Hari itu pun tiba. Hari di mana suamiku akan mengucap ijab kabul untuk kedua kali dengan atasannya sekaligus teman lamaku. Naura Amanda.
Mas Yusuf sudah rapi dengan setelan kemeja putih yang dipadukan dengan jas hitam. Sama seperti tiga bulan yang lalu saat ia mengucapkan janji sucinya kepadaku. Sosok itu selalu terlihat tampan dan gagah.
"Kamu gak usah hadir ke pernikahanku, ya! Setelah acara ijab kabul, aku akan langsung pulang," ucap suamiku tiba-tiba. Peci hitam yang sedari tadi dimainkannya, ia pakai di kepala.
"Gak, Mas, aku mau ikut ke pernikahanmu. Aku juga ingin menyaksikan kamu menikah," rengekku sambil mencoba bersikap baik-baik saja. Ah, tidak. Sebenarnya hatiku sangat pedih.
"Aku khawatir, kamu tidak akan kuat melihatku menikahi Naura. Jadi, kau di rumah saja, tunggu aku pulang! Oke?!" pinta suamiku lagi sembari menangkup kedua pipiku. Satu kecupan kilat mendarat di bibirku.
Aku merasakan sentuhan lembut dari tangan lelaki itu juga bibirnya yang hangat. Tidak tahu setelah ia menikah nanti, apa keadaannya masih sama? Rasa cintanya, sikap lembutnya, dan sentuhan-sentuhannya.
Walau ia meyakinkanku tidak akan melibatkan perasaannya terhadap Naura, tetap saja hati ini tidak terima dan hatiku sakit.
“Oh, Tuhan, mengapa ini terjadi padaku?” jerit batinku.
"Yusuf, keluar kamu!!!" teriak seorang laki-laki dari luar yang aku kenal suaranya. Sontak aku dan Mas Yusuf menoleh ke arah pintu yang masih tertutup."Yusuf! Nadhira! Cepat buka pintunya!" suruhnya dengan kencang sambil terus menggedor-gedor pintu rumah kami.
"Mas, itu ayahku, Mas. Apa ayah tahu, kamu mau menikah hari ini? Tapi, siapa yang memberi tahunya?" tanyaku pada Mas Yusuf, karena aku tidak pernah bercerita apapun pada ayahku tentang ini.
Dari nada suaranya, sepertinya ayahku marah besar.
Aku dan Mas Yusuf berlari ke arah pintu dan membukanya.
Saat pintu terbuka,
Bugh.
Satu pukulan mendarat di wajah Mas Yusuf dan membuatnya tersungkur. Darah segar keluar dari sudut bibirnya.
"Akh!!!" Aku memekik.
Mas Yusuf tidak sempat mengelak, tapi ayah makin brutal dengan menarik kerah jas suamiku hingga ia berdiri dan berhadapan dengan ayahku.
Bugh.
Ayah memukul Mas Yusuf lagi dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya tidak melepaskan cengkraman di kerah baju suamiku.
"B*******k, kamu Yusuf! Jangan kamu pikir saya ini sudah tua, tidak bisa berbuat apa-apa, sehingga kamu seenaknya saja menyakiti hati anak saya," ucap ayahku dengan amarah yang bergejolak sambil jari telunjuk kanannya menunjuk ke wajah suamiku.
Mas Yusuf tidak melawan. Ia membiarkan ayah memukulinya.
"Ayah, hentikan, ayah! Ini bukan salah Mas Yusuf. Tolong lepaskan dia!" ucapku membela Mas Yusuf dan berusaha melepaskannya dari cengkraman ayahku.
"Biarkan ayah menghajarnya, Nadhira! Dia akan enak-enakan nikah lagi sementara kamu di sini sendiri. Kenapa kamu membiarkan suamimu menikah lagi dan malah membelanya, heh?" desis ayahku masih dengan wajah yang memerah.
"Tidak, ayah, keadaan yang memaksanya untuk melakukan ini, dan aku juga sudah mengijinkan dia untuk menikahi perempuan itu. Maafkan aku, ayah!" jawabku sambil terisak karena tak tega Mas Yusuf dipukuli oleh ayah.
Mendengar jawabanku, ayah melepaskan cengkramannya dan beralih mendekat padaku yang sedang menangis.
"Nadhira, putriku!"
Aku mendekat pada ayah dan menyandarkan kepalaku di dadanya yang masih terlihat kekar. Tangan tuanya merengkuh tubuh kecilku.
Aku tahu lelaki paruh baya itu mengkhawatirkanku dan sangat menyayangiku. Tidak ingin anak semata wayangnya ini terluka karena suaminya akan menikah lagi. Tapi untuk saat ini, biarlah ini menjadi urusan rumah tanggaku.
"Ayah, tolong pulanglah, ayah tidak usah ikut campur dalam urusan rumah tanggaku. Aku dan Mas Yusuf akan menyelesaikan masalah kami baik-baik," pintaku akhirnya.
Ayah mengurai pelukannya kemudian berucap, "Nadhira, ayah ke sini untuk mencegah suamimu menikah lagi, tapi kenapa kamu malah mengijinkannya? Ayah kecewa sama kamu, Nak."
"Ayah tidak usah mengkhawatirkanku! Aku baik-baik saja, Yah. Sebaiknya ayah pulang sekarang!" sahutku dan memintanya untuk pulang.
"Nadhira!" suara berat laki-laki lain memanggilku dari arah pintu.
Aku menoleh dan menghampirinya.
"Rian, kebetulan kamu ke sini. Tolong antar ayahku pulang! Aku dan Mas Yusuf harus segera pergi ke tempat pernikahan. Kami sudah terlambat," pintaku pada Adrian Mahesa. Dia temanku saat kuliah dulu selain Naura, tapi dia berada satu tingkat di atasku.
"Nadhira, apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu membiarkan suamimu menikah lagi dan bahkan kamu mau mengantarkannya? Kamu sudah gila?" tanya Adrian tiba-tiba memegang tanganku.
Mas Yusuf menatap tajam ke arah Adrian. Aku segera melepaskan genggamannya dan meminta lelaki itu membawa ayahku.
"Tolonglah, Rian, bawa ayahku dulu. Kami sudah terlambat ke pernikahan. Acaranya akan segera dimulai," pintaku lagi.
"Ayah, percayalah padaku, aku akan baik-baik saja. Ayah tidak udah khawatir. Ayah pulanglah dengan Adrian!" ucapku memelas pada ayah.
"Kuharap ayah mengerti!" tambahku dengan kepala tertuduk.
Akhirnya Adrian membawa ayahku pulang dengan mobilnya. Aku mengobati luka di wajah Mas Yusuf terlebih dahulu, sebelum berangkat ke tempat berlangsungnya pernikahan. Aku mengaplikasikan krim ke wajahnya untuk menyamarkan lukanya.
Aku menghubungi Naura, jika kami datang terlambat tanpa menjelaskan apa yang sudah terjadi.
Tak berselang lama, kami sudah sampai di sebuah hotel, tempat berlangsungnya acara pernikahan Mas Yusuf dan Naura digelar.
Konsep pernikahan yang mewah dengan dekorasi interior yang megah dan berkelas menjadi pusat perhatianku. Sangat kontras dengan pernikahanku yang digelar secara sederhana tiga bulan lalu.
Berbagai hidangan berbaris rapi di meja prasmanan yang terpasang di sudut hotel itu dan para tamu tengah menikmati satu persatu hidangan.
Aku dan Mas Yusuf berjalan di red carpet menuju tempat ijab kabul. Naura sudah duduk menunggu suamiku di sana. Di hadapannya, duduk pula seorang penghulu yang akan menikahkan mereka. Juga ada dua orang saksi yang duduk saling berhadapan.
Mas Yusuf menatapku lekat sebelum ia duduk di kursi panas ijab kabulnya. Aku mendongak membalas tatapannya sambil memegang rahangnya yang tegas. Aku tersenyum berusaha menampakkan wajah ceria yang menyiratkan bahwa aku baik-baik saja.
Kulihat ribuan pasang mata memandang ke arah kami dan mulai berbisik. Namun, aku berusaha acuh. Aku segera membimbing suamiku dan membawanya duduk di samping Naura. Dia sudah siap mengucapkan ijab kabul.
Aku mundur beberapa langkah dan berdiri tidak jauh dari tempat Mas Yusuf dan Naura duduk mengikat janji suci pernikahan mereka.
"Saya terima nikah dan kawinnya Naura Amanda binti almahum Suroso dengan mas kawin tersebut, tunai!"
"Bagaimana para saksi? Sah?"
"Sah!"
"Sah!"
Aku berusaha tegar dan tidak mempedulikan omongan para tamu undangan yang membicarakanku. Kutahan sekuat tenaga air mata yang menggenang di pelupuk mataku agar tidak jatuh. Namun, pada akhirnya, buliran bening itu tidak tertahan dan meluncur deras tanpa aku minta, saat ijab kabul itu selesai dilantunkan.
Aku keluar dan meninggalkan Mas Yusuf di sana. Pergi ke tempat dimana tidak ada orang yang melihat aku menangis.
Dadaku merasa sesak menyaksikan suamiku mengucapkan ijab kabulnya. Aku berlari keluar dari keramaian dengan deraian air mata. Aku tidak peduli orang-orang di sana memandangku. Hingga di sebuah ruang sepi, aku berjongkok sembari menangis tersedu.
"Ambilsapu tangan ini dan usap air matamu!" seseorang menyodorkan sapu tangannya kepadaku.
Aku mendongak dan melihat siapa pria yang berdiri di sampingku.
..
.
Bersambung ....
Dadaku terasa sesak menyaksikan suamiku mengucapkan ijab kabulnya. Aku berlari keluar dari keramaian dengan deraian air mata. Aku tidak peduli orang-orang di sana menatapku. Hingga di sebuah ruang sepi, di mana tidak ada orang, aku berjongkok dan menangis tersedu. Wanita mana yang sanggup menyaksikan suaminya menikah lagi dan berbagi suami dengan wanita lain. Sekuat apapun aku menahan rasa sesak di dadaku, nyatanya aku lemah dan tidak mampu melihat semua itu. "Ambil ini, hapus air matamu!" ucap seorang laki-laki. Aku mendongak dan melihat siapa laki-laki yang berdiri di depanku. Adrian Mahesa. Lelaki yang selalu ada saat aku sedang sedih. Dia adalah temanku dan juga teman suamiku. Aku mengernyitkan dahi. Mengapa dia ada di sini? Bukankah tadi dia mengantar ayahku pulang? tanyaku dalam hati. "Ayo berdiri dan hapus air matamu!" suruhnya sambil mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri. Rian, begitu
"Saat ini juga kamu harus ceraikan Nadhira!" tegas ayahku sambil telunjuknya mengarah pada Mas Yusuf.Aku terperanjat mendengarnya. Begitu juga Mas Yusuf. Ia berdiri kemudian berhadapan dengan ayahku dan menentangnya. Dua lelaki itu saling menatap tajam."Aku tidak mau menceraikan Nadhira, dan tidak akan pernah. Nadhira istriku dan selamanya akan menjadi istriku!" ucap suamiku lantang seolah mengajak ayahku berperang."Terserah!!! Tapi setelah ini Bapak yang akan mengurus perceraian kalian," ucap ayahku tidak mau kalah lalu beralih padaku."Ayo, Nadhira, kita pulang!" ajak ayah."Tapi, ayah..." ucapku."Ayo, pulang!" suruhnya lagi dengan wajah memerah dan menarik tanganku agar ikut dengannya.Baru beberapa langkah kami maju, Mas Yusuf berteriak. "Tidak, Pak, aku tidak akan menceraikan Nadihira! Aku mencintai dia, dan kami sudah berjanji akan hidup bersama selamanya. Tidak ada yang bisa memisahkan kami. Aku tidak akan pernah menc
Tiga hari setelah pernikahan mereka, Mas Yusuf belum juga menghubungiku. Setiap hari bahkan setiap detik aku menunggu telepon darinya. Namun, tak kunjung ponselku berdering dan menampilkan namanya di layar. Aku selalu berprasangka baik padanya, mungkin ia masih harus menjalani serangkaian acara pernikahan yang digelar di berbagai tempat, mengingat Naura adalah orang penting di perusahaannya. Atau, memang Mas Yusuf sedang sibuk dengan tumpukan pekerjaan di kantornya setelah beberapa hari cuti menikah.Sudah tiga hari pula, aku berangkat dan pulang dari tempatku mengajar seorang diri dengan mengendarai skutermatic-ku. Beruntung aku bisa mengendarai kendaraan roda dua itu, sehingga aku tidak perlu merepotkan orang lain untuk mengantar jemputku ke sekolah.Adrian selalu menawariku tumpangan agar ikut bersamanya. Saat kebetulan ia lewat sekolahku atau pagi-pagi sekali ia sengaja datang ke rumah untuk menjemputku. Namun, aku menolak ajakannya karena merasa tidak enak terhada
Hari berganti hari. Waktu seakan berjalan lambat. Satu Minggu itu rasanya seperti satu abad bagiku, saat aku menunggu kepulangan Mas Yusuf ke rumah kami. Setiap malam, aku tidak bisa tidur nyenyak karena tidak ada dia di sisiku. Biasanya setiap malam, ia yang membelai rambutku sambil kami bercerita tentang keseharian kami di tempat kerja masing-masing. Cerita itu seperti pengantar tidur kami hingga kami terlelap ke alam mimpi."Ah... apa kabarmu, Mas? Aku kangen kamu," desahku.Kuambil ponsel di atas nakas. Aku mengecek apakah ada pesan dari Mas Yusuf untukku. Nihil. Tidak ada pesan dari nomor Mas Yusuf, hanya beberapa pesan dari temanku dan grup di aplikasi W****Appku."Hah!" desahku lagi penuh kecewa. Mas Yusuf belum juga menghubungiku.Aku merebahkan tubuh sambil menatap layar ponsel yang kubiarkan menyala. Aku masih menunggu telepon dari suamiku. Siapa tahu ia meneleponku malam ini. Namun, hingga hampir tengah malam, ponsel yang tergolek di samp
"Untuk pelajaran hari ini kita cukupkan sampai di sini. Kita lanjutkan pada pertemuan berikutnya dengan presentasi setiap kelompok. Silakan kalian persiapan kelompoknya masing-masing dan materi yang akan diskusikan Minggu depan! Kalian paham?" kataku kepada murid-murid. Aku baru saja selesai mengajar dan waktu belajar untuk hari ini sudah habis. "Paham, Bu," sahut mereka berbarengan. Setelah berdoa, mereka berbondong-bondong bergegas keluar kelas untuk pulang. Aku masih sibuk merapikan buku-buku pelajaran di mejaku. Pelajaran Ekonomi adalah mata pelajaran yang aku ampu dan kuajarkan pada murid-murid kelas X, sesuai dengan latar belakang pendidikanku yang bergelar Sarjana Ekonomi. Gelar yang dengan susah payah aku dapatkan. karena sempat terkendala pada biaya di semester akhir. Hampir saja aku tidak bisa mengikuti ujian akhir kalau saja Adrian tidak melunasi tagihan semesterku. Aku banyak berhutang budi padanya. Rasanya, aku tidak bisa membalas kebaikan Adrian, sahaba
Aku tengah memasak sarapan untuk suamiku di dapur. Tak henti bibir ini menyunggingkan senyuman, mengingat apa yang aku dan Mas Yusuf lakukan semalam. Kami saling melepas kerinduan, sampai-sampai, dini hari kami baru tertidur. Hatiku sedang berbunga pagi ini. Wajahku pun sudah tidak muram lagi. Aku lebih ceria dibanding pagi kemarin. Sambil tanganku membolak-balik masakan di wajan, aku mendendangkan sebuah lagu cinta yang mengalun merdu dari aplikasi musik yang aku nyalakan di ponselku. Lagu yang aku nyanyikan adalah lagu yang sangat kusuka, karena selalu mengingatkanku pada laki-laki yang berstatus suamiku. Saat lagu itu berhenti, aku merasakan tangan kekar seseorang melingkar di pinggangku dan memelukku dari belakang. Sontak aku menoleh dan melihat wajah suamiku yang sudah tampak segar. Wangi parfum dari tubuhnya mengguar di hidungku. "Selamat pagi, sayang!" sapanya sambil mencium pipiku. "Pagi, Mas," balasku kemudian tersenyum la
Aku sudah rapi dengan setelan kantor yang sudah disiapkan Nadhira untukku. Aku keluar kamar dan menuruni tangga menuju meja makan. Namun, saat aku sudah berada di anak tangga terakhir, kudengar suara merdu seorang wanita yang sedang bernyanyi. Suara nyanyian itu terdengar dari arah dapur. Ternyata Nadhira memasak sambil bernyanyi, mengikuti nyanyian dari ponselnya. Aku melangkah ke dapur agar lebih dekat mendengarnya. Aku bersender di tembok dekat dapur sambil menyilangkan tangan di dada. Pandanganku terarah lurus pada wanita yang selalu mengenakan daster rumahan, tapi tampak seksi menurutku. Aku suka dengan penampilannya seperti itu bila sedang berada di rumah. Cantik, menawan, dan seksi. Bila di luar rumah, semua orang menghormatinya. Selain cantik, ia juga berwibawa dengan pakaian dinas gurunya. Sepulang makan malam romantis dengannya, aku tidak membiarkannya tidur walau hanya semenit, karena aku sangat merindukannya. Sepanjang malam aku bersamanya.
Sesampainya di kantor, aku langsung menuju ruangan Naura dengan penuh amarah. Aku tidak peduli pada beberapa staf yang menyapaku. Aku terus melangkah dengan cepat untuk menanyai istri keduaku itu. Saat sudah di depan ruangan Naura, aku membuka pintu dengan kencang.Brakk.Naura terperanjat. Ia yang tengah duduk di kursi kebesarannya, segera bangkit."Mas, apa yang kamu lakukan? Seharusnya kamu ketuk pintu dulu sebelum masuk. Jaga sopan santunmu, ya, ingat ini kantor!" Ucapan Naura seketika membuatku tertawa."Hahaha... jaga sopan santun katamu? Aku ini suamimu. Apa aku harus bersikap sopan pada wanita yang sudah membohongi istriku?" timpalku sambil mendekat padanya."Jaga sikapmu, ya, Yusuf! Aku ingatkan, ini kantor. Aku atasanmu dan kamu bawahanku. Lagi pula, kenapa kamu baru datang sudah siang begini, heh?" sergah Naura."Oh, gitu, ya, begini cara kamu memperlakukan aku sebagai suami?" tanyaku sambil tersenyum sinis."Sudah ku
Alhamdulillah... akhirnya rampung juga novel Suami Bersama. Terima kasih atas dukungan kakak-kakak yang sudah menyempatkan waktu dan membeli koin untuk membaca ceritaku sampai akhir. Semoga Allah menggantinya dengan rezeki yang lebih banyak lagi. Aamiin... Dukungan, vote, dan komen positif yang kalian berikan seperti penyemangat buatku. Sehingga aku semakin bersemangat untuk melanjutkan cerita. Mohon maaf bila dalam penulisan cerita ini masih banyak kesalahan dan kekurangan. Aku juga selalu menggantung cerita dan lama tidak menulis, karena pekerjaan di dunia nyata yang sangat banyak. Moga kalian suka dengan cerita yang aku suguhkan. Ambil yang baiknya dan buang yang jelek. Biar authornya gak dosa. Karena apa yang kita perbuat, akan dimintain pertanggungjawaban kelak. Semoga ada pelajaran berharga yang bisa diambil dari kisah ini. Sekali lagi terima kasih readers tercinta. Sampai jumpa di novelku berikutnya. Salam dan peluk jauh d
Adrian sudah menyiapkan tiket pesawat untuk pergi berbulan madu bersama Nadhira. Turki adalah tujuan wisata yang dipilihnya karena Nadhira pernah berkata padanya bahwa ia ingin sekali pergi ke sana. Tidak hanya keindahan alamnya yang menjadi daya tarik para wisatawan untuk pergi ke sana, di negara itu juga banyak tempat bersejarah yang wajib untuk dikunjungi. Nadhira sangat suka mengunjungi tempat-tempat bersejarah. Dan sekarang waktunya Adrian mewujudkan impian sang istri tercinta untuk pergi ke sana.Pagi ini mereka sudah bersiap pergi ke bandara. Nadhira tampak bersedih saat akan pamit pada ayah dan ibu mertuanya."Bu, titip Andra ya," ucap Nadhira sambil memeluk ibu mertuanya."Kamu tenang saja, Nak. Ibu dan Bapak akan menjaga anakmu dengan baik," balas Bu Widya, ibu mertuanya.Tak lama, Nadhira melerai pelukan lalu mengusap air matanya. Nadhira menangis karena inilah kali pertama ia akan meninggalkan Andra jauh. Namun, ia tidak khawatir l
Beberapa hari berlalu ....Setelah resmi menjadi istri Adrian dan berganti status sebagai nyonya Mahesa, Nadhira ikut bersama suaminya pindah ke Jakarta. Pagi-pagi sekali, ia menyiapkan barang-barangnya dan kebutuhan Andra ke koper. Setelah itu, ia pun pamit pada ayahnya."Ayah, aku pamit ya. Jaga diri Ayah baik-baik. Jaga kesehatan Ayah," ucap Nadhira dengan derai air mata. Dipeluknya sang ayah dengan erat. Rasanya berat sekali meninggalkan lelaki itu. Apalagi di usia Abah Abdur yang semakin senja. "Aku janji akan sering-sering ke sini menjenguk ayah," ucapnya lagi sambil terisak."Iya, Nak. Kamu tidak usah mengkhawatirkan ayah. Sekarang Ayah tenang, kamu udah ada yang jagain. Berbahagialah bersama suamimu di rumahmu yang baru. Ingat, jadilah istri yang baik untuk suamimu," sahut Abah Abdur. Lelaki itu tak kuasa menahan tangisnya.Anak perempuan satu-satunya yang ia miliki, harus ia relakan untuk laki-laki lain. Ia tidak bisa mencegah kepergian san
Acara resepsi yang diadakan sejak siang hari hingga menjelang Maghrib telah selesai digelar. Keluarga Adrian pun sudah pulang dari rumah Nadhira. Hanya Adrian yang masih berada di rumah itu karena sekarang ia sudah resmi menjadi suami Nadhira. Pernikahan di kampung tidak seperti pernikahan di kota. Suasana hajatan di sini masih terlihat ramai, walau deretan acara telah selesai dilaksanakan dan hari mulai malam. Tamu masih saja berdatangan. Mereka baru menyempatkan diri datang untuk memenuhi undangan setelah pulang dari bekerja. Kerabat Nadhira yang datang dari jauh memilih menginap dan mereka akan pulang esok hari. Adrian maklum, karena memang saudara dari istrinya itu jarang sekali menyambangi rumah kediaman mertuanya. Mereka baru berkumpul di saat ada acara-acara khusus saja, seperti hari ini. *** Adrian tengah bersama saudara-saudara istrinya. Lelaki itu dikerumuni oleh adik-adik sepupu dan keponakan dari sang istri. Ia diajak bermain adu panco kar
"Saya terima nikah dan kawinnya Nadhira Putri binti Abdurrahman dengan Mas kawin ... " "Adrian...!" Kalimat Adrian terputus saat suara ibu memanggilnya. Suara sang ibu terdengar menggelegar hingga ke kamar mandi Adrian. Saat ini Adrian sedang berada di dalam kamar mandi. Ia berdiri di depan wastafel dengan menghadap cermin tengah menghapal bacaan ijab kabul yang akan ia ucapkan saat pernikahannya nanti. Lelaki itu belum bersiap juga. Ia masih bertelanjang dada dan hanya mengenakan handuk yang melingkar di pinggangnya. "Aaah ... ibu mengganggu saja. Aku harus menghapal kalimat itu, supaya lancar nanti saat ijab kabul," keluhnya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Adrian, cepat sedikit! Kamu lagi ngapain sih, di dalam, lama banget? Ini udah jam berapa? Nanti kita terlambat sampai di sana!" seru Bu Widya lagi dari depan pintu kamar Adrian. "Iya, Bu, sebentar lagi aku keluar!" sahut Adrian dengan sedikit berteriak agar sang i
Adrian dan Nadhira sedang melakukan fitting baju pengantin di salah satu butik ternama di Jakarta. Sebuah gaun pengantin model kebaya berwarna putih dengan taburan payet, yang panjangnya menjuntai dan menutupi seluruh tubuhnya hingga kaki dan dipadukan dengan kain kebaya dengan motif yang mewah dan elegan, sangat pas di tubuh Nadhira yang sedikit berisi. Nadhira tampak cantik dalam balutan kebaya pengantin yang diserasikan dengan kerudung berwarna senada.Semua persiapan pernikahan lainnya sudah diurus oleh keluarga Adrian. Mulai dari dekorasi, catering, sampai undangan pernikahan. Pernikahan mereka akan digelar secara meriah dan dilaksanakan di rumah mempelai wanita.Sebenarnya, Nadhira ingin pernikahan yang sederhana saja yang hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat dekat. Namun, Adrian menolak. Dan itu sempat membuat keduanya bertengkar.Mana mungkin Adrian memberikan yang sederhana saja untuk seorang wanita yang begitu spesial di hatinya. Bahkan sebuah cinc
Tiba di hari lamaran. Adrian bersama keluarganya sedang dalam perjalanan menuju rumah Nadhira untuk melakukan lamaran malam itu. Sejumlah barang seserahan seperti pakaian, alas kaki berupa sepatu dan sandal, tas branded, sampai perlengkapan make up sudah memenuhi kabin belakang mobil yang dikendarai Hadi. Padahal Nadhira tidak meminta semua itu. Namun, ini sudah menjadi kebiasaan bagi sebagian masyarakat dalam acara lamaran. Selain itu, orang tua Adrian juga sudah menyiapkan barang berharga berupa seperangkat perhiasan emas untuk calon menantunya sebagai hadiah. Belum lagi sejumlah uang yang dipersiapkan Adrian untuk calon istrinya. Adrian yang duduk di kursi penumpang samping Hadi tampak gugup sambil memainkan ponselnya. Baru saja ia mengirim pesan pada Nadhira. Lelaki itu kemudian melihat ke arah kaca spion di depannya untuk mengecek penampilannya. "Gimana, Di, penampilan Masmu? Udah keren, kan?" tanyanya pada Hadi sambil merapikan tatanan rambutnya.
Hari itu juga Adrian pulang dari klinik. Nadhira tidak ikut mengantar Adrian ke rumahnya karena hari sudah hampir malam. Selain itu juga, ia harus segera pulang untuk memberi tahu Andra bahwa ayahnya baik-baik saja. Agar anak itu tidak khawatir. Sekarang mereka sedang berada di depan klinik. "Nadhira, kamu ikut kami saja pulangnya. Ini sudah malam," ajak Bu Widya saat mereka akan pulang. "Gak usah, Bu, terima kasih. Aku bawa motor," tolak Nadhira halus. Sebenarnya, ia merasa canggung dengan Bu Widya bila harus pulang bersama. Lagipula jarak klinik ke rumahnya tidak begitu jauh. "Beneran gak apa-apa?" tanya Bu Widya memastikan. "Gak apa-apa, Bu," jawab Nadhira sambil mengulas senyum. "Ya udah, ibu duluan ya," ucap Bu Widya kemudian masuk ke mobil. "Iya, Bu, hati-hati," sahut Nadhira. Ia masih belum percaya dengan apa yang dilihatnya. Sikap wanita paruh baya itu berubah drastis terhadapnya. Lebih ramah dibanding saat
Nadhira tersentak saat seseorang menghubunginya dan memberi tahu bahwa Adrian kecelakaan. Baru saja siang tadi, lelaki itu mengantarkan ia dan anaknya pulang dari rumah sakit lalu pergi lagi dengan tergesa-gesa. Dan tiba-tiba, ia mendapat kabar buruk bahwa lelaki itu kecelakaan. Dengan perasaan cemas, ia bergegas pergi ke klinik untuk mengecek keadaan Adrian. Karena orang yang meneleponnya memberi tahu bahwa Adrian ada di klinik dekat pertigaan kampung, tidak jauh tempat tinggalnya. Sebelumnya, ia pamit pada ayah juga anaknya. Mereka tidak kalah terkejut saat mendengar kabar buruk itu. Terutama Andra, anak kecil itu menangis saat mendengar ayahnya kecelakaan. Nadhira menenangkan Andra sebentar, sebelum akhirnya pergi ke klinik. Ia meminta agar Andra berdoa untuk ayah angkatnya. "Bunda mau lihat Ayah di klinik, kamu doakan Ayah Rian agar dia baik-baik saja ya, Nak," ucap Nadhira. "Iya, Bunda," sahut Andra terisak. Nadhira pe