Jona membalikkan badannya. Kemudian bergerak cepat menghampiri Bella dan membungkam mulutnya. “Jangan keras-keras. Nanti Ibu denger,” cegah Jona.Bella menyingkirkan telapak tangan Jona dari mulutnya. “Kamu apa-apaan sih?!” protesnya.“Kamu yang apa-apaan. Aku buka kaos aja kamu heboh,” ucap Jona. Wajahnya melengos ke arah pintu. Memastikan ibunya Bella tak ada di balik sana. Namun wajahnya yang teramat dekat dengan Bella. Hanya berjarak 2 cm saja. Membuat jantung Bella berdebar lebih kencang dari biasanya. Entah mengapa suhu badannya, khususnya wajahnya menjadi memanas. Bella sesaat terpaku menatap wajah Jona yang ternyata tampan. Namun setelah tersadar dari lamunannya Bella segera mendorong dada Jona. Hingga lelaki itu memundurkan langkahnya beberapa langkah. “Aku trauma kamu lecehin aku lagi,” sahutnya.“Aku udah bilang itu semua nggak aku sengaja. Apa kamu tadi nggak denger aku ngomong gitu?” tanya Jona.“Nggak!” sengit Bella.“Kalau gitu akan aku ulangi lagi,” ucap Jona. Kem
Perasaan Mita campur aduk, saat melihat anak semata wayangnya tak akur dengan suaminya. Apalagi sampai tak menghormatinya dengan tidak berpamitan dan malah menghindarinya. Dia sampai tak punya muka di depan menantunya saat ini.Matanya mulai mengambang basah. “Maafkan atas sikap, Bella ya, Nak. Ibu nanti akan nasehati dia kalau pulang,” ucap Mita dengan tulus. “Tidak apa-apa, Bu,” sahut Jona.Dia tampak murung, karena tak bisa hidup dengan dianggap sebagai lelaki yang melecehkan wanita. Itu sangat melukai prinsipnya. Jona tak akan berhenti meminta maaf kepada Bella. Sampai wanita itu paham dia bukanlah laki-laki yang seperti apa yang dipikirkannya. “Ibu masih akan menginap di sini lagi kan?” tanya Jona dengan penuh harapan.Jona berpikir ada baiknya memang, kalau ibunya Bella mau menginap satu hari lagi di rumahnya. Awalnya Mita menolak. Namun Jona berusaha membujuk. “Sepertinya nggak bisa, Jona. Ayahmu nanti protes kalau Ibu tiba-tiba menginap tanpa izin terlebih dahulu,” tolak Mi
Mendengar hal itu Bella membulatkan matanya. Ia segera bangkit dari tempat duduknya. Dia lupa kalau sedang hamil saking paniknya, sehingga menyebabkan perutnya kram. Ia lalu kembali terduduk.“Arghh!” keluh Bella sambil meringis dan memegangi perutnya.Kru stasiun televisi yang melihatnya menjadi ikut cemas. “Astaga, Bella. Hati-hati. Kamu kan lagi hamil,” ucapnya.“Bel, kalau kamu sakit. Kamu diem aja mending. Biar kami yang mengurus Laura,” sahut kru yang lain.“Iya. Mending kamu pergi ke rumah sakit aja. Biar diantar sama kru sini,” timpal yang lainnya.Bella menggelengkan kepalanya. Biar bagaimanapun kondisinya dia harus bertanggung jawab soal keadaan Laura. Toh istirahat sebentar sudah cukup. “Udah, udah. Aku udah nggak kenapa-kenapa kok,” sahutnya. Kemudian ia bangkit lagi dari tempat duduknya.“Kamu yakin, Bel?” tanya kru wanita mencemaskan.“Sungguh. Aku hanya perlu lebih berhati-hati saja,” jawabannya diikuti senyuman untuk meyakinkan semua orang.Seorang lelaki berkacamata,
Bella sesaat terpaku di sana. Membaca tulisan di atas pintu bertuliskan ‘Spesialis Kejiwaan’ “Kenapa Jona pergi ke dokter kejiwaan?” Lagi-lagi Bella bertanya pada dirinya sendiri.Sedang asyik dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba Bella dikejutkan dengan keluarnya Jona dari dalam ruangan. Membuat jantung Bella hampir terlepas dari tempatnya. “Kamu ngapain ke sini. Kamu buntuti aku ya?!” Bella yang tersentak kemudian mengelus dadanya sendiri. Setelah itu menghela napas lelah. “Aku nggak ngikutin kamu. Aku cuma kebetulan aja ke sini. Nganterin Bu Laura yang lagi sakit,” jelas Bella panjang lebar. Sebenarnya dia juga tak ingin menjelaskan semua ini. Hanya saja Bella lebih tak ingin Jona salah paham padanya.Setelah itu dia pergi meninggalkan Jona. Lelaki itu sepertinya masih belum puas dengan penjelasan Bella. “Hey! Aku berhenti. Aku belum selesai ngomong!” Namun saat ingin memanggilnya seorang perawat dari dalam ruangan poli kejiwaan meminta Jona untuk segera masuk. “Maaf, Pak. Anda s
Bella mengerutkan keningnya saat Jona memanggilnya sayang. Ia paham maksudnya karena ada Ronald di sana. Mau bagaimana lagi. Bella hanya bisa menjawabnya dengan anggukan. “Kalian bisa langsung pergi. Nanti biar aku yang pamitkan kalian sama Laura,” ucap Ronald. Niatnya memang mengusir Bella dan Jona.“Baik, Pak Ronald. Terima kasih,” sahut Jona. “Kalau begitu kami pergi dulu,” pamitnya.Ronald hanya mengangguk. Setelah itu Bella dan Jona meninggalkan ruang perawatan Laura. Tak ada percakapan selama perjalanan menuju ke parkiran. Sejujurnya Bella masih penasaran dengan mengapa Jona pergi ke Psikiater. Namun karena malas berbicara dengan lelaki itu jadi Bella mengurungkan niatnya.Sampai tiba saatnya mereka sampai di depan lift yang menuju ke parkiran rumah sakit. Namun Bella berjalan ke arah yang berlawanan. Wanita itu menuju pintu keluar Jona menyusul langkah Bella kemudian mencegahnya. “Kamu mau ke mana?” tanyanya penasaran.“Mau pulang, ke mana lagi memangnya?” jawab Bella dengan
Bella menelan salivanya dengan susah payah, setelah melihat Jona mengigau karena mimpi buruk. Awalnya dia hanya diam dan menyaksikan. Namun karena kasihan akhirnya Bella berusaha membangunkan. Sebab Jona terlihat menderita dan dalam waktu yang lama.Bella bangkit dari tempat tidurnya. Kemudian menghampiri Jona dan menepuk pundaknya. Namun lelaki itu tak kunjung bangun. “Jona, bangun! Jona!”Bella mengusap rambutnya sendiri ke belakang dengan resah. “Aduh… ini anak kenapa tiba-tiba kayak gini sih?” Kemudian Bella menepuk lengan Jona lebih keras lagi. Kali ini berhasil, lelaki itu geragapan terbangun dari tidurnya. Ia terduduk dengan mata yang masih merah dia melihat ke arah Bella dengan napas yang masih berantakan.“Kamu mimpi apa sampai kayak orang kesurupan gitu?” tanya Bella penasaran. “Bikin kaget aja!” omelnya.Jona kemudian menundukkan kepalanya. Ia enggan berkata jujur kepada Bella mengenai mimpinya. “Enggak. Nggak apa-apa,” sahutnya. Setelah itu ia kembali merebahkan tubuhnya
Bukan hanya Jona yang kaget. Mita tak kalah kaget. Lelaki itu merasa bersalah. Ia kemudian bangkit dari tempat duduknya dan ingin membereskan kekacauan yang dibuatnya.“Maafkan Jona, Bu. Jona benar-benar tidak sengaja menjatuhkan gelasnya,” ucap Jona dengan tulus.Mita menggelengkan kepalanya. Serta berusaha menormalkan detak jantungnya yang berdetak lebih kencang dari biasanya. “Nggak apa-apa. Ibu tau kamu nggak sengaja melakukannya kok,” sahutnya berusaha menenangkan Jona.“Jona akan membereskannya, Bu,” ucap Jona.“Nggak, usah-usah. Biar Ibu yang membereskannya nanti. Kamu berangkat aja sana,” tolak Mita. Dia memaksa dengan mendorong Jona untuk menyingkir dari pecahan gelas kaca tersebut. Dengan cepat Mita juga meraih tas kerja Jona. Lalu menuntunnya ke pintu keluar.“Nggak ada barang yang ketinggalan kan?” tanya Mita memastikan.“Tidak ada sih, Bu. Cuma tadi bagaimana dengan pecahan gelasnya?” tanya Jona sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Dia sungguh merasa tak e
Tanpa menunggu waktu lama, Jona sampai di rumah sakit. Ia kemudian mencari informasi mengenai keberadaan Bella. Dan ternyata wanita tersebut masih ada di ruang pemeriksaan dokter. Ekspresi wajah Jona terlihat cemas saat bertemu dengan Bella. Padahal wanita itu sudah tidak kenapa-kenapa. “Kamu tadi kenapa? Perutmu sakit apa penyebabnya?” tanya Jona penasaran.“Kamu bisa nggak sih, nanyanya lebih pelan?” Bella protes.Kemudian seorang perawat mendatangi Jona. Dia meminta Jona untuk menemui dokter, setelah menanyai tentang siapa dirinya.“Permisi, Pak,” ucap perawat mula-mula.Jona kemudian membalikkan badannya. “Iya, Suster. Ada apa?” tanya Jona.“Maaf, Pak. Apa Anda suaminya, Bu Bella?” tanya balik perawat di hadapan Jona tersebut.“Iya benar. Ada apa ya, Sus?” Jona tentu membenarkan. Lalu menanyakan maksud dan tujuan sang perawat.“Dokter meminta, Anda untuk ke ruangannya sekarang, Pak,” jawab perawat.Jona mengangguk. “Baik, Suster. Terima kasih,” ucapnya. Kemudian ia pergi begitu s