Mendengar perintah Hara, dua pembantu itu saling pandang. Mereka tentu merasa aneh dengan kedua majikannya tersebut. Vier dan Hara adalah sepasang pengantin baru, tapi mereka seperti sudah menjalani bahtera rumah tangga berpuluh-puluh tahun dan sedang mengalami guncangan dalam rumah tangga mereka. “Bibi paham yang saya maksud, kan?” Hara meyakinkan kepada pembantunya.“Paham, Bu.” Tentu saja mereka akan melakukan perintah majikannya meskipun itu sesuatu yang tidak masuk akal. Hara mengangguk dan mengatakan terima kasih sebelum bangkit dan berlalu dari sana. Menuju kamarnya, dan dia kembali berbaring di kasurnya. Semua hal buruk ini membuatnya lelah. Hara memiliki butik yang sudah beroperasi dengan baik. Karena itu tak mengharuskan dia untuk berangkat bekerja. Di sisi lain, Vier masih sibuk di jalan untuk menuju restorannya. Meskipun perjalanannya lumayan jauh, tapi dia tidak mempermasalahkan. Dia harus tetap pergi dibandingkan harus di rumah dan bertengkar dengan Hara. Vier meliha
Ada jejak senyum di wajah Hara mendengar pertanyaan Vier. Obat yang sudah dicampurkan ke dalam minuman Vier tampaknya sudah bereaksi. Tentu saja ini akan menjadi sesuatu yang mengesankan. Vier sudah siap berangkat ke restoran dan menggenggam kunci mobilnya di sakunya ketika dia merasakan panas tubuhnya meningkat berkali lipat. Dia menjadi sedikit sensitif. Namun meskipun begitu, dia tak kehilangan kendali pikirannya. “Katakan, apa yang kamu campurkan di minumanku?” Wajah Vier sudah memerah. Matanya sedikit tidak fokus. “Itu adalah sesuatu yang akan membuatmu merasakan menginginkan sentuhan.” Hara mendekat tapi Vier buru-buru mundur. Kakinya lemas tak karuan. “Jangan mendekat,” peringat Vier. Hara mencoba menggapai lengan Vier dan Entah bagaimana, sentuhan kulit mereka terasa sangat mengesankan. Vier tidak pernah merasakan perasaan menggebu seperti ini dengan Hara. Tatapan mata Vier mengarah pada Hara. Sedikit memicing dan bahkan Hara tampak seperti Violet. Saat itu, dia segera ber
Suasana di ruang makan itu tiba-tiba membeku ketika Violet mengatakan kalimat tersebut. Kedua sahabatnya jelas tahu bagaimana Violet dan Vier yang saling mencintai dan terhalang oleh sebuah restu. Mereka sekarang saling kehilangan, tapi tampaknya takdir tak sesederhana itu. Vier yang sudah menikah dengan Hara bahkan tidak peduli dengan istrinya dan lebih memilih mantan istri yang dicintai.Itu memang akan sangat menyakitkan bagi Hara karena tidak mendapatkan cinta dari sang suami. Tapi cara Hara mendapatkan Vier adalah hal yang sangat menjengkelkan sehingga itu pantas Hara dapatkan. “Hara pasti sekarang sedang panik.” Candy menduga. “Dia pasti sudah menunggu saat-saat seperti ini, namun pada akhirnya dia kehilangan suaminya di detik terakhir. Dan menjadi hal buruk adalah ketika dia menyangka kalau kamu pasti sudah berhasil ‘melakukannya’ dengan Vier.”“Akan ada pikiran buruk di kepala Hara. Dan entah akan seperti apa lagi dia membuat kekacauan ini bertambah,” imbuh Raka. Violet menj
Vier keluar dari kotak besi saat hampir pukul sepuluh malam. Langkahnya pasti tanpa ada rasa kekhawatiran jika Hara akan memergokinya di tempat itu. Namun bukan berarti dia tak waspada. Jika Violet mengatakan jika Hara masih ada di basement, maka tentu saja Hara masih ada di sana. “Akhirnya kamu keluar juga.” Sepertinya langkah kaki Vier terdengar di telinga Hara, atau dia memang sudah mengintai, sehingga dia bisa segera menyergap Vier dengan cepat. Vier yang melihat Hara tampak kacau dan berdiri di depannya, dia merasa kasihan. Tapi itu tak membuat dirinya lantas tunduk kepada perempuan itu. “Apa itu pantas untuk kamu lakukan, Vier?” tanyanya dengan sengit. “Aku bahkan penasaran bagaimana pikiranmu bisa memikirkan tentang Violet di saat kamu tidak waras.”“Siapa yang membuat aku seperti itu?” Tatapan yang ditujukan Vier untuk Hara tidak seperti biasanya. Lelaki itu mengeluarkan aura yang tidak biasa. Kali ini lebih dingin dari biasanya. Hara tidak bisa untuk tidak takut dengan su
Sepanjang Briana berbicara, Violet hanya terus menatap dan mendengarkan. Dia sebenarnya lebih pada penasaran. Sampai sejauh mana Briana akan berceloteh tentang masalahnya. Ternyata, nyali Briana masih setinggi Gunung Himalaya. Dia sudah tidak memiliki banyak hal yang bisa mendukungnya, tapi dia masih berani muncul di hadapan Violet dengan angkuh. “Violet, kamu sudah mengambil banyak hal dariku. Aku rasa itu adalah caramu untuk membalas dendam kepadaku.” Senyum yang tadi masih tampak di bibir Briana kini lenyap digantikan dengan ekspresi geram. “Tapi saat aku melihat kamu kehilangan cintamu untuk kedua kalinya, aku rasa itu sepadan dengan penderitaanku. Aku tahu, kalau kamu mencintai suamimu. Tapi sayangnya ibunya sangat membencimu. Bukankah itu adalah sebuah karma karena kamu memaksa kekasih orang lain untuk menikah denganmu?” Meskipun Violet sudah pernah mengatakan jika dia dan Briana adalah sama-sama perebut milik orang lain, tapi ketika Briana yang mengatakan itu, Violet merasa h
“Kamu tahu betapa menyebalkannya Violet? Dia benar-benar pantas untuk menderita.” Ini adalah pertemuan kedua antara Hara dan Briana. Setelah pertemuan tak sengaja saat itu, mereka bertukar kontak dan tadi, Briana lebih dulu menghubungi Hara dan menginformasikan tentang pertemuannya dengan Violet. Tentu saja Hara dengan senang hati menemui perempuan itu. Mungkin dengan cara seperti itu, mereka bisa saling bekerja sama. “Setelah kamu bilang apartemen Violet, aku bergegas ke sana dan mengaku jika aku adalah sahabatnya kepada resepsionis. Dan aku berhasil.” Briana melanjutkan ucapannya. “Tapi, aku kesal dengan semua kata-katanya.” “Dia adalah perempuan paling licik di dunia ini.” Hara mengeratkan rahangnya ketika mengatakan itu. Kebenciannya sudah begitu tinggi sampai dia ingin membunuh perempuan itu. “Dan kita perlu bekerja sama untuk membuat kehancuran untuknya.” “Tentu saja aku setuju.” Briana tanpa berpikir segera menyetujui. “Dia harus hancur sampai dia merasa tidak berhak untuk
Setelah Hara menemukan kembali suaranya, dia segera menjawab dengan pertanyaan. “Lalu bagaimana dengan dirimu sendiri?” Hara menoleh dan mematenkan tatapannya pada Vier tanpa ingin mengalihkan ke mana pun. “Aku adalah seorang pria yang bertanggung jawab. Apa menurutmu aku akan lari terbirit-birit setelah menghamili anak orang?” “Kamu akan menikahinya?” Hanya dengan membayangkan saja, Hara tak bisa menahan kesedihannya. Bagaimana kalau perempuan yang sudah melakukan tindakan primitif dengan Vier hamil dan kemudian Vier menikahinya untuk bertanggung jawab. Perempuan itu akan menjadi istri kedua Vier. “Lalu menurutmu apa yang harus aku lakukan jika dia hamil?” Vier melontarkan kembali pertanyaannya dengan sengit. “Kalau dia hamil anakku, bukankah seharusnya jalan satu-satunya adalah menikahinya? Dia adalah gadis lajang yang putus asa karena terlibat masalah. Aku tentu saja tidak akan membiarkan dia mengurus semuanya sendiri. Aku sudah memberikanku kartu nama dan dia akan menghubungiku
Raka tidak bisa menahan dirinya untuk tidak menyetir ugal-ugalan. Bersama dengan beberapa orang kepercayaannya, lelaki itu dengan cepat mencari Violet. Dia tidak mendengar suara tabrakan karena saat itu, panggilan teleponnya sudah berakhir. Sebelum berangkat, Raka sudah berhasil melacak dari panggilan telepon Violet yang terakhir. Beruntung, Violet sempat menelponnya. Karena kalau tidak, ini akan semakin menyulitkan. Dari kejauhan, Raka melihat mobil yang tampak menghadap ke arah berlawanan dengan mobilnya dan dia yakin itu adalah mobil Violet. Raka menginjak pedal gasnya dan sampai tepat di depan mobil itu. Pun dengan dua mobil yang mengikutinya. “Kalian segera cari dia di mana pun.” Raka memberikan perintah sebelum di mengecek mobil Violet.Raka mengencangkan rahangnya ketika melihat betapa mobil Violet tampak mengenaskan. Pintu kaca sebelah kiri pecah dan pintu sebelah kanannya terbuka. Bagian depan dan samping penyok. “Violet!” Raka mencoba untuk memanggil gadis itu. Tepat di
“Eve … Everest, lihat Bunda, Nak. Ya betul.” Melody terkadang bertepuk tangan untuk menarik perhatian Eve, bocah itu tertawa, lalu seorang fotografer melakukan tugasnya. Mengambil gambar dengan berkali-kali jepretan dan sesekali berpindah tempat untuk mengambil angle yang pas. Ini bukan pertama kalinya Eve melakukan pemotretan. Saat dia masih berusia satu bulan, Sagara sendiri yang menjadi fotografernya. Karena hari ini Sagara sibuk, jadi dia tak bisa lagi menjadi fotografer dadakan untuk si kecil Eve. Samudra yang melihat gambar dari laptop yang sudah terhubung dengan kamera, tersenyum gemas. “Assalamu alaikum.” Semesta masuk dengan membawa banyak makanan. “Ih, lucunya,” ucapnya saat menatap bocah kecil yang berada di atas sofa dengan gaun princess. Di kepalanya dipakaikan mahkota yang terbuat dari ranting pohon beserta bunga dan daunnya. “Udah dapat berapa gaun, Kak?” tanyanya pada Melody. “Ini yang terakhir. Setelah kami bertiga berfoto, lalu kita sekeluarga. Sagara ke man
Melody keluar dari mobil dengan pelan kemudian berjalan dengan pelan menuju rumah barunya. Dia tentu sudah tahu rumah besar itu saat masih ada beberapa tempat yang perlu diperbaiki. Saat masuk ke dalam lewat pintu samping, dia segera disuguhkan ruang keluarga yang luas dengan sofa besar hijau matcha berada di tengah ruangan. Samudra tak main-main saat membeli rumah untuk istri dan anaknya. Kedua saudara Samudra bahkan tidak ada yang bekerja karena Eve hari ini pulang ke rumah. Bayi yang ditunggu-tunggu kedatangannya. “Abang tahu nggak kalau kami semua akan menginap di sini malam ini?” Semesta bertanya kepada Samudra saat semua orang sudah duduk di sofa ruang keluarga. “Tahu. Bunda sudah bilang.” Ini adalah bentuk support system yang diberikan oleh keluarga Samudra kepada Melody. Bagaimanapun, Melody adalah ibu baru dan dia membutuhkan banyak dukungan dari keluarga serta sang suami. Violet sudah memberikan banyak wejangan kepada putranya itu agar menjadi lelaki yang bertanggung jaw
Hari-hari itu akhirnya berlalu. Tidak doyan makan, mengidam, bahkan morning sickness yang tadinya tidak ada jadi ada, semua telah usai. Rasa kekhawatiran yang dirasakan oleh Samudra atas kehamilan istrinya benar-benar telah berakhir. Saat itu, dia bahkan meminta tolong agar mertuanya datang untuk menemani Melody. Barangkali ibunya ada di sana membuat Melody bersedia untuk makan makanan yang dimasakkan oleh sang bunda. Sayangnya, aksi malas makannya itu tidak berubah dan bertahan sampai tiga bulan. Kini seorang bayi perempuan mungil telah lahir di dunia dengan berat 2,4kg. Masih sangat merah dan tampak lemah. Untuk sekarang, percampuran wajah kedua orang tuanya sangat kental di wajah bayi itu. Kata orang tua dulu, wajah seseorang itu akan berubah sebanyak tujuh kali sejak dia lahir sampai dewasa, dan Samudra tidak sabar untuk melihatnya. “Selamat datang ke dunia yang keras ini, Eve.” Semesta yang tadi sedang meeting bersama stafnya itu mempercepat meeting-nya setelah Samudra mengirim
Samudra mengangkat Melody ke dalam kamar setelah perempuan itu sudah tidur dengan lelap. Mengelus perut sang istri dengan lembut sebelum dia menyusul tidur di samping perempuan itu. Terkadang di dalam keheningan seperti ini, Samudra bertanya-tanya. Bagaimana kalau dia dan Melody tidak terjebak pada masalah yang mengharuskannya menikahi asisten pribadinya itu? Apakah mereka juga akan bersatu seperti ini, atau bahkan sebaliknya. Tapi jika dipikirkan lagi, memang inilah takdir yang memang harus dia jalani. Begitulah cara takdir mempersatukan mereka. “Mas, kita udah ada di kasur ya?” gumaman itu menyadarkan Samudra dari lamunannya. Menepuk punggung Melody dengan lembut. “Iya, kita udah di kamar. Kamu butuh sesuatu?” “Nggak ada, tapi kenapa dingin sekali?” Samudra melihat pendingin ruangan dan memastikan suhunya tidak terlalu rendah. Tapi memang masih wajar. “Mau aku matiin saja?” tanya Samudra. Dan Melody menganggukkan kepalanya setuju. Samudra melakukan yang diinginkan oleh M
Kalau Melody bukan istrinya, Samudra pasti sudah membentaknya. Sayangnya dia tak bisa melakukannya. Bagaimana mungkin dia menyakiti perempuan yang sudah dijaga seperti anaknya sendiri. Astaga, mulai lagi kan melanturnya si calon bapak muda ini. Ya lagi pula, istrinya bikin darah tinggi. Minta berhentikan mobil sudah seperti jalanan ini punya nenek moyangnya. “Nanti lagi, kalau kamu mau apa-apa, bilang dulu ya, Sayang. Seenggaknya jangan tiba-tiba begini. Bahaya.” Samudra sebisa mungkin menekan perasaan kesalnya supaya tidak keluar. “Iya, maaf,” katanya. “Di sana itu ada jajanan, aku pengen beli.” Tatapannya penuh harap dan itu membuat Samudra lemah. Mereka keluar dari mobil dan segera mendekati jajanan di pinggir jalan tersebut. Melody tampak antusias. Makanan itu benar-benar sangat menggoda dirinya. Samudra yang berada di belakang istrinya itu hanya mengikuti saja tanpa berkomentar. “Mas mau yang mana?” tanya Melody. Jajanan itu seperti jajanan Ramadhan. “Aku ingat pas puasa ka
Kabar yang dibawa oleh Samudra dan Melody adalah kabar yang membahagiakan. Semua keluarga Samudra bahagia luar biasa. Violet dan Vier yang sebentar lagi menjadi nenek kakek tampak terharu. Kehidupan baik selalu menyertai mereka. Kebetulan Sagara dan Semesta pulang berbarengan. Dan mereka juga sangat bahagia. Akhirnya, mereka akan memiliki keponakan. “Apa kira-kira mereka juga kembar?” tanya Sagara tampak antusias. “Kalau iya, gen bapaknya benar-benar kuat.” “Belum bisa dilihat dong. Kalaupun iya, itu bagus. Apalagi kalau langsung cewek cowok seperti kita, itu dinamakan apa, Bang?” Semesta menunjuk Sagara. “Sekali jadi.” Sagara dan Semesta bersuara berbarengan. “Wah, kalau kita bertiga punya anak kembar, bukannya Bunda dan Ayah akan punya banyak cucu?” “Bunda nggak punya saudara. Ayah punya saudara cuma satu. Jadi kalau banyak cucu, itu akan lebih baik. Kalian kalau tua juga nggak kesepian kalau punya anak banyak.” Samudra hanya mendengarkan saja dua saudaranya berbicara tanpa
Menuruti keinginan sang istri, mereka akhirnya berada di sebuah kedai bakso kobar yang tak jauh dari hotel. Melody makan bakso berisi cabe itu dengan lahap membuat Samudra menatapnya melongo. Padahal tadi dia sudah memasukkan dua potong steak, lalu jus juga, tapi sekarang dia berlaku seperti tak pernah makan selama berhari-hari. “Kamu beneran lapar?” tanya Samudra. “Mas tahu nggak kalau steak itu tadi hanya nyempil aja. Nggak tahu kenapa perutku tiba-tiba menjadi seperti karet.” Melody menyeruput kuah bakso yang berwarna merah kehitaman itu karena campuran sambal dan kecap. Matanya tertutup kemudian terbuka kembali. Kata ‘ah’ keluar karena rasa pedas meluncur dari dalam mulutnya. Sungguh, itu benar-benar enak menurut Melody. Samudra hanya menggelengkan kepalanya saja melihat tingkah sang istri. Dia menyuapkan bakso ke dalam mulutnya kemudian mengunyah dengan santai sambil memperhatikan Melody yang keenakan karena bakso tersebut.“Memang udah berapa lama sih nggak makan bakso?” tany
“Kafe kecil nggak akan buat kamu kelelahan.” Lanjut Samudra setelah itu. Vier juga memiliki bisnis restoran yang masih diurus oleh Via. Jadi lebih baik berinovasi yang lain. Begitulah inti dari pembicaraan itu. Melody tampak berpikir dan masih membutuhkan waktu untuk memutuskan. “Kalau begitu, aku akan memikirkan lagi nanti.” “Bunda dulu setelah menikah juga nggak langsung libur kerja, kok. Tapi sedikit demi sedikit mengurangi pekerjaannya dan Ayah yang menggantikannya. Jadi kamu bisa mengambil waktu sebanyak yang kamu mau untuk mengambil keputusan.” Melody mengangguk setuju. Sebuah keputusan baik tidak dilakukan secara terburu-buru dan harus dengan pemikiran matang. Hari-hari berlalu dan pada akhirnya pesta itu tiba. Melody melihat dekorasinya benar-benar sangat mewah. Violet dan Semesta yang mengurusnya dengan menanyakan keinginannya. Dia memilih dekorasi berwarna hijau matcha seperti yang disukai selama ini. Sejak kecil selalu berkawan dengan daun-daun teh membuatnya menyukai
"Ini baju design terbaru dari butik ini, Bang. Jadi, aku merekomendasikan kepada Kakak Ipar.” Semesta yang menjawab karena dia tahu kalau Melody sudah dihinggapi rasa ketakutan yang luar biasa. Terlihat, perempuan itu menunduk tanpa berani menatap Samudra sedikitpun. Melody pasti sudah mengerti betapa tatapan lelaki itu akan setajam apa. Jadi, lebih baik dia menghindar. “Waw, Kakak Ipar.” Belum lagi Samudra menjawab ucapan kembarannya yang satu, muncul lagi kembarannya yang lain. Sagara bersiul menggoda dan tampak puas dengan penampilan si kakak ipar. “Itu gaun yang cantik. Bukan itu juga, yang pakai juga cantik banget. Aku sih, ya.” Samudra tak bisa menahan panas yang menjalar dari dalam hatinya. Lelaki itu menatap Sagara dengan tajam. “Jangan menatapnya!” Samudra meraup wajah Sagara dan segera menarik tangan kembarannya itu sampai Sagara berbalik. “Tutup mata kamu. Itu kakak iparmu,” imbuh Samudra memeringatkan.“Aku tahu kalau dia kakak iparku. Tapi aku kan cuma memujinya. Buka