"Saat ketemuan itu, Om Budi memintaku menjadi sugar baby-nya. Dia sudah beristri dan usianya sudah tiga puluh tahunan, dia adalah seorang kontraktor. Aku yang saat itu sedang patah hati, langsung saja menyetujui permintaanya, karena dia berjanji akan memberikan apa yang ku mau. Maka mulai hari itu, dia memindahkanku ketempat kost yang lebih mahal dan elit, dia juga membelikanku handphone mahal ini, dan juga berbelanja apapun yang kumau. Sebagai gantinya, aku harus melayaninya seperti seorang istri. Namun dia tak setiap hari datang, karena dia ada banyak proyek di luar kota.Beberapa hari kemudian, Mas Adit pun menembakku, dan memintaku menjadi pacarnya. Aku pun menerimanya dengan senang hati, meskipun saat itu tak ada rasa cinta sedikit pun kepadanya, hanya lah rasa nyaman saja. Dia laki laki baik, yang memperlakukanku seperti seorang ratu dan selalu menghargai ku. Dia tak pernah sekali pun mencoba kurang ajar padaku, katanya dia sangat menyayangiku, jadi dia tak akan merusakku. Sem
Suami Adikku, MantanBab 29"Mas, aku ingin ngomongin sesuatu tentang Vania." kataku malam itu dengan sedikit rasa takut."Iya, Dek. Memang nya ada apa dengan Vania?" tanya suamiku.Malam itu, kami berdua duduk di teras rumah, karena memang belum ngantuk. Sementara Vania dan Gita, seperti biasa sedang menonton Tv."Anak yang ada di dalam kandungannya Vania itu bukan anaknya Adit, Mas.""Lho. Trus?" kata Mas Ridwan kaget.Kemudian aku menceritakan semua yang Vania katakan pagi tadi kepada Mas Ridwan, dan memintanya mencarikan solusi. "Vania, kesini sebentar!" teriak Mas Ridwan.Belum memberi komentar atas ceritaku, namun Mas Ridwan sudah memanggil Vania. Semoga saja tak terjadi apa apa ya Allah. Vania pun langsung menghampiri kami."Ada apa, Mas?" tanyanya."Duduk sini dulu." kata Mas Ridwan sambil menepuk kursi di samping kirinya.Vania pun duduk, dan terlihat raut ketakutan di wajannya."Anak siapa yang ada di dalam kandunganmu itu?" tanya suamiku."I ini, anu, aku nggak tahu, Mas."
Tepat pukul sembilan pagi, Adit sudah sampai dirumah kami, kebetulan aku dan Vania juga telah selesai mengantar pesanan kue, yang sudah kukerjakan sejak pukul tiga dini hari tadi dengan dibantu Vania.Kami bertiga pun duduk di ruang tamu bersama Adit, sementara Gita, tadi pamit main kerumah temanya, yang letaknya ada di samping kanan rumahku."Lagi repot nggak nih, Dit?" kata Mas Ridwan membuka obrolan pagi itu. "Kalau repot sih selalu, tapi kan ada waktu waktu disaat repot itu haris di nomer duakan, Mas. Heheheh. Apalagi kan ini hari minggu, kata orang orang kan family time kan." jawab Adit, sambil melirik Vania yang duduk di sampingnya."Hahaha iya benar, Dit. Sebenarnya ada hal yang sangat penting yang harus dikatakan sebelum acara pernikahanmu dengan Vania nanti. Silahkan Van, kamu katakan sejujurnya sendiri pada Adit." kata Mas Ridwan."Eh kok kayaknya jadi serius gini ya. Emang ada apa sih, Yank?" tanya Adit.Vania masih diam saja, sambil memainkan jari jarinya. Aku tahu akan s
Hari ini acara ijab qobul dan resepsi pernikahan Vania dan Adit, akan dilaksanakan di sebuah aula sebuah hotel bintang lima. Pernikahan mereka tergolong pernikahan yang mewah, karena orang tua Adit, ingin membuat acara yang berkesan untuk tamu tamunya. Semua biaya pernikahan di tanggung oleh keluarga Adit."Saya terima nikah dan kawinnya, Vania Maheswari binti Almarhum Jayadi Prakoso, dengan mas kawin seperangkat alat shalat, perhiasan emas seberat dua puluh gram dan juga sebuah mobil" ucap Adit."Bagaimana Sah?" tanya penghulu."Sah!!!" teriak kami bersama.Setelah itu, tante Ratna memeluk Vania, sambil mengucapkan sesuatu. Aku yang duduk di sampingnya bisa mendengar apa yang dikatakannya, dan itu membuatku tertawa."Mula saat ini, kamu panggilnya jangan Adit ya Nduk, Rama saja. Kalau kamu panggil Adit, nanti tak cubit lho, hehehe."Alhamdulillah acara ijab qobul berjalan lancar. Berakhir sudah tanggung jawab kami pada Vania, sekarang ada Adit yang akan membimbing dan bertanggung j
"Tak pantas katamu? Lalu kata kata apa yang menurutmu pantas, untuk wanita yang belum menikah dan hamil duluan, kemudian minta dinikahi laki laki kaya?" katanya lagi."Kami tak seperti yang kamu tuduhkan Mbak. Meski pun kami memang bersalah, tapi kan, itu juga kesalahan dari adikmu. Semua atas dasar cinta, kami pun sesungguhnya tak ingin hamil di luar nikah!!" jawabku.Ternyata, Mbak Ratih. Masih saja menyimpan amarah kepadaku, belum puas ternyata dia dulu menyuruhku mengugurkan kandunganku. Semoga saja dia tak tahu akan kebenaran ayah biologis dari anak yang dikandung Vania saat ini. Jika sampai tahu, aku takut sekali memprediksikan apa yang akan dilakukannya."Hahaha cinta? Bulshitt!! Kalian hanya ingin harta kami saja!! Setelah usahamu mendapatkan Rama berhasil ku gagalkan, sekarang kamu ganti mengumpankan adikmu pada Rama. Dan, selamat! Kali ini kian sukses!!." katanya lagi."Sungguh jahat sekali kamu, Mbak Ratih. Dulu kamu dengan tega memintaku menggugurkan kandunganku, kini apa
Sudah sebulan sejak pernikahannya, Vania tak pernah datang kesini. Terhitung selama satu bulan ini kami hanya dua kali ngobrol lewat telepon, itupun nggak sampai lima belas menit. Katanya, dia sedang sibuk karena banyak tugas kuliah, juga karena Rama pun saat ini sibuk untuk persiapan pembukaan Cofeeshop ketiganya, jadi mereka tak bisa berkunjung kesini.Sudah seminggu, tak ada sama sekali pesanan kue yang masuk, mungkin memang karena lagi jarang orang yang punya hajatan. Karena tak ada pesanan, setelah mengantar Gita dan Mas Ridwan berangkat, aku hanya melakukan beberapa perkerjaan rumah tangga. Dan pada pukul sembilan segala macam kerjaan itu sudah kuselesaikan. Setelahnya aku hanya akan rebahan saja, seperti saat ini. Hari ini, aku kangen sekali pada Vania, aku akan mencoba menghubunginya kebetulan hari ini sabtu, jadi dia besok liburkan. Siapa tahu dia mau berkunjung kesini. Kucoba meneleponnya sebanyak tiga kali. Namun tak dijawab olehnya, mungkin dia sedang repot. Kemudian aku
"Mas, tumben jam segini sudah pulang." kataku."Eh, kamu ngagetin saja sih, Dek. Masuk kamar nggak bilang bilang." katanya kemudian dia pun duduk."Lagi nglamunin apa sih, Mas? Sampau aku masuk nggak tahu. Sudah makan siang?" tanyaku."Aku belum lapar, Dek. Bekal tadi masih utuh itu di tas. Ada yang ingin kusampaikan padamu, Dek."Aku pun mengambil bekal makanan terrsebut dari dalam tas nya. Kemudian kembalu duduk disampingnya."Ada apa sih , Mas? Kok wajahmu itu kelihatan sedih sekali." tanyaku."Aku sekarang sudah tidak bekerja lagi, Dek. Aku pengangguran saat ini." katanya."Loh, kenapa Mas? Ada pengurangan karyawan kah di kantor?" tanyaku."Bukan, Dek. Bos ku bangkrut, semua aset nya disita oleh Bank besar, termasuk kantor tempat kerjaku. Jadi kami semua otomatis juga langsung kehilangan pekerjaan." katanya sambil memegangi kepalanya."Astaghfirullohaladzim, Mas. Tapi ada pesangon kan?" tanyaku lagi, kali ini sambil memegang tanganya."Tidak ada sama sekali, bahkan uang gajian bul
"Bun, kemarin sudah bilang kah ke Ayah?" tanya Gita pagi ini saat aku sedang memasak di dapur."Bilang apa Sayang?""Tuh kan Bunda lupa, hemmmm. Kan katanya mau bilang Ayah kalau sudah gajian kita akan berkunjung ke rumah Tante Vania." katanya sambil merengut."Ya Allah, maaf ya Sayang, Mama lupa hehehe. Tapi Ayah juga belum gajian lho. Gita sabar aja dulu ya, minggu depan kayaknya Tante dan Om sudah kesini kok." kataku sambil tersenyum."Yah, nggak seru deh. Ya sudah deh, aku bantuin masak ya, Bun." katanya."Boleh, ayok biar cepat selesai dan kita sarapan bareng deh." kataku.Nggak biasanya Mas Ridwan jam segini belum bangun, biasanya setelah subuhan, dia tak akan tidur. Tapi pagi ini dia langsung tidur lagi, dan sampai pukul delapan dia masih bergelung dengan selimut. Sarapan pagi sudah siap, Gita pun sudah mandi dan siap sarapan. Setiap hari minggu memang sarapan kami selalu agak telat."Bunda bangunin Ayah dulu ya." kataku sambil menuju kamar.Ternyata di dalam kamar, Mas Ridwan
Aku pun sebenarnya masih tak menyangka, jika Vania kini telah tiada. Aku tak tahu kenapa dia sampai menjadi gelap mata seperti ini, padahal kemarin-kemarin, dia sudah berusaha bertaubat.Jalan hidup yang di berikan Allah padaku, ternyata tak seperti yang kuinginkan. Sesungguhnya aku ingin sekali untuk ke depannya, bisa berkumpul dengan Ayah dan juga Vania. Namun ternyata, dengan membawa Ayah kembali, justru kemudian Allah mengambil Vania dariku.Pertanyaan dalam hatiku tentang hal apa yang membuat Vania tertekan hingga kemudian nekat memgakhiri hidupnya, masihlah menjadi teka-teki untukku. Namun kali ini aku menjadi ingat dengan seseorang, yang selalu mengancamku dan juga Vania, mungkin atau bahkan pasti, dialah yang telah menekan Vania sedemikian rupa. Sebaiknya aku sekarang meneleponnya, ya dia pasti Mbak Riska, kakak ipar Vania. Dua kali panggilanku tak dihiraukannya, tapi dipercobaan ketiga, akhirnya panggilanku di jawabnya."Assalamualaikum, Mbak Riska," ucapku tenang membuka per
Saat aku kembali membuka mata, ku lihat Gita duduk di sampingku dengan sesengukkan."Gita, kenapa nangis Nak?" tanyaku sambil mengusap pucuk kepala putriku itu."Gita takut, Bun..." jawabnya sambil menggenggam tanganku erat."Takut kenapa, Sayang? " tanyaku lagi."Takut Bunda nggak bangun, kayak Tante Vania itu...huhuhu," ucapku.Seketika aku pun langsung bangun dan merengkuh tubuhnya ke dalam pelukanku. Aku tahu, di usianya ini, masihlah sangat berat menyaksikan kejadian Vania tadi. Semoga nanti tak menjadi trauma ke depannya."Bunda, tak akan pergi kemana-mana Sayang. Bunda akan selalu ada di samping Dita. Sekarang mendingan Gita bobok di sini ya, pasti capek kan tadi habis perjalanan jauh?"Aku pun kemudian mengangkatnya dan menidurkannya di sampingku, kucium pucuk rambutnya dan kuelus, agar dia merasa tenang."Gita bobok ya, Bunda temenin di sini. Nanti kalau mau pulang, Bunda bangunin ya...," ucapku sambil tersenyum dan di jawab dengan anggukan kepala olehnya.Beberapa saat kemud
"Kenapa nggak langsung ke makam saja? Setelah selesai ziarah baru kira istirahat sebentar di rumah," ucap Ayah."Nggak, Yah. Sebentar saja kita ke rumah. Tak tahu kenapa rasanya aku ingin ke rumah secepatnya," pungkasku, "agak cepat sedikit ya, Yah."Kemudian kami bertiga hanya berdiam saja sementara Gita sudah tidur sejak awal kami berangkat tadi. Hingga akhirnya kami sampai di depan rumah, akupun langsung turun, tak tahu kenapa setelah membuka pintu aku langsung menuju ke kamar Ibu.Namun kamar itu terkunci dari dalam, padahal seluruh kamar yang ada di rumah ini, tak pernah ku kunci. Aku pun meminta Ayah dan Koko untuk mendobraknya. Dua kali terjangan keras kaki Koko, telah mampu membukanya. Pemandangan yang ada di dalam kamar seketika membuatku shock, Vania sudah tergeletak di atas kasur dengan mulut mengeluarkan busa dan darah. Akupun langsung merengkuh tubuh Vania tersebut."Van, bangun Van! Mengapa sampai terjadi semua ini? Cepat bangun Van!" Aku menggoyang goyangkan tubuhnya
Sudah tiga hari sejak kepergian Vania dari rumah, tak lagi kudapat kabar darinya. Nomer handphonenya pun sudah tidak aktif. Aku pun jadi bingung harus cari kemana dia. Rama pun begitu, semua teman Vania sudah dihubungi namun tak ada yang tau dimana keberadaannya. Bahkan kemarin, Rama pun sudah melaporkan ke kantor polisi. Vania bagai hilang ditelan bumi begitu saja.Sejak semalam, entah kenapa perasaan hatiku terasa sedih, dan kangen juga rasanya pada almarhumah Ibu, rasanya aku ingi berziarah ke kampung. Semalam pun aku bermimpi, Vania menangis di sebuah tempat lapang seorang diri, dan terlihat pula Ibu dari jauh yang berdiri diam dengan menunjukkan ekspresi kesediha. Aku sangat yakin dia sekarang sedang kesusahan dan ingin menyelesaikan pergolakan batinnya sendiri. Sepulang kerja hari ini, aku dan Gita akan ke kampung halamanku di Kediri, bersama Ayah. Kebetulan Ayah sedang tidak ada pekerjaan, jadi kita bisa berziarah bersama ke makam Ibu."Sis, boleh nggak aku ikut berziarah ke m
Pov VaniaKetika rumah tanggaku mulai tenang dan aku sudah fokus hanya pada Rama. Rumah tangga Kak Siska mengalami kehancuran. Mas Ridwan telah menikah secara diam diam dan memiliki seorang putra dari perkawinannya itu. Setelah proses yang alot akhirnya mereka bisa bercerai dan Mas Ridwan masuk penjara. Kurasa itu adalah balasan yang setimpal untuk semua perbuatan jahatnya itu.Kini Alhamdulillah Kak Siska bisa bangkit dan memulai kehidupan baru dengan Gita. Semoga saja selamanya mereka bahagia tanp hadirnya lagi laki laki seperti Mas Ridwan itu.Saat syukuran rumah baru Kak Siska, aku pendarahan. Bukan pendarahan sih tepatnya, namun haid yang sangat berat dan sakit di perut yang amat sangat nyeri. Sebenarnya sudah tiga bulan terakhir aku mengalami ini, namun aku diam saja, takut jika akan membuat khawatir semua orang.Setelah kerumah sakit dan bertemu dengan dokter, dia mengharuskanku melakukan pengangkatan rahim total. Karena memang aku mengalami infeksi rahim yang parah dan fibroi
Pov VaniaMalam itu aku tertidur begitu larut, setelah tadi bermain bersama Gita di ruang keluarga, lalu akupun menonton marathon drakor yang kata teman teman kampusku sangat romantis itu. Baru saja beberapa saat tertidur, kurasakan sebuah tangan mengelus kedua paha bagian dalamku, aku pun berjingkat kaget dan segera bangun. Astaghfiruahaladzim ternyata itu Mas Ridwan.Aku pun langsung terduduk, dan berusaha teriak, namun dengan sigap dia membungkam mulutku."Sst jangan teriak!! Atau akan kubunuh kamu!" katanya.Tanganya berusaha masuk kedalam kaos yang kupakai, aku berusaha berontak sambil menangis."Layani aku malam ini, sebagai balas budimu karena hidupmu sudah kubiayai! Ingat jangab teriak atau akan kubunuh Kakak mu itu!!" ancamnya.Demi apapun juga, aku tak akan mau menyerahkan mahkota ku kepadanya. Kemudian aku meronta, dan mencoba menendangnya, dan Alhamdulillah tendangan kerasku kali ini mengenai senjatanya. Sontak dia melepaskanku dan kesakitan. Saat dia kesakitan kudorong t
"Kak, masih disana kan? Kok diam saja? Dia akhir akhir ini sering keluar, dan seperti menjauhiku." katanya."Ehmm, sudah dua minggu ini, aku tak pernah berhubungan dengan dia. Beberapa kali aku coba telepon, tapi tak pernah di angkatnya." kataku."Berarti dia tak bersama Kak Siska gitu?" tanyanya."Iya, Ram." kataku."Astaghfirullahaladzim. Lalu kira kira dia kemana ya Kak?" kata Rama cemas."Coba hubungi temannya, atau datangi ketempat temannya. Aku akan mencoba menghubungi nomernya. Apa kamu sudah coba menghunbunginya?" kataku tak kalah cemas."Dari kemarin nomernya tak bisa dihubungi, Kak. Tapi sekarang akan kucoba lagi, tolong Kak Siska juga." "Oke, pasti aku bantu. Apa kalian habis bertengkar?" tanyaku."Tidak, Kak. Tapi semingguan ini, dia seperti menjauhiku dan lebih banyak diam.""Baiklah kalau begitu, aku akan coba menghubungi Vania sekarang. Jangan lupa kabari aku jika dia sudah pulang, atau jika sudah ada kabar darinyaa. Wassallamuaikum."Tanpa menunggu jawaban dari Rama,
Novi langsung pergi, sepertinya dia marah sekali mendengar apa yang baru dikatakan Koko barusan. Aku pun duduk di teras. Menoleh ternyata Gita belum juga siap. Alhamdulillah kalau dia tak tahu insiden yang baru saja terjadi."Kamu nggak apa apa kan, Sis?" kata Koko yang duduk disampingku."Nggak lah. Aku sudah biasa menghadapi keadaan seperti ini kok. Makasih ya sudah datang. Eh ngomong ngomong kamu tadi kapan sih datangnya?" kataku sambil mencoba tersenyum, meski hatiku sebenarnya terasa sedikit sesak."Kamu sih keasyikan tadi, sampai tak tahu aku memarkir sepeda disebelahmu." katanya sambil tersenyum."Hahaha iya bener kamu. Kok kamu tahu sih kalau aku akan bersepeda pagi ini?" tanyaku lagi."Feeling calon suami, hehehhe." katanya."Bunda, yuk aku sudah siap. Eh, ada Om Koko, jadi rame nih. Yuk berangkat, nanti maem bareng bareng ya." kata Gita yang baru keluar dari rumah."Yuk berangkat sekarang." kata Koko."Maaf ya, Bun. Tadi aku sakir perut jadi BAB dulu deh." kata Gita sambil
[Assalamualaikum, Nak. Maaf ya, hari ini Ayah belum bisa menemui adikmu itu. Ada sedikit keperluan di luar kota, kebetulan teman lama Ayah ada yang mengajak investasi proyek, jadi harus meninjau lokasinya. Nggak apa apa kan?]Isi chat dari Ayah, di hari minggu itu. Tak apalah toh masih banyak hari yang lain. Kebetulan aku juga belum bicara pada Vania tentang hal itu.[Waalaikumsalam. Iya nggak apa apa kok Yah. Bisa lain waktu. Hati hati ya Yah. ]Aku yang baru saja selesai melaksanakan shalat subuh pun, akhirnya membangunkan Gita dan mengajaknya bersepeda. "Asyikk, nanti kita beli soto daging Cak Kandar ya Bun." katanya."Boleh Sayang. Sudah sana sekarang shalat dulu, Bunda tunggu di depan ya." kataku.Aku pun menuju garasi mengeluarkan sepeda kamu berdua, sambil menunggu Gita akupun mengelap sepeda sepeda itu. Tiba tiba sebuah motor matic berhenti di depan gerbang rumahku. Seorang perempuan berambut merah turun, meski keadaan masih sedikit gelap, aku sangat tahu bahwa itu adalah No