"Saat ini juga kamu harus ceraikan Nadhira!" tegas ayahku sambil telunjuknya mengarah pada Mas Yusuf.
Aku terperanjat mendengarnya. Begitu juga Mas Yusuf. Ia berdiri kemudian berhadapan dengan ayahku dan menentangnya. Dua lelaki itu saling menatap tajam.
"Aku tidak mau menceraikan Nadhira, dan tidak akan pernah. Nadhira istriku dan selamanya akan menjadi istriku!" ucap suamiku lantang seolah mengajak ayahku berperang.
"Terserah!!! Tapi setelah ini Bapak yang akan mengurus perceraian kalian," ucap ayahku tidak mau kalah lalu beralih padaku.
"Ayo, Nadhira, kita pulang!" ajak ayah.
"Tapi, ayah..." ucapku.
"Ayo, pulang!" suruhnya lagi dengan wajah memerah dan menarik tanganku agar ikut dengannya.
Baru beberapa langkah kami maju, Mas Yusuf berteriak. "Tidak, Pak, aku tidak akan menceraikan Nadihira! Aku mencintai dia, dan kami sudah berjanji akan hidup bersama selamanya. Tidak ada yang bisa memisahkan kami. Aku tidak akan pernah menceraikannya. Dengar itu, Bapak Abdurrahman!"
"Nadhira... Nadhira...!" panggil Mas Yusuf.
Aku berjalan keluar gedung sambil menangis dan masih dalam genggaman kuat ayahku. Pandanganku menoleh ke belakang dan melihat suamiku yang terus berteriak memanggilku, berharap ayahku mendengar. Namun, seakan tuli, ayahku tidak mengindahkan menantunya itu. Kulihat orang-orang menatapku tajam dan kudengar bisik-bisik di antara mereka.
Ayah membawaku masuk ke mobil dengan amarah yang menggebu. Terlihat dari raut wajah dan deru napasnya yang memburu, sehingga dadanya tampak naik turun.
Adrian berlari menuju kursi kemudi setelah ayahku duduk di kursi depan.
Adrian melajukan mobilnya dan mengantarkan kami pulang ke rumah ayah. Selama perjalanan, aku hanya diam. Tangisku sudah reda, walau sedikit terisak, karena ayah memintaku untuk tidak menangisi laki-laki yang sudah menduakan diriku.
Kudengar ayah mengumpati suamiku dengan sarkas. Memaki walau orang yang ia bicarakan itu tidak ada di dekatnya.
"Sabar, Pak, tenangkan diri Bapak. Ingat kesehatan Bapak!" ucap Adrian kepada ayahku yang duduk di kursi sebelahnya, sambil memfokuskan diri menyetir.
"Suami macam apa yang meminta ijin pada istrinya untuk menikah lagi, padahal dia belum lama menikahi anakku? Dasar laki-laki brengs*k!" umpat ayahku.
"Itulah kenapa dari awal ayah gak setuju kamu menikah sama dia, Nadhira," ucap ayah padaku, tanpa melihat aku yang duduk di belakangnya.
"Ayah nyesel sudah menikahkan kamu sama Yusuf,' ucapnya lagi.
Aku hanya diam. Bibirku seakan terkunci untuk bicara. Kuusap jejak air mata yang masih saja keluar dari sudut mataku, padahal aku sudah berhenti menangis.
Tidak ada lagi pembicaraan di antara kami bertiga di dalam mobil yang melaju dengan lambat. Semua berada dalam pikiran masing-masing. Aku masih memikirkan ucapan ayahku yang memintaku untuk bercerai dengan Mas Yusuf.
***Kami sudah sampai di rumah ayah. Ayah keluar dari mobil dan membukakan pintu untukku.
"Cepat keluar dan segera masuk ke rumah!" suruhnya dengan suara tegas.
"Engga, Ayah, aku mau pulang ke rumah suamiku," tolakku masih berada di dalam mobil.
Ayah menarik tanganku kasar hingga akhirnya aku keluar dari mobil.
"Ayo, masuk!" suruh Ayahku.
"Engga, Ayah... kumohon biarkan aku pulang ke rumah suamiku," pintaku lagi sambil berusaha melepas genggaman ayah.
"Ayo, masuk!" Ayah membawaku masuk hingga ke ruang tamu rumahnya.
Aku terus meminta agar aku pulang ke rumah Mas Yusuf, karena bagaimanapun Mas Yusuf masih suamiku. Untuk tinggal di rumah ayah, aku harus meminta izin suamiku terlebih dahulu.
"Kamu ini memang keras kepala, Nadhira!" bentak ayahku sembari tangannya terangkat hendak menamparku. Namun, tangan itu tertahan di udara.
"Ada apa ini, Kang, ribut-ribut?" tanya Bi Asih yang masuk dari arah depan.
Ayah menurunkan kembali tangannya dengan mengepal.
"Besok kamu urus perceraianmu dengan Yusuf!" tegas ayahku. Bi Asih terperangah.
Aku langsung berlutut dan memohon padanya agar tidak memisahkan aku dengan Mas Yusuf.
"Ayah, kumohon jangan pisahkan aku dengan Mas Yusuf! Aku yakin dia akan selalu bersamaku, walaupun ia sudah memiliki istri lagi. Ia sangat mencintaiku, ayah... Ia sudah berjanji akan membahagiakanku," ucapku sembari memegang tangan ayah dengan pandangan mendongak ke arahnya. Deraian air mata membasahi pipiku.
"Kumohon, ayah, aku gak mau bercerai dari Mas Yusuf! Apa ayah tega, aku harus menjanda di usiaku yang masih muda? Apa kata tetangga nanti, pernikahanku pun belum lama, pasti akan banyak gunjingan yang datang padaku. Ayah tidak mau itu terjadi, bukan? Ayah, tolonglah pikirkan baik-baik!" kataku lagi.
Ayah tidak menjawab. Ia menepis kasar pegangan tanganku, kemudian bergegas masuk ke kamarnya. Ia menutup pintu itu dengan kencang.
Braak.
Aku tersentak lalu menangis sambil berlutut.
"Kunaon, Geulis? Ada apa kamu sama Yusuf?" Bi Asih menghampiriku. Aku berhambur memeluk Bi Asih.
"Tenang, nya, Geulis!" kata Bi Asih sambil mengusap punggungku.
"Bi, bilangin ayah, agar jangan memisahkan aku dengan Mas Yusuf," pintaku pada adik ayahku.
Bi Asih melerai pelukannya kemudian berucap, "Sok sekarang cerita sama Bibi! Udah, jangan nangis!"
Setelah tenang, aku pun menceritakan apa yang terjadi pada Bi Asih. Bi Asih kaget mengetahui ternyata aku dimadu oleh suamiku. Ia sempat marah mendengarnya. Namun, ia masih bersikap tenang dan bersedia untuk berbicara baik-baik dengan ayahku.
"Nanti Bibi coba bicara dengan ayahmu. Sabar, ya, biarkan ayahmu tenang dulu!" ucap Bi Asih saat sudah berada di luar rumah. Aku hendak pamit pulang padanya.
"Makasih, ya, Bi. Kalau begitu aku pulang dulu. Assalamu'alaikum," pamitku sambil mencium tangannya.
"Wa'alaikumsalam, hati-hati, Geulis!"
Adrian turun dari mobilnya. Saat aku mengobrol dengan Bi Asih, ia menunggu di mobilnya.
Aku masuk ke mobil Adrian setelah laki-laki itu membukakan pintu.
"Mari, Bi," pamit Adrian ramah.
Adrian masuk ke mobil dan segera melajukannya. Akupun pulang ke rumah suamiku diantar oleh Adrian.
Mobil Adrian berhenti di depan rumahku. Bi Ira membukakan pintu setelah aku memencet bel rumahku.
"Rian, makasih, ya, untuk semuanya," ucapku sebelum ia pulang.
"Sama-sama, Dira. Sebaiknya kamu istirahat dan jangan berpikir yang macam-macam!" sarannya. "Baiklah aku pamit." Ia pun pamit.
"Ya, hati-hati."
Adrian berjalan ke arah mobil. Sebelum masuk, ia menoleh ke arahku lagi. Aku mengulas senyum, menunjukkan padanya bahwa aku baik-baik saja. Walau pada kenyataannya tidak.
Tak lama, Adrian masuk dan melajukan mobilnya. Setelah mobil Adrian hilang dari pandangan, barulah aku masuk ke rumah.
"Non, baru pulang? Gimana acaranya lancar?" tanya Bi Ira saat aku sudah berada di dalam.
"Ah, iya, Bi. Alhamdulillah, semua berjalan lancar," jawabku berbohong. Tidak mungkin aku mengatakan terjadi keributan di pernikahan suamiku.
Bi Ira menawariku untuk makan. Namun, aku menolaknya. Aku tidak lapar. Aku hanya lelah dan ingin segera mencapai kamarku. Aku ingin merebahkan daksaku di pembaringan hingga terlelap dan melupakan sejenak soal ayahku yang meminta agar aku dan Mas Yusuf bercerai.
Cerai? Apa aku harus bercerai dengan suamiku? Apa aku sanggup hidup tanpa Mas Yusuf, laki-laki kedua yang sangat aku cintai setelah ayahku?
.
.
.
*Geulis : Cantik
Bersambung....
Tiga hari setelah pernikahan mereka, Mas Yusuf belum juga menghubungiku. Setiap hari bahkan setiap detik aku menunggu telepon darinya. Namun, tak kunjung ponselku berdering dan menampilkan namanya di layar. Aku selalu berprasangka baik padanya, mungkin ia masih harus menjalani serangkaian acara pernikahan yang digelar di berbagai tempat, mengingat Naura adalah orang penting di perusahaannya. Atau, memang Mas Yusuf sedang sibuk dengan tumpukan pekerjaan di kantornya setelah beberapa hari cuti menikah.Sudah tiga hari pula, aku berangkat dan pulang dari tempatku mengajar seorang diri dengan mengendarai skutermatic-ku. Beruntung aku bisa mengendarai kendaraan roda dua itu, sehingga aku tidak perlu merepotkan orang lain untuk mengantar jemputku ke sekolah.Adrian selalu menawariku tumpangan agar ikut bersamanya. Saat kebetulan ia lewat sekolahku atau pagi-pagi sekali ia sengaja datang ke rumah untuk menjemputku. Namun, aku menolak ajakannya karena merasa tidak enak terhada
Hari berganti hari. Waktu seakan berjalan lambat. Satu Minggu itu rasanya seperti satu abad bagiku, saat aku menunggu kepulangan Mas Yusuf ke rumah kami. Setiap malam, aku tidak bisa tidur nyenyak karena tidak ada dia di sisiku. Biasanya setiap malam, ia yang membelai rambutku sambil kami bercerita tentang keseharian kami di tempat kerja masing-masing. Cerita itu seperti pengantar tidur kami hingga kami terlelap ke alam mimpi."Ah... apa kabarmu, Mas? Aku kangen kamu," desahku.Kuambil ponsel di atas nakas. Aku mengecek apakah ada pesan dari Mas Yusuf untukku. Nihil. Tidak ada pesan dari nomor Mas Yusuf, hanya beberapa pesan dari temanku dan grup di aplikasi W****Appku."Hah!" desahku lagi penuh kecewa. Mas Yusuf belum juga menghubungiku.Aku merebahkan tubuh sambil menatap layar ponsel yang kubiarkan menyala. Aku masih menunggu telepon dari suamiku. Siapa tahu ia meneleponku malam ini. Namun, hingga hampir tengah malam, ponsel yang tergolek di samp
"Untuk pelajaran hari ini kita cukupkan sampai di sini. Kita lanjutkan pada pertemuan berikutnya dengan presentasi setiap kelompok. Silakan kalian persiapan kelompoknya masing-masing dan materi yang akan diskusikan Minggu depan! Kalian paham?" kataku kepada murid-murid. Aku baru saja selesai mengajar dan waktu belajar untuk hari ini sudah habis. "Paham, Bu," sahut mereka berbarengan. Setelah berdoa, mereka berbondong-bondong bergegas keluar kelas untuk pulang. Aku masih sibuk merapikan buku-buku pelajaran di mejaku. Pelajaran Ekonomi adalah mata pelajaran yang aku ampu dan kuajarkan pada murid-murid kelas X, sesuai dengan latar belakang pendidikanku yang bergelar Sarjana Ekonomi. Gelar yang dengan susah payah aku dapatkan. karena sempat terkendala pada biaya di semester akhir. Hampir saja aku tidak bisa mengikuti ujian akhir kalau saja Adrian tidak melunasi tagihan semesterku. Aku banyak berhutang budi padanya. Rasanya, aku tidak bisa membalas kebaikan Adrian, sahaba
Aku tengah memasak sarapan untuk suamiku di dapur. Tak henti bibir ini menyunggingkan senyuman, mengingat apa yang aku dan Mas Yusuf lakukan semalam. Kami saling melepas kerinduan, sampai-sampai, dini hari kami baru tertidur. Hatiku sedang berbunga pagi ini. Wajahku pun sudah tidak muram lagi. Aku lebih ceria dibanding pagi kemarin. Sambil tanganku membolak-balik masakan di wajan, aku mendendangkan sebuah lagu cinta yang mengalun merdu dari aplikasi musik yang aku nyalakan di ponselku. Lagu yang aku nyanyikan adalah lagu yang sangat kusuka, karena selalu mengingatkanku pada laki-laki yang berstatus suamiku. Saat lagu itu berhenti, aku merasakan tangan kekar seseorang melingkar di pinggangku dan memelukku dari belakang. Sontak aku menoleh dan melihat wajah suamiku yang sudah tampak segar. Wangi parfum dari tubuhnya mengguar di hidungku. "Selamat pagi, sayang!" sapanya sambil mencium pipiku. "Pagi, Mas," balasku kemudian tersenyum la
Aku sudah rapi dengan setelan kantor yang sudah disiapkan Nadhira untukku. Aku keluar kamar dan menuruni tangga menuju meja makan. Namun, saat aku sudah berada di anak tangga terakhir, kudengar suara merdu seorang wanita yang sedang bernyanyi. Suara nyanyian itu terdengar dari arah dapur. Ternyata Nadhira memasak sambil bernyanyi, mengikuti nyanyian dari ponselnya. Aku melangkah ke dapur agar lebih dekat mendengarnya. Aku bersender di tembok dekat dapur sambil menyilangkan tangan di dada. Pandanganku terarah lurus pada wanita yang selalu mengenakan daster rumahan, tapi tampak seksi menurutku. Aku suka dengan penampilannya seperti itu bila sedang berada di rumah. Cantik, menawan, dan seksi. Bila di luar rumah, semua orang menghormatinya. Selain cantik, ia juga berwibawa dengan pakaian dinas gurunya. Sepulang makan malam romantis dengannya, aku tidak membiarkannya tidur walau hanya semenit, karena aku sangat merindukannya. Sepanjang malam aku bersamanya.
Sesampainya di kantor, aku langsung menuju ruangan Naura dengan penuh amarah. Aku tidak peduli pada beberapa staf yang menyapaku. Aku terus melangkah dengan cepat untuk menanyai istri keduaku itu. Saat sudah di depan ruangan Naura, aku membuka pintu dengan kencang.Brakk.Naura terperanjat. Ia yang tengah duduk di kursi kebesarannya, segera bangkit."Mas, apa yang kamu lakukan? Seharusnya kamu ketuk pintu dulu sebelum masuk. Jaga sopan santunmu, ya, ingat ini kantor!" Ucapan Naura seketika membuatku tertawa."Hahaha... jaga sopan santun katamu? Aku ini suamimu. Apa aku harus bersikap sopan pada wanita yang sudah membohongi istriku?" timpalku sambil mendekat padanya."Jaga sikapmu, ya, Yusuf! Aku ingatkan, ini kantor. Aku atasanmu dan kamu bawahanku. Lagi pula, kenapa kamu baru datang sudah siang begini, heh?" sergah Naura."Oh, gitu, ya, begini cara kamu memperlakukan aku sebagai suami?" tanyaku sambil tersenyum sinis."Sudah ku
Mobilku sudah memasuki gerbang rumah mewah Naura. Aku segera turun dan membawa Naura ke dalam rumah. Sengaja aku memarkirkan mobil di pelataran depan rumah, agar aku bisa langsung pulang setelah mengantarkan Naura ke kamarnya. Aku mendudukkan Naura di tepi ranjang. Kuangkat kedua kakinya dan meluruskannya di atas kasur, kemudian membuka sepatunya dan kuletakkan di bawah dekat ranjang. Kulihat kakinya yang terkilir tampak lebam dan bengkak. Tanpa banyak bicara, aku keluar kamar untuk mengambil krim pereda nyeri di kotak obat yang ada di lantai bawah, kemudian berlari kembali ke kamar setelah mendapatkannya. Aku duduk di tepi ranjang dan membalurkan krim hangat pada kaki Naura dengan hati-hati untuk mengurangi rasa sakitnya. "A-akh!" Naura meringis. Aku memijatnya secara perlahan. Ia pun mulai rileks merasakan pijatan di kakinya. Melihatnya sudah lebih baik, aku pamit padanya. "Aku pulang sekarang," ucapku sambil bangkit dari duduk. Naura menari
"Dek, malam ini aku pulang ke rumah Naura. Tadi dia menelponku," ucap suamiku. "Bukannya baru kemarin kamu di rumah Naura, Mas?" tanyaku curiga. Sepertinya ada yang disembunyikannya. "Hem... itu. Sebenarnya... Naura sedang hamil, Dek," ungkap Mas Yusuf akhirnya. "Apa?! Naura hamil, Mas?" Aku tercengang dengan pernyataan Mas Yusuf yang mengatakan bahwa Naura hamil. "Kenapa, Mas? Kamu bilang gak akan melakukan kewajiban kamu sebagai suami kepadanya, tapi kenapa Naura hamil?" tanyaku lagi sambil memukul-mukul dadanya. Aku sangat kecewa padanya karena ia telah mengingkari janjinya padaku. Ia bilang hanya menemani Naura saja dan tidak melakukan lebih. Tapi kenyataannya, maduku hamil. "Maafkan aku, Nadhira! Aku tidak bisa menahan perasaanku. Aku laki-laki normal." "Hehh, bilang saja kamu gak cukup cuma satu istri, Mas. Amanat ayahmu, itu hanya akal-akalan kamu supaya bisa menikah lagi," desisku sinis. "Nadhira!" panggil
Alhamdulillah... akhirnya rampung juga novel Suami Bersama. Terima kasih atas dukungan kakak-kakak yang sudah menyempatkan waktu dan membeli koin untuk membaca ceritaku sampai akhir. Semoga Allah menggantinya dengan rezeki yang lebih banyak lagi. Aamiin... Dukungan, vote, dan komen positif yang kalian berikan seperti penyemangat buatku. Sehingga aku semakin bersemangat untuk melanjutkan cerita. Mohon maaf bila dalam penulisan cerita ini masih banyak kesalahan dan kekurangan. Aku juga selalu menggantung cerita dan lama tidak menulis, karena pekerjaan di dunia nyata yang sangat banyak. Moga kalian suka dengan cerita yang aku suguhkan. Ambil yang baiknya dan buang yang jelek. Biar authornya gak dosa. Karena apa yang kita perbuat, akan dimintain pertanggungjawaban kelak. Semoga ada pelajaran berharga yang bisa diambil dari kisah ini. Sekali lagi terima kasih readers tercinta. Sampai jumpa di novelku berikutnya. Salam dan peluk jauh d
Adrian sudah menyiapkan tiket pesawat untuk pergi berbulan madu bersama Nadhira. Turki adalah tujuan wisata yang dipilihnya karena Nadhira pernah berkata padanya bahwa ia ingin sekali pergi ke sana. Tidak hanya keindahan alamnya yang menjadi daya tarik para wisatawan untuk pergi ke sana, di negara itu juga banyak tempat bersejarah yang wajib untuk dikunjungi. Nadhira sangat suka mengunjungi tempat-tempat bersejarah. Dan sekarang waktunya Adrian mewujudkan impian sang istri tercinta untuk pergi ke sana.Pagi ini mereka sudah bersiap pergi ke bandara. Nadhira tampak bersedih saat akan pamit pada ayah dan ibu mertuanya."Bu, titip Andra ya," ucap Nadhira sambil memeluk ibu mertuanya."Kamu tenang saja, Nak. Ibu dan Bapak akan menjaga anakmu dengan baik," balas Bu Widya, ibu mertuanya.Tak lama, Nadhira melerai pelukan lalu mengusap air matanya. Nadhira menangis karena inilah kali pertama ia akan meninggalkan Andra jauh. Namun, ia tidak khawatir l
Beberapa hari berlalu ....Setelah resmi menjadi istri Adrian dan berganti status sebagai nyonya Mahesa, Nadhira ikut bersama suaminya pindah ke Jakarta. Pagi-pagi sekali, ia menyiapkan barang-barangnya dan kebutuhan Andra ke koper. Setelah itu, ia pun pamit pada ayahnya."Ayah, aku pamit ya. Jaga diri Ayah baik-baik. Jaga kesehatan Ayah," ucap Nadhira dengan derai air mata. Dipeluknya sang ayah dengan erat. Rasanya berat sekali meninggalkan lelaki itu. Apalagi di usia Abah Abdur yang semakin senja. "Aku janji akan sering-sering ke sini menjenguk ayah," ucapnya lagi sambil terisak."Iya, Nak. Kamu tidak usah mengkhawatirkan ayah. Sekarang Ayah tenang, kamu udah ada yang jagain. Berbahagialah bersama suamimu di rumahmu yang baru. Ingat, jadilah istri yang baik untuk suamimu," sahut Abah Abdur. Lelaki itu tak kuasa menahan tangisnya.Anak perempuan satu-satunya yang ia miliki, harus ia relakan untuk laki-laki lain. Ia tidak bisa mencegah kepergian san
Acara resepsi yang diadakan sejak siang hari hingga menjelang Maghrib telah selesai digelar. Keluarga Adrian pun sudah pulang dari rumah Nadhira. Hanya Adrian yang masih berada di rumah itu karena sekarang ia sudah resmi menjadi suami Nadhira. Pernikahan di kampung tidak seperti pernikahan di kota. Suasana hajatan di sini masih terlihat ramai, walau deretan acara telah selesai dilaksanakan dan hari mulai malam. Tamu masih saja berdatangan. Mereka baru menyempatkan diri datang untuk memenuhi undangan setelah pulang dari bekerja. Kerabat Nadhira yang datang dari jauh memilih menginap dan mereka akan pulang esok hari. Adrian maklum, karena memang saudara dari istrinya itu jarang sekali menyambangi rumah kediaman mertuanya. Mereka baru berkumpul di saat ada acara-acara khusus saja, seperti hari ini. *** Adrian tengah bersama saudara-saudara istrinya. Lelaki itu dikerumuni oleh adik-adik sepupu dan keponakan dari sang istri. Ia diajak bermain adu panco kar
"Saya terima nikah dan kawinnya Nadhira Putri binti Abdurrahman dengan Mas kawin ... " "Adrian...!" Kalimat Adrian terputus saat suara ibu memanggilnya. Suara sang ibu terdengar menggelegar hingga ke kamar mandi Adrian. Saat ini Adrian sedang berada di dalam kamar mandi. Ia berdiri di depan wastafel dengan menghadap cermin tengah menghapal bacaan ijab kabul yang akan ia ucapkan saat pernikahannya nanti. Lelaki itu belum bersiap juga. Ia masih bertelanjang dada dan hanya mengenakan handuk yang melingkar di pinggangnya. "Aaah ... ibu mengganggu saja. Aku harus menghapal kalimat itu, supaya lancar nanti saat ijab kabul," keluhnya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Adrian, cepat sedikit! Kamu lagi ngapain sih, di dalam, lama banget? Ini udah jam berapa? Nanti kita terlambat sampai di sana!" seru Bu Widya lagi dari depan pintu kamar Adrian. "Iya, Bu, sebentar lagi aku keluar!" sahut Adrian dengan sedikit berteriak agar sang i
Adrian dan Nadhira sedang melakukan fitting baju pengantin di salah satu butik ternama di Jakarta. Sebuah gaun pengantin model kebaya berwarna putih dengan taburan payet, yang panjangnya menjuntai dan menutupi seluruh tubuhnya hingga kaki dan dipadukan dengan kain kebaya dengan motif yang mewah dan elegan, sangat pas di tubuh Nadhira yang sedikit berisi. Nadhira tampak cantik dalam balutan kebaya pengantin yang diserasikan dengan kerudung berwarna senada.Semua persiapan pernikahan lainnya sudah diurus oleh keluarga Adrian. Mulai dari dekorasi, catering, sampai undangan pernikahan. Pernikahan mereka akan digelar secara meriah dan dilaksanakan di rumah mempelai wanita.Sebenarnya, Nadhira ingin pernikahan yang sederhana saja yang hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat dekat. Namun, Adrian menolak. Dan itu sempat membuat keduanya bertengkar.Mana mungkin Adrian memberikan yang sederhana saja untuk seorang wanita yang begitu spesial di hatinya. Bahkan sebuah cinc
Tiba di hari lamaran. Adrian bersama keluarganya sedang dalam perjalanan menuju rumah Nadhira untuk melakukan lamaran malam itu. Sejumlah barang seserahan seperti pakaian, alas kaki berupa sepatu dan sandal, tas branded, sampai perlengkapan make up sudah memenuhi kabin belakang mobil yang dikendarai Hadi. Padahal Nadhira tidak meminta semua itu. Namun, ini sudah menjadi kebiasaan bagi sebagian masyarakat dalam acara lamaran. Selain itu, orang tua Adrian juga sudah menyiapkan barang berharga berupa seperangkat perhiasan emas untuk calon menantunya sebagai hadiah. Belum lagi sejumlah uang yang dipersiapkan Adrian untuk calon istrinya. Adrian yang duduk di kursi penumpang samping Hadi tampak gugup sambil memainkan ponselnya. Baru saja ia mengirim pesan pada Nadhira. Lelaki itu kemudian melihat ke arah kaca spion di depannya untuk mengecek penampilannya. "Gimana, Di, penampilan Masmu? Udah keren, kan?" tanyanya pada Hadi sambil merapikan tatanan rambutnya.
Hari itu juga Adrian pulang dari klinik. Nadhira tidak ikut mengantar Adrian ke rumahnya karena hari sudah hampir malam. Selain itu juga, ia harus segera pulang untuk memberi tahu Andra bahwa ayahnya baik-baik saja. Agar anak itu tidak khawatir. Sekarang mereka sedang berada di depan klinik. "Nadhira, kamu ikut kami saja pulangnya. Ini sudah malam," ajak Bu Widya saat mereka akan pulang. "Gak usah, Bu, terima kasih. Aku bawa motor," tolak Nadhira halus. Sebenarnya, ia merasa canggung dengan Bu Widya bila harus pulang bersama. Lagipula jarak klinik ke rumahnya tidak begitu jauh. "Beneran gak apa-apa?" tanya Bu Widya memastikan. "Gak apa-apa, Bu," jawab Nadhira sambil mengulas senyum. "Ya udah, ibu duluan ya," ucap Bu Widya kemudian masuk ke mobil. "Iya, Bu, hati-hati," sahut Nadhira. Ia masih belum percaya dengan apa yang dilihatnya. Sikap wanita paruh baya itu berubah drastis terhadapnya. Lebih ramah dibanding saat
Nadhira tersentak saat seseorang menghubunginya dan memberi tahu bahwa Adrian kecelakaan. Baru saja siang tadi, lelaki itu mengantarkan ia dan anaknya pulang dari rumah sakit lalu pergi lagi dengan tergesa-gesa. Dan tiba-tiba, ia mendapat kabar buruk bahwa lelaki itu kecelakaan. Dengan perasaan cemas, ia bergegas pergi ke klinik untuk mengecek keadaan Adrian. Karena orang yang meneleponnya memberi tahu bahwa Adrian ada di klinik dekat pertigaan kampung, tidak jauh tempat tinggalnya. Sebelumnya, ia pamit pada ayah juga anaknya. Mereka tidak kalah terkejut saat mendengar kabar buruk itu. Terutama Andra, anak kecil itu menangis saat mendengar ayahnya kecelakaan. Nadhira menenangkan Andra sebentar, sebelum akhirnya pergi ke klinik. Ia meminta agar Andra berdoa untuk ayah angkatnya. "Bunda mau lihat Ayah di klinik, kamu doakan Ayah Rian agar dia baik-baik saja ya, Nak," ucap Nadhira. "Iya, Bunda," sahut Andra terisak. Nadhira pe