-
bab 1
-
Pena melepas kedua sepatu fantovelnya, kemudian ia berlari menatap satu titik ーatau, tokoh yang membuat kemarahan seketika memancar di wajah putihnya itu. Teman satu kelasnya, Abdi, sedari pagi tadi sudah menggoda Pena hingga membuat kemarahan gadis itu meninggi.
Puncaknya, Abdi yang berdiri beberapa meter jauh dari Pena di lorong sekolah itu menggoyangkan pantatnya sembari memeletkan lidah, agaknya sedang meledek dan menggoda. Benar saja, Pena langsung mengejar Abdi dan melempar satu-persatu sepatunya guna memberi pelajaran. Tapi nahas, tidak ada yang tepat sasaran.
Dari situlah bencana pertama dimulai.
Kemudian secara tidak sengaja atau takdir atau bahkan sebut saja nasib sial, salah satu sepatu fantovel Pena mengenai dahi lebar seorang pemuda garang dengan julukan bos besar yang sudah terkenal di Nufa. Salah satu orang yang paling Pena hindari di sini. Sekaligus salah satu saingan terberatnya dalam menggeser papan peringkat paralel sekolah di setiap tes yang diadakan.
Albino Syahrian.
"SIAPA YANG LEMPAR?!"
Pena meringis mendengar teriakan penuh kemarahan itu. Ia membalikkan badannya perlahan, hendak kabur. Namun usahanya gagal total saat suara berat Albi sudah terdengar tepat di belakang kepalanya. Belum lagi tangan kekar pemuda dengan julukan bos besar itu menarik kuat rambut panjang Pena hingga gadis itu tidak bisa kabur.
"Orang tua lo gak pernah ngajarin buat tanggung jawab ya?"
Sialan.
"Gak usah bawa-bawa orang tua gue!" Pena menyentak kesal tangan Albi yang seenaknya saja menarik rambut panjangnya yang hari ini dikuncir kuda, membuatnya sedikit berantakan dan tentu saja ーsakit.
Albi mengangkat sebelah alis, berusaha mengabaikan perubahan ekspresi Pena setelah Albi menyinggung orang tuanya. "Makanya, jangan sok mau kabur. Lo gak jago-jago amat dalam hal sembunyi, Pevita Natalia."
"Jangan sok kenal!" tukas Pena langsung sambil melotot garang.
Keduanya bertatapan sengit beberapa saat, sebelum sebuah tepukan nyaring dari samping membuat Pena dan Albi kompak membuang muka.
"Jangan demen berantem. Entar malah jatuh cinta lagi ujung-ujungnya," kata Abdi tanpa dosa.
"Najis!"
Pena dan Albi saling memandang sinis, karena menjawab secara serempak begini membuat Pena jadi geli dan ngeri sendiri.
"Ngapain gue demen sama cewek kolot macam dia?" Albi mendecih pelan dan memandang Pena rendah, seperti tengah mencela.
"Eh lo juga gak usah sok iyes ya! Berandal aja banyak gaya!" sahut Pena sewot sambil menunjuk Albi sarkas, ikut mencela.
"Iya deh iya yang namanya bersih tanpa noda." Albi mengangguk-angguk cuek. "Tapi berandal yang ada di hadapan lo ini si jenius sekolah kalo lo lupa," sambungnya pamer.
"SONGONG BANGET ANJIR!"
Abdi terkikik geli melihat perdebatan langsung antara dua jenius Nufa di hadapannya ini. Agaknya orang-orang jenius juga jago bacot dan hobi saling debat ya ーpikirnya.
Pena menoleh, menyadari keberadaan Abdi dengan mata melebar. "LO!!!" Tunjuknya marah kemudian kembali mengejar Abdi yang kembali kabur- berbalik arah dengan telapak kaki yang hanya dilapisi kaos kaki putih- seketika lupa dengan sepatu fantovelnya yang sudah tak lagi melekat di masing-masing kakinya.
Albi menghela napas sambil menipiskan bibir. Kemudian merunduk melihat sebelah sepatu fantovel Pena yang tadi sempat mendarat keras di dahinya. Cukup membuat kulit permukaan Albi merah dan sedikit perih sih. Albi memutar pandangan ke belakang, mendapati lagi sebelah sepatu fantovel Pena yang lain. Kaki-kaki panjangnya hendak melangkah membawanya menuju sepatu yang tergeletak di atas lantai ubin koridor beberapa meter di belakangnya itu. Namun langkah Albi lagi-lagi terhenti kala melihat sosok bunga sekolah yang muncul dari balik dinding pilar lapangan utama, yang kemudian mengambil sebelah sepatu Pena dan membuangnya ke tempat sampah terdekat.
"Kamu gak perlu seperhatian itu sama cewek asing, Albi. Sedangkan tunanganmu sendiri gak pernah tuh kamu sentuh?" tanya gadis cantik itu merasa tersinggung dengan sikap sederhana Albi terhadap Pena tadi.
"Orang kayak lo gak pernah pantes dapet sentuhan dari gue," balas Albi datar dan tak berperasaan. Kemudian berbalik meninggalkan gadis itu sambil menenteng sebelah sepatu fantovel Pena.
Gadis itu menggeram, matanya menatap punggung sosok tunangannya dengan nyalang tanda marah. Kedua tangannya terkepal kuat sambil membatin dengan perasaan emosi- mengatai Pena dalam hati.
"Pevita Natalia, cewek sialan."
Gadis itu adalah Minerva Anjani. Sosok gadis dengan julukan bunga sekolah yang didambakan para adam di SMA Nufa.
-
-bab 2-Pena menatap bingung sebelah sepatu fantovel di tangannya, kemudian ia beralih menatap Albi yang berdiri di ambang pintu kelas 11 IPS 5 berhadapan dengannya. "Kok sebelah doang?" tanyanya heran."Sebelahnya lagi dibuang Minerva di tong sampah. Lo mau make sepatu bekas buangan?" balas Albi santai dengan jujur. Karena sejatinya pemuda jenius itu tidak suka berbohong.Mata Pena melebar, kemudian geraman samar keluar dari mulut mungilnya. "Gak tau aja tuh anak lagi berurusan sama siapa," gumamnya marah sambil membuang sebelah sepatu fantovelnya ke sembarang arah. Yang nahasnya malah mendarat tepat di wajah teman satu kelasnya, Jeno.
-bab 3-Albi mengetuk-ngetukkan bolpoinnya ke atas meja makan sebuah restoran ternama di kota mentropolintan Jakarta. Sedari tadi ia sudah bosan berada di antara manusia-manusia gila yang ingin menjadikan anaknya sebagai syarat kerja sama alias penyatuan dan penguatan relasi dua perusahaan agar tetap berjalan lancar. Gila saja. Di antara 6 orang yang ada di ruangan private itu, hanya Albi dan kakak perempuannya, Alzhea, yang diam menyimakー diam-diam geram dan ingin pulang.Sebenarnya Albi sudah pusing terlibat dalam hubungan tidak jelasnya dengan keluarga si gadis tunangannya itu, apalagi embel-embelnya pertunangan bisnis. Albi sangat muak karena me
-bab 4-Pemuda itu masih mengenakan seragam putih abu dan almamater berwarna biru tua dan putih dengan logo SMA Nufa di dada sebelah kirinya. Di dada sebelah kanannya, terpasang nametag dengan ukiran nama Albino Syahrian.Rambutnya berantakan karena diterbangkan oleh angin malam. Sebelah tali tas ransel berwarna hitam polos bertengger di atas bahu kirinya. Sepatu PDH nya sudah kotor karena gesekan sol sepatu dengan trotoar yang membuat sepatunya menjadi kusam tertimbun debu.Angin malam yang dingin menerpa wajah putih Albi hingga membuatnya terasa agak kaku. Untung saja Albi masih dilindungi almamater yang cukup membuat dinginnya angin malam tak sepenuh
-bab 5-Pukul 11 malam kos khusus putri di komplek Pinangsia itu sudah sepi. Karena peraturan dalam kos menuliskan kalau penghuni kos dilarang keras pulang malam atau keluar malam. Bila sangat penting seperti menyangkut tugas negara sih boleh, tapi harus ijin dulu ke pemilik kos.Alasan di atas yang membuat Pena jadi was-was sekarang. Walau seluruh lampu utama kos sudah dimatikan, masih ada satu-dua titik cahaya dari lampu dinding pojok pintu yang sengaja dibiarkan menyala.Pena memang gadis yang memiliki kebiasaan unik. Setidaknya setiap jam 10 malam ia akan keluar ke supermarket s
-bab 6-Berani sumpah, Albi bahkan sudah lupa bagaimana wangi masakan ibunya saking lamanya mereka berpisah rumah karena Albi yang hanya ingin tinggal bersama kakak perempuannya, Alzhea. Albi juga anti sekali memakan makanan kalau bukan Alzhea yang memasak. Tapi malam ini, lagi-lagi untuk yang pertama kalinya yang kesekian kali, Albi merasakan masakan lezat dari tangan musuh bebuyutannya.Awalnya Albi meragukan kemampuan memasak Pena, namun tanpa disangka, gadis cantik itu berhasil membuktikan dirinya. Walau galaknya dua kali lipat seperti anak lelaki, ternyata Pena masih punya sisi wanita di dalam dirinya. Tangan-tangan mungilnya itu ternyata s
-bab 7-Pena mengucek sebelah matanya. Menguap sekilas karena kantuknya sudah datang menyerang. Padahal di jam-jam segini Pena biasanya sudah duduk anteng di depan laptop untuk menulis artikel. Tapi karena aksi heroiknya memberi tumpangan penginapan untuk Albi malam ini, Pena jadi harus capek dua kali.Seumur-umur ngekos di sini, Pena tak pernah mau menerima tamu orang luar untuk menginap di kamar kos pribadinya. Bahkan teman-teman sekelasnya saja jarang main ke kos Pena. Palingan kalau kumpul Pena yang diajak keluar untuk ngegabut bareng di rumah Jena- itupun kalau Pena lagi mau banget.Malam ini, pertam
- bab 8 - Minerva keluar dari salah satu bilik toilet siswi. Tangannya merogoh ke saku rok, mengeluarkan sebuah lipstick merah muda mencolok dan mengoleskannya di bibir. Gadis itu memang sudah cantik dari dulunya. Tanya saja para buaya di luar, siapa yang tidak suka dengan Minerva? Jelas tidak ada. Kecuali satu. Albino Syahrian. Gadis berambut coklat gelombang itu mencebik, menatap pantulan dirinya di depan cermin wastafel. Helaan napas panjang keluar dari hidungnya. Agak kesal karena belum bisa menaklukkan hati tunangannya. Padahal semua sudah berjalan sesuai rencana, tapi tetap saja Albi kekeuhnya naudzubillah untuk membatalkan pertunangan mereka. Hati pemuda itu amat keras layaknya batu. Untung saja
-bab 9-"Ji plis lahhh bantu gue negoin ke papah lo!!!" Pena merengek melas ke teman satu kelasnya, Radimas Ozzien atau yang kerap dipanggil Oji."Nggak berani gue njir! Papah sendiri udah nentuin kriteria umur buat semua pelamar kerja di perusahaannya, Na!" Oji mengelak tegas.Pena merengut, tengah meluncurkan strateginya untuk membuat Oji luluh dan berakhir membantunya. Pena sangat butuh pekerjaan sekarang. Dan ia tertarik untuk menjadi pengantar paket di perusahaan paket kilat milik papahnya Oji. Sayang, kriteria pekerja yang dibutuhkan haruslah berumur 19 tahun ke atas. Sedangkan Pena sendiri baru berusia legal alias baru berumur 17 tahun. Alhasil Oji menolak mentah-mentah permintaannya.
-Bab 27-"NA?!"Suara pemuda lain membuat Pena terjingkat. Gadis itu agak memiringkan kepalanya, keningnya mengernyit melihat Albi berjalan tergesa menghampirinya. "Ngapain dia di sini?"Tatapan Pena berpindah ke Disti. "Lo yang manggil?""Dia kan tunangannya Minerva?" sahut Disti polos.Pena berdecak, "I know," katanya. "Tapi dari mana lo kenal berandal itu?"Netra Disti melebar, kemudian bergerak liar mencari peralihan. "Gueー""Minerva sebenernya kenapa?" tanya Albi langsung."Katanya tabrak lari." Pena mengangkat kedua bahunya acuh. "Kenapa dia bisa
-Bab 26-Pria berumur 31 tahun itu melangkah menyusuri rak buku di kantornya. Tangannya terulur mengambil satu buku yang bertajuk Niksen: Rahasia Hidup Bahagia Tanpa Melakukan Apa-Apa. Kemudian membawa buku itu ke meja kebesarannya sebagai Kepala Sekolah, duduk berhadapan dengan adik sepupu yang lebih sering dianggap sebagai anaknya. "Jadi yang buat obat baru itu Pena?" tanya pria itu kemudian, setelah mendengar keseluruhan cerita Albi."Gila gak sih? Gue ngerangkai listrik buat satu rumah gue aja masih acak-acakan. Eh si Pena udah buat obat aja. Itu pun dua tahun lalu, Bang!" Albi mengusap wajahnya frustasi.
-bab 25-Pena orang lokal.Atau tepatnya, ia dianggap sebagai orang lokal.Padahal dari wajahnya, pasti sudah jelas kalau gadis itu memiliki darah orang luar ーKorea.Mamanya adalah satu dari banyak keturunan keluarga Ryu. Lalu Papanya, adalah seorang jeniusawan sukses yang berhasil membeli satu Kincir Angin Panemone Persia untuk dipersembahkan kepada sang istri. Namun sayang, keduanya sudah berada di sisi Tuhan sekarang.Pena selalu menyesal mengapa ia tak belajar tentang kedokteran, teori alam semesta, atau belajar tentang listrik, dulu, saat keluarganya masih
-bab 24-Mimpi buruk.Hal yang setahun belakangan ini tak pernah Pena alami, malam ini terulang lagi. Entah apa penyebabnya, Pena rasa isinya hanya hitam. Gelap. Dan identik dengan sesuatu yang buruk. Pena tak pernah menyukai warna hitam. Karena hitam identik dengan kegelapan, kesedihan, dan keburukan. Entah apa maksud sebenarnya dari hitam di dalam mimpi Pena malam ini, ia berharap itu bukan sesuatu yang buruk.Walau nyatanya harapan itu sia-sia saja. Keesokan harinya, Pena semakin frustasi karena otaknya selalu memutar mimpi hitam itu. Mem
-bab 23-Cangkul itu diseret menyusuri jalan setapak di pemakaman yang cukup jauh dari Kelurahan Pinangsia, kelurahan tempat tinggal si bunga sekolah Nufa itu. Peluh menghiasi sekitar dahinya karena lelah sehabis melakukan aktifitas yang merupakan dosa besar seluruh umat Islamー yang bahkan ia sendiri tidak peduli lagi dengan dosa yang akan didapatnya nanti.Sungguh, otaknya benar-benar sudah berada di luar kendali. Ini hal tergila kedua yang gadis itu lakukan dalam minggu ini. Hal mengerikan yang bisa saja membuat nyawanya ikut terancam karena dijadikan tumbal. Namun ia sudah tidak peduli. Ia ingin melihat targetnya menderit
-bab 22-"By the way lo tau siapa yang menang vote dan bakal jadi pasangan gue?" Pena kembali berbalik memandang Minverva dengan senyuman misterius.Minerva mengernyit, ikut penasaran dengan siapa yang akan menjadi pasangan tari Pena nantinya."Albino Syahrian."Tangan Minerva terkepal kuat, siap meninju Pena kapan saja. Mendengar nama Albi yang keluar dari mulut gadis tomboy itu, rasanya Minerva benar-benar tak terima kalau yang menjadi pasangan Albi dalam tari nanti adalah sosok Pevita Natalia."Loー"
-bab 21-Seringaian kecil misterius muncul di wajah Pena setelah ia melihat papan pengumuman Nufa yang telah memuat dua berita baru. Di dua daftar berita itu, ada nama Pena yang tercantum di dalamnya. Dalam hati Pena senang, karena kemampuannya diakui. Juga muncul sedikit perasaan ingin menyombongkan diri di depan bunga sekolah."Minerva mana?" tanya Pena pada seorang gadis yang berasal dari kelas 11 IPA 8, Gisella."Tadi sih pergi ke atas, rooftop kayaknya," jawab Gisella singkat.Pena menatap sekilas tangga ujung koridor yang langsung menuju ke rooftop sekolahnya, kemudian ke
-bab 20-"Ada satu orang," kata Pena kemudian. "Ada satu orang yang pada hari final pembuatan obat ini, dia datang ke laboratorium pusat kota buat nemuin saya," lanjutnya.Albi tertarik, kemudian agak menarik dirinya untuk mendekat ke arah Pena. Ayah dan Ibunya pun turut mendekat karena berharap Pena bisa menuturkan titik terangnya. Agar mereka tidak salah sangka lagi."Jadi beginiー ih apa sih lo gak usah nempel-nempel!" sentak Pena mengusir Albi yang mendekat secara reflek ke arahnya. Apalagi ia bisa merasakan kalau dada bidang Albi menyentuh bahu kanannya membuat Pena risih dan agak deg-deg an.&nbs
-bab 19-Albi mengernyit, "Lo nyiptain beberapa obat baru buat penyakit langka yang baru-baru ini sering muncul, Na?" tanyanya tak percaya."Kenapa? Speechless lo? IQ gue 138 kalo lo lupa." Pena memutar bola matanya jengah."Oke, gue tau. But, gimana caranya lo buat obat-obatan itu?" tanya Albi masih penasaran dengan cara kerja otak Pena yang bisa langsung direalisasikan dengan nyata tanpa abal-abal belaka."Dari dulu Mama selalu buat catatan pribadi mengenai cara buat obat gunain tanaman langka yang ada di kebunnya. Mama juga nulis detail tutorialnya