Sore sudah mulai menyapa, suasana pasar juga mulai sepi. Ini artinya, sudah waktunya Sinta untuk menutup toko dan pulang. Sungguh di sayangkan, satu pegawainya yang bernama Siti mengambil cuti menjelang persalinan.
Empat pegawai saja dia masih kualahan, lalu apa jadinya kalau cuma tiga, sedangkan mencari pegawai baru dalam waktu dekat itu tidak mudah. Selain pekerjaan yang semakin bertambah, resiko kehilangan pun sama, meskipun di tokonya sudah di lengkapi CCTV di setiap sudut, tapi itu tidak menyurutkan niat pelaku kejahatan.
Sejenak, Sinta teringat sesuatu. Oh, iya, Rama 'kan kemarin sempat nanya lowongan, kali aja ada temannya yang butuh pekerjaan. Batin Sinta.
"Rena!" Sinta memanggil salah satu pegawainya yang sedang memasukan emas kedalam brangkas. "Sini sebentar."
Rena mengangguk kemudian meninggalkan pekerjaan dan menghampiri bosnya yaitu Sinta. "Kenapa, Mbak?"
"Kalau kamu nanti ketemu Mas Rama, tolong bilangin ke dia, besok suruh ke toko, Mbak lagi butuh pegawai baru."
"Tapi Mas Rama udah pulang, Mbak. Tadi siang."
"Tau dari mana kamu?" tanya Sinta.
Rena tersenyum malu-malu. "Aku 'kan fansnya Mas Rama, Mbak. Jadi pasti tau lah semua tentang Mas Rama."
Sinta geleng-geleng kepala. "Gak bener mata kamu, Ren. Ngefans kok sama cowok kayak gitu."
Rena masih tersipu membayangkan wajah Rama yang sedang tersenyum persis seperti artis Thailand favoritnya. Iya, Rama memang memiliki kadar ketampanan yang sangat tinggi, bahkan Sinta pun tidak bisa membohongi dirinya, kalau Rama memang tampan sejak kecil, tapi kebenciannya lebih mendominasi dari pada kekagumannya.
"Ya udah, kamu lanjut aja, nanti Mbak cari Rama sendiri."
"Oke, Mbak." Rena mengacungkan jempol dan melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda.
Sedangkan Sinta, melanjutkan tugasnya untuk menghitung pemasukan dan pengeluaran hari ini, kemudian menutup toko dan ingin segera pergi menuju ke rumah orangtuanya.
"Sinta!"
Sinta menoleh saat seseorang meneriakkan namanya. "Kamu manggil aku?" tanya Sinta, ternyata itu Dio.
Dio mempercepat langkahnya mendekati Sinta. "Iyalah kamu, siapa lagi nama Sinta disini."
"Oh, ada apa?" tanya Sinta datar.
Dio menyandarkan tubuhnya di mobil Sinta. "Kamu berantem lagi sama Rama?" tanyanya kemudian.
Sinta menggeleng cepat. "Eh, enggak kok, emang kenapa?"
"Gak apa-apa sih, cuma tadi dia itu minum banyak loh, aku pikir kalian berantem," kata Dio, sebenarnya bukan itu tujuannya, dia hanya ingin tau apakah Sinta akan peduli atau tidak.
"Udah gitu aja?" tanya Sinta acuh. "Terus apa hubungannya sama aku? itu 'kan hak dia, mau minum sebanyak apapun terserah."
"Ya gak ada sih, cuma tanya aja, siapa tau kalian lagi ada masalah gitu." Sepertinya Dio salah mengatakan itu, Sinta bahkan tidak menunjukkan kekhawatiran sama sekali.
"Ya udah lah, aku mau balik duluan. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, Hati-hati ya Sinta!"
Sinta menganguk kemudian masuk kedalam mobilnya. Malam ini dia mungkin akan menginap di rumah orangtuanya untuk menolak rencana pernikahan yang kemarin sempat di bahas, juga karena jarak rumahnya yang cukup jauh. Jadi dia memutuskan untuk menginap saja.
Mobil Sinta membela lalu lintas kota malang yang tidak terlalu ramai sore ini, beberapa lampu-lampu jalan sudah mulai menyala, menambah keindahan kota dingin tersebut, hingga membawa mobil Sinta memasuki sebuah perumahan cluster yang ada di tengah-tengah kota malang.
Sinta memicingkan mata saat melihat sosok Rama sedang sibuk mencabut rumput yang tumbuh bebas di depan pagar rumah.
"Pasti di hukum nenek." Sinta terkikik geli saat memori masa kecil terlintas sekilas di pikirannya. Nenek akan menghukum Rama dengan mencabut rumput jika cowok itu tidak nurut atau pun nakal.
Sinta memarkirkan mobilnya di depan pagar, kemudian membuka kaca mobil dan menyerukan kepalanya dari sana dan berteriak.
"Woy, Rama! tolong dong!" teriak Sinta nyaring, masuk ke dalam indra pendengaran Rama.
Rama melirik sekilas, kemudian kembali menunduk tanpa menghiraukan Sinta. Kalau saja yang meminta tolong adalah wanita lain, pasti Rama akan langsung membantu. Tapi itu tidak berlaku untuk Sinta.
"Woy! punya telinga gak?" teriak Sinta lagi, kali ini di barengi dengen suara klakson. "Aku minta tolong, bukain pagar." Sinta mengiba.
Rama berdecak dan terpancing untuk bangkit. "Punya tangan? punya kaki? masih lengkap semua 'kan? kenapa masih nyuruh orang?" balasnya dengan ketus.
"Siapa yang nyuruh? aku minta tolong loh, sekali ini aja," Sinta memohon lagi.
"Mana ada sekali, tiap kesini juga selalu nyuruh orang buat bukain pagar, dasar ngerepotin." Tapi meskipun begitu Rama tetap bergerak untuk membukakan pintu pagar untuk Sinta.
"Terima kasih, Mas Rama," ucap Sinta saat mobilnya melewati pagar, sekarang Rama sudah persis seperti kacungnya.
"Ini yang terakhir, titik! gak sudi ya aku di suruh-suruh gini lagi." Dan untuk kesekian kalinya juga, Rama mengatakan itu, tapi masih tetap mau membantu Sinta.
"Iya terakhir untuk hari ini, tapi gak tau besok dan seterusnya." Ejek Sinta setelah turun dari mobil.
"Dasar lampir!" umpat Rama.
"Kamu bilang apa?" Tanya Sinta, matanya melotot hampir keluar dari tempatnya.
"Lampir! Masih kurang jelas? Lampir!!!" teriak Rama dengan puas, kemudian pergi begitu saja.
Sinta yang kesal, lantas menghendak-hentakan kakinya beberapakali untuk melampiaskan amarahnya. Dan berjalan masuk ke dalam rumah, pikirannya tidak bisa fokus, akibat kesal juga memikirkan alasan yang tepat untuk menolak pernikahan.
"Assalamualaikum, Abi, Ummi." Sinta menghampiri abi dan umminya yang sedang duduk santai di ruang tengah.
"Waalaikumsalam," jawab keduanya kompak. "Ummi kira kamu gak jadi kesini, Nak."
Sinta mencium tangan Abi dan Umminya berganti, kemudian duduk di sofa terpisah dan mengambil toples berisi kripik singkong favoritnya.
"Jadi dong, Mi. Sinta juga mau main kerumah Nenek, kangen banget, udah lama gak kerumah Nenek."
"Nanti nenek bakalan main kesini kok, jadi kamu gak perlu kerumahnya," kata Ummi.
"Oh ya? Tumben banget, Mi. Ada acara apa?" tanya Sinta dengan mulut penuh.
"Ada deh, kamu sekarang mandi dulu sana, terus sholat Magrib."
Sinta menganguk. "Oke, Mi." Kemudian beranjak menuju kamarnya sambil membawa toples tersebut.
Meskipun mulutnya mengatakan 'iya', tapi pikirannya masih berkecamuk memikirkan, kenapa neneknya Rama berkunjung kerumahnya? padahal sebelumnya tidak pernah, meskipun rumahnya bersebelahan. Tapi apapun itu, tidak membuat kebahagiaan Sinta luntur.
BERSAMBUNG.....
Kira-kira, Kenapa ya, neneknya Rama kok mau kerumahnya Sinta? Yang udah baca part 2, pasti udh tau jawabannya, tapi. Apakah Sinta mau di jodohkan dengan Rama?
Tapi kenapa ya mereka kok sampe jadi musuh? Musuh bebuyutan lagi?
Btw, jangan lupa tinggalkan like dan komen di setiap bab ya, setiap like dan komen dari kalian, itu sangat berharga dan membuat semangat menulis semakin besar. I love you all.
Sinta sedang duduk di depan meja rias, memoles wajahnya dengan make up tipis setelah melakukan sholat Magrib. Tadi umminya sempat memberikan gamis baru berwarna biru muda, entah untuk apa itu, tapi gamisnya sangat indah dan Sinta suka, makanya malam ini dia mengenakan itu."Sinta!" panggil ummi sambil mengetuk pintu."Iya, Ummi. Masuk aja."Pintu terbuka dan menampakkan sosok wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu sudah rapi dengan gamis berwarna hijau botol senada dengan jilbabnya."Ayo cepetan, nenek udah datang tuh!" ajak ummi."Wah Ummi serius?" Sinta langsung bangkit dari duduknya. "Kalau gitu Sinta keluar dulu deh." Kemudian keluar dari kamarnya.Begitulah Sinta, dia sangat antusias dengan apapun yang berhubungan dengan neneknya Rama, meskipun bukan neneknya tapi ikatan Sinta dan nenek lebih erat dari pada seorang cucu.&nbs
Hari ini, Sinta benar-benar merasa kualahan di tokonya, pegawainya hanya tersisa tiga orang, sedangkan hari ini pembeli sangat membeludak tiga kali lipat dari biasanya, resiko barang hilang juga semakin besar kalau seperti ini.Dan pada akhirnya, Sinta mengambil keputusan untuk menanyakan tentang pegawai yang sempat Rama tawarkan kemarin."Rena, tolong kamu cari Mas Rama, bilangin, suruh kemari. Penting!" perintahnya kepada gadis remaja berjilbab hitam.Rena segera pergi, mencari keberadaan Rama, dan kembali ke toko, dengan seorang pria yang berjalan mengekor di belakangnya.Rama yang tadi sedang merokok, langsung membuang rokoknya, sebelum masuk ke dalam toko Sinta."Sepenting apa urusanmu, sampek manggil aku?" tanya Rama, yang sekarang sudah menyandarkan tubuhnya di pinggiran meja."Aku butuh satu pegawai, tawaran mu yang kemarin, masih berlaku nggak?
Sinta menarik nafas pelan. Sebuah senyum yang tadinya muncul saat ia mendapat sebuah undangan pernikahan dari sahabatnya perlahan sirna, setelah ia mengetahui siapa mempelai prianya. Perasaan haru dan bahagia, berubah menjadi iri dan dengki. Tangannya terkepal erat saat membayangkan Khansa duduk bahagia di pelaminan, hatinya perih bahkan sekedar untuk menelan ludahnya saja ia tidak mampu. Kenapa wanita itu menusuknya dari belakang? Ada apa ini, apa yang sudah terjadi selama ia tidak ada? Sinta meremas undangan yang ada di tangannya dan melempar ke lantai. Banyak pertanyaan berkecamuk di kepalanya. Tentang, siapa yang berkhianat disini? Apakah Khansa atau Azzam? Dia sendiri tidak yakin kalau pria sebaik itu bisa berkhianat, tapi jika di ingat-ingat hubungannya dengan Azzan tidak di ketahui siapapun, kecuali mereka berdua. Tok! Tok! Tok! Sinta menarik diri dari dalam pikirannya, saat pintu di ketuk dari luar. Tanpa ingin membuat sang tamu menunggu, Sinta segera membuka pintu. Bayan
Rama menenggak bir yang ada di tangannya, menemui Sinta barusan adalah keputusan yang konyol, ini memang salahnya! kenapa juga dia nekat menemui lampir seperti Sinta."Woy! minum gak ajak-ajak kau setan." Dio yang baru datang langsung mengambil alih bir yang ada di tangan Rama."Buset! Kesurupan apa kau, sebotol di habisin sendiri," protes Dio saat tau botol itu sudah kosong."Sialan si lampir itu!" gerutu Rama tanpa menghiraukan Dio."Kenapa sih? berantem lagi sama Sinta?" tanya Dio kemudian duduk di samping Rama."Lagi? emang kapan aku gak berantem sama dia!" jawab Rama kesal."Heran aku sama kalian, nenek bilang kau sama dia itu sahabat dari kecil, tapi kenapa berantem mulu?"Rama melirik Dio sekilas, pembahasan tentang Sinta adalah hal yang paling dia hindari. Kemudian memilih menyumat satu rokok dan di selipkan di antara bibirn
Hari ini, Sinta benar-benar merasa kualahan di tokonya, pegawainya hanya tersisa tiga orang, sedangkan hari ini pembeli sangat membeludak tiga kali lipat dari biasanya, resiko barang hilang juga semakin besar kalau seperti ini.Dan pada akhirnya, Sinta mengambil keputusan untuk menanyakan tentang pegawai yang sempat Rama tawarkan kemarin."Rena, tolong kamu cari Mas Rama, bilangin, suruh kemari. Penting!" perintahnya kepada gadis remaja berjilbab hitam.Rena segera pergi, mencari keberadaan Rama, dan kembali ke toko, dengan seorang pria yang berjalan mengekor di belakangnya.Rama yang tadi sedang merokok, langsung membuang rokoknya, sebelum masuk ke dalam toko Sinta."Sepenting apa urusanmu, sampek manggil aku?" tanya Rama, yang sekarang sudah menyandarkan tubuhnya di pinggiran meja."Aku butuh satu pegawai, tawaran mu yang kemarin, masih berlaku nggak?
Sinta sedang duduk di depan meja rias, memoles wajahnya dengan make up tipis setelah melakukan sholat Magrib. Tadi umminya sempat memberikan gamis baru berwarna biru muda, entah untuk apa itu, tapi gamisnya sangat indah dan Sinta suka, makanya malam ini dia mengenakan itu."Sinta!" panggil ummi sambil mengetuk pintu."Iya, Ummi. Masuk aja."Pintu terbuka dan menampakkan sosok wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu sudah rapi dengan gamis berwarna hijau botol senada dengan jilbabnya."Ayo cepetan, nenek udah datang tuh!" ajak ummi."Wah Ummi serius?" Sinta langsung bangkit dari duduknya. "Kalau gitu Sinta keluar dulu deh." Kemudian keluar dari kamarnya.Begitulah Sinta, dia sangat antusias dengan apapun yang berhubungan dengan neneknya Rama, meskipun bukan neneknya tapi ikatan Sinta dan nenek lebih erat dari pada seorang cucu.&nbs
Sore sudah mulai menyapa, suasana pasar juga mulai sepi. Ini artinya, sudah waktunya Sinta untuk menutup toko dan pulang. Sungguh di sayangkan, satu pegawainya yang bernama Siti mengambil cuti menjelang persalinan.Empat pegawai saja dia masih kualahan, lalu apa jadinya kalau cuma tiga, sedangkan mencari pegawai baru dalam waktu dekat itu tidak mudah. Selain pekerjaan yang semakin bertambah, resiko kehilangan pun sama, meskipun di tokonya sudah di lengkapi CCTV di setiap sudut, tapi itu tidak menyurutkan niat pelaku kejahatan.Sejenak, Sinta teringat sesuatu. Oh, iya, Rama 'kan kemarin sempat nanya lowongan, kali aja ada temannya yang butuh pekerjaan. Batin Sinta."Rena!" Sinta memanggil salah satu pegawainya yang sedang memasukan emas kedalam brangkas. "Sini sebentar."Rena mengangguk kemudian meninggalkan pekerjaan dan menghampiri bosnya yaitu Sinta. "Kenapa, Mbak?""Kala
Rama menenggak bir yang ada di tangannya, menemui Sinta barusan adalah keputusan yang konyol, ini memang salahnya! kenapa juga dia nekat menemui lampir seperti Sinta."Woy! minum gak ajak-ajak kau setan." Dio yang baru datang langsung mengambil alih bir yang ada di tangan Rama."Buset! Kesurupan apa kau, sebotol di habisin sendiri," protes Dio saat tau botol itu sudah kosong."Sialan si lampir itu!" gerutu Rama tanpa menghiraukan Dio."Kenapa sih? berantem lagi sama Sinta?" tanya Dio kemudian duduk di samping Rama."Lagi? emang kapan aku gak berantem sama dia!" jawab Rama kesal."Heran aku sama kalian, nenek bilang kau sama dia itu sahabat dari kecil, tapi kenapa berantem mulu?"Rama melirik Dio sekilas, pembahasan tentang Sinta adalah hal yang paling dia hindari. Kemudian memilih menyumat satu rokok dan di selipkan di antara bibirn
Sinta menarik nafas pelan. Sebuah senyum yang tadinya muncul saat ia mendapat sebuah undangan pernikahan dari sahabatnya perlahan sirna, setelah ia mengetahui siapa mempelai prianya. Perasaan haru dan bahagia, berubah menjadi iri dan dengki. Tangannya terkepal erat saat membayangkan Khansa duduk bahagia di pelaminan, hatinya perih bahkan sekedar untuk menelan ludahnya saja ia tidak mampu. Kenapa wanita itu menusuknya dari belakang? Ada apa ini, apa yang sudah terjadi selama ia tidak ada? Sinta meremas undangan yang ada di tangannya dan melempar ke lantai. Banyak pertanyaan berkecamuk di kepalanya. Tentang, siapa yang berkhianat disini? Apakah Khansa atau Azzam? Dia sendiri tidak yakin kalau pria sebaik itu bisa berkhianat, tapi jika di ingat-ingat hubungannya dengan Azzan tidak di ketahui siapapun, kecuali mereka berdua. Tok! Tok! Tok! Sinta menarik diri dari dalam pikirannya, saat pintu di ketuk dari luar. Tanpa ingin membuat sang tamu menunggu, Sinta segera membuka pintu. Bayan