan semua ancaman Edwin, Marley akan menyerah, kalian semua salah. Setelah dicekik, hampir tertabrak mobil, dan semua kata penuh nada amarah yang telah Edwin lontarkan, Marley masih tetap berani. Jika bertanya apa alasannya, Marley akan dengan keras mengucapkan bahwa dia mencintai Edwin. Dia tidak rela jika Edwin tiba-tiba lepas darinya tanpa alasan yang jelas. Dan Marley tetap yakin bahwa ... bahwa Edwin akan kembali kepadanya. Pasti. "Minumnya, Nona?" Suara seseorang membuyarkan lamunan Marley. Marley segera mengalihkan pandangan yang tadinya terfokus pada Edwin ke seseorang yang berpakaian seperti pelayan. Memegang nampan berisi berbagai alkohol yang ia bawa berkeliling dan ditawarkan pada semua tamu. Marley mengambil satu gelas tanpa mengatakan apapun. Kemudian kembali memandang Edwin sembari meminum minuman itu. Malam ini adalah malam kedua mereka di Bali. Dan saat ini, Marley serta Edwin sedang menghadiri pesta perayaan atas suksesnya pembangunan resort
Sekarang sudah waktunya pulang bekerja. Dan Kalyani benar-benar merasa takjub, kagum, dan tidak percaya dengan apa yang dirinya alami. Karena, semua orang divisi keuangan benar-benar diam membisu! Dari awal Kalyani kembali dari restoran itu, hingga pulang bekerja, mereka benar-benar diam tidak berbicara. Dan sekarang pun, saat membereskan meja dan barang-barang yang akan mereka bawa pulang, situasi masih sama. Merasa terlalu pusing memikirkan hal aneh itu, Kalyani segera membereskan barang-barang miliknya. Sesudah selesai, dirinya segera berjalan ke arah meja Diaa. "Kak Diana ngerasa aneh nggak si?" tanya Kalyani ketika sampai di samping Diana. Menunggu wanita itu membereskan barang-barangnya. Diana menghentikan kegiatannya dan memandang Kalyani bingung. "Aneh kenapa?" "Aku merasa, bukankah divisi kita terlalu sepi, 'Kak? Mereka benar-benar diam dan tidak menggosip seperti biasanya." Kalyani menerangkan pada Diana yang tampak tidak peka dengan keadaan sekitar. Mendengar itu, Dian
Kalyani merasa makanan yang baru saja masuk di perutnya adalah makanan paling enak. Bumbunya begitu terasa pas dan daging itu begitu lembut ketika menyentuh lidah Kalyani. Kalyani akan menambahkan restoran tersebut sebagai restoran favoritnya. Kalyani dan Diana sekarang sedang berjalan kembali ke divisi mereka. Dan seperti hari-hari biasa, karena kalyani berjalan bersama Diana, maka dari itu gosip tidak pernah lepas saat mereka melewati pegawai lain. Namun kali ini Kalyani bisa merasakan tatapa mereka yang menyimpan rasa tidak suka pada Diana. Bahkan mereka dengan terang-terangan melirik sinis Diana. Kalyani dengan segera menggandeng tangan Diana. Membuat Diana menoleh ke arahnya. Dan Kalyani memberikan senyum lebar. Seakan mengisyaratkan, "Aku ada di sini, Kak. Kakak tenang saja." Akhirnya setelah perjalanan horor penuh mata sinis, mereka sampai juga di divisi keuangan. Namun berbeda dengan divisi lain, divisi mereka justru sangat ... sunyi. Diana sepertinya tidak menyadarinya.
Kalyani dan Diana akhirnya sampai pada restoran yang Kalyani katakan menjual kelinci bakar dengan rasa sedap. Segera setelah mereka memesan, mereka memilih tempat duduk di pinggir jendela. Hingga dapat melihat pemandangan padatnya ibu kota dengan orang yang berlalu-lalang. "Maafkan aku karena melibatkanmu, Kalyani." Diana merasa bersalah ketika wanita itu selalu terseret dalam masalahnya. Namun Kalyani sepertinya tidak masalah. Dia justru tersenyum lebar ke arah Diana. "Tidak masalah, Kak. Aku senang bisa membantumu. Karena kau tahu, aku tidak memiliki teman selain Kak Aria." Walau Kalyani mengatakan itu, tetap saja Diana merasa tidak enak. Andai Zerkin sudah tidak mengejarnya lagi. Andai Diana bisa hidup tenang selama ia bekerja. Diana hanya menginginkan itu. Sekarang, Edwin sudah berubah. Rasanya Diana sangat senang. Namun ketika masalah satu selesai, masalah lain justru datang. Suara dering ponsel milik Diana terdengar. Menandakan adanya pesan masuk. Segera Diana mengambil ben
"Terima kasih atas kerjasamanya, Mr. Edwin dan Mrs. Marley. Saya pamit undur diri." Klien yang baru saja Edwan dan Marley temui, Mr. Adipta memberikan ulasan senyum pada keduanya. "Terima kasih juga, Mr. Adipta." Edwan membalas kembali senyum untuk menghormati Mr Adipta. Marley yang berada di sampingnya juga memberikan hal yang sama. Mengulas senyum sopan walau di dalam hatinya masih mengingat momen di mana ia hampir saja terlindas oleh mobil. Mr. Adipta memandang mereka berdua. Kemudian memberikan pertanyaan yang membuat Marley menyunggingkan senyum lebar. "Apakah kalian sepasang kekasih?" tanyanya. Namun segera, Edwan bersuara dengan suara yang tidak suka. "Saya sudah memiliki Istri, Sir. Dan dia bukan orang yang berada di sebelah saya." Mr. Adipta segera merasa tidak enak ketika melihat senyum lawan bicaranya sudah hilang. Segera dirinya meminta maaf. "Ah, maafkan aku, Mr. Edwin." Edwan berusaha memaksakan senyum. Teringat bahwa orang di depannya adalah klien penting. "Tidak m
Maya dan ketiga teman divisinya segera berlari terbirit-birit dari ruangan horor itu. Terlebih setelah di bentak oleh Zerkin, orang yang notabenya jarang menaikkan volume. CEO mereka itu lebih banyak berkata datar. Saat keluar, segera mereka berempat menjadi pusat perhatian. Karena entah sejak kapan, devisi di depan ruangan Oliver manjadi sangat banyak orang. Maya dapat melihat Rebecca yang melakukan copy data di printer pojok. Padahal ruangan dia ada printer tersendiri. Kemudian ada 2 orang OB. Yang satu menyapu hingga lantai sangat mengkilap. Satunya menggosok jendela yang tidak kotor. Banyak juga karyawan yang membereskan dokumen padahal dokumen itu sudah sangat rapi hingga warnanya pun di samakan. Astaga, tidak bisakah mereka lebih pintar berakting? Maya segera melihat kumpulan wanita yang berpura-pura mendiskusikan pekerjaan melambai kepadanya. Menyuruhnya mendekat. Karena tahu mereka pasti penasaran. Maya yang selalu senang menggosip dengan segera mendekati mereka. Diikuti deng
Mimpi indah Rebecca seketika sirna ketika mendengar pintu yang di banting dengan keras. Dirinya sampai terjatuh dari kursi karena terlalu kaget. Mimpi indahnya pun buyar. Padahal dia sedikit lagi akan melakukan malam pertama dengan Oliver setelah dipilih Oliver menjadi permasuirinya. Dengan tertatih-tatih Rebecca berdiri dari jatuhnya. Wanita itu memandang punggung mantan ( sekarang masih tapi Rebecca tahu tidak ada harapan) CEO idamannya yang mulai menjauh. Walau dari belakang, Rebecca bisa melihat semarah apa atasannya itu. Dengan susah payah Rebecca melelan air liur. 'Ada apa dengan CEO tampan itu?! Mengapa dia seperti hendak membunuh orang?!' *** Mata Zerkin menggelap. Tangannya terkepal erat dengan seluruh amarah yang tertahan. Kakinya dengan langkah cepat menuju orang yang membuat pikirannya terasa panas, terasa tidak terima, dan terasa dendam. Mengapa Oliver bisa mengenal Diana? Apakah lelaki itu juga mengincar Diana? Apakah dia ... ingin merebut miliknya? Zerkin mengaba
Kalyani menggeram marah ketika semua teman satu divisi miliknya membicarakan Diana dengan buruk. Namun walau rasanya ingin menarik lidah mereka semua, Kalyani mengurungkan niat itu. Dirinya bisa-bisa dikeroyok. Jadi Kalyani hanya bisa menahan amarah serta mendoakan mereka semua terkena sariawan di lidah. Biar mampus dan tidak gosip lagi! Hal yang menjadi topik gosip mereka akhirnya datang. Mata Kalyani seketika menatap Diana sama seperti mereka semua. Anehnya, ketika devisi lain saat ada Diana tetap membicarakan dia dengan suara besar dan keras, devisi mereka mulai diam. Kemudian melakukan kegiatan masing-masing. Kalyani sampai ternganga melihat mereka.Kalyani segera menghampiri Diana. Terlebih, melihat penampilan Diana yang menurut Kalyani aneh. "Kak Diana, ada apa dengan pakaian kakak?" tanyanya setelah sampai di hadapan Diana.Diana menaruh tas kerja miliknya dan kemudian duduk di kursi. "Bajuku basah. Dan jadi menerawang."Kalyani memandang jas yang menutupi tubuh Diana. Kalyani
Diana tidak tuli. Dirinya mendengar semua hal buruk yang mereka katakan. Namun apa yang harus Diana lakukan? Dia tidak bisa melakukan apapun. Karena memang nyatanya, seperti yang mereka gosipkan.Diana memang menerima cincin dari Zerkin. Itu kebenarannya. Bahkan cincin itu masih bersarang indah di jari manis miliknya. Tanpa suaminya tahu.Namun mereka tidak mengerti alasan mengapa Diana menerima cincin itu. Yang mereka katakan memang benar, Diana berangkat bersama Zerkin Nicasion di saat Diana sudah bersuami.Namun mereka tidak mengerti alasan Diana melakukan itu.Tapi Diana tidak bisa menjelaskan kepada mereka. Apapun yang keluar dari mulut Diana hanya seperti pembelaan saja. Mereka tuli.Jadi daripada Diana berbusa menjelaskan hal yang mereka tidak percayai. Diana memilih diam. Menunggu sampai mereka bosan dan melupakan tentang hal mengenai kehidupan Diana.Diana terus menunduk sepanjang jalan menuju divisi miliknya. Namun karena itu, dirinya tidak sengaja menabrak seseorang. Membu