Sampainya di dapur, Aayara, Yusuf dan Jenny langsung mengambil tas mereka dan buru-buru pergi dari sana. Namun tiba-tiba saja, staf yang sering memarahi mereka muncul -- menghalangi mereka sembari menatap marah pada ketiganya. "Kenapa kalian di sini? Saya suruh kalian di depan bukan? Tolong, jangan membuat malu acara ini dengan kalian berkeliaran kesana kemari. Saya suruh kalian di depan yah kalian di depan, jaga dan pastikan tamu yang datang." "Pak, kami diperintahkan pulang olah …-" Perkataan Yusuf tersebut langsung dipotong oleh pria berkacama tersebut. "Siapa yang menyuruh kalian pulang? Di sini saya yang menggoordinasi, jadi kalian hanya harus mendengarkan perintah saya. Berani-beraninya dia menyuruh kalian pulang tanpa memberitahu saya, memangnya siapa dia? Cepat katakan siapa nama orang itu agar saya lapor ke HRD, agar dia dipecat!" "Kak--Kak Serena, Pak," jawab Yusuf. Mereka bertiga menundukkan kepala dan sama-sama memasang wajah takut serta pucat. Setelah lelah seharia
"To--toloooooong!" pekik dan jerit Aayara, saat tubuhnya dibanting ke ranjang empuk dengan kuat. Pria yang membekap mulutnya tersebut membawanya ke sebuah kamar lalu membantingnya ke atas ranjang dengan kasar. Walau ranjangnya empuk tetapi rasanya sakit! Pria itu melepas tuxedo yang membungkus tubuhnya dengan cepat, melemparnya asalan. Melihat kelinci kecilnya berniat kabur, dia langsung menahan kakinya -- menyentaknya dengan kuat, berhasil membuat Aayara kembali terhempas dan berbaring di ranjang. "Aaaa … leppas-- le--leppas! Toloooong …," jerit Aayara lagi sudah menangis sesenggukan, pipinya sudah basah oleh air matanya. Dia ketakutan! Demi Tuhan, ini lebih buruk dari mimpi buruk yang pernah Aayara rasakan. Dari tatapan lapar dan buas pria ini padanya, Aayara tahu apa yang pria ini akan lakukan padanya. Tidak! Aayara tidak mau. Siapapun tolong Aayara …!Dia lalu naik ke atas tubuh perempuan tersebut, membuka dasi di kerah kemeja kemudian mengingatkannya melingkar di bagian mul
"Lama sekali kau? Apa saja yang kau lakukan, humm? Memandikan kucingmu juga, memberikannya makan lalu menidurkannya. Begitu?!" kesal Rafael. "Enggak, Mas Rafael. Aku dan Nanda jalan kaki, jadi sedikit lama," jawab Serena cemberut, "lagipula aku juga tidak ingin kesini. Aku cape. Tapi kasihan jika Nanda jalan sendirian kemari. Yaudah, aku ikut lagi.""Apa kau memikirkan ku yang menunggumu lama di sini? Atau memang sudah keahlianmu sejak dulu membuatku selalu menunggu lama?" 'Siapa yang hamil tapi siapa yang jadi bawel. Aneh banget laki satu ini!' batin Serena, mendongak dan memperhatikan suaminya yang marah-marah. "Aku selalu memikirkanmu." Serena berkata, setelah Rafael berhenti mengomel. "Tidak bisa berhenti memikirkanmu meskipun aku sudah bosan dan lelah. Jadi nggak perlu cemburu begini. Kamu itu bukan hanya di pikiranku tapi juga di hatiku, El--Mas El." Sembari merayu Rafael, Serena juga mengelus-elus lembut punggung tangan suaminya. Berusaha menjinakkan iblis pemarah dalam di
Aayara terpaksa mencuri satu pakaian dalam kamar mewah ini, dia buru-buru mengenakan kemeja besar hitam yang ia temukan di salah satu ruangan khusus berisi pakaian. Setelah memakainya, Aayara buru-buru berlari ke balkon kamar. Pria yang telah merenggut paksa mahkotanya tidak ada dalam kamar ini dan itu membuat Aayara punya kesempatan untuk kabur dari sini. Biasanya orang kaya itu licin dan semena-mena. Aayara takut dijadikan hal yang tidak-tidak oleh Maxim dan takut dianggap jadi pelaku di sini. Lebih baik dia kabur, memendam perasaan sakit dan jiji pada dirinya sendiri. "A--astaga." Aayara memekik pelan, sempat pusing ketika melihat jarak balkon dengan dasar yang lumayan jauh. Namun karena panik dan takut juga di rumah ini, takut ditangkap dan dibully keluarga bos-nya, Aayara nekat turun dari pilar. Skill memanjatnya cukup baik, apalagi dalam keadaan takut serta bermodalkan nekat begini, Aayara bisa turun kebawah. Bug"Argkkk …." Aayara memekik sakit, meringis karena sekitar du
Namun saat baru satu langkah keluar, tubuhnya langsung diterjang -- Jenny tiba-tiba memeluknya dengan erat dan kuat. "Jenny, kamu kenapa?" tanya Aayara, berusaha menetralkan suaranya dan berusaha menutupi sesak di dadanya. "Enggak, Yara. Kamu yang kenapa? Tiga jam kamu di dalam …." Isakan Jenny pecah, memeluk semakin erat tubuh sahabatnya itu. "Ahahaha … aku luluran," tawa Aayara, melepas pelukan Jenny lalu buru-buru ke kamar. "Aku mau pakai baju dulu."Setelah mengenakan pakaiannya, Aayara keluar kamar -- menemukan Jenny yang duduk di lantai sembari menangis. "Kamu putus cinta apa gimana?" tanya Aayara malas, memutar bola mata jengah dan memilih masuk dalam kamar. Berpura-pura muak dengan Jenny, hanya karena dia takut. Di--dia takut tidak kuat dan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi pada temannya itu. "Kemeja yang kamu pakai itu, kemeja laki-laki kan, Yara. Kamu tadi malam kenapa? Pliss, jujur, Yara. Aku--aku sahabat kamu, jadi tolong lah jujur. Jika aku punya masalah kamu o
"Kau mengatakan akan bertanggung jawab, bukan?" Aayara menganggukkan kepala, namun dengan cepat dia menggelengkannya. "Maksud saya, jika setelah meminum minuman itu Pak Maxim keracunan, aku--aku bersiap …-""Bersiap apa?" Maxim melepas tangannya dari pipi Aayara, dia bersedekap sembari menatap tajam ke arah Aayara. "Dipenjara atau … membiayai pengobatannya," lirih Aayara yang dihadiahi kekehan meremehkan dari Maxim. "Aku tidak peduli minuman itu mengandung racun atau obat perangsang. Yang kutahu kau tetap akan bertanggung jawab."Aayara mendongak, menatap takut bercampur pucat pias ke arah Maxim. "Tapi saya juga sudah … sudah bertanggung jawab. Jadi apalagi ma--mau anda?! Tolong biarkan aku pergi, aku tidak mau di sini," cicit Aayara pelan dan takut-takut pada akhir kalimat. Dia merapatkan selimut ke tubuhnya menatap tak nyaman ke arah Maxim yang juga menatap serta memperhatikannya dengan tatapan …- tatapan pria dewasa yang kelaparan. Aayara benci tatapan itu!"Tidak akan. Kau ta
"Ta--tapi bagaimana bisa adik saya berpacaran-- maaf … maksud saya berteman baik dengan Tuan? Adik saya sebelumnya tak pernah berteman lebih dari kata teman dengan laki-laki. Katanya ingin fokus kuliah. Dan maaf sekali lagi, apa … usia adik saya tidak terlalu muda untuk dinikahi sekarang? Maksud saya bukan tidak setuju, hanya saja Aayara sendiri masih kuliah, dia masih sangat muda untuk merasakan pernikahan juga. Mungkin dengan umur yang belum matang, itu akan memberatkan ke Tuan nanti. Mengingat Aayara tergolong masih remaja dan masih suka bersikap kekanak-kanakan," ucap Dimas~kakak ipar Aayara, begitu sopan dan juga lembut dan ramah. Dia tidak menghalangi atau bukan tak merestui. Hanya saja Aayara dan Tuan yang melamar adiknya ini sangat bertolak belakang dari segi usia. Mungkin dari segi ekonomi juga, dan itu pertimbangan berat bagi Dimas. Daripada menggilai harta dan bangga calon besannya berasal dari keluarga konglomerat, Dimas lebih mengkhawatirkan bagaimana kehidupan adiknya
"Dek, ini … pacar- maksud Mas, teman kamu datang dengan niatan baik. Untuk melamar Yara. Bagaimana, Dek?" Aayara melongo lalu kemudian menatap heran dan julid ke arah Maxim. Lah, sejak kapan dia dan Bos bastard ini berpacaran?! Tiba-tiba saja Maxim membalas tatapannya, pria itu menatapnya tajam lalu dengan mengejutkannya pria dingin tersebut menarik satu sudut bibirnya dengan epik--membentuk seringai tipis yang terlihat tampan tetapi dominan penuh ancaman dan mengerikan. Aayara terkejut, sontak menundukkan kepala dengan jantung berdebar kencang. Dadanya langsung bergemuruh dan wajahnya mendadak pucat. Hanya senyuman seringai. Kenapa Aayara harus se takut ini?! 'Tidak akan terjadi apa-apa jika aku menolak kan?!' batinnya dengan jantung yang masih berdebar kencang. "Dek, dijawab. Kalau kamu cuma diam, apalagi nundukin kepala itu artinya iya loh," bisik Arfita, sontak membuat Aayara terkejut syok dan mendongak dengan wajah muram ke arah Kakaknya. "Selama kami berpacaran, Aya men