Hari ini, Sinta benar-benar merasa kualahan di tokonya, pegawainya hanya tersisa tiga orang, sedangkan hari ini pembeli sangat membeludak tiga kali lipat dari biasanya, resiko barang hilang juga semakin besar kalau seperti ini.
Dan pada akhirnya, Sinta mengambil keputusan untuk menanyakan tentang pegawai yang sempat Rama tawarkan kemarin.
"Rena, tolong kamu cari Mas Rama, bilangin, suruh kemari. Penting!" perintahnya kepada gadis remaja berjilbab hitam.
Rena segera pergi, mencari keberadaan Rama, dan kembali ke toko, dengan seorang pria yang berjalan mengekor di belakangnya.
Rama yang tadi sedang merokok, langsung membuang rokoknya, sebelum masuk ke dalam toko Sinta.
"Sepenting apa urusanmu, sampek manggil aku?" tanya Rama, yang sekarang sudah menyandarkan tubuhnya di pinggiran meja.
"Aku butuh satu pegawai, tawaran mu yang kemarin, masih berlaku nggak?"
Rama langsung menegakkan tubuhnya. "Serius?" tanyanya antusias. "Kebetulan, pacarku lagi butuh kerjaan."
"Ya udah, suruh kesini aja, besok harus udah kerja."
Rama mengangguk, kemudian merogoh ponsel di saku celananya dan pergi meninggalkannya toko Sinta.
Tunggu! tadi Rama mengatakan, kalau pacarnya sedang membutuhkan pekerjaan? itu artinya, Rama sudah punya kekasih, tapi kenapa? pria itu mau menikah dengannya? Oh tapi sebentar. Sinta baru ingat, kalau bajingan seperti Rama, tidak pernah cukup dengan satu wanita.
Dan, begitulah mereka, saling acuh dan tidak pernah peduli satu sama lain, tentang pernikahan? apa yang kalian pikirkan tentang itu? apakah pernikahan indah seperti yang di harapkan para sepasang pengantin? jangan mimpi, karena itu tidak akan mungkin terjadi.
***********
Rumah petak yang berukuran 3x6 menjadi tempat berkumpulnya Rama dan teman-teman geng motornya malam ini. Dio termasuk salah satunya.
"Serius, Ram? Nenek mu bercanda kali!" Seru teman-temannya, setelah Rama menceritakan tentang perjodohannya dengan Sinta.
Rama mendengkus kesal. "Ku pikir juga gitu, tapi ternyata serius."
"Terus hubungan mu, sama Utami gimana, Ram?" tanya Dio.
Rama melirik wanita yang sedang dia rangkul. "Gimana, Yang? Apa kamu mau, kita putus aja?"
Nampak raut kekecewaan dari wanita itu, tapi dia menggeleng. "Aku gak papa kok, kalau kamu mau nikah sama cewek lain, tapi aku gak mau kita putus."
Jawaban Utami sukses membuat sudut bibir Rama tertarik ke atas. "Beneran, Yang?"
"Mana bisa gitu?" sela Dio.
"Kenapa gak bisa?" tanya Rama.
"Kau gila ya, Ram. Pernikahan itu bukan mainan, mending kalian putus aja!"
Rama tidak terpancing dengan ucapan Dio. "Kenapa jadi kau yang ribet? Aku yakin, Sinta gak akan masalah dengan ini, lagian pernikahan ini bukan keinginan kita."
"Tapi kalau Nenek sama orangtuanya Sinta tau, gimana?"
"Makanya, kau diam-diam aja, bego!" Rama yang kesal, lantas meninju lengan Dio.
"Memangnya kau nggak mikirin, gimana perasaan Sinta nanti?"
Rama menggeleng. "Enggak, bahkan gak peduli. Dia itu musuh ku dari kecil."
Dio menghela nafas, menebak-nebak apa penyebab mereka sampai musuhan seperti sekarang.
*************
Flashback on
Rama masih ingat betul, saat ia baru saja turun dari mobil travel, yang mengantarnya menuju kota Malang. Seorang wanita berumur lima puluh tahun, tersenyum semringah menyambut kedatangannya, tangan itu terbuka lebar, siap untuk membawa Rama kecil yang masih berumur tujuh tahun, ke dalam pelukannya.
Tapi ia mengurungkan niatnya, saat anak gadis kecil bergelayut manja di kaki neneknya. Siapa dia? Kenapa berani peluk-peluk nenek aku! Batin Rama.
"Nenek!" panggil Rama dengan riang, dia hanya mencium tangan neneknya, tanpa memeluk.
"Rama, hebat banget, ya? Berani naik travel sendiri kesini," puji Nenek, sebenernya ia tahu, bukan itu tujuan utama neneknya. Pujian itu hanya alibi agar ia tidak sedih.
"Ini yang namanya, Mas Rama, Nek?" tanya anak kecil itu.
"Iya, Sinta. Ini Rama, cucu nenek satu-satunya, yang paling ganteng."
"Hai, nama ku, Sinta." Anak kecil yang bernama Sinta itu mengulurkan tangan kepada Rama.
Rama diam, tidak menerima uluran tangan Sinta, demi apapun, Rama sangat kesal karena Sinta sangat manja kepada neneknya.
"Rama!" tegur Nenek, tentu saja karena Sinta merengek, sebab Rama melotot kepadanya.
"Namaku, Rama. Tapi aku gak punya sifat ramah, dan ini Nenek ku," Rama melingkarkan tangan di lengan neneknya. "Jadi jangan dekat-dekat sama nenek, aku gak mau, kalau nenek ku kamu ambil."
Dengan polosnya, Rama mengucapkan itu, dengan nada datar dan tanpa ekspresi, tapi sukses membuat bibir Sinta melengkung ke bawah, dan tangisnya pecah.
Anak laki-laki, yang memiliki mulut pedas itu tersenyum penuh kemenangan, saat Sinta berlari meninggalkan rumah neneknya dengan tangis kencang.
"Rama, gak boleh gitu, kasian Sinta, dia itu baik loh," tegur nenek dengan halus, beda sekali dengan orangtuanya yang selalu memaki.
Bukan tanpa alasan, Rama memiliki mulut pedasz itu karena contoh sehari-hari dari kedua orangtuanya.
"Rama gak suka, Nek. Kalau dia peluk-peluk Nenek kayak tadi!" Rama kecil langsung masuk dan menghempaskan tubuhnya di sofa.
Awal pertemuan yang tidak menyenangkan, anak perempuan manja dan juga cengeng itu tidak henti-hentinya menganggu Rama.
Kepindahannya di malang, tidak sepenuhnya menjadi kebahagiaan untuknya, Apalagi saat Rama tau, kalau mereka bersekolah di tempat yang sama, juga kelas yang sama. Benar-benar seperti sebuah kutukan!
Tidak ada hari tanpa Sinta, mulai dari pagi, siang hingga malam, anak manja itu selalu mengganggunya, lebih mengesalkan lagi, karena Sinta cengeng dan suka mengadu. Seperti ini contohnya.
"Nenek, kepala Barbie ku di lepas sama Rama, terus rambutnya di botakin." Sinta datang mengadu kepada nenek, dengan membawa bukti boneka Barbie, lengkap dengan bekas air mata yang menjadi senjata.
"Siapa suruh, dia ganggu aku terus. Masa anak cowok di ajakin main Barbie!" Rama langsung menyangkal.
"Terus kenapa kok sampai di botakin?" tanya nenek.
"Rama bilang, dia mau main, kalau bonekanya cowok, terus di botakin gini." Sinta menceritakan kejadian sebenarnya.
"Oh gitu." Nenek tersenyum jahil kepada Rama. "Jadi, sekarang Rama mau 'kan, main sama Sinta? Kan bonekanya udah di botakin?"
"Enggak mau!"
"Rama harus tanggung jawab dong, kan sekarang mainan Sinta rusak, jadi Rama ganti dengan cara main sama Sinta," bujuk Nenek.
"Enggak mau, Nek."
"Rama, laki-laki itu harus bertanggung jawab, jadi, sekarang Rama juga harus tanggung jawab."
Rama mendengkus kesal, tapi tetap menuruti perintah neneknya.
Dan ya, semua itu berlanjut sampai mereka menginjak bangku sekolah menengah pertama. Sinta kecil masih sama, tetap manja dan cengeng, terlebih lagi, sekarang dia menjadi bahas bullying di kelas.
Mau tidak mau, Rama juga yang harus melindungi Sinta, sampai mereka pada hari kelulusan sekolah, hubungan mereka membaik setelah beberapa tahun. Tentu itu membuat Sinta salah mengartikan sikap Rama kepadanya.
Memang benar, jika pertemanan antar wanita dan perempuan itu tidak akan benar-benar tulus, pasti salah satunya ada yang bermain perasaan. Dan Sinta yang lebih dulu memulai.
Dan saat mereka masih satu sekolah saat menginjak sekolah menengah pertama. Tapi kali ini kelasnya terpisah, itu adalah awal kebebasannya dari cinta, juga awal pergaulannya dengan teman-teman baru.
Wajah tampan yang menunjang popularitas di sekolah, membuat beberapa cewek luluh, bahkan cewek tercantik di sekolahnya waktu itu bisa dia dapatkan.
Di saat Sinta lebih fokus ke pendidikannya, saat itu juga, Rama malah terjun ke dalam pergaulan bebas. Tanpa Sinta ketahui, Ramanya kini bukan lagi yang dia kenal, si cowok usil dengan mulut pedas sudah berubah menjadi cowok brengsek juga mesum.
Semua itu Sinta ketahui langsung, saat kelulusan sekolah yang di rayakan di sebuah Villa yang ada di kota malang. Semua siswa-siswi sedang asyik menikmati acara. Tapi ada satu yang janggal, Sinta tidak melihat Rama.
Kemana cowok itu?
Sinta pergi meninggalkan temen-temen, dan pergi menyusuri ke dalam Villa untuk mencari Rama. Mulai dari ruang tengah, dapur, kolam renang dan balkon, tapi tidak ada.
Terakhir, dia memutuskan untuk mencari di kamar para cowok, tapi tidak ada juga. Sinta menyerah dan memutuskan untuk kembali bergabung ke dalam acara. Tapi sebelum itu, Sinta mampit ke kamar mandi untuk mencuci muka.
Langkahnya terhenti, saat akan membuka handle pintu, suara-suara dari dalam membuat bulu-bulu halusnya berdiri. Pikiran buruknya lebih mendominasi kali ini, tapi dia masih berusaha menyangkal dan memutuskan untuk menunggu orang di dalam keluar.
Satu menit, bahkan sampai setengah jam, tidak ada tanda-tanda orang di dalam sana akan keluar, suara-suara itu terus berdengung di telinganya. Dan saat dia memutuskan untuk mengetuk pintu, dua orang cowok cewek itu keluar dari dalam, dengan penampilan acak-acakan.
Sinta membungkam mulutnya, saat melihat Rama keluar sambil merangkul cewek itu, Perasaan jijik, marah dan cemburu bercampur menjadi satu. Tidak ada kata-kata yang bisa mengungkapkan perasaannya waktu itu, hingga sebuah air mata jatuh satu titik dan membawanya pergi meninggalkan pasangan mesum itu.
Rama? Dia tidak mengejar ataupun menjelaskan, ini adalah waktu yang sudah dia tunggu-tunggu. Dan dengan ini, Sinta dan Rama resmi bermusuhan.
Semua itu juga di dukung dengan keadaan, saat Rama memutuskan untuk kembali ke Jakarta dan melanjutkan kuliahnya disana. Sinta semakin marah karena Rama tidak pernah berniat meminta maaf bahkan menegurnya.
Hari Perpisahan mereka datang juga, masih dengan ego masing-masing, tidak ada sapaan dari mereka, hanya kebencian yang ada di antara keduanya. Bersama dengan kepergian Rama, saat itu juga kebencian Sinta semakin besar.
Bahkan sampai mereka sudah dewasa nanti, mereka sudah sama-sama berjanji pada dirinya sendiri, kalau mereka tidak akan pernah menghapus kebenciannya. Titik!
Sinta menarik nafas pelan. Sebuah senyum yang tadinya muncul saat ia mendapat sebuah undangan pernikahan dari sahabatnya perlahan sirna, setelah ia mengetahui siapa mempelai prianya. Perasaan haru dan bahagia, berubah menjadi iri dan dengki. Tangannya terkepal erat saat membayangkan Khansa duduk bahagia di pelaminan, hatinya perih bahkan sekedar untuk menelan ludahnya saja ia tidak mampu. Kenapa wanita itu menusuknya dari belakang? Ada apa ini, apa yang sudah terjadi selama ia tidak ada? Sinta meremas undangan yang ada di tangannya dan melempar ke lantai. Banyak pertanyaan berkecamuk di kepalanya. Tentang, siapa yang berkhianat disini? Apakah Khansa atau Azzam? Dia sendiri tidak yakin kalau pria sebaik itu bisa berkhianat, tapi jika di ingat-ingat hubungannya dengan Azzan tidak di ketahui siapapun, kecuali mereka berdua. Tok! Tok! Tok! Sinta menarik diri dari dalam pikirannya, saat pintu di ketuk dari luar. Tanpa ingin membuat sang tamu menunggu, Sinta segera membuka pintu. Bayan
Rama menenggak bir yang ada di tangannya, menemui Sinta barusan adalah keputusan yang konyol, ini memang salahnya! kenapa juga dia nekat menemui lampir seperti Sinta."Woy! minum gak ajak-ajak kau setan." Dio yang baru datang langsung mengambil alih bir yang ada di tangan Rama."Buset! Kesurupan apa kau, sebotol di habisin sendiri," protes Dio saat tau botol itu sudah kosong."Sialan si lampir itu!" gerutu Rama tanpa menghiraukan Dio."Kenapa sih? berantem lagi sama Sinta?" tanya Dio kemudian duduk di samping Rama."Lagi? emang kapan aku gak berantem sama dia!" jawab Rama kesal."Heran aku sama kalian, nenek bilang kau sama dia itu sahabat dari kecil, tapi kenapa berantem mulu?"Rama melirik Dio sekilas, pembahasan tentang Sinta adalah hal yang paling dia hindari. Kemudian memilih menyumat satu rokok dan di selipkan di antara bibirn
Sore sudah mulai menyapa, suasana pasar juga mulai sepi. Ini artinya, sudah waktunya Sinta untuk menutup toko dan pulang. Sungguh di sayangkan, satu pegawainya yang bernama Siti mengambil cuti menjelang persalinan.Empat pegawai saja dia masih kualahan, lalu apa jadinya kalau cuma tiga, sedangkan mencari pegawai baru dalam waktu dekat itu tidak mudah. Selain pekerjaan yang semakin bertambah, resiko kehilangan pun sama, meskipun di tokonya sudah di lengkapi CCTV di setiap sudut, tapi itu tidak menyurutkan niat pelaku kejahatan.Sejenak, Sinta teringat sesuatu. Oh, iya, Rama 'kan kemarin sempat nanya lowongan, kali aja ada temannya yang butuh pekerjaan. Batin Sinta."Rena!" Sinta memanggil salah satu pegawainya yang sedang memasukan emas kedalam brangkas. "Sini sebentar."Rena mengangguk kemudian meninggalkan pekerjaan dan menghampiri bosnya yaitu Sinta. "Kenapa, Mbak?""Kala
Sinta sedang duduk di depan meja rias, memoles wajahnya dengan make up tipis setelah melakukan sholat Magrib. Tadi umminya sempat memberikan gamis baru berwarna biru muda, entah untuk apa itu, tapi gamisnya sangat indah dan Sinta suka, makanya malam ini dia mengenakan itu."Sinta!" panggil ummi sambil mengetuk pintu."Iya, Ummi. Masuk aja."Pintu terbuka dan menampakkan sosok wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu sudah rapi dengan gamis berwarna hijau botol senada dengan jilbabnya."Ayo cepetan, nenek udah datang tuh!" ajak ummi."Wah Ummi serius?" Sinta langsung bangkit dari duduknya. "Kalau gitu Sinta keluar dulu deh." Kemudian keluar dari kamarnya.Begitulah Sinta, dia sangat antusias dengan apapun yang berhubungan dengan neneknya Rama, meskipun bukan neneknya tapi ikatan Sinta dan nenek lebih erat dari pada seorang cucu.&nbs
Hari ini, Sinta benar-benar merasa kualahan di tokonya, pegawainya hanya tersisa tiga orang, sedangkan hari ini pembeli sangat membeludak tiga kali lipat dari biasanya, resiko barang hilang juga semakin besar kalau seperti ini.Dan pada akhirnya, Sinta mengambil keputusan untuk menanyakan tentang pegawai yang sempat Rama tawarkan kemarin."Rena, tolong kamu cari Mas Rama, bilangin, suruh kemari. Penting!" perintahnya kepada gadis remaja berjilbab hitam.Rena segera pergi, mencari keberadaan Rama, dan kembali ke toko, dengan seorang pria yang berjalan mengekor di belakangnya.Rama yang tadi sedang merokok, langsung membuang rokoknya, sebelum masuk ke dalam toko Sinta."Sepenting apa urusanmu, sampek manggil aku?" tanya Rama, yang sekarang sudah menyandarkan tubuhnya di pinggiran meja."Aku butuh satu pegawai, tawaran mu yang kemarin, masih berlaku nggak?
Sinta sedang duduk di depan meja rias, memoles wajahnya dengan make up tipis setelah melakukan sholat Magrib. Tadi umminya sempat memberikan gamis baru berwarna biru muda, entah untuk apa itu, tapi gamisnya sangat indah dan Sinta suka, makanya malam ini dia mengenakan itu."Sinta!" panggil ummi sambil mengetuk pintu."Iya, Ummi. Masuk aja."Pintu terbuka dan menampakkan sosok wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu sudah rapi dengan gamis berwarna hijau botol senada dengan jilbabnya."Ayo cepetan, nenek udah datang tuh!" ajak ummi."Wah Ummi serius?" Sinta langsung bangkit dari duduknya. "Kalau gitu Sinta keluar dulu deh." Kemudian keluar dari kamarnya.Begitulah Sinta, dia sangat antusias dengan apapun yang berhubungan dengan neneknya Rama, meskipun bukan neneknya tapi ikatan Sinta dan nenek lebih erat dari pada seorang cucu.&nbs
Sore sudah mulai menyapa, suasana pasar juga mulai sepi. Ini artinya, sudah waktunya Sinta untuk menutup toko dan pulang. Sungguh di sayangkan, satu pegawainya yang bernama Siti mengambil cuti menjelang persalinan.Empat pegawai saja dia masih kualahan, lalu apa jadinya kalau cuma tiga, sedangkan mencari pegawai baru dalam waktu dekat itu tidak mudah. Selain pekerjaan yang semakin bertambah, resiko kehilangan pun sama, meskipun di tokonya sudah di lengkapi CCTV di setiap sudut, tapi itu tidak menyurutkan niat pelaku kejahatan.Sejenak, Sinta teringat sesuatu. Oh, iya, Rama 'kan kemarin sempat nanya lowongan, kali aja ada temannya yang butuh pekerjaan. Batin Sinta."Rena!" Sinta memanggil salah satu pegawainya yang sedang memasukan emas kedalam brangkas. "Sini sebentar."Rena mengangguk kemudian meninggalkan pekerjaan dan menghampiri bosnya yaitu Sinta. "Kenapa, Mbak?""Kala
Rama menenggak bir yang ada di tangannya, menemui Sinta barusan adalah keputusan yang konyol, ini memang salahnya! kenapa juga dia nekat menemui lampir seperti Sinta."Woy! minum gak ajak-ajak kau setan." Dio yang baru datang langsung mengambil alih bir yang ada di tangan Rama."Buset! Kesurupan apa kau, sebotol di habisin sendiri," protes Dio saat tau botol itu sudah kosong."Sialan si lampir itu!" gerutu Rama tanpa menghiraukan Dio."Kenapa sih? berantem lagi sama Sinta?" tanya Dio kemudian duduk di samping Rama."Lagi? emang kapan aku gak berantem sama dia!" jawab Rama kesal."Heran aku sama kalian, nenek bilang kau sama dia itu sahabat dari kecil, tapi kenapa berantem mulu?"Rama melirik Dio sekilas, pembahasan tentang Sinta adalah hal yang paling dia hindari. Kemudian memilih menyumat satu rokok dan di selipkan di antara bibirn
Sinta menarik nafas pelan. Sebuah senyum yang tadinya muncul saat ia mendapat sebuah undangan pernikahan dari sahabatnya perlahan sirna, setelah ia mengetahui siapa mempelai prianya. Perasaan haru dan bahagia, berubah menjadi iri dan dengki. Tangannya terkepal erat saat membayangkan Khansa duduk bahagia di pelaminan, hatinya perih bahkan sekedar untuk menelan ludahnya saja ia tidak mampu. Kenapa wanita itu menusuknya dari belakang? Ada apa ini, apa yang sudah terjadi selama ia tidak ada? Sinta meremas undangan yang ada di tangannya dan melempar ke lantai. Banyak pertanyaan berkecamuk di kepalanya. Tentang, siapa yang berkhianat disini? Apakah Khansa atau Azzam? Dia sendiri tidak yakin kalau pria sebaik itu bisa berkhianat, tapi jika di ingat-ingat hubungannya dengan Azzan tidak di ketahui siapapun, kecuali mereka berdua. Tok! Tok! Tok! Sinta menarik diri dari dalam pikirannya, saat pintu di ketuk dari luar. Tanpa ingin membuat sang tamu menunggu, Sinta segera membuka pintu. Bayan