Samudra menggigit bibirnya gemas saat mendengar panggilan ‘Mas Samudra’ keluar dari bibir Melody. Demi Dewa Neptunus yang sedang terombang-ambing di atas laut, Samudra sekarang merasa bahagia luar biasa. Terlebih lagi ketika dia melihat wajah Melody yang seperti kepiting rebus. Merah luar biasa, menambah rasa gemasnya berkali-kali lipat. “Ulangi lagi!” Samudra kembali memasang ekspresi serius saat mengatakan itu. “Aku nggak denger.” Melody tak ingin membuat masalah dengan Samudra dan memilih untuk melakukan permintaan sang suami. “Mas Samudra. Udah puas sekarang?” Melody cemberut karena merasa dikerjai oleh lelaki yang sudah menikahinya selama beberapa hari ini. Samudra bahkan menunjukkan seringaian menggoda. Melody berdiri dari duduknya. “Ayo keluar, sebentar lagi makan siang.” Samudra mencekal tangan Melody sampai perempuan itu mendarat di pangkuannya. “Bapak mau ngapain?” Kembali lagi panggilan itu. “Maksudku, Mas Samudra mau ngapain?” ucapnya mengoreksi. “Kamu sudah mencoba
Dua hari berada di kampung halaman terasa begitu cepat. Pada akhirnya, Melody dan Samudra harus kembali bekerja saat senin kembali datang. Namun yang menjadi sebuah hal special adalah Melody hari ini memasak dan membawa bekal untuk makan siang. Tentu saja untuk dua porsi. Dirinya dan Samudra. “Masak?” Begitu tanya Bian kepada Melody. “Iya,” jawab Melody.“Dan kamu nggak bawakan juga buat aku?” Melody berkedip pelan. Senyumnya kecil tersemata indah di bibirnya. “Sorry, Bang. Aku beneran cuma buat dua porsi aja.” Dan dengusan pelan terdengar di telinga Melody, membuat Melody tak enak hati. Untuk merayu rekan kerjanya tersebut, dia lantas menawarkan sesuatu.“Aku akan membuatkan untuk Abang besok. Sekarang, Abang boleh memesan apa pun dan aku yang akan membayarnya.” Siapa yang akan menolak penawaran menyenangkan seperti itu. Tentu saja tanpa menawarkan dua kali, Bian segera mengangguk. Senyum lebarnya tampak jelas di bibirnya. Bian dengan tak tahu malunya mengulurkan tangannya untuk
Sagara yang tadinya menyesap minuman jahe itu mendongak menatap sang ayah. Dia berkedip pelan kemudian tersenyum kecil.“Ayah pengen mantu juga dari aku?” tanyanya seolah tak berdosa. “Nantilah kalau aku udah ketemu gadis cantik yang aduhai.” Kepala Sagara segera terdorong ke depan. Semesta pelakunya. Lantas gadis itu segera bersuara. “Yah, Abang ini playboy kelas kakap. Dia ini nggak kayak Abang Samudra. Udah gitu nyolot lagi.” Alih-alih marah, Sagara justru hanya mengedikkan bahunya tak acuh. “Masih muda, sah-sah aja.” Mendengar itu, Samudra langsung menoyor kepala kembarannya itu tanpa basa-basi. Dia bilang, “Ingat punya adik cewek. Disakiti orang nanti dia, itu gara-gara kamu. Di rumah ini nggak ada yang brengsek.” Entah dari gen siapa yang masuk ke dalam darah Sagara, karena lelaki itu beda dari ayah dan Samudra. Lelaki itu sedikit lebih ‘nakal’ dari dua lelaki yang ada di keluarganya. Tidak, dia bukan lelaki yang suka meniduri banyak perempuan dan meninggalkannya. Tapi lebih
“Jangan mau, Bang. Sering oleng dia.” Semesta segera saja menolak dengan lantang. “Kami nggak mau dijodoh-jodohin ya. Masih bisa cari sendiri.” “Bener. Masih ada banyak cara menuju Roma. Jadi no jodoh-jodohan.” Sagara mengamini. Lelaki itu bahkan bergidik ngeri saat membayangkan akan dinikahkan dengan seseorang hasil dari perjodohan. “Tapi ide perjodohan itu memang bagus, lho. Kami sebagai orang tua akan tahu bagaimana bibit, bebet, bobot dari menantu kami.” Violet seolah memiliki pencerahan karena mendengar celetukan anak-anaknya. Semesta menggeleng penuh dengan keyakinan tinggi. Dengan keras menolak jika dia tidak akan menikah dengan orang yang dijodohkan dengannya. Itu mengerikan baginya. “Pokoknya nggak ada Bunda dan Ayah jodoh-jodohin kami.” Begitu Semesta bersuara. “Kecuali aku tua dan nggak nikah-nikah barulah boleh dengan cara begitu. Ya, kan, Bang?” Semesta meminta pembelaan kepada sang kakak. Dan lagi-lagi Sagara mengamini. Baru beberapa jam bersama keluarga Samudra, Me
“Bapak mau melakukan apa?” Meskipun sudah dighibahkan oleh orang-orang itu, Melody tahu jika akan sangat jahat apabila Samudra melakukan hal yang keji kepada mereka. “Tergantung nanti. Sejauh apa mereka mencampuri urusan kita.” Setelah mengatakan itu, Samudra masuk ke dalam ruangannya kembali. Menutup pintunya rapat dan justru hal itu membuat Melody sedikit was-was. Takut jika Samudra akan murka. Namun, sampai waktunya pulang, Samudra bahkan tidak memanggil Melody ke ruangannya dan itu artinya semua aman terkendali. “Kita pulang!” Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore saat Samudra keluar dari ruangannya. Melody mengangguk sebelum membereskan barangnya untuk dimasukkan ke dalam tas. Lalu berdiri dan berjalan di belakang Samudra bersama dengan Bian. Saat mereka sudah berada di lantai dasar, banyak orang yang masih belum pulang dan perhatian mereka jatuh pada tiga orang yang berjalan keluar lobby. Melody menunduk dalam seolah takut semua orang yang ada di sana menghakimi dirinya. B
Samudra benar-benar tak mengindahkan ucapan sang istri. Tiba-tiba saja dia juga memikirkan tentang kejadian naas malam itu. Samudra berandai-andai jika dia tak datang malam itu, masalah ini tak akan pernah terjadi. Sejujurnya, dia merasa senang dengan hubungannya dengan Melody. Dia juga tidak menyesal sudah menikah dengan perempuan itu. Tapi sekarang yang dikhawatirkan justru sebaliknya, bagaimana jika Melody tidak bahagia bersama dengannya. Menjadi istrinya. Menjadi pendamping hidupnya. Dia juga egois karena sudah memerangkap Melody dalam kehidupannya. Samudra terdiam di dalam ruangannya tanpa melakukan apa pun. Ketukan pintu menyadarkan Samudra dari lamunan. Melody masuk dengan dokumen di tangannya. Wajah gadis itu tampak keruh. “Kerja sama dengan PT. Rayana perlu ditandangani.” Melody meletakkan dokumen bermap biru di depan Samudra. Tanpa suara, tanpa bicara, lelaki itu hanya membaca sebentar sebelum membubuhkan tanda tangan di atas namanya. Memberinya stempel setelah itu, kemu
“Masuk!” Samudra segera memberikan perintah kepada perempuan itu. Selama ini tidak ada yang berani berperilaku lancang seperti itu kepada Samudra, dan kali ini perempuan melakukannya. Menanyakan sesuatu bernada menuduh kepada bos besar. Apa perempuan itu cari mati atau bagaimana?“Semua masuk!” Samudra mengulangi.Bian menarik napasnya panjang sambil menatap perempuan bernama Lita itu dengan tajam. Sedangkan Lita hanya terlihat tidak bersalah. Bahkan Melody pun merasa sedikit jengah dengan kelakuan perempuan itu. Kini, aura Samudra lebih dingin dari sebelumnya. Duduk di kursi kebesarannya, Samudra menatap Lita dengan tajam. Lita yang ditatap, tapi Bian pun merasa dia yang akan mendapatkan masalah. Tentu saja, Samudra bukan orang yang akan mengaitkan sesuatu yang tidak ada kaitannya tersemasuk melibatkan Bian. Tapi lihatlah betapa Samudra seolah ingin menggulung apa pun di depannya hanya dengan tatapannya. “Gosip apa yang sedang beredar di kantor ini?” tanya Samudra. “Jelaskan semua
Pasangan orang dewasa, masih mengenakan baju kantor, tapi permainan yang mereka mainkan adalah dance. Sungguh, itu menggelikan. Bukan hanya itu, Melody bersedia melepas sepatu bertumit 7cm-nya agar mudah bergerak. Tentu saja Samudra tidak segila sang istri. Dia bisa bergerak cepat meskipun kakinya dibalut sepatu kantor. Tidak ada pengaruhnya sama sekali. Hampir sepuluh menit mereka bermain itu dimenangkan oleh Samudra, kini mereka beralih bermain basket. Dan lagi-lagi Samudra pemenangnya. “Mas kenapa nggak mau kalah, sih!” Keluar sudah sifat kekanakan Melody karena dia sudah lelah mengejar ketertinggalan dari sang suami. Perempuan itu bahkan berkacak pinggang karena kesal. Dia yang akan bersenang-senang, lalu kenapa justru dibuat kesal oleh Samudra? “Kan nanti hadiahnya juga buat kamu. Lagian kalau kamu kalah aku kalah, kesannya nggak keren.” Begitu jawab Samudra. “Tapi kan ini bukan untuk keren-kerenan, Mas. Ih.” Dan parahnya sekarang adalah mereka sedang berada di depan penuka
“Eve … Everest, lihat Bunda, Nak. Ya betul.” Melody terkadang bertepuk tangan untuk menarik perhatian Eve, bocah itu tertawa, lalu seorang fotografer melakukan tugasnya. Mengambil gambar dengan berkali-kali jepretan dan sesekali berpindah tempat untuk mengambil angle yang pas. Ini bukan pertama kalinya Eve melakukan pemotretan. Saat dia masih berusia satu bulan, Sagara sendiri yang menjadi fotografernya. Karena hari ini Sagara sibuk, jadi dia tak bisa lagi menjadi fotografer dadakan untuk si kecil Eve. Samudra yang melihat gambar dari laptop yang sudah terhubung dengan kamera, tersenyum gemas. “Assalamu alaikum.” Semesta masuk dengan membawa banyak makanan. “Ih, lucunya,” ucapnya saat menatap bocah kecil yang berada di atas sofa dengan gaun princess. Di kepalanya dipakaikan mahkota yang terbuat dari ranting pohon beserta bunga dan daunnya. “Udah dapat berapa gaun, Kak?” tanyanya pada Melody. “Ini yang terakhir. Setelah kami bertiga berfoto, lalu kita sekeluarga. Sagara ke man
Melody keluar dari mobil dengan pelan kemudian berjalan dengan pelan menuju rumah barunya. Dia tentu sudah tahu rumah besar itu saat masih ada beberapa tempat yang perlu diperbaiki. Saat masuk ke dalam lewat pintu samping, dia segera disuguhkan ruang keluarga yang luas dengan sofa besar hijau matcha berada di tengah ruangan. Samudra tak main-main saat membeli rumah untuk istri dan anaknya. Kedua saudara Samudra bahkan tidak ada yang bekerja karena Eve hari ini pulang ke rumah. Bayi yang ditunggu-tunggu kedatangannya. “Abang tahu nggak kalau kami semua akan menginap di sini malam ini?” Semesta bertanya kepada Samudra saat semua orang sudah duduk di sofa ruang keluarga. “Tahu. Bunda sudah bilang.” Ini adalah bentuk support system yang diberikan oleh keluarga Samudra kepada Melody. Bagaimanapun, Melody adalah ibu baru dan dia membutuhkan banyak dukungan dari keluarga serta sang suami. Violet sudah memberikan banyak wejangan kepada putranya itu agar menjadi lelaki yang bertanggung jaw
Hari-hari itu akhirnya berlalu. Tidak doyan makan, mengidam, bahkan morning sickness yang tadinya tidak ada jadi ada, semua telah usai. Rasa kekhawatiran yang dirasakan oleh Samudra atas kehamilan istrinya benar-benar telah berakhir. Saat itu, dia bahkan meminta tolong agar mertuanya datang untuk menemani Melody. Barangkali ibunya ada di sana membuat Melody bersedia untuk makan makanan yang dimasakkan oleh sang bunda. Sayangnya, aksi malas makannya itu tidak berubah dan bertahan sampai tiga bulan. Kini seorang bayi perempuan mungil telah lahir di dunia dengan berat 2,4kg. Masih sangat merah dan tampak lemah. Untuk sekarang, percampuran wajah kedua orang tuanya sangat kental di wajah bayi itu. Kata orang tua dulu, wajah seseorang itu akan berubah sebanyak tujuh kali sejak dia lahir sampai dewasa, dan Samudra tidak sabar untuk melihatnya. “Selamat datang ke dunia yang keras ini, Eve.” Semesta yang tadi sedang meeting bersama stafnya itu mempercepat meeting-nya setelah Samudra mengirim
Samudra mengangkat Melody ke dalam kamar setelah perempuan itu sudah tidur dengan lelap. Mengelus perut sang istri dengan lembut sebelum dia menyusul tidur di samping perempuan itu. Terkadang di dalam keheningan seperti ini, Samudra bertanya-tanya. Bagaimana kalau dia dan Melody tidak terjebak pada masalah yang mengharuskannya menikahi asisten pribadinya itu? Apakah mereka juga akan bersatu seperti ini, atau bahkan sebaliknya. Tapi jika dipikirkan lagi, memang inilah takdir yang memang harus dia jalani. Begitulah cara takdir mempersatukan mereka. “Mas, kita udah ada di kasur ya?” gumaman itu menyadarkan Samudra dari lamunannya. Menepuk punggung Melody dengan lembut. “Iya, kita udah di kamar. Kamu butuh sesuatu?” “Nggak ada, tapi kenapa dingin sekali?” Samudra melihat pendingin ruangan dan memastikan suhunya tidak terlalu rendah. Tapi memang masih wajar. “Mau aku matiin saja?” tanya Samudra. Dan Melody menganggukkan kepalanya setuju. Samudra melakukan yang diinginkan oleh M
Kalau Melody bukan istrinya, Samudra pasti sudah membentaknya. Sayangnya dia tak bisa melakukannya. Bagaimana mungkin dia menyakiti perempuan yang sudah dijaga seperti anaknya sendiri. Astaga, mulai lagi kan melanturnya si calon bapak muda ini. Ya lagi pula, istrinya bikin darah tinggi. Minta berhentikan mobil sudah seperti jalanan ini punya nenek moyangnya. “Nanti lagi, kalau kamu mau apa-apa, bilang dulu ya, Sayang. Seenggaknya jangan tiba-tiba begini. Bahaya.” Samudra sebisa mungkin menekan perasaan kesalnya supaya tidak keluar. “Iya, maaf,” katanya. “Di sana itu ada jajanan, aku pengen beli.” Tatapannya penuh harap dan itu membuat Samudra lemah. Mereka keluar dari mobil dan segera mendekati jajanan di pinggir jalan tersebut. Melody tampak antusias. Makanan itu benar-benar sangat menggoda dirinya. Samudra yang berada di belakang istrinya itu hanya mengikuti saja tanpa berkomentar. “Mas mau yang mana?” tanya Melody. Jajanan itu seperti jajanan Ramadhan. “Aku ingat pas puasa ka
Kabar yang dibawa oleh Samudra dan Melody adalah kabar yang membahagiakan. Semua keluarga Samudra bahagia luar biasa. Violet dan Vier yang sebentar lagi menjadi nenek kakek tampak terharu. Kehidupan baik selalu menyertai mereka. Kebetulan Sagara dan Semesta pulang berbarengan. Dan mereka juga sangat bahagia. Akhirnya, mereka akan memiliki keponakan. “Apa kira-kira mereka juga kembar?” tanya Sagara tampak antusias. “Kalau iya, gen bapaknya benar-benar kuat.” “Belum bisa dilihat dong. Kalaupun iya, itu bagus. Apalagi kalau langsung cewek cowok seperti kita, itu dinamakan apa, Bang?” Semesta menunjuk Sagara. “Sekali jadi.” Sagara dan Semesta bersuara berbarengan. “Wah, kalau kita bertiga punya anak kembar, bukannya Bunda dan Ayah akan punya banyak cucu?” “Bunda nggak punya saudara. Ayah punya saudara cuma satu. Jadi kalau banyak cucu, itu akan lebih baik. Kalian kalau tua juga nggak kesepian kalau punya anak banyak.” Samudra hanya mendengarkan saja dua saudaranya berbicara tanpa
Menuruti keinginan sang istri, mereka akhirnya berada di sebuah kedai bakso kobar yang tak jauh dari hotel. Melody makan bakso berisi cabe itu dengan lahap membuat Samudra menatapnya melongo. Padahal tadi dia sudah memasukkan dua potong steak, lalu jus juga, tapi sekarang dia berlaku seperti tak pernah makan selama berhari-hari. “Kamu beneran lapar?” tanya Samudra. “Mas tahu nggak kalau steak itu tadi hanya nyempil aja. Nggak tahu kenapa perutku tiba-tiba menjadi seperti karet.” Melody menyeruput kuah bakso yang berwarna merah kehitaman itu karena campuran sambal dan kecap. Matanya tertutup kemudian terbuka kembali. Kata ‘ah’ keluar karena rasa pedas meluncur dari dalam mulutnya. Sungguh, itu benar-benar enak menurut Melody. Samudra hanya menggelengkan kepalanya saja melihat tingkah sang istri. Dia menyuapkan bakso ke dalam mulutnya kemudian mengunyah dengan santai sambil memperhatikan Melody yang keenakan karena bakso tersebut.“Memang udah berapa lama sih nggak makan bakso?” tany
“Kafe kecil nggak akan buat kamu kelelahan.” Lanjut Samudra setelah itu. Vier juga memiliki bisnis restoran yang masih diurus oleh Via. Jadi lebih baik berinovasi yang lain. Begitulah inti dari pembicaraan itu. Melody tampak berpikir dan masih membutuhkan waktu untuk memutuskan. “Kalau begitu, aku akan memikirkan lagi nanti.” “Bunda dulu setelah menikah juga nggak langsung libur kerja, kok. Tapi sedikit demi sedikit mengurangi pekerjaannya dan Ayah yang menggantikannya. Jadi kamu bisa mengambil waktu sebanyak yang kamu mau untuk mengambil keputusan.” Melody mengangguk setuju. Sebuah keputusan baik tidak dilakukan secara terburu-buru dan harus dengan pemikiran matang. Hari-hari berlalu dan pada akhirnya pesta itu tiba. Melody melihat dekorasinya benar-benar sangat mewah. Violet dan Semesta yang mengurusnya dengan menanyakan keinginannya. Dia memilih dekorasi berwarna hijau matcha seperti yang disukai selama ini. Sejak kecil selalu berkawan dengan daun-daun teh membuatnya menyukai
"Ini baju design terbaru dari butik ini, Bang. Jadi, aku merekomendasikan kepada Kakak Ipar.” Semesta yang menjawab karena dia tahu kalau Melody sudah dihinggapi rasa ketakutan yang luar biasa. Terlihat, perempuan itu menunduk tanpa berani menatap Samudra sedikitpun. Melody pasti sudah mengerti betapa tatapan lelaki itu akan setajam apa. Jadi, lebih baik dia menghindar. “Waw, Kakak Ipar.” Belum lagi Samudra menjawab ucapan kembarannya yang satu, muncul lagi kembarannya yang lain. Sagara bersiul menggoda dan tampak puas dengan penampilan si kakak ipar. “Itu gaun yang cantik. Bukan itu juga, yang pakai juga cantik banget. Aku sih, ya.” Samudra tak bisa menahan panas yang menjalar dari dalam hatinya. Lelaki itu menatap Sagara dengan tajam. “Jangan menatapnya!” Samudra meraup wajah Sagara dan segera menarik tangan kembarannya itu sampai Sagara berbalik. “Tutup mata kamu. Itu kakak iparmu,” imbuh Samudra memeringatkan.“Aku tahu kalau dia kakak iparku. Tapi aku kan cuma memujinya. Buka