Aliesha tahu siapa yang harus dia datangi. Baru berapa hari kalimat ancaman itu dia layangkan, kini sudah diserangnya ibu muda itu tanpa ampun.Langkah kakinya sudah tak bisa dihalangi lagi.Meski sekuriti dan beberapa orang yang ada di lobby telah mencegahnya, Aliesha tetap saja naik ke atas lift dan menemui orang yang dia cari.Tulisan ‘ PT Anderson Utama’ terpampang jelas di dinding luar lift saat dia mencari ruangan CEO.“Maaf, apa Anda sudah ada janji?”Lagi-lagi dia harus melewati serangkaian protokoler yang memakan banyak waktu.“Saya tidak perlu membuat janji dengan mantan suamiku.” Itu saja yang Aliesha katakan pada seorang asisten pribadi Noah.“Biarkan dia masuk.” Tak dinyana sosok lelaki buronan Aliesha baru sampai di depan pintu.“Tapi, Pak Noah. Dia ini tadi nyelonong masuk office dan memaksa sekuriti untuk membiarkannya ke sini. jadi saya pikir…” Asisten pribadi Bernama Monica it uterus menjelaskan apa yang terjadi.Telinga Noah tak bisa mencernanya karena baginya ini a
Mendapatkan serangan mendadak, nyaris membuat nafasnya putus. Ini di luar prediksinya.Dalam benaknya, saat membenci seseorang, seharusnya tubuhnya tak bereaksi sebergairah ini. Tubuh Aliesha sudah mengkhianati hatinya.“Noah…” Aliesha tak mampu bicara lagi.Semua memori kebencian itu mendadak sirna seketika. Ciuman yang dia rasakan masih sama seperti dulu. Noah selalu dominan dan demanding.Tak ada yang berubah dari jurus yang dia gunakan. Itu masih sama dan rupanya masih berefek membius untuk Aliesha.“Jika tidak ingat kamu habis melahirkan, mungkin aku sudah melalapmu di atas meja besar ini!” Kalimat nakal itu justru membuat Aliesha terbangun dari tidur panjangnya.Selama ini dia menggunakan cara-cara ‘dirty’ untuk memuaskan keinginannya sendiri.Aliesha memberikan akses lebih ke dirinya.“Aku tahu kamu juga menginginkan ini, my lady boss!” gerakan tangan Noah semakin fasih dibantu dengan lidahnya yang pandai bermain juga. “Kamu tahu Aliesha, berapa lama aku harus rela membayangkan
Tawa Aliesha seketika keluar saat mendengar Ben mengatakan istilah ‘menyusu’.“Memangnya kamu anakku, kok mau menyusu?” ucapnya sambil meninggalkan kamar tidur menuju ke tempat tidur si kembar.“Non, sebaiknya Non Aliesha pumping saja ASI-nya biar tidak terlalu rewel begini.” Lastri menyarankan agar majikannya mematuhi saran dokter.Mengingat dia adalah wanita karir yang juga sibuk di luar sekali-kali.“Tapi saya masih menikmati proses menyusui mereka langsung Bi. Gimana ya? Berat rasanya kalau cuman dikasih ASI dari botol. Itu juga saya penginnya bisa ada bonding sama mereka!”Aliesha memang sedikit keras kepala sejak dulu. Meski beberapa hari ini akhirnya dia kerepotan sendiri dan nyaris tak bisa ke mana-mana.Setiap saat harus stand by untuk meng-ASI mereka.“Bibi tahu Non. Tapi anaknya Non Aliesha ini cowok semua. Anak cowok itu jatah ASI lebih banyak dari pada anak cewek, Non.
Ingin rasanya berteriak sekuat-kuatnya untuk melepaskan beban di pikirannya saat ini. Tapi, itu tak akan menjadi solusi. Ben sejak pagi tak bisa dihubungi. Nomornya selalu dialihkan. Ada apa ini? Kenapa saat genting justru dia tak bisa dicari? Aliesha bingung sendiri di kantor. Anak buahnya masih harus menyelesaikan target bulanan atau mereka tak akan gajian. Persediaan uang untuk biaya operasional semakin menipis. Proyek-proyek besarnya harus mandeg dan tak mungkin dia mengajukan pinjaman ke bank. Sementara keluarganya sudah masuk daftar buku hitam. “Aliesha…” Ayahnya yang sejak hari ini sudah mulai bisa berjalan menyapanya. Tumben ayahnya mengunjunginya di kantor depan rumah. “Ayah? Baru selesai olahraga sama berjemur?” Dia menyambut ayahnya dan mencarikan segera tempat duduk. Kata dokter memang ayahnya belum boleh terlalu lelah berjalan. “Iya. Aku sudah kuat jalan sampai ujung perumahan.” Katanya bangga. “Si kembar tadi juga berjemur sama aku.” Kini Ayahnya sudah mulai l
Jantung Aliesha seperti berhenti berdegup ketika ayahnya menanyakan siapa ayah anak-anaknya. Betapa pertanyaan yang sebenarnya dia tahu jawabannya tapi yang jelas itu tak akan bisa dicerna oleh sang ayah.“Siapa ayahnya? Apa kamu hamil di luar nikah dan aku tidak kamu beritahu?” Sang ayah melanjutkan pertanyaan yang tadi dilontarkan.Sekarang ayahnya terlihat lebih mirip seperti anak usia PAUD daripada seorang kakek.Sari yang baru datang ikut bingung. Dia berpandangan dengan majikan wanitanya yang seolah bertanya padanya apa jawaban yang harus diberikan.“Tuan, susunya sudah dibuatkan Bi Lastri tadi. Sebaiknya segera diminum. Mari saya antarkan.” Lengan Tuan Martin dipegang oleh Sari untuk diarahkan ke kamar.“Mungkin sebaiknya kita cari orangnya, Aliesha. Jangan mau kamu disia-siakan begini. Apa keluarga lelaki itu kaya raya atau miskin?” ayahnya masih saja belum mau beranjak pergi.Batin Aliesha teriris
“Apa kalian sedang bermain-main malam-malam begini?” Ayahnya berseloroh membuat Aliesha bingung harus bagaimana menjelaskan. Noah tiba-tiba melepaskan begitu saja jeratannya. Dia khawatir kalau-kalau Tuan Martin akan menyerang karena dia ketahuan hendak membekap Aliesha. “Ayah, kenapa ayah belum tidur? Kemarin-kemarin malam kan sudah tidur di jam segini?” Aliesha mengingatkan. “Kamu kenapa main-main sama sopir? Itu si kembar siapa yang menjaga?” Ayahnya protes layaknya anak kecil. Noah tidak mengerti apa yang sedang terjadi. “Cepatlah pergi dari sini atau kamu akan aku panggilkan satpam perumahan.” Aliesha membisikkan kalimat itu agar Noah segera pulang. “Tidak semudah itu. Apa yang terjadi pada ayahmu, Aliesha?” tanya Noah masih dalam volume suara pelan. Dia tak ingin Tuan Martin mendengar dan bisa saja keadaan menjadi runyam. “Sudah. Ini bukan urusanmu. Cepat pulang sana!” seru Aliesha sambil mencubit lengan Noah. “Aku tidak akan pulang sebelum kamu membiarkan aku menjenguk
Komplotan pria kekar yang rupanya debt collector itu tak mengerti dengan maksud perkataan Aliesha."Hah, kami bukan suruhannya. Bos kami bukan orang sembarangan!" ucap salah satu di antara debt collector itu."Tidak perlu menutup-nutupi. Berapa upah yang kalian terima sebagai tukang tagih hutang, hah?" Giliran sekarang Aliesha yang menaikkan volume suara.Noah mencegah untuk tidak cari gara-gara dengan para debt collector itu."Sudahlah." Noah berencana untuk menyudahi saja huru-hara yang terjadi malam-malam. “Sekarang apa mau kalian?”Khawatir nanti akan mengganggu ketenangan tetangga, Noah berupaya mencari jalan tengah saja.“Kamu anak muda, jangan macam-macam sama kami!” pria berperawakan seperti algojo itu mendekati Noah dan mencengkram lehernya. “Mau aku lumat dengan tangan kosongku?”Bukannya takut, Noah justru makin melawan. “Hajar saja kalau kamu berani! Siapa yang menyuruhmu, katakan sekarang dan aku akan menemuinya!”“Dasar anak muda kurang ajar. Berani-beraninya kamu sama a
Goresan dan gesekan dengan lantai paving yang mengena di tubuhnya menyisakan rasa pedih luar biasa.Berkali-kali Noah hanya meringis saat Aliesha membersihkan lukanya dengan alkohol.“Pelan-pelan saja!” Rutuknya karena menganggap Aliesha masih terlalu kasar mengoleskan cotton bud ke lukanya.“Ini sudah pelan-pelan. Kamu jangan banyak gerak!” Aliesha merasa apa yang dia kerjakan tidak ada yang salah.Sudah sesuai dengan prosedur yang seharusnya. Walau bagaimanapun dia dulunya berpengalaman sebagai seorang PMR di masa sekolah.“Kalau tidak ikhlas menolongku, biarkan saja luka-luka ini. Kamu tidur saja sana! Aku bisa membersihkannya sendiri.” Noah makin cerewet seperti balita.“Heran aku! Bukannya berterima kasih malah ngomel dan ngeluh terus.” Aliesha membuang cotton bud itu ke dalam keranjang sampah.Lalu beranjak pergi meninggalkan Noah terbaring di sofa ruang keluarga.“Apa
Beberapa tahun kemudian..."Aku sungguh bangga kepadamu!" Kakek menepuk pundak cucu kebanggaannya yang telah berhasil membuat perusahaannya menjadi semakin besar dan sukses hingga ke kancah internasional."Terima kasih, Kakek. Ini semua tak lepas dari bantuan Kakek serta Ricky juga." Ucap Noah sambil menepuk bahu sepupunya.Keduanya memang diberikan mandat untuk memegang perusahaan milik McLaren yang tak main-main asetnya kini."Sama-sama..." Ricky nampak tersenyum dan rupanya di sebelahnya sudah ada seorang wanita cantik bertubuh seksi yang menggamit lengannya."Apalagi sejak ada Cassandra, kamu semakin bersemangat bekerja, Ricky. Tidak sia-sia perjuanganku menjodohkanmu dengan dia..." Kakeknya tertawa."Kakek, terima kasih sudah memperkenalkan saya pada Ricky. Dia adalah lelaki terbaik dan sempurna yang pernah saya ketahui..." Cassandra mengucapkannya dengan tulus.Sedangkan Noah masiih nampak diam tak bereaksi saat orang di sekelilingnya menikmati perbicangan. Sudah hampir tiga tah
Masih dengan mulut yang terkunci rapat, Tuan Martin tak bisa merespon."Apa katamu?" Itu saja kalimat yang bisa dia katakan saat tahu Noah meminta maaf padanya.Dosanya terlalu banyak, dia harus memastikan Noah meminta maaf dalam hal apa dulu ini."Iya, saya minta maaf telah menuduh Om Martin sebagai penyebab Ben celaka dalam kematiannya itu. Saya mewakili keluarga meminta maaf yang sebesar-besarnya..." Kata Noah sambil menundukkan kepala.Tuan Martin mengamati pemuda itu. Tak ada unsur yang dibuat-buat apa lagi pura-pura. Dia terlihat sangat serius dan tidak main-main.Ini di luar ekspektasinya, jelas tak mungkin seorang searogan dan sesombong Noah mau merendahkan diri untuk meminta maaf."Aku sudah tak bisa percaya apapun yang keluar dari mulutmu, McLaren!" Bentak Tuan Martin.Anehnya, Noah tak bereaksi frontal meski Tuan Martin sudah memancing amarahnya dan bahkan menghina perilakunya saat meminta maaf begitu."Apa yang harus aku lakukan sehingga Om Martin mempercayaiku?" Noah namp
Noah mendengarkan apa yang dijelaskan oleh pihak kepolisian dengan seksama. Rasanya seperti tak percaya saja dengan apa yang mereka jelaskan.Betapa dia selama ini telah merasa bersalah karena meminjam mobil sepupunya itu sementara mobilnya dikenakan oleh Ben."Tidak ada hal yang mencurigakan selain memang proses perbaikan yang belum selesai." Kata polisi itu mengulangi penjelasannya."Lalu, apa sepupu saya tahu soal mobil yang belum selesai itu?" Noah masih penasaran. "Kata pihak bengkel mobil yang menjalankan pembenahan terhadap mobil itu, korban sudah diberi tahu soal pekerjaan yang belum selesai tapi tetap saja katanya ingin dipakai secepatnya dan dia tak bisa menunggu lebih lama lagi." Jawab polisi itu.Tuan Martin dan Noah saling berpandangan karena merasa saling tuduh satu sama lain. Mertua Ben itu masih mengira kalau Noah sengaja menjebak Ben dengan membiarkan mobil yang masih setengah selesai dikerjakan itu agar dikemudikan oleh menantunya.Padahal jelas-jelas hal itu memba
"Noah, apa yang terjadi?" Aliesha bertanya sambil merangkul sosok di depannya itu.Tangannya gemetar karena membayangkan hal yang tak diinginkan."Cepat jaga Nona Aliesha!" Noah mendengar suara beberapa orang yang berlarian di lantai dua namun dia belum berani membuka pintu."Nona Aliesha, ini kami. Jangan keluar dulu karena di luar masih berbahaya." Rupanya itu adalah pengawal ayahnya."Apa yang terjadi?" Noah bertanya dari balik pintu namun masih menjaga jarak agar tak langsung berada di depan pintu. Khawatir kalau-kalau terjadi hal yang tidak diinginkan."Orang yang dulu disuruh menembak mobilmu, Noah, dia membalas akan menembak Tuan Martin. Tapi beruntunglah tembakan itu meleset dan dia sudah ditembak di tempat oleh pengawal lain..." Jelasnya."Saat kami berdua naik ke atas tadi, dia memang akan melarikan diri ke sini, jadi kami berinisiatif untuk mengamankan Nona Aliesha..." Jawab yang lain."Baik, terima kasih. Kami baik-baik saja. Tolong jaga kami selagi... kami masih di dalam
"Kesalah pahaman bagaimana?" Noah mulai terlihat menegang. Dia tak yakin akan siap dengan apa yang akan dia dengar nanti."Saat itu seingatku memang Tuan Martin sudah mengincarmu..." Bi Lastri masih menunggu reaksi Noah.Jika dia rasa nanti Noah akan bereaksi hiper, maka Bi Lastri akan berhenti bercerita."Mengincar?" Noah bertanya namun terlihat kalau dia masih ingin mendengarkan cerita selanjutnya."Setidaknya itu yang bisa aku ceritakan padamu sekarang..." Bi Lastri masih belum mau menceritakan lebih lanjut.Sepertinya memang ada hal yang masih dia tutup-tutupi. Dia ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya."Kumohon ceritakan saja sekarang, Bi. Aku tidak yakin apakah setelah ini kita memiliki waktu atau tidak untuk bertemu." Noah sengaaj menakuti Bi Lastri agar dia memang membuka semua yang ia tahu saat ini juga."Apa maksudmu? Apa setelah ini kamu mau pergi dari sini?" Bi Lastri tentu terkejut."Iya..."Langit yang tadi gelap kini sudah berubah lebih mencekam karena badai yang dira
Noah berjalan keluar dari kamar Aliesha.Pikirannya masih kalut dan berkabut. Antara diri dan nafsunya saling bertarung. Tak seharusnya di saat-saat berkabung begini dia mencari-cari kesempatan untuk mendekati adik iparnya itu."Noah, kamu belum tidur rupanya..." Bi Lastri tampak kaget ketika keluar dari kamar Tuan Martin dan bertemu dengan Noah yang juga baru saja keluar dari kamar Aliesha."Aku? Aku tidak mungkin tidur jam segini. Lagipula Aliesha sudah tertidur jadi aku pikir lebih baik aku keluar dan... sebenarnya aku ingin bicara denganmu!" Kata Noah.Bi Lastri langsung meletakkan telunjuknya di antara dua bibirnya."Sebaiknya jangan di sini. Ayo, kita turun ke bawah saja!"Bi Lastri mengajaknya untuk segera mencari tempat yang lebih privat untuk bicara. Noah tentu saja menurut dan mengikutinya.Setelah mereka sampai di pavilion bawah, Bi Lastri memastikan tidak ada orang yang mengikuti mereka.Lalu dia membuka dan masuk ke dalamnya."Aku sebenarnya ingin mengatakan sesuatu!" Bi
Setelah mendengar permintaan Aliesha untuk membiarkan Noah menemaninya di rumahnya, tentu saja Tuan Martin semakin meradang.Matanya melotot dan menunjuk-nunjuk anak perempuannya itu."Apa maumu? Kamu sudah memasukkan kembali racun dan duri ke dalam rumahku!" Tuan Martin tidak terima.Baginya kalau boleh memilih, hanya Benedict saja yang ia anggap sebagai menantu. Meski dia juga sama-sama berasal dari keluarga musuh bebuyutannya."Aku tidak salah dalam meminta, Ayah. Aku ingin Noah tinggal bersamaku di sini." Aliesha menyeret kopernya dan dibawanya masuk ke dalam dengan susah payah."Noah, kenapa kamu diam saja? Ikuti aku!" Noah hampir tak percaya dengan apa yang baru saja dia saksikan. Baru beberapa detik yang lalu Aliesha seolah menjadi singa yang kepalaran dan hampir mati dengan tak punya tenaga melawan.Kini, tiba-tiba mantan istrinya itu sudah menjelma seperti singa wanita yang pemberani dan siap melawan apapun yang menghadangnya.Noah melihat sekilas wajah Ayah Aliesha yang mas
Aliesha mengaitkan kedua lengannya dan melipatnya di depan dada.Ada rasa berat saat dirinya meninggalkan rumah ini sekarang. Dulu, dia bersikeras ingin segera pergi dari sini dan meneruskan hidupnya di rumah yang berhasil ia bangun dengan mimpinya sambil membesarkan usaha yang dia rintis.Kini, entah sejak kapan rasa memiliki itu mulai muncul.Rasanya berat saat Ben sudah tak ada lagi. Apakah dia masih bisa menyebut sebuah bangunan itu sebagai sebuah rumah? Rasanya tidak saat Ben tak ada lagi di dalamnya.Dan tempat terakhir yang Aliesha rasakan sebagai rumah adalah rumah Kakek, yang dirinya akhrinya terusir juga untuk pergi.Memang tak ada yang abadi di dunia ini.Aliesha tahu itu."Apa kamu baik-baik saja?" Suara Noah yang lagi-lagi membuatnya kembali menjejakkan angannya ke bumi.Wanita berbaju hoodie yang ukurannya oversize itu hanya mengangguk dan sorot matanya kosong.Saat ini, Noah juga sama-sama hancur tapi satu hal yang dia pegang yaitu kalimat Ben yang menitipkan Aliesha se
"Aku tidak mau tahu, suruh perempuan itu pergi dari ini!" Suara kakek menggelegar sehari setelah Ben dimakamkan.Tangannya sampai gemetaran saat mengucapkan hal itu pada pengawal dan beberapa orang pembantunya."Tapi, Tuan..." Itu kalimat yang ingin disampaikan oleh pembantu, tapi tetap saja dia tak berani berkata apa-apa karena majikannya lah yang menggaji setiap bulan.Untuk sementara dia harus berdiam diri dan tidak menyanggah apapun yang diperintahkan oleh sang majikan."Cepat kemasi barang-barangnya dan aku tidak mau melihatnya keluyuran di sini lagi!" Kakek semakin membabi buta dan marah sejadi-jadinya."Ba-baik Tuan, kami akan membawanya pergi dari sini.""Jangan sampai ada satu barangnya yang tertinggal. Aku tidak mau di rumahku bau keringat dan jejaknya tersisa di sini. Cepat lakukan!" Kakek bertitah dan kemudian masuk kembali ke ruang kerjanya untuk menyendiri.Baginya kehilangan Ben seperti kehilangan nyawanya sendiri. Seumur hidupnya, cucu yang satu ini teramat menurut dan