Jona mendengus kesal. Lalu memukul pintu kamarnya dengan keras. Dia benar-benar tak mengerti kenapa Bella sampai menguncinya. Akan tetapi ketika melihat potongan kaos Bella, Jona merasa harus mengetahui apa yang terjadi.Kemudian Jona baru ingat jika kamarnya dipasang cctv. Dan rekamannya bisa dilihat lewat ponselnya. Segera Jona mencari ponselnya, lalu mencari tahu masalahnya.Sambil duduk di tepian ranjang, Jona mengambil ponselnya yang ada di atas nakas. Kemudian melihat rekaman cctv nya. Kaget luar biasa Jona. Menyaksikan kebejatan yang ia lakukan kepada Bella.“Pantas dia sampai mengunciku di dalam kamar. Astaga, apa yang telah aku lakuin sama dia?!” Dengan frustrasi Jona mengacak rambutnya dengan kasar.Jona merasa bersalah kepada Bella. Tak seharusnya dia melakukan hal tak senonoh itu kepada Bella. Dia tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri kalau sampai terjadi sesuatu terhadap janin yang dikandung oleh Bella.Kemudian Jona bangkit dari duduknya. Sambil mengambil kunci pintu
Mendengar pernyataan dari Jona membuat Bella melebarkan matanya. “Soal!” umpatnya dalam hati. Lalu menetap tajam ke arah Jona.“Ibu nggak perlu tau, Bu,” ucap Bella.“Kalau nggak perlu tau, ya jangan pergi dari rumah gitu dong. Selesaikan sendiri jangan telepon, Ibu,” sahut ibunya Bella.“Yang telepon bukan, Bella, Bu. Tapi Jona,” ucap Bella. Yang tak terima disalahkan oleh ibunya.“Dia telepon, Ibu. Pasti karena kepepet,” sahut ibunya Bella.Bella mendengus, lalu melipat kedua tangannya di depan dada. Kemudian membuang muka karena kesal. Sementara itu Jona diam-diam merasa senang karena secara tidak langsung dibela oleh ibunya Bella. Dia merasa di atas angin.“Sudah, Bu. Tolong jangan marahi Bella. Mungkin memang Jona yang salah, karena terlalu sibuk. Jadi Bella merasa tak diperhatikan lagi,” ucap Jona mengarang cerita. Semua itu dia lakukan juga demi menyelamatkan dirinya sendiri.Saking terkejutnya mulut ibunya Bella sampai lupa dikabulkan. Kemudian setelah sadar ia menutup mulutny
Jona membalikkan badannya. Kemudian bergerak cepat menghampiri Bella dan membungkam mulutnya. “Jangan keras-keras. Nanti Ibu denger,” cegah Jona.Bella menyingkirkan telapak tangan Jona dari mulutnya. “Kamu apa-apaan sih?!” protesnya.“Kamu yang apa-apaan. Aku buka kaos aja kamu heboh,” ucap Jona. Wajahnya melengos ke arah pintu. Memastikan ibunya Bella tak ada di balik sana. Namun wajahnya yang teramat dekat dengan Bella. Hanya berjarak 2 cm saja. Membuat jantung Bella berdebar lebih kencang dari biasanya. Entah mengapa suhu badannya, khususnya wajahnya menjadi memanas. Bella sesaat terpaku menatap wajah Jona yang ternyata tampan. Namun setelah tersadar dari lamunannya Bella segera mendorong dada Jona. Hingga lelaki itu memundurkan langkahnya beberapa langkah. “Aku trauma kamu lecehin aku lagi,” sahutnya.“Aku udah bilang itu semua nggak aku sengaja. Apa kamu tadi nggak denger aku ngomong gitu?” tanya Jona.“Nggak!” sengit Bella.“Kalau gitu akan aku ulangi lagi,” ucap Jona. Kem
Perasaan Mita campur aduk, saat melihat anak semata wayangnya tak akur dengan suaminya. Apalagi sampai tak menghormatinya dengan tidak berpamitan dan malah menghindarinya. Dia sampai tak punya muka di depan menantunya saat ini.Matanya mulai mengambang basah. “Maafkan atas sikap, Bella ya, Nak. Ibu nanti akan nasehati dia kalau pulang,” ucap Mita dengan tulus. “Tidak apa-apa, Bu,” sahut Jona.Dia tampak murung, karena tak bisa hidup dengan dianggap sebagai lelaki yang melecehkan wanita. Itu sangat melukai prinsipnya. Jona tak akan berhenti meminta maaf kepada Bella. Sampai wanita itu paham dia bukanlah laki-laki yang seperti apa yang dipikirkannya. “Ibu masih akan menginap di sini lagi kan?” tanya Jona dengan penuh harapan.Jona berpikir ada baiknya memang, kalau ibunya Bella mau menginap satu hari lagi di rumahnya. Awalnya Mita menolak. Namun Jona berusaha membujuk. “Sepertinya nggak bisa, Jona. Ayahmu nanti protes kalau Ibu tiba-tiba menginap tanpa izin terlebih dahulu,” tolak Mi
Mendengar hal itu Bella membulatkan matanya. Ia segera bangkit dari tempat duduknya. Dia lupa kalau sedang hamil saking paniknya, sehingga menyebabkan perutnya kram. Ia lalu kembali terduduk.“Arghh!” keluh Bella sambil meringis dan memegangi perutnya.Kru stasiun televisi yang melihatnya menjadi ikut cemas. “Astaga, Bella. Hati-hati. Kamu kan lagi hamil,” ucapnya.“Bel, kalau kamu sakit. Kamu diem aja mending. Biar kami yang mengurus Laura,” sahut kru yang lain.“Iya. Mending kamu pergi ke rumah sakit aja. Biar diantar sama kru sini,” timpal yang lainnya.Bella menggelengkan kepalanya. Biar bagaimanapun kondisinya dia harus bertanggung jawab soal keadaan Laura. Toh istirahat sebentar sudah cukup. “Udah, udah. Aku udah nggak kenapa-kenapa kok,” sahutnya. Kemudian ia bangkit lagi dari tempat duduknya.“Kamu yakin, Bel?” tanya kru wanita mencemaskan.“Sungguh. Aku hanya perlu lebih berhati-hati saja,” jawabannya diikuti senyuman untuk meyakinkan semua orang.Seorang lelaki berkacamata,
Bella sesaat terpaku di sana. Membaca tulisan di atas pintu bertuliskan ‘Spesialis Kejiwaan’ “Kenapa Jona pergi ke dokter kejiwaan?” Lagi-lagi Bella bertanya pada dirinya sendiri.Sedang asyik dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba Bella dikejutkan dengan keluarnya Jona dari dalam ruangan. Membuat jantung Bella hampir terlepas dari tempatnya. “Kamu ngapain ke sini. Kamu buntuti aku ya?!” Bella yang tersentak kemudian mengelus dadanya sendiri. Setelah itu menghela napas lelah. “Aku nggak ngikutin kamu. Aku cuma kebetulan aja ke sini. Nganterin Bu Laura yang lagi sakit,” jelas Bella panjang lebar. Sebenarnya dia juga tak ingin menjelaskan semua ini. Hanya saja Bella lebih tak ingin Jona salah paham padanya.Setelah itu dia pergi meninggalkan Jona. Lelaki itu sepertinya masih belum puas dengan penjelasan Bella. “Hey! Aku berhenti. Aku belum selesai ngomong!” Namun saat ingin memanggilnya seorang perawat dari dalam ruangan poli kejiwaan meminta Jona untuk segera masuk. “Maaf, Pak. Anda s
Bella mengerutkan keningnya saat Jona memanggilnya sayang. Ia paham maksudnya karena ada Ronald di sana. Mau bagaimana lagi. Bella hanya bisa menjawabnya dengan anggukan. “Kalian bisa langsung pergi. Nanti biar aku yang pamitkan kalian sama Laura,” ucap Ronald. Niatnya memang mengusir Bella dan Jona.“Baik, Pak Ronald. Terima kasih,” sahut Jona. “Kalau begitu kami pergi dulu,” pamitnya.Ronald hanya mengangguk. Setelah itu Bella dan Jona meninggalkan ruang perawatan Laura. Tak ada percakapan selama perjalanan menuju ke parkiran. Sejujurnya Bella masih penasaran dengan mengapa Jona pergi ke Psikiater. Namun karena malas berbicara dengan lelaki itu jadi Bella mengurungkan niatnya.Sampai tiba saatnya mereka sampai di depan lift yang menuju ke parkiran rumah sakit. Namun Bella berjalan ke arah yang berlawanan. Wanita itu menuju pintu keluar Jona menyusul langkah Bella kemudian mencegahnya. “Kamu mau ke mana?” tanyanya penasaran.“Mau pulang, ke mana lagi memangnya?” jawab Bella dengan
Bella menelan salivanya dengan susah payah, setelah melihat Jona mengigau karena mimpi buruk. Awalnya dia hanya diam dan menyaksikan. Namun karena kasihan akhirnya Bella berusaha membangunkan. Sebab Jona terlihat menderita dan dalam waktu yang lama.Bella bangkit dari tempat tidurnya. Kemudian menghampiri Jona dan menepuk pundaknya. Namun lelaki itu tak kunjung bangun. “Jona, bangun! Jona!”Bella mengusap rambutnya sendiri ke belakang dengan resah. “Aduh… ini anak kenapa tiba-tiba kayak gini sih?” Kemudian Bella menepuk lengan Jona lebih keras lagi. Kali ini berhasil, lelaki itu geragapan terbangun dari tidurnya. Ia terduduk dengan mata yang masih merah dia melihat ke arah Bella dengan napas yang masih berantakan.“Kamu mimpi apa sampai kayak orang kesurupan gitu?” tanya Bella penasaran. “Bikin kaget aja!” omelnya.Jona kemudian menundukkan kepalanya. Ia enggan berkata jujur kepada Bella mengenai mimpinya. “Enggak. Nggak apa-apa,” sahutnya. Setelah itu ia kembali merebahkan tubuhnya