“Atas dasar apa kalian meminta kami untuk datang ke balai pertemuan?” Samudra menatap satu per satu orang yang menggerebek rumah Melody dengan tatapan tajam. Entah siapa yang sedang mempropaganda warga, tapi ini sangat memalukan. Samudra seperti benar-benar diinjak-injak harga dirinya. Orang-orang ini tidak tahu siapa Samudra sampai harus memperlakukannya begitu buruk.“Kita akan membicarakannya setelah kita berada di balai pertemuan. Mari ikut kami atau kami akan berbuat kasar kepada kalian!” Salah satu warga dengan tidak sabar segera bersuara dan mendapatkan persetujuan dari yang lainnya. Melody yang melihat orang-orang itu bergetar ketakutan. Bagaimana bisa dia digerebek oleh warga sedangkan dia tidak melakukan kejahatan apa pun di rumahnya. “Pak RT, sepertinya Bapak salah paham tentang kami. Kami benar-benar tidak melakukan apa pun. Kami hanya ….”“Ibu bisa jelaskan saja di balai pertemuan. Mari ikut kami.” “Tapi kami benar-benar tidak melakukan apa-apa, Pak.” Melody hampir me
Dibandingkan dengan Samudra, Sagara sedikit lebih kejam. Dia seolah tak memiliki ampun terlebih lagi ketika itu menyangkut keluarganya. Tentu, semua orang yang ada di balai pertemuan itu pun merasa bergidik karenanya. Mereka jelas tahu keluarga Samudra bukan keluarga yang sembarangan. Namun tampaknya mereka cukup tahu diri untuk tidak mengeluarkan suaranya. “Bisa Bapak jelaskan apa yang terjadi dengan putra saya?” Vier langsung menghadap Pak RT dan meminta penjelasan. Tentu, meskipun sedikit bergetar karena takut, Pak RT menceritakan kronologi kejadiannya. Di tempat itu benar-benar hening seolah tidak ada yang berani mengeluarkan suaranya ketika mendengarkan penjelasan Pak RT. Kini tatapan Sagara mengarah pada seorang lelaki yang tadi membeberkan bukti yang dilihat. Lelaki itu bahkan sampai sesekali menunduk saking takutnya. Tampaknya, Sagara tidak memiliki ampun. “Yang dikatakan oleh Bian memang benar, Melody adalah asisten pribadi putra saya. Sepertinya, Bapak sekalian salah pah
“Bapak tidak perlu khawatir tentang itu. Saya akan menjaga Melody.” Samudra dengan tegas mengatakan itu dan menunjukkan keseriusannya. Sebuah janji tidak akan pernah ada artinya jika tidak sesuai dengan tindakan. Tapi sekarang Samudra sudah mengatakan itu dan artinya dia sudah mengucapkan janji kepada Melody dan keluarganya, disaksikan oleh keluarganya sendiri. Sagara yang melihat kesungguhan kakaknya pun segera menyeletuk.“Melody, kamu tidak perlu khawatir tentang apa pun lagi sekarang. Kalau memang Abang pertama nggak bersikap baik sama kamu, kamu bisa adukan ke kami. Kami akan menghajarnya untukmu.” Sagara tidak sedang bercanda, tapi dia benar-benar akan melakukannya. Samudra sudah mengambil keputusan dan dia harus menjalankannya. “Tapi, bolehkah saya meminta tolong?” Melody akhirnya berbicara kembali. “Tolong rahasiakan pernikahan ini dari kantor. Saya tidak ingin ada gunjingan yang memojokkan saya. Saya, benar-benar takut menghadapi itu.” “Kenapa harus menutupi berita baik,
Mendengar pertanyaan itu keluar langsung dari bibir Melody, Samudra tahu jika Melody memang akan selalu menjadi orang yang berani dengannya. Tanpa basa-basi, Samudra segera menjawab, “Tentu saja saya akan melakukan hal yang sama. Belajar mencintai istri sendiri bukan dosa besar. Kamu puas sekarang?” Berada di dalam mobil yang sama dengan Samudra bukanlah pertama kali bagi Melody, tapi jelas, ini pertama kalinya dia dibuat keki oleh lelaki itu. Setelah mendapatkan jawaban dari Samudra, Melody segera menutup mulutnya dengan rapat sampai mereka tiba di KUA. Orang tua dari Melody dan Samudra juga sudah berada di sana. Urusan surat-surat sudah diurus dengan cepat. “Aku jadi dejavu.” Vier yang berjalan bersisian dengan Violet itu berbicara. “Saat aku menikah dengan Hara.” Violet yang mendengar nama Hara disebut langsung mengeluarkan taringnya. Dia bilang, “Menggelikan.” Setelah itu dia langsung berjalan mendahului Vier dengan wajah tertekuk kesal. Vier nampaknya cari mati. Dia bahkan t
“Apa dia benar-benar mengatakan itu?” Suara batin Melody terdengar. Perempuan itu tidak pernah menyangka, kalau seorang Samudra akan mengatakan sesuatu yang seperti itu. Apa begitu memang kepribadian Samudra sebenarnya? Melody terus berpikir sampai dia lupa jika beberapa saat lalu, Samudra memintanya duduk agar mereka bisa berdiskusi. “Melody. Kamu sungguh-sungguh tidak ingin duduk?” Suara Samudra terdengar tidak bersahabat dan bahkan semakin rendah dan dingin. Melody meneguk ludahnya susah payah sebelum dia dengan pelan memutari sofa dan duduk di ujung sofa mengambil jarak yang jauh dari sang suami. Astaga, Melody sungguh-sungguh sudah memiliki suami sekarang? Dia bahkan tidak pernah menyangka akan menikah dan menjadi istri dari seorang Samudra. “Sekarang, aku akan mengatakan tentang beberapa hal kepadamu.” Kini Samudra duduk dengan menyerongkan tubuhnya menghadap Melody. Tangan kirinya ditumpukan di lengan sofa, sedangkan tangan kanannya berada di sandaran sofa. Melody dengan t
“Apa itu tadi? Samudra memanggilnya sayang? Itu benar-benar terjadi atau hanya bayanganku saja?” Suara itu berasal dari pikiran Melody. Perempuan itu tidak hentinya menatap Samudra dengan tatapan bodoh miliknya. Kali ini, Samudra tidak banyak bicara ketika menarik tangan Melody dan membawanya ke kamar. Samudra dengan entengnya mengunci kamarnya dan barulah dia melepaskan tangan Melody.Melepas kemejanya di depan Melody dan membuat istrinya menjadi over thinking karenanya. Apa yang akan dilakukan oleh Samudra? Melody tentu saja belum siap melakukan hubungan suami istri dengan Samudra. “Kamu nggak mau ganti baju?” tanya Samudra. Lelaki itu sudah berada di depan lemari dan mengambil satu kaos pendek, kemudian mengenakannya. Tidak peduli apa pun lagi ketika Samudra naik ke atas ranjang kemudian berbaring dan menutup matanya. Ini masih siang dan tidak biasanya Samudra tidur siang hari. Tapi karena hari ini adalah hari pernikahannya, tentu dia harus menikmati waktunya sebelum kembali be
“Melody, masuk!” perintahnya Samudra setelah itu. Melody mengangguk sebelum berjalan mengekori sang suami. Menutup pintu ruangan itu dan kemudian berdiri di hadapan Samudra saat lelaki itu duduk di kursi kebesarannya. Samudra menatap lurus pada Melody dan tertunduk khidmat. “Urusan tentang Tama dan kawan-kawannya sudah selesai.” Lapor Samudra kepada Melody. “Jadi mulai sekarang, kamu tidak perlu lagi memikirkan tentang lelaki itu dan hapus segera dari ingatanmu.” Samudra mengatakan itu seolah melupakan masa lalu adalah sesuatu yang mudah sekali dilakukan. Katakanlah kalau Melody tak begitu mencintai Tama di masa lalu. Tapi, hal-hal yang pernah mereka lalui tentu akan melekat di dalam kepala. Samudra tidak akan pernah tahu tentang sesuatu seperti itu karena dia belum pernah merasakannya sebelumnya.“Bapak, sebenarnya Bapak ini pernah pacaran nggak sih?” tanya Melody reflek. Sepertinya, mulut Melody terbuka begitu saja tanpa bisa dicegah. Namun sudah kepalang tanggung. Meskipun Samud
“Siapa yang bilang?” Samudra baru saja melepaskan kancing bajunya saat Melody masuk ke dalam kamar. Lelaki itu mengurungkan niatnya untuk melepas habis kancingnya dan memilih berkacak pinggang. Menatap sang istri dengan penuh perhitungan tanpa mengalihkan tatapannya sedikitpun. Melody berdehem sambil tersenyum garing saat mendengar ucapan Samudra.Melody juga agak lupa jika Samudra tidak pernah mengatakan tentang hal tersebut. Entah kenapa, tiba-tiba saja ada kecurigaan yang muncul di dalam hatinya ketika dia melihat kulkas dan ada banyak makanan di sana. “Oh, kalau begitu, saya akan keluar dan menyiapkan sesuatu untuk makan malam.”Lalu apakah karena dia mengatakan itu, Melody akan lolos begitu saja? Tentu saja tidak. Karena Samudra menarik tangan Melody dan menghentikan perempuan itu.“Mau ke mana? Kita belum selesai bicara.” Jika sudah begini, Melody merasa menyesal sudah bertindak di luar nalar. Bagaimana bisa dia melakukan sesuatu tanpa berpikir? Terlebih lagi, dia membuat mas
“Eve … Everest, lihat Bunda, Nak. Ya betul.” Melody terkadang bertepuk tangan untuk menarik perhatian Eve, bocah itu tertawa, lalu seorang fotografer melakukan tugasnya. Mengambil gambar dengan berkali-kali jepretan dan sesekali berpindah tempat untuk mengambil angle yang pas. Ini bukan pertama kalinya Eve melakukan pemotretan. Saat dia masih berusia satu bulan, Sagara sendiri yang menjadi fotografernya. Karena hari ini Sagara sibuk, jadi dia tak bisa lagi menjadi fotografer dadakan untuk si kecil Eve. Samudra yang melihat gambar dari laptop yang sudah terhubung dengan kamera, tersenyum gemas. “Assalamu alaikum.” Semesta masuk dengan membawa banyak makanan. “Ih, lucunya,” ucapnya saat menatap bocah kecil yang berada di atas sofa dengan gaun princess. Di kepalanya dipakaikan mahkota yang terbuat dari ranting pohon beserta bunga dan daunnya. “Udah dapat berapa gaun, Kak?” tanyanya pada Melody. “Ini yang terakhir. Setelah kami bertiga berfoto, lalu kita sekeluarga. Sagara ke man
Melody keluar dari mobil dengan pelan kemudian berjalan dengan pelan menuju rumah barunya. Dia tentu sudah tahu rumah besar itu saat masih ada beberapa tempat yang perlu diperbaiki. Saat masuk ke dalam lewat pintu samping, dia segera disuguhkan ruang keluarga yang luas dengan sofa besar hijau matcha berada di tengah ruangan. Samudra tak main-main saat membeli rumah untuk istri dan anaknya. Kedua saudara Samudra bahkan tidak ada yang bekerja karena Eve hari ini pulang ke rumah. Bayi yang ditunggu-tunggu kedatangannya. “Abang tahu nggak kalau kami semua akan menginap di sini malam ini?” Semesta bertanya kepada Samudra saat semua orang sudah duduk di sofa ruang keluarga. “Tahu. Bunda sudah bilang.” Ini adalah bentuk support system yang diberikan oleh keluarga Samudra kepada Melody. Bagaimanapun, Melody adalah ibu baru dan dia membutuhkan banyak dukungan dari keluarga serta sang suami. Violet sudah memberikan banyak wejangan kepada putranya itu agar menjadi lelaki yang bertanggung jaw
Hari-hari itu akhirnya berlalu. Tidak doyan makan, mengidam, bahkan morning sickness yang tadinya tidak ada jadi ada, semua telah usai. Rasa kekhawatiran yang dirasakan oleh Samudra atas kehamilan istrinya benar-benar telah berakhir. Saat itu, dia bahkan meminta tolong agar mertuanya datang untuk menemani Melody. Barangkali ibunya ada di sana membuat Melody bersedia untuk makan makanan yang dimasakkan oleh sang bunda. Sayangnya, aksi malas makannya itu tidak berubah dan bertahan sampai tiga bulan. Kini seorang bayi perempuan mungil telah lahir di dunia dengan berat 2,4kg. Masih sangat merah dan tampak lemah. Untuk sekarang, percampuran wajah kedua orang tuanya sangat kental di wajah bayi itu. Kata orang tua dulu, wajah seseorang itu akan berubah sebanyak tujuh kali sejak dia lahir sampai dewasa, dan Samudra tidak sabar untuk melihatnya. “Selamat datang ke dunia yang keras ini, Eve.” Semesta yang tadi sedang meeting bersama stafnya itu mempercepat meeting-nya setelah Samudra mengirim
Samudra mengangkat Melody ke dalam kamar setelah perempuan itu sudah tidur dengan lelap. Mengelus perut sang istri dengan lembut sebelum dia menyusul tidur di samping perempuan itu. Terkadang di dalam keheningan seperti ini, Samudra bertanya-tanya. Bagaimana kalau dia dan Melody tidak terjebak pada masalah yang mengharuskannya menikahi asisten pribadinya itu? Apakah mereka juga akan bersatu seperti ini, atau bahkan sebaliknya. Tapi jika dipikirkan lagi, memang inilah takdir yang memang harus dia jalani. Begitulah cara takdir mempersatukan mereka. “Mas, kita udah ada di kasur ya?” gumaman itu menyadarkan Samudra dari lamunannya. Menepuk punggung Melody dengan lembut. “Iya, kita udah di kamar. Kamu butuh sesuatu?” “Nggak ada, tapi kenapa dingin sekali?” Samudra melihat pendingin ruangan dan memastikan suhunya tidak terlalu rendah. Tapi memang masih wajar. “Mau aku matiin saja?” tanya Samudra. Dan Melody menganggukkan kepalanya setuju. Samudra melakukan yang diinginkan oleh M
Kalau Melody bukan istrinya, Samudra pasti sudah membentaknya. Sayangnya dia tak bisa melakukannya. Bagaimana mungkin dia menyakiti perempuan yang sudah dijaga seperti anaknya sendiri. Astaga, mulai lagi kan melanturnya si calon bapak muda ini. Ya lagi pula, istrinya bikin darah tinggi. Minta berhentikan mobil sudah seperti jalanan ini punya nenek moyangnya. “Nanti lagi, kalau kamu mau apa-apa, bilang dulu ya, Sayang. Seenggaknya jangan tiba-tiba begini. Bahaya.” Samudra sebisa mungkin menekan perasaan kesalnya supaya tidak keluar. “Iya, maaf,” katanya. “Di sana itu ada jajanan, aku pengen beli.” Tatapannya penuh harap dan itu membuat Samudra lemah. Mereka keluar dari mobil dan segera mendekati jajanan di pinggir jalan tersebut. Melody tampak antusias. Makanan itu benar-benar sangat menggoda dirinya. Samudra yang berada di belakang istrinya itu hanya mengikuti saja tanpa berkomentar. “Mas mau yang mana?” tanya Melody. Jajanan itu seperti jajanan Ramadhan. “Aku ingat pas puasa ka
Kabar yang dibawa oleh Samudra dan Melody adalah kabar yang membahagiakan. Semua keluarga Samudra bahagia luar biasa. Violet dan Vier yang sebentar lagi menjadi nenek kakek tampak terharu. Kehidupan baik selalu menyertai mereka. Kebetulan Sagara dan Semesta pulang berbarengan. Dan mereka juga sangat bahagia. Akhirnya, mereka akan memiliki keponakan. “Apa kira-kira mereka juga kembar?” tanya Sagara tampak antusias. “Kalau iya, gen bapaknya benar-benar kuat.” “Belum bisa dilihat dong. Kalaupun iya, itu bagus. Apalagi kalau langsung cewek cowok seperti kita, itu dinamakan apa, Bang?” Semesta menunjuk Sagara. “Sekali jadi.” Sagara dan Semesta bersuara berbarengan. “Wah, kalau kita bertiga punya anak kembar, bukannya Bunda dan Ayah akan punya banyak cucu?” “Bunda nggak punya saudara. Ayah punya saudara cuma satu. Jadi kalau banyak cucu, itu akan lebih baik. Kalian kalau tua juga nggak kesepian kalau punya anak banyak.” Samudra hanya mendengarkan saja dua saudaranya berbicara tanpa
Menuruti keinginan sang istri, mereka akhirnya berada di sebuah kedai bakso kobar yang tak jauh dari hotel. Melody makan bakso berisi cabe itu dengan lahap membuat Samudra menatapnya melongo. Padahal tadi dia sudah memasukkan dua potong steak, lalu jus juga, tapi sekarang dia berlaku seperti tak pernah makan selama berhari-hari. “Kamu beneran lapar?” tanya Samudra. “Mas tahu nggak kalau steak itu tadi hanya nyempil aja. Nggak tahu kenapa perutku tiba-tiba menjadi seperti karet.” Melody menyeruput kuah bakso yang berwarna merah kehitaman itu karena campuran sambal dan kecap. Matanya tertutup kemudian terbuka kembali. Kata ‘ah’ keluar karena rasa pedas meluncur dari dalam mulutnya. Sungguh, itu benar-benar enak menurut Melody. Samudra hanya menggelengkan kepalanya saja melihat tingkah sang istri. Dia menyuapkan bakso ke dalam mulutnya kemudian mengunyah dengan santai sambil memperhatikan Melody yang keenakan karena bakso tersebut.“Memang udah berapa lama sih nggak makan bakso?” tany
“Kafe kecil nggak akan buat kamu kelelahan.” Lanjut Samudra setelah itu. Vier juga memiliki bisnis restoran yang masih diurus oleh Via. Jadi lebih baik berinovasi yang lain. Begitulah inti dari pembicaraan itu. Melody tampak berpikir dan masih membutuhkan waktu untuk memutuskan. “Kalau begitu, aku akan memikirkan lagi nanti.” “Bunda dulu setelah menikah juga nggak langsung libur kerja, kok. Tapi sedikit demi sedikit mengurangi pekerjaannya dan Ayah yang menggantikannya. Jadi kamu bisa mengambil waktu sebanyak yang kamu mau untuk mengambil keputusan.” Melody mengangguk setuju. Sebuah keputusan baik tidak dilakukan secara terburu-buru dan harus dengan pemikiran matang. Hari-hari berlalu dan pada akhirnya pesta itu tiba. Melody melihat dekorasinya benar-benar sangat mewah. Violet dan Semesta yang mengurusnya dengan menanyakan keinginannya. Dia memilih dekorasi berwarna hijau matcha seperti yang disukai selama ini. Sejak kecil selalu berkawan dengan daun-daun teh membuatnya menyukai
"Ini baju design terbaru dari butik ini, Bang. Jadi, aku merekomendasikan kepada Kakak Ipar.” Semesta yang menjawab karena dia tahu kalau Melody sudah dihinggapi rasa ketakutan yang luar biasa. Terlihat, perempuan itu menunduk tanpa berani menatap Samudra sedikitpun. Melody pasti sudah mengerti betapa tatapan lelaki itu akan setajam apa. Jadi, lebih baik dia menghindar. “Waw, Kakak Ipar.” Belum lagi Samudra menjawab ucapan kembarannya yang satu, muncul lagi kembarannya yang lain. Sagara bersiul menggoda dan tampak puas dengan penampilan si kakak ipar. “Itu gaun yang cantik. Bukan itu juga, yang pakai juga cantik banget. Aku sih, ya.” Samudra tak bisa menahan panas yang menjalar dari dalam hatinya. Lelaki itu menatap Sagara dengan tajam. “Jangan menatapnya!” Samudra meraup wajah Sagara dan segera menarik tangan kembarannya itu sampai Sagara berbalik. “Tutup mata kamu. Itu kakak iparmu,” imbuh Samudra memeringatkan.“Aku tahu kalau dia kakak iparku. Tapi aku kan cuma memujinya. Buka