Agus menyusul Siti yang sedang bersama dengan sang kakak. Wajah sang Ibu terlihat pucat. Orang-orang yang berada di sawah saat ini pun saling berbisik."Kenapa, Bu?" Agus mendekati Ibunya."Yuli masih ngotot gak setuju sawah ini dijual, Gus." Mata Siti memerah menahan marah dan juga malu."Mbak, jangan gitu, lah. Mbak mau bikin Ibu malu?!" Agus mulai geram dengan tingkah kakaknya itu."Aku nggak peduli, pokoknya aku nggak setuju!""Kamu jangan gitu, lah, Yul. Kemarin kita udah omongan ini baik-baik, kan? Lagian, kamu udah pernah dikasih sapi sama almarhum bapakmu waktu mau renovasi rumah. Jadi udah cukup adil kalau sekarang Ibu kasih sawah buat Agus!" Siti kesal karena Yuli tak bisa diajak bicara baik-baik."Oh, jadi Mbak Yuli yang jual sapi bapak buat renovasi rumah? Katanya pakai tabungan suamimu, Mbak?!""Ya itu, kan-" Yuli bingung mau menjawab apa."Sudah-sudah, Gus, kita ke sana aja. Malu dilihat banyak orang!" Siti menarik tangan Agus untuk menjauhi Yuli."Tapi kan, Bu! Ibu!" te
Pagi sekali, Agus telah bersiap untuk berangkat bekerja. Namun, sebelum ke bengkel, ia ingin ke rumah Yuli terlebih dahulu untuk membayar hutangnya .Jika kemarin Romlah ditolak oleh Yuli, mungkin saja kali ini Yuli akan menerima uang dari Agus itu untuk membayar hutang.Agus tahu, tak mudah untuk mengakrabkan dua wanita itu. Namun baginya, hutang tetaplah hutang, dan harus ia bayar.Setelah berpamitan kepada sang istri, Agus langsung berjalan menuju rumah Yuli."Assalamualaikum," ucap Agus ketika sampai di depan rumah Yuli.Suami Yuli yang kebetulan duduk di ruang tamu bangkit dari tempat duduknya."Waalaikumsalam, eh, Gus. Masuk sini!" Ajak suami Yuli."Mbak Yuli ada, Mas?" Agus masuk dan mengekori sang kakak ipar."Ada, aku panggilin dulu, ya." Suami Yuli itu menuju ke dapur.Agus telah menyiapkan mental dan hatinya agar ia siap ketika nanti mendapat perlakuan yang kurang baik dari sang kakak."Tumben ingat rumah ini!" Sindir Yuli yang kemudian duduk di kursi depan Agus. "Ada apa!?
Semenjak memiliki sepeda motor baru, Romlah menjadi lebih semangat dalam menjalani perannya sebagai ibu rumah tangga.Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak-anaknya.Agus pun menjadi lebih semangat dalam bekerja. Kini ia tak perlu berjalan kaki untuk menuju bengkel. Sepeda motor berwarna merah itu ia jadikan tunggangan setiap hari. Ia pun selalu menyempatkan untuk pulang ke rumah saat jam makan siang tiba. Lelaki berumur tiga puluh enam tahun itu tak ingin melewatkan makan siang bersama dengan keluarganya.Pekerjaan Agus dinilai cukup bagus oleh pemilik bengkel tempatnya bekerja. Selain kemahirannya dalam mengotak-atik mesin, rasa tanggung jawabnya pun perlu diacungi jempol.Bahkan, bapak dari tiga orang anak itu mempunyai pelanggan khusus di bengkel itu. Tak jarang mereka hanya mempercayakan sepeda motor mereka ditangani langsung oleh Agus.Melihat itu, pak Susilo tak tinggal diam. Beberapa kali sang pemilik bengkel itu memberikan uang rokok kepada Agus dan juga
"Emang cincin itu buat siapa, Rom?" tanya Dewi begitu mereka sampai di depan rumah Romlah.Romlah tersenyum menanggapi pertanyaan sahabatnya itu."Jangan bilang jiwa julidmu meronta-ronta, Dew," ledek Romlah. Sengaja sekali ia menggoda Dewi."Ihh...," desah Dewi terlihat kesal yang jelas saja mengundang tawa dari sahabatnya itu.Romlah turun dengan hati-hati dari sepeda motor berwarna merah itu. Karena body sepeda motor yang terlalu tinggi, membuat wanita bergamis abu-abu itu sedikit kesusahan. Apalagi kedua anaknya saat itu tengah tertidur.Dengan dibantu oleh Dewi, Romlah pun akhirnya dapat turun dengan aman tanpa membangunkan kedua anaknya. Kini Riska telah berada dalam gendongan Dewi, sedangkan Naura digendong oleh sang Ibu.Perlahan Romlah mengambil seluruh kantong belanjaannya yang tergantung di sepeda motornya.Kantong kresek yang berisi belanjaan itu ia tenteng hendak ia bawa masuk ke dalam rumah."Suaminya capek-capek kerja, eh, istrinya malah belanja terus, kasihan banget, y
"Pak, sepatuku baru," teriak satu-satunya anak lelaki Romlah begitu sang ayah masuk ke dalam rumah.Agus pun tersenyum mendapat laporan dari sang anak.Angga berlari dengan menenteng sepatu baru yang dibelikan oleh ibunya siang tadi."Bapak lihat, bagus, kan." Angga memperlihatkan sepatu barunya kepada Agus.Agus pun menunduk dan memerhatikan sepatu anaknya dengan seksama."Sepatunya bagus banget!" puji sang Ayah. "Pasti keren Kalo kamu pakai nanti.""Keren banget, pak, di kelasku belum ada yang punya kayak gini," ucap Angga dengan antusias."Bilang makasih sama Bapak! Itu beli pakai uang dari Bapak," ujar Romlah yang baru keluar dari dapur dengan membawa secangkir kopi, lalu meletakkannya di meja. "Kopinya, Mas," imbuhnya."Makasih, ya, Pak," Bocah berumur delapan tahun itu memeluk tubuh ayahnya penuh kebahagiaan."Iya, sama-sama. Sekolah yang rajin, ya, biar jadi anak pintar." Agus membalas pelukan sang anak, lalu mengelus kepala anak sulungnya itu.Puas memeluk ayahnya, Angga pun b
Siti terpaku menatap kepergian anak sulungnya. Rasa sesal menyerang relung hatinya yang paling dalam, hingga mengundang rasa sesak dalam dadanya.Memang tak seharusnya ia menampar anak perempuannya itu. Rasanya sikapnya kali ini sudah kelewatan.Siti terduduk lemas di sofa berwarna hitamnya. Rasa sesal terus saja memenuhi isi kepalanya.Yuli pun keluar dari rumah ibunya dengan rasa sakit hati. Air matanya terus saja meleleh membasahi pipi. Ia merasa mimpi buruk kini sedang menghampirinya.Ia masih berdiri mematung di depan rumah ibunya, ketika terlihat dari ujung matanya Seorang wanita telah memerhatikannya.Yuli menoleh ke arah wanita itu, yang ternyata adalah adik iparnya. Melihat Romlah tersenyum sinis kepadanya, membuat darah Yuli mendidih."Puas kamu lihat aku bertengkar sama Ibu!?" tuduh Yuli berjalan beberapa langkah ke arah Romlah."Apaan, sih, Mbak?!" tanya Romlah yang terus waspada, ia tak ingin Yuli menyerangnya seperti waktu itu."Jangan pura-pura nggak tau! Kamu ngasih ci
"Assalamualaikum." ucap lelaki itu.Romlah terlihat semakin salah tingkah. Tubuhnya seolah terasa kaku dan susah untuk digerakkan. Bibirnya pun terasa kelu."Waalaikumsalam," jawab Agus yang semakin penasaran, siapa sebenarnya lelaki itu.Jika tak ada sesuatu antara lelaki itu dan Romlah, tak mungkin istrinya itu terlihat aneh.Agus mendekati sang istri,"Siapa dia, Dek?" tanya Agus kepada sang istri.Romlah tak kuasa menjawab pertanyaan Agus karena rasa paniknya, ia hanya mampu menggelengkan kepala.Lelaki itu pun mendekat ke arah Agus dan Romlah berdiri."Selamat siang, Pak, Bu." sapa lelaki itu."Selamat siang, siapa, ya?" tanya Agus yang membuat Romlah semakin panas dingin."Saya Agam dari koperasi simpan pinjam Pak, saya ke sini mau narik cicilan mingguan Bu Romlah," jelas lelaki yang berumur sekitar tiga puluh tahun itu."Cicilan?!" Agus membelakkan matanya mendengar penjelasan lelaki di depannya.Pasalnya, Agus merasa sudah Mencukupi semua kebutuhan keluarganya. Mulai dari yang
"Kebohongan apa lagi yang kamu sembunyikan di belakangku?" pertanyaan itu keluar dari mulut Agus yang jaraknya hanya sekitar lima centimeter dari wajah Romlah.Karena begitu dekatnya, hingga nafas Agus pun terdengar oleh telinga sang istri.Romlah membuka mata, dan mendapati Agus tengah menatapnya tajam. Mata merahnya kini terasa ingin menguliti Romlah."Aku bisa jelasin, Mas," ucap Romlah memelas."Apa yang mau kamu jelasin, ha!""Ak-aku...." Romlah bingung dengan apa yang ingin dikatakannya."Apa! Sekarang aku tanya sama kamu, buat apa kamu pinjam-pinjam uang, ha!?" tanya Agus penuh penekanan.Romlah hanya bisa menunduk, ia merasa bersalah. Tangisnya pun tiada guna baginya. Namun, jika ia bercerita yang sebenarnya, pasti Agus semakin marah padanya. Romlah menyesal, karena menuruti egonya, kini sang suami murka kepadanya."Nggak bisa jawab kan?! Aku heran sama kamu, semua pengenmu sudah kuturuti, bahkan yang nggak masuk akal pun aku usahain, tapi kenapa masih ngutang di belakangku,
"Mbak Yuli gimana keadaannya, Bu?" tanya Romlah yang sedang menemui mertuanya."Badannya tadi masih panas, Rom. Dia sendiri di rumah, anak-anaknya sekolah. Suaminya juga kerja," jawab Siti sembari menyapu halaman rumah."Kasihan Mbak Yuli, ya, Bu. Aku pengen ke sana tapi takut Mbak Yuli makin marah sama aku.""Nggak, lah. Anak-anakmu tinggal sama Ibu aja kalau kamu mau ke rumah Yuli."Tak lama, Romlah pun bersiap untuk ke rumah Yuli. Romlah membawa sop ayam yang sengaja ia masak untuk Yuli.Tangan Romlah terasa panas dingin, dan juga jantungnya berdetak lebih cepat. Ia berharap Yuli menerima kedatangannya dengan baik.Romlah membuka pelan pintu rumah Yuli. Rumah yang telah di cat dengan warna biru itu terlihat sunyi.Romlah mematung di depan pintu ruang tamu. Ia ingin langsung masuk ke dalam kamar Yuli, tetapi ia takut dianggap lancang dan kurang ajar. Namun, jika ia menunggu Yuli keluar dari kamar, rasanya sedikit mustahil.Akhirnya Romlah memutuskan masuk ke dalam kamar Yuli."Mbak
"Makan malam dulu yuk, Dek! Mas tadi abis Beli makanan di warung yang ada di pertigaan depan," ucap Agus sembari menenteng kantong plastik berisi makanan.Romlah yang baru saja selesai membuat bumbu untuk ia masak malam nanti pun kaget. Ia benar-benar tak menyangka suaminya akan kembali baik padanya."Aku mandi dulu sebentar, ya, Mas. Gerah banget, nih." Tanpa menunggu jawaban Agus, Romlah langsung mengambil handuk dan menuju kamar mandi.Selesai Romlah mandi, mereka pun makan bersama. Rasa rindu akan Kehangatan keluarga kini sedikit terobati, Romlah berharap ini akan selamanya. Romlah sempat menitikkan air matanya karena rasa haru, tetapi ia Segera menghapusnya agar tak ada satu orang pun yang tahu."Bapak nanti tidur di rumah Nenek lagi?" tanya anak lelaki berumur delapan tahun itu."Enggak, lah! Bapak tidur di sini aja bareng Ibu," jawab Agus yang terang saja membuat pipi Romlah memerah menahan malu."Kok, nggak di rumah Nenek lagi?" Angga masih penasaran."Kan, kangen sama nenekny
Sesampainya di rumah, Romlah memarkirkan sepeda motornya di teras rumah. Romlah ingin segera membereskan bekas jualannya tadi pagi. Namun, rasa lelah memaksanya untuk beristirahat sebentar.Romlah meletakkan bokongnya pada kursi kayu kecil yang ia pakai untuk menunggui dagangannya. Ia menyempatkan untuk membuka HP, karena waktu di jalan tadi ia sempat merasakan benda pipihnya itu bergetar.Benar saja, di layar depan handphone-nya terdapat beberapa pesan yang telah masuk. Wanita yang telah memiliki tiga orang anak itu terkejut setelah membuka satu persatu pesan itu yang berisi permintaan untuk segera dikirimkan beberapa bungkus nasi uduk dan nasi kuning jualannya.Romlah segera menyiapkan pesanan itu. Ia tak ingin membuat kecewa pembeli yang terbilang baru saja mencoba barang dagangannya."Ada pesanan lagi, Rom?" tanya mertua Romlah yang baru saja keluar dari rumahnya membawa kedua anak Romlah."Iya, Bu," jawab Romlah dengan senyum sumringah yang terukir dari bibirnya.Siti tersenyum b
Usai beres-beres, Romlah mengecek beberapa bumbu yang harus ia beli nanti siang. Barang-barang yang telah habis itu ia catat di sebuah kertas agar nanti tidak terlewat sewaktu dirinya berbelanja.Tak banyak barang yang akan ia beli nanti, jadi ia bisa lebih menghemat pengeluarannya. Romlah merebahkan dirinya dahulu sebelum ia kembali menyiapkan beberapa bumbu yang akan dipakainya malam nanti.Total pesanan yang masuk ada delapan bungkus nasi uduk dan tujuh bungkus nasi kuning. Walaupun masih sedikit, namun ia sangat bersyukur karena ada pemasukan untuk hari esok.Sedang menikmati waktu luangnya bersama anak-anaknya, terdengar suara tukang sayur yang mulai memanggil para pelanggannya.Romlah segera membawa kedua anaknya untuk berbelanja bumbu dan beberapa sayuran yang ia butuhkan untuk berjualan esok hari. Ia juga tak lupa membawa nasi uduk yang sengaja ia pisahkan untuk diberikan kepada tukang sayur itu."Ini, Pak, cicipin nasi uduk buatanku." Romlah menyerahkan nasi uduknya kepada tu
Mata itu terus saja tertuju pada ibu dari anak-anaknya. Ia merasa bersalah, tak seharusnya ia begitu keras kepada istrinya."Lagi ngapain, Gus?" tanya Siti mengagetkan Agus yang terus menatap Romlah dari jauh.Agus terkejut hingga badannya tersentak, "eh, Ibu! Ngagetin." Agus mengelus dada merasakan jantungnya berdetak lebih kencang."Bantuin sana!" perintah Siti."Aku mau berangkat kerja, Bu," ucap Agus sembari mengambil tas kecil yang tergantung di depan pintu kamar.Siti merasa jika anaknya sebenarnya masih sangat mencintai Romlah, tetapi sepertinya ia gengsi untuk mengakuinya."Bu, aku berangkat, ya. Titip anak-anak," pamit Agus sebelum meninggalkan rumah.Wanita berumur lebih dari setengah abad itu tersenyum melihat tingkah anaknya yang tak lagi muda itu.Saat melewati depan rumahnya, ia tak sanggup menatap Romlah. Lelaki berumur tiga puluh enam tahun itu hanya menunduk dan berdoa dalam hati, semoga jualan istrinya laris sehingga Romlah tak kecewa dengan apa yang diusahakannya se
Hari baru, begitu pun semangat yang baru dari dalam diri Romlah. Rasanya telah lama ia terpuruk dalam penyesalan hidupnya. Kini sudah saatnya Romlah menunjukkan pada dunia bahwa dirinya bukanlah wanita lemah.Walaupun hatinya masih dipenuhi rasa sesak karena kedua anaknya lebih memilih bersama ayahnya. Namun, ia harus cukup terima karena anak ketiganya begitu membutuhkan dirinya.Romlah mengumpulkan tenaga untuk memulai hari. Banyak rencana yang akan dilakukannya hari ini. Setelah memandikan lalu menyusui Naura, Romlah mulai menulis belanjaan yang akan dibeli di tukang sayur keliling langganannya.Ya, Ibu dari tiga orang anak itu sedang berencana untuk berjualan nasi uduk dan nasi kuning di depan rumahnya. Berbekal kemampuan memasaknya yang tak diragukan lagi, ia mencoba membuka usaha untuk menghidupi dirinya sendiri dan juga anak-anaknya.Romlah bertekad, untuk tak lagi menggantungkan hidupnya kepada Agus. Ia harus belajar berdiri dengan kakinya sendiri.Usai mencatat semua kebutuhan
Romlah ke dapur untuk mengambil tali jemuran yang baru ia beli pagi tadi. Wanita itu sengaja membelinya untuk mengganti tali jemuran lama yang sudah usang. Namun, karena ia terlalu sibuk dengan anak-anaknya, sehingga ia lupa Untuk segera memasangnya.Romlah membawa tali itu ke dapur. Wanita berambut hitam itu segera memasang tali ke atas kuda-kuda rumah yang terpasang di dapur. Kondisi atap dapur yang belum terpasang plafon, membuat Romlah lebih cepat untuk menyelesaikan pemasangan talinya.Usai memasang tali, Romlah terduduk memandangi benda menggantung yang akan mengantarkannya meninggalkan semua luka yang dirasakan saat ini.Rasa sakit hati dan kehilangan yang membuat wanita berumur tiga puluh tiga tahun itu nekat. Rasanya tak ada lagi gunanya ia melanjutkan hidupnya. Semua yang dimiliki telah hilang, semuanya telah pergi. Agus yang dulu amat mencintainya, kini tak ada lagi di sisinya. Angga, juga Riska justru memilih ikut bersama ayahnya. Lalu, apa gunanya ia hidup?Romlah menari
"Bu, masak apa?" tanya Yuli setelah masuk rumah ibunya.Yuli segera menuju dapur milik ibunya. Kebetulan sekali ia melihat adik lelakinya sedang sarapan bersama ibu.Teh sifat lagi keinginannya untuk mencari tahu alasan di balik pindahnya Agus ke rumah ini. Yuli sangat yakin rumah tangga adik kandungnya itu sedang ada masalah.Sebuah senyuman terukir di bibir ibu dari dua orang anak itu. Tak ingin membuang kesempatan, ia segera bergabung bersama adik dan ibunya."Wah, sarapannya enak, nih," ucap Yuli sembari duduk di kursi yang masih kosong sebelah Agus."Sarapan bareng sini, Yul," ajak Siti. "Kebetulan tadi aku belum sarapan, Bu. Anak-anak sama bapaknya beli nasi uduk, aku nggak kebagian," jelas Yuli memperlihatkan expresi sedih."Sarapan di sini aja, Mbak. Masih banyak, kok, nasi gorengnya," tawar Agus yang masih terus mengunyah.Yuli mengambil piring dan menuangkan beberapa centong nasi goreng ke atas piringnya."Enakan tinggal di sini, kan, Gus, dari pada tinggal di rumahmu?" tan
Mata agus membulat sempurna begitu yakin jika wanita yang memanggilnya itu benar-benar istrinya."Mas!" teriak Romlah karena sang suami tak juga mendatanginya.Agus bingung harus bagaimana. Ia masih enggan untuk bertemu dengan istrinya, karena rasa kecewa yang begitu besar. Namun, ia juga malu karena Romlah terus saja memanggilnya. Ia merasa tak enak dengan teman-temannya kerjanya.Dengan terpaksa Agus mendatangi istrinya."Ada apa?" tanyanya singkat."Ini, aku bawain buat makan siang buat Mas." Romlah menyodorkan rantang yang berisi beberapa macam makanan.Tak ingin jika sang istri berlama-lama di tempat kerjanya, Agus pun segera menerima rantang pemberian Romlah, dengan harapan wanita yang telah memberinya tiga orang anak itu segera meninggalkan bengkel."Dimakan ya, Mas!""Kamu pulang aja, aku masih banyak kerjaan!" Agus meninggalkan Romlah yang masih berdiri mematung.Agus meletakkan rantang itu di atas kursi berwarna hitam yang biasa digunakan customer menunggu kendaraan mereka s