“Aliesha, lepaskan bajumu. Cepatlah! Aku sudah tak tahan lagi…”
Suara itu terdengar jelas di telinganya. Nafasnya terasa menghembus di dekat wajahnya.
Apa dia tidak salah dengar?
“Noah?!” Aliesha terbangun di tengah malam. Tidak ada siapapun.
Dia tidur sendirian di kamarnya di lantai dua, sementara yang lain tidur di bawah.
Rupanya itu tadi hanyalah mimpi. Diurutnya wajahnya sendiri dengan kedua tangannya.
Beberapa hari terakhir, Noah memang sering datang ke mimpinya.
Dia mencoba untuk tidur lagi, namun nihil. Bayangan wajah Noah selalu muncul setiap kali dia memejamkan kedua matanya.
Haruskah dia melakukan itu lagi? Seperti kemarin, dia memeluk jaket denim milik Noah yang tertinggal.
Mencium aroma tubuhnya yang masih tersisa, rupanya membuat pikiran Aliesha sedikit tenang. Seolah suaminya sudah pulang.
Tak lama kemudian, dia bisa tertidur pulas.
Paginya, saat sarapan, dia mendengarkan tayangan d
Sesuai dengan janji sebelumnya, Aliesha datang langsung ke lokasi yang akan dirancangnya. Hujan yang turun cukup deras membuatnya sedikit kesulitan menemukan site lokasi. “Halo?” Aliesha menelpon calon klien-nya itu. Perjalanan yang ditempuh memakan waktu lebih lama dari rencana. Kliennya tentu harus tahu ini. “Iya, ini nomornya Aliesha?” suara maskulin terdengar dari seberang. Hati Aliesha bergetar. Sudah lama sekali dia tak berhubungan dengan orang asing. “Betul, saya Aliesha yang mau mendekorasi kantornya Pak Benedict. Kira-kira apa masih jauh lagi dari lampu merah dekat indoma*et? Atau saya bisa lewat jalur alternatif?” “Ahhh… sepertinya kamu kejauhan, Aliesha! Baiklah. Kamu berhenti saja di situ. Saya akan jemput langsung.” Dia merasa tidak enak karena telah merepotkan klien. Tapi, mau bagaimana lagi. Sejak tadi dia hanya berputar-putar tak kunjung menemukan tempat yang dicarinya. “Bagaimana Mbak?” sopir ojek online yang dia pesan bertanya. “Pak, kita berhenti di sini s
Kenapa hari ini ada banyak hal yang mengingatkan dia dengan laki-laki itu? Itu tandanya kamu rindu. Sebuah bisikan halus merasuki pikirannya. Cepat-cepat ditepisnya feeling itu. “Nona, cepat diminum susu hangatnya, biar badannya anget…” Bi Lastri menyuguhkan segelas susu ketika Aliesha pulang. “Rotinya cepat dimakan…” Badannya sedikit basah. Dia lupa tidak sarapan dan terlambat makan siang. Tangan kanannya memegang gelas sementara tangan kirinya membolak-balik hasil pengukuran kantor yang akan dia rancang. “Hmm… cukup luas.” Gumamnya berbicara pada diri sendiri. Tak lama kemudian, Ben mengirimkan sebuah pesan singkat. ‘Aliesha, sebaiknya kita diskusi dulu sebelum kamu mulai. Aku ada referensi yang bisa kamu pakai untuk merancang nanti. Kita ketemu besok?’ Sebenarnya bagi Aliesha, ini akan membuang-buang waktu. Dia sudah tahu apa yang dimaui oleh klien. Tapi, demi menjaga servis dan keprofesional
Noah mengira kalau sosok yang akan diceritakan sepupunya adalah Aliesha. Itu harapannya. Nyatanya, dia justru mendapatkan kabar tentang Celine. “Dia bersama Eros sekarang. Kelihatannya mereka sangat dekat. Bisa jadi, mereka berpacaran… atau… lebih.” Dugaan Ben membuat Noah semakin malas. Tidak ada kenangan indah yang dimilikinya baik dengan Eros maupun Celine. Keduanya bagaikan mimpi buruk. “Halo, Noah, kenapa kamu tidak bersemangat lagi?” Ben sengaja memancingnya. “Reaksi apa yang kamu harap dariku?” ungkap Noah sambil beranjak dari ranjangnya. Semalam dia pulang jam tiga pagi. Kepalanya masih terasa sangat berat karena lembur dan ketiduran di kantor. “Bukankah kamu masih memiliki rasa pada Celine?” Noah terdiam dengan pertanyaan Ben. Semenjak pergi dari kehidupan Aliesha, Noah telah memblokir nomor Celine. Pun ketika Celine berusaha beberapa kali menghubunginya dengan nomor lain, dia tak bereaksi apa-a
“Aw!” suara Noah membuat sepupunya terbangun.Ricky dan Ben semalaman berjaga di rumah sakit menungguinya.“Noah, kamu sudah siuman?” tangan Ben terasa kaku karena semalaman tidur di posisi duduk dan kepalanya disangga oleh tangannya di atas ranjang.“Aku… kepalaku masih pusing dan perutku sakit…” keluhnya.“Setidaknya kamu sudah siuman. Aku akan memberi kabar Kakek dan yang lain. Biar Ben yang menunggumu di sini…”Ricky pergi keluar IGD dan tinggallah dia berdua dengan Ben saja.“Apa kamu mengingat kejadian semalam?” tanya Ben penasaran.Penyesalan terlambat saat dia tahu saudara sepupunya sudah ambrug dan tak sadarkan diri. Orang di sekitarnya pura-pura tak tahu menahu saat ditanyai.“Aku tak ingat apapun.” Dia tak sepenuhnya berkata jujur.Ada bagian yang dia samar-samar ingat, yaitu ketika bertemu Aliesha. Meski dia tahu itu
“Tidak perlu basa-basi, mau apa datang ke sini?” Aliesha sengaja memasang wajah garang, karena baginya orang ini bukan keluarganya lagi. Namanya telah dicoret dari benaknya. “Aliesha… kenapa kamu jadi kasar begini?” Soraya dengan tak tahu malu mengelus tangan anak tirinya. “Cepat katakan saja apa urusanmu! Aku sibuk.” Lanjutnya dengan mata memandang ke arah lain. Intinya dia muak dengan keberadaan ibu tirinya itu dan tak ingin melihat wajahnya. “Tak bolehkah aku menjenguk ayahmu? Mau bagaimanapun, dia adalah suamiku.” Serunya dengan nada sombong dan penuh percaya diri. Meski sudah meninggalkan ayahnya, sepintas tak ada yang berubah dari penampilannya. Masih saja glamor dan mewah. Hanya saja, sekarang Soraya berdandan dengan pakaian serba berani dan menampilkan aura yang lebih muda. Aliesha yakin pasti ibu tirinya sudah mendapatkan mangsa baru untuk dijadikan ATM hidup. “Suami? Masih ingat punya suami??”
“Maksud Bu perawat, Non Aliesha sedang hamil?” Lastri bertanya sekali lagi. Apa jangan-jangan dia salah dengar atau salah tafsir tadi! Perawat itu mengangguk dan tersenyum, “Iya, saya ucapkan selamat. Pasien sudah siuman sekarang. Tapi jangan terlalu banyak diajak bicara.” “Baik, Bu. Terima kasih banyak…” “Kalau sudah siuman, nanti beri tahu pada pasien. Nah, selanjutnya kitab isa cek lebih lanjut mengenai kondisi bayinya lewat USG.” Lastri lemah lunglai. Dia bingung bagaimana menjelaskan ini nanti pada Aliesha maupun ayahnya. Bayangan tentang Noah dan Aliesha muncul. Keduanya sudah resmi berpisah dan jelas tidak mungkin dia menghubungi Noah atas kabar ini. Imajinasinya tentang majikannya menjalin hubungan dengan Ben kandas sudah. Mana mau seorang lelaki single setampan dan sekaya Ben berhubungan dengan wanita hamil tanpa suami seperti Aliesha?? Berbagai pikiran buruk itu memenuhi benak Lastri yang hanya seorang pembantu. Dia tak punya kuasa. “Bibi…” panggil Aliesha lemah. “
Lastri nampak kesulitan membawa barang belanjaannya. Aliesha berpesan untuk dibelikan buah-buahan dan susu. Jadi dia harus belanja lebih banyak. “Perlu saya bantu, Bi Lastri?” Seperti sedang bertemu hantu, Lastri hampir saja melompat saat melihat sosok itu dari belakang. “No-Noah?” Ucapnya gagap dan tak percaya pada matanya sendiri. Di luar dugaan, dia bertemu lelaki tampan itu di supermarket. “Ya. Ini aku.” Seolah tak merasa bersalah sama sekali dan tak pernah terjadi apa-apa, Noah menyapanya dan dalam keadaan baik-baik saja. Lastri secara otomatis teringat pada janin yang kini telah tumbuh di rahim majikannya. Yang sampai saat ini Lastri belum juga mengatakan hal itu pada Aliesha. Sudah dua minggu sejak insiden di rumah sakit, tapi masih saja ia bungkam. Dia ingin marah dan memprotes kepergian Noah, tapi apa daya… dirinya hanya seorang pembantu. “Ke mana saja kamu?” tanya Bi Lastri. Mes
Lastri terdiam lagi. Baginya ini adalah pertanyaan tanpa jawaban. Siapa yang tahu mana yang benar dan mana yang salah. “Non, istighfar…” itu saja yang diucapkannya pada Aliesha. “Bibi tahu sendiri kan ya, siapa ayahnya. Setelah aku menanggung penderitaan, kenapa Tuhan masih menambahkannya lagi dengan menitipkan anak ini padaku?” Lastri memeluk Aliesha kuat-kuat. Dia tahu sebagai wanita, tentu perasaan majikannya sedang hancur berkeping. “Apapun yang terjadi, Non Aliesha harus berpikiran positif. Kasihan janinnya.” Menurut perhitungan Lastri, bisa jadi janin itu sudah berusia hampir empat bulan. Sudah bernyawa. Aliesha menyesal mengapa baru mengetahuinya sekarang. Mungkin jika dia tahu lebih awal, dirinya bisa melakukan antisipasi atau sesuatu. “Aku harus bagaimana, Bi? Kehidupan kita nyaris jauh berbeda dengan yang dulu. Semua kita harus berusaha keras dan bekerja dari nol…” keluhnya. Merawat a