“Jangan mau, Bang. Sering oleng dia.” Semesta segera saja menolak dengan lantang. “Kami nggak mau dijodoh-jodohin ya. Masih bisa cari sendiri.” “Bener. Masih ada banyak cara menuju Roma. Jadi no jodoh-jodohan.” Sagara mengamini. Lelaki itu bahkan bergidik ngeri saat membayangkan akan dinikahkan dengan seseorang hasil dari perjodohan. “Tapi ide perjodohan itu memang bagus, lho. Kami sebagai orang tua akan tahu bagaimana bibit, bebet, bobot dari menantu kami.” Violet seolah memiliki pencerahan karena mendengar celetukan anak-anaknya. Semesta menggeleng penuh dengan keyakinan tinggi. Dengan keras menolak jika dia tidak akan menikah dengan orang yang dijodohkan dengannya. Itu mengerikan baginya. “Pokoknya nggak ada Bunda dan Ayah jodoh-jodohin kami.” Begitu Semesta bersuara. “Kecuali aku tua dan nggak nikah-nikah barulah boleh dengan cara begitu. Ya, kan, Bang?” Semesta meminta pembelaan kepada sang kakak. Dan lagi-lagi Sagara mengamini. Baru beberapa jam bersama keluarga Samudra, Me
“Bapak mau melakukan apa?” Meskipun sudah dighibahkan oleh orang-orang itu, Melody tahu jika akan sangat jahat apabila Samudra melakukan hal yang keji kepada mereka. “Tergantung nanti. Sejauh apa mereka mencampuri urusan kita.” Setelah mengatakan itu, Samudra masuk ke dalam ruangannya kembali. Menutup pintunya rapat dan justru hal itu membuat Melody sedikit was-was. Takut jika Samudra akan murka. Namun, sampai waktunya pulang, Samudra bahkan tidak memanggil Melody ke ruangannya dan itu artinya semua aman terkendali. “Kita pulang!” Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore saat Samudra keluar dari ruangannya. Melody mengangguk sebelum membereskan barangnya untuk dimasukkan ke dalam tas. Lalu berdiri dan berjalan di belakang Samudra bersama dengan Bian. Saat mereka sudah berada di lantai dasar, banyak orang yang masih belum pulang dan perhatian mereka jatuh pada tiga orang yang berjalan keluar lobby. Melody menunduk dalam seolah takut semua orang yang ada di sana menghakimi dirinya. B
Samudra benar-benar tak mengindahkan ucapan sang istri. Tiba-tiba saja dia juga memikirkan tentang kejadian naas malam itu. Samudra berandai-andai jika dia tak datang malam itu, masalah ini tak akan pernah terjadi. Sejujurnya, dia merasa senang dengan hubungannya dengan Melody. Dia juga tidak menyesal sudah menikah dengan perempuan itu. Tapi sekarang yang dikhawatirkan justru sebaliknya, bagaimana jika Melody tidak bahagia bersama dengannya. Menjadi istrinya. Menjadi pendamping hidupnya. Dia juga egois karena sudah memerangkap Melody dalam kehidupannya. Samudra terdiam di dalam ruangannya tanpa melakukan apa pun. Ketukan pintu menyadarkan Samudra dari lamunan. Melody masuk dengan dokumen di tangannya. Wajah gadis itu tampak keruh. “Kerja sama dengan PT. Rayana perlu ditandangani.” Melody meletakkan dokumen bermap biru di depan Samudra. Tanpa suara, tanpa bicara, lelaki itu hanya membaca sebentar sebelum membubuhkan tanda tangan di atas namanya. Memberinya stempel setelah itu, kemu
“Masuk!” Samudra segera memberikan perintah kepada perempuan itu. Selama ini tidak ada yang berani berperilaku lancang seperti itu kepada Samudra, dan kali ini perempuan melakukannya. Menanyakan sesuatu bernada menuduh kepada bos besar. Apa perempuan itu cari mati atau bagaimana?“Semua masuk!” Samudra mengulangi.Bian menarik napasnya panjang sambil menatap perempuan bernama Lita itu dengan tajam. Sedangkan Lita hanya terlihat tidak bersalah. Bahkan Melody pun merasa sedikit jengah dengan kelakuan perempuan itu. Kini, aura Samudra lebih dingin dari sebelumnya. Duduk di kursi kebesarannya, Samudra menatap Lita dengan tajam. Lita yang ditatap, tapi Bian pun merasa dia yang akan mendapatkan masalah. Tentu saja, Samudra bukan orang yang akan mengaitkan sesuatu yang tidak ada kaitannya tersemasuk melibatkan Bian. Tapi lihatlah betapa Samudra seolah ingin menggulung apa pun di depannya hanya dengan tatapannya. “Gosip apa yang sedang beredar di kantor ini?” tanya Samudra. “Jelaskan semua
Pasangan orang dewasa, masih mengenakan baju kantor, tapi permainan yang mereka mainkan adalah dance. Sungguh, itu menggelikan. Bukan hanya itu, Melody bersedia melepas sepatu bertumit 7cm-nya agar mudah bergerak. Tentu saja Samudra tidak segila sang istri. Dia bisa bergerak cepat meskipun kakinya dibalut sepatu kantor. Tidak ada pengaruhnya sama sekali. Hampir sepuluh menit mereka bermain itu dimenangkan oleh Samudra, kini mereka beralih bermain basket. Dan lagi-lagi Samudra pemenangnya. “Mas kenapa nggak mau kalah, sih!” Keluar sudah sifat kekanakan Melody karena dia sudah lelah mengejar ketertinggalan dari sang suami. Perempuan itu bahkan berkacak pinggang karena kesal. Dia yang akan bersenang-senang, lalu kenapa justru dibuat kesal oleh Samudra? “Kan nanti hadiahnya juga buat kamu. Lagian kalau kamu kalah aku kalah, kesannya nggak keren.” Begitu jawab Samudra. “Tapi kan ini bukan untuk keren-kerenan, Mas. Ih.” Dan parahnya sekarang adalah mereka sedang berada di depan penuka
Empat orang itu keluar dari ruangan Samudra. Pada awalnya, Samudra dan Melody berjalan beriringan tanpa ada kontak fisik sama sekali. Tapi Semesta dan ulahnya yang selalu membuat sakit kepala itu segera menginteruksi. “Abang ini nggak bisa romantis dikit ya?” Mereka sudah berada di dalam lift untuk turun ke lantai dasar. “Digandeng kek.” Begitu lanjutnya kepada Samudra. Membuat Melody sedikit melotot.“Ini kan di kantor,” jawab Melody tampak kikuk. Terlebih lagi di sana ada Violet yang tengah menatapnya. Mau tak mau itu membuat Melody salah tingkah.“Jadi kalau nggak di kantor, Abang dan Kakak Ipar mesra?” Samudra tak ingin meladeni kembarannya. Menarik Melody agar lebih dekat dengannya. Mencium kepala istrinya dengan mesra tanpa membalas ucapan Semesta. “Nggak usah dijawab. Mau tahu aja urusan dapur orang.” Itu tanggapan Samudra. Semesta dan Violet hanya tersenyum saja melihat Samudra dan Melody. Semua itu tentulah hanya akal-akalan Semesta agar Samudra lebih peka. Karena setelah
"Ini baju design terbaru dari butik ini, Bang. Jadi, aku merekomendasikan kepada Kakak Ipar.” Semesta yang menjawab karena dia tahu kalau Melody sudah dihinggapi rasa ketakutan yang luar biasa. Terlihat, perempuan itu menunduk tanpa berani menatap Samudra sedikitpun. Melody pasti sudah mengerti betapa tatapan lelaki itu akan setajam apa. Jadi, lebih baik dia menghindar. “Waw, Kakak Ipar.” Belum lagi Samudra menjawab ucapan kembarannya yang satu, muncul lagi kembarannya yang lain. Sagara bersiul menggoda dan tampak puas dengan penampilan si kakak ipar. “Itu gaun yang cantik. Bukan itu juga, yang pakai juga cantik banget. Aku sih, ya.” Samudra tak bisa menahan panas yang menjalar dari dalam hatinya. Lelaki itu menatap Sagara dengan tajam. “Jangan menatapnya!” Samudra meraup wajah Sagara dan segera menarik tangan kembarannya itu sampai Sagara berbalik. “Tutup mata kamu. Itu kakak iparmu,” imbuh Samudra memeringatkan.“Aku tahu kalau dia kakak iparku. Tapi aku kan cuma memujinya. Buka
“Kafe kecil nggak akan buat kamu kelelahan.” Lanjut Samudra setelah itu. Vier juga memiliki bisnis restoran yang masih diurus oleh Via. Jadi lebih baik berinovasi yang lain. Begitulah inti dari pembicaraan itu. Melody tampak berpikir dan masih membutuhkan waktu untuk memutuskan. “Kalau begitu, aku akan memikirkan lagi nanti.” “Bunda dulu setelah menikah juga nggak langsung libur kerja, kok. Tapi sedikit demi sedikit mengurangi pekerjaannya dan Ayah yang menggantikannya. Jadi kamu bisa mengambil waktu sebanyak yang kamu mau untuk mengambil keputusan.” Melody mengangguk setuju. Sebuah keputusan baik tidak dilakukan secara terburu-buru dan harus dengan pemikiran matang. Hari-hari berlalu dan pada akhirnya pesta itu tiba. Melody melihat dekorasinya benar-benar sangat mewah. Violet dan Semesta yang mengurusnya dengan menanyakan keinginannya. Dia memilih dekorasi berwarna hijau matcha seperti yang disukai selama ini. Sejak kecil selalu berkawan dengan daun-daun teh membuatnya menyukai