Raka tidak bisa menahan dirinya untuk tidak menyetir ugal-ugalan. Bersama dengan beberapa orang kepercayaannya, lelaki itu dengan cepat mencari Violet. Dia tidak mendengar suara tabrakan karena saat itu, panggilan teleponnya sudah berakhir. Sebelum berangkat, Raka sudah berhasil melacak dari panggilan telepon Violet yang terakhir. Beruntung, Violet sempat menelponnya. Karena kalau tidak, ini akan semakin menyulitkan. Dari kejauhan, Raka melihat mobil yang tampak menghadap ke arah berlawanan dengan mobilnya dan dia yakin itu adalah mobil Violet. Raka menginjak pedal gasnya dan sampai tepat di depan mobil itu. Pun dengan dua mobil yang mengikutinya. “Kalian segera cari dia di mana pun.” Raka memberikan perintah sebelum di mengecek mobil Violet.Raka mengencangkan rahangnya ketika melihat betapa mobil Violet tampak mengenaskan. Pintu kaca sebelah kiri pecah dan pintu sebelah kanannya terbuka. Bagian depan dan samping penyok. “Violet!” Raka mencoba untuk memanggil gadis itu. Tepat di
“Aku akan mengatakan itu kepada Raka,” jawab Candy. “Sekarang yang perlu kamu lakukan adalah istirahat sampai pulih. Dan ….” Candy menjeda ucapannya sebentar seolah ragu meneruskan. Tapi Candy melanjutkan juga. “Apa aku perlu memberitahu tentang keadaanmu kepada Vier?” “Tidak perlu.” Suara dari belakang Candy mengejutkan perempuan itu. Ibu Violet sudah bangun dari tidurnya. “Jangan melibatkan dia lagi, Candy. Kita sudah tidak memiliki urusan apa pun dengannya.” Perempuan paruh baya itu mendekat ke arah ranjang dan mendapati putrinya sudah sadar. “Mama lega kamu sudah sadar, Violet.” Mata ibu Violet berkaca-kaca saat menatap putrinya. Merasa bersyukur karena putrinya kuat dengan musibah ini. “Mama nggak perlu khawatir. Aku belum akan mati sampai bisa membalas dendam kepada musuh-musuhku.” “Huss … jangan berbicara yang tidak-tidak.” Meskipun ini sudah malam dan dia baru saja siuman, Violet enggan untuk menutup mata. Pikirannya berkeliaran ke mana-mana dan memikirkan banyak hal. Me
Ruangan meeting itu terasa sangat mencekam. Seperti mereka berada di dalam adegan horor yang menyeramkan. Briana yang pucat pasi terus menatap Candy yang kini sudah mengubah raut wajahnya. Candy tampak seperti pembunuh berdarah dingin dengan ekspresinya yang menggelap. Briana menatap ke arah pintu berharap ada orang yang masuk ke dalam ruangan itu kemudian membantunya keluar dari intimidasi yang dikeluarkan oleh Candy. Sayangnya itu tidak mungkin terjadi. Karena itu adalah bagian dari sebuah rencana. “Aku tidak mengerti kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal seperti itu. Membayar penjahat untuk melukai Violet? Yang benar saja.” Briana terkekeh kaku menutupi perasaannya yang terasa beku. Dia tahu tiga orang suruhannya tidak bisa dilacak, lalu kenapa Candy bisa langsung menuduhnya? Sial. Dia tidak boleh kecolongan. “Jadi itu bukan kamu?” Candy kembali bertanya dengan raut wajah menyesal. “Aku, menuduh orang yang salah?” “Tentu saja. Aku tidak ada hubungannya dengan Vi
Mata Briana yang tadinya tertutup itu kini terbuka. Hanya suara rendah dari Candy mampu membuat Briana terbangun dari tidurnya. Mata merah Briana terlihat pertama kali saat dia mendongak dan mendapati Candy di depannya. Segera, kantuk itu lenyap seketika dan berubah kebencian yang mendalam.“Candy.” Giginya bergemelatuk dan amarahnya segera berkobar keluar. “Keluarkan aku dari sini!” “Hei, jangan marah begitu. Bukannya kita akan bersenang-senang?” Candy tersenyum mencemooh. Raka mendekat dan berdiri di samping Candy. “Sangat disayangkan ketika dia harus terjerumus dengan criminal seperti ini. Tapi, Yang, pacarnya mencoba menghubunginya atau tidak?” Ponsel Briana sudah ada di tangan Candy dan dia mengangkat ponsel itu sampai ke wajahnya. Dengan ekspresi menyesal, Candy menggeleng lemah. “Nggak ada, Yang. Tapi, kita harus memberitahukannya, bukan?”“Apa kekasihnya tidak mencintainya? Seharusnya dia merasa kehilangan kekasihnya saat ini.”“Yang, kamu nggak tahu?” Candy mengubah raut w
“Aku mencari Violet.” Hara yang baru saja keluar dari mobilnya itu sudah dihadang oleh enam pengawal berotot. Mereka berpakaian hitam-hitam, dan raut wajah mereka dingin dan bengis. Hara sebenarnya takut, tapi dia sungguh tidak bisa membiarkan Briana menghadapi semua ini sendirian. Dia harus membantu bagaimanapun caranya. Meskipun ada banyak pengawal bengis di sana, dia tidak akan mundur. Dia juga menikmati hasil dari kerja sama mereka. Jadi dia juga harus berada di dekat Briana untuk membantu perempuan itu. Dua pengawal mengantarkan Hara masuk ke dalam rumah. Saat dia menginjakkan kakinya di dalam rumah tersebut, bulu kudunya meremang. Dia seperti berada di dalam film horor. “Maaf mengganggu, tapi saya sedang mengantarkan seseorang.” Suara pengawal membuat Candy, Violet, dan Raka menoleh. Karena sibuk menatap ke sana-kemari, Hara tidak begitu memperhatikan apa yang ada di depannya. Saat dia sudah fokus, matanya bisa melihat dengan jelas jika Briana tengah disekap dan duduk di
Sejujurnya masih ada keraguan di dalam diri Hara untuk mengakui semua perbuatannya. Dia tak rela kalau harus kalah semudah ini dengan Violet. Tapi, para pengawal yang ada di sekelilingnya membuatnya harus membuka mulut atau dia benar-benar akan menjadi ‘kotor’ dan aib seumur hidupnya. Sesekali, Hara menoleh ke arah Briana untuk berkomunikasi dengan perempuan itu. Tapi Briana memberikan tatapan ‘kita tidak tidak memiliki pilihan lain atau kita akan benar-benar habis’ kepada Hara. Malam semakin larut tapi Hara tak kunjung berbicara. Hal itu membuat Violet geram dan ingin sekali mencabik-cabik dua perempuan yang ada di depannya. “Kurung di dalam kamar dan pancing Evan untuk keluar. Candy, kamu kirim foto mereka kepada si brengsek itu dan kalau dia berminat untuk membantu, maka mintalah dia untuk datang.” Tubuh Violet terasa sangat lelah dan dia benci basa-basi. Dua perempuan itu membuatnya harus mengulur kesabarannya. “Violet, kamu tidak bisa memperlakukan kami seperti ini!” Briana me
Sepanjang malam itu, Vier mengintai dan dia mendapati jika di rumah itu memang ada penyekapan. Hara dan Evan tidak pernah kembali keluar saat sudah masuk ke dalam rumah. Dia memang tidak mendengar jeritan atau perdebatan. Itu artinya, bisa saja setelah para korban itu masuk, mereka sudah dilumpuhkan. Di sana adalah sebuah daerah pinggiran dan seharusnya jika ada jeritan atau apa pun, Vier bisa mendengarnya. Sayang hal itu tak pernah terjadi.Sebuah gejolak di dalam dirinya terasa mengaung tiada henti. Dia bertanya kepada dirinya sendiri apa yang harus dilakukan? Jika dia bertekad masuk, maka itu hanya akan menyerahkan dirinya kepada mereka dengan cuma-cuma. Tapi kalau dia memanggil polisi, maka dia khawatir Hara dan Evanlah pihak yang salah. Vier terus menunggu sampai hampir pagi. Untungnya, ada semak-semak tinggi dan dia bisa menyembunyikan mobilnya di sana. Sebuah mobil kembali datang dan itu adalah mobil Van. Violet datang masih dengan beberapa pengawal dan juga Candy. Setelah be
Semua yang mereka katakan sudah masuk ke dalam rekaman dan menjadi bukti kejahatan mereka. Briana mengatakan jika ingin membalas Violet karena Violet sudah membuatnya kehilangan banyak hal. Karirnya hancur karena video itu. Sedangkan Hara tentu saja mengatakan jika dia melakukan itu karena Violet sudah mengambil Vier darinya. Ya, semua hal yang melatarbelakangi masalah itu tentu saja hanya masalah-masalah itu saja. Tapi yang mengerikan adalah ketika mereka ingin melenyapkan Violet untuk balas dendamnya. “Kami sudah bilang, kami tidak menginginkan kematianmu!” Hara bersuara lambat. Dia sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk memberontak dan berteriak. “Kami hanya ingin kamu diperkosa sampai Vier tidak akan pernah mencintaimu lagi.”“Jadi, mata ganti mata, dan kaki ganti kaki.” Candy yang sejak tadi hanya berdiam diri tak bisa menahan untuk berbicara. “Kalian menginginkan itu untuk Violet, seharusnya kami juga mengembalikan yang sepadan.” Mata gadis itu gelap mengingat bagaimana saat
“Eve … Everest, lihat Bunda, Nak. Ya betul.” Melody terkadang bertepuk tangan untuk menarik perhatian Eve, bocah itu tertawa, lalu seorang fotografer melakukan tugasnya. Mengambil gambar dengan berkali-kali jepretan dan sesekali berpindah tempat untuk mengambil angle yang pas. Ini bukan pertama kalinya Eve melakukan pemotretan. Saat dia masih berusia satu bulan, Sagara sendiri yang menjadi fotografernya. Karena hari ini Sagara sibuk, jadi dia tak bisa lagi menjadi fotografer dadakan untuk si kecil Eve. Samudra yang melihat gambar dari laptop yang sudah terhubung dengan kamera, tersenyum gemas. “Assalamu alaikum.” Semesta masuk dengan membawa banyak makanan. “Ih, lucunya,” ucapnya saat menatap bocah kecil yang berada di atas sofa dengan gaun princess. Di kepalanya dipakaikan mahkota yang terbuat dari ranting pohon beserta bunga dan daunnya. “Udah dapat berapa gaun, Kak?” tanyanya pada Melody. “Ini yang terakhir. Setelah kami bertiga berfoto, lalu kita sekeluarga. Sagara ke man
Melody keluar dari mobil dengan pelan kemudian berjalan dengan pelan menuju rumah barunya. Dia tentu sudah tahu rumah besar itu saat masih ada beberapa tempat yang perlu diperbaiki. Saat masuk ke dalam lewat pintu samping, dia segera disuguhkan ruang keluarga yang luas dengan sofa besar hijau matcha berada di tengah ruangan. Samudra tak main-main saat membeli rumah untuk istri dan anaknya. Kedua saudara Samudra bahkan tidak ada yang bekerja karena Eve hari ini pulang ke rumah. Bayi yang ditunggu-tunggu kedatangannya. “Abang tahu nggak kalau kami semua akan menginap di sini malam ini?” Semesta bertanya kepada Samudra saat semua orang sudah duduk di sofa ruang keluarga. “Tahu. Bunda sudah bilang.” Ini adalah bentuk support system yang diberikan oleh keluarga Samudra kepada Melody. Bagaimanapun, Melody adalah ibu baru dan dia membutuhkan banyak dukungan dari keluarga serta sang suami. Violet sudah memberikan banyak wejangan kepada putranya itu agar menjadi lelaki yang bertanggung jaw
Hari-hari itu akhirnya berlalu. Tidak doyan makan, mengidam, bahkan morning sickness yang tadinya tidak ada jadi ada, semua telah usai. Rasa kekhawatiran yang dirasakan oleh Samudra atas kehamilan istrinya benar-benar telah berakhir. Saat itu, dia bahkan meminta tolong agar mertuanya datang untuk menemani Melody. Barangkali ibunya ada di sana membuat Melody bersedia untuk makan makanan yang dimasakkan oleh sang bunda. Sayangnya, aksi malas makannya itu tidak berubah dan bertahan sampai tiga bulan. Kini seorang bayi perempuan mungil telah lahir di dunia dengan berat 2,4kg. Masih sangat merah dan tampak lemah. Untuk sekarang, percampuran wajah kedua orang tuanya sangat kental di wajah bayi itu. Kata orang tua dulu, wajah seseorang itu akan berubah sebanyak tujuh kali sejak dia lahir sampai dewasa, dan Samudra tidak sabar untuk melihatnya. “Selamat datang ke dunia yang keras ini, Eve.” Semesta yang tadi sedang meeting bersama stafnya itu mempercepat meeting-nya setelah Samudra mengirim
Samudra mengangkat Melody ke dalam kamar setelah perempuan itu sudah tidur dengan lelap. Mengelus perut sang istri dengan lembut sebelum dia menyusul tidur di samping perempuan itu. Terkadang di dalam keheningan seperti ini, Samudra bertanya-tanya. Bagaimana kalau dia dan Melody tidak terjebak pada masalah yang mengharuskannya menikahi asisten pribadinya itu? Apakah mereka juga akan bersatu seperti ini, atau bahkan sebaliknya. Tapi jika dipikirkan lagi, memang inilah takdir yang memang harus dia jalani. Begitulah cara takdir mempersatukan mereka. “Mas, kita udah ada di kasur ya?” gumaman itu menyadarkan Samudra dari lamunannya. Menepuk punggung Melody dengan lembut. “Iya, kita udah di kamar. Kamu butuh sesuatu?” “Nggak ada, tapi kenapa dingin sekali?” Samudra melihat pendingin ruangan dan memastikan suhunya tidak terlalu rendah. Tapi memang masih wajar. “Mau aku matiin saja?” tanya Samudra. Dan Melody menganggukkan kepalanya setuju. Samudra melakukan yang diinginkan oleh M
Kalau Melody bukan istrinya, Samudra pasti sudah membentaknya. Sayangnya dia tak bisa melakukannya. Bagaimana mungkin dia menyakiti perempuan yang sudah dijaga seperti anaknya sendiri. Astaga, mulai lagi kan melanturnya si calon bapak muda ini. Ya lagi pula, istrinya bikin darah tinggi. Minta berhentikan mobil sudah seperti jalanan ini punya nenek moyangnya. “Nanti lagi, kalau kamu mau apa-apa, bilang dulu ya, Sayang. Seenggaknya jangan tiba-tiba begini. Bahaya.” Samudra sebisa mungkin menekan perasaan kesalnya supaya tidak keluar. “Iya, maaf,” katanya. “Di sana itu ada jajanan, aku pengen beli.” Tatapannya penuh harap dan itu membuat Samudra lemah. Mereka keluar dari mobil dan segera mendekati jajanan di pinggir jalan tersebut. Melody tampak antusias. Makanan itu benar-benar sangat menggoda dirinya. Samudra yang berada di belakang istrinya itu hanya mengikuti saja tanpa berkomentar. “Mas mau yang mana?” tanya Melody. Jajanan itu seperti jajanan Ramadhan. “Aku ingat pas puasa ka
Kabar yang dibawa oleh Samudra dan Melody adalah kabar yang membahagiakan. Semua keluarga Samudra bahagia luar biasa. Violet dan Vier yang sebentar lagi menjadi nenek kakek tampak terharu. Kehidupan baik selalu menyertai mereka. Kebetulan Sagara dan Semesta pulang berbarengan. Dan mereka juga sangat bahagia. Akhirnya, mereka akan memiliki keponakan. “Apa kira-kira mereka juga kembar?” tanya Sagara tampak antusias. “Kalau iya, gen bapaknya benar-benar kuat.” “Belum bisa dilihat dong. Kalaupun iya, itu bagus. Apalagi kalau langsung cewek cowok seperti kita, itu dinamakan apa, Bang?” Semesta menunjuk Sagara. “Sekali jadi.” Sagara dan Semesta bersuara berbarengan. “Wah, kalau kita bertiga punya anak kembar, bukannya Bunda dan Ayah akan punya banyak cucu?” “Bunda nggak punya saudara. Ayah punya saudara cuma satu. Jadi kalau banyak cucu, itu akan lebih baik. Kalian kalau tua juga nggak kesepian kalau punya anak banyak.” Samudra hanya mendengarkan saja dua saudaranya berbicara tanpa
Menuruti keinginan sang istri, mereka akhirnya berada di sebuah kedai bakso kobar yang tak jauh dari hotel. Melody makan bakso berisi cabe itu dengan lahap membuat Samudra menatapnya melongo. Padahal tadi dia sudah memasukkan dua potong steak, lalu jus juga, tapi sekarang dia berlaku seperti tak pernah makan selama berhari-hari. “Kamu beneran lapar?” tanya Samudra. “Mas tahu nggak kalau steak itu tadi hanya nyempil aja. Nggak tahu kenapa perutku tiba-tiba menjadi seperti karet.” Melody menyeruput kuah bakso yang berwarna merah kehitaman itu karena campuran sambal dan kecap. Matanya tertutup kemudian terbuka kembali. Kata ‘ah’ keluar karena rasa pedas meluncur dari dalam mulutnya. Sungguh, itu benar-benar enak menurut Melody. Samudra hanya menggelengkan kepalanya saja melihat tingkah sang istri. Dia menyuapkan bakso ke dalam mulutnya kemudian mengunyah dengan santai sambil memperhatikan Melody yang keenakan karena bakso tersebut.“Memang udah berapa lama sih nggak makan bakso?” tany
“Kafe kecil nggak akan buat kamu kelelahan.” Lanjut Samudra setelah itu. Vier juga memiliki bisnis restoran yang masih diurus oleh Via. Jadi lebih baik berinovasi yang lain. Begitulah inti dari pembicaraan itu. Melody tampak berpikir dan masih membutuhkan waktu untuk memutuskan. “Kalau begitu, aku akan memikirkan lagi nanti.” “Bunda dulu setelah menikah juga nggak langsung libur kerja, kok. Tapi sedikit demi sedikit mengurangi pekerjaannya dan Ayah yang menggantikannya. Jadi kamu bisa mengambil waktu sebanyak yang kamu mau untuk mengambil keputusan.” Melody mengangguk setuju. Sebuah keputusan baik tidak dilakukan secara terburu-buru dan harus dengan pemikiran matang. Hari-hari berlalu dan pada akhirnya pesta itu tiba. Melody melihat dekorasinya benar-benar sangat mewah. Violet dan Semesta yang mengurusnya dengan menanyakan keinginannya. Dia memilih dekorasi berwarna hijau matcha seperti yang disukai selama ini. Sejak kecil selalu berkawan dengan daun-daun teh membuatnya menyukai
"Ini baju design terbaru dari butik ini, Bang. Jadi, aku merekomendasikan kepada Kakak Ipar.” Semesta yang menjawab karena dia tahu kalau Melody sudah dihinggapi rasa ketakutan yang luar biasa. Terlihat, perempuan itu menunduk tanpa berani menatap Samudra sedikitpun. Melody pasti sudah mengerti betapa tatapan lelaki itu akan setajam apa. Jadi, lebih baik dia menghindar. “Waw, Kakak Ipar.” Belum lagi Samudra menjawab ucapan kembarannya yang satu, muncul lagi kembarannya yang lain. Sagara bersiul menggoda dan tampak puas dengan penampilan si kakak ipar. “Itu gaun yang cantik. Bukan itu juga, yang pakai juga cantik banget. Aku sih, ya.” Samudra tak bisa menahan panas yang menjalar dari dalam hatinya. Lelaki itu menatap Sagara dengan tajam. “Jangan menatapnya!” Samudra meraup wajah Sagara dan segera menarik tangan kembarannya itu sampai Sagara berbalik. “Tutup mata kamu. Itu kakak iparmu,” imbuh Samudra memeringatkan.“Aku tahu kalau dia kakak iparku. Tapi aku kan cuma memujinya. Buka