Panasnya udara Jakarta siang ini seolah merefleksikan perasaan Nevano Abraham, pemuda berusia 27 tahun itu. Baru saja Nevano menjejakan kaki di kota kelahirannya setelah menempuh perjalanan dua puluh jam dari New York kemari sekitar satu jam lalu, tetapi ia malah harus mendengar permintaan papanya—Rafianto Abraham—yang sangat menyebalkan.
"Jadi, Papa nyuruh aku pulang ke Jakarta cuma harus ngurusin perusahaan Papa yang mau bangkrut itu?" geram Nevano sambil mendengkus.
Rafianto yang tengah mengiris steak di piring, menatap putra sulungnya sambil menghela napas panjang. "Papa tidak bisa mengurus dua perusahaan sekaligus. Siapa lagi kalau bukan kamu yang bakal mengurusnya?"
Nevano menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Senyuman mengejek tersungging di bibirnya. "Kenapa nggak suruh anak kesayangan papa aja, si Levi? Kenapa harus Nevano?"
"Kamu adalah putra tertua di keluarga ini. Jadi, sudah sepantasnya kalau kamu membantu papa di perusahaan."
Nevano tiba-tiba mengeluarkan dengus tawa. Ucapan papanya itu terasa sangat menggelikan.
"Kenapa kamu tertawa?" Rafianto menyipitkan mata.
Saat itu seorang pelayan datang menghampiri meja mereka, memberikan buku menu pada Nevano yang memang baru tiba beberapa saat lalu di restoran berbintang lima ini. Salah satu restoran favorit Rafianto Abraham untuk menyantap makan siang. Menu yang tak jauh-jauh dipesan oleh pria berusia 55 tahun itu adalah Steak Wagyu kadang kala Foie Grass yang merupakan hati angsa berlemak. Rafianto memiliki selera yang tinggi dalam urusan makanan. Tak heran bila yang menjadi kesukaannya adalah makanan-makanan mewah berharga mahal. Dan hal inilah yang menjadi salah satu dari sekian banyak hal yang paling dibenci Nevano terhadap papanya.
Nevano mengangkat tangan ke arah pelayan sebagai tanda bahwa ia tak ingin memesan. Makan bersama Rafianto termasuk dalam salah satu daftar kegiatan yang paling dibenci Nevano berikutnya.
Pelayan itu mengangguk, menuang segelas air dan berlalu pergi.
"Aku nggak mau!" Nevano menjawab tegas sambil memasang wajah serius. "Ngurus perusahaan bangkrut bukan keahlian Nevano, Pah. Dan Nevano juga punya kehidupan sendiri."
Rafianto mendesah. Sudah paham betul kalau putra sulungnya itu tidak akan mau menerima tawarannya. Nevano adalah tipikal yang sangat keras kepala, susah diatur dan mau menang sendiri. Sejak remaja sampai sekarang, rasanya pria berusia 55 tahun itu lelah sekali mengurusnya.
Berkali-kali Nevano sering bikin masalah dan cukup membuatnya kerepotan. Belum lagi, putra sulungnya itu tidak akur dengan putra keduanya yang bernama Fahlevi Abraham. Putra hasil pernikahan keduanya bersama Kinanti Atmaja, seorang model terkenal tanah air pada masanya.
Jangan ditanya seberapa besar kebencian Nevano pada Fahlevi dan ibunya itu. Jelas ia akan menjawab dengan lantang dan tak segan-segan menyumpahi ibu dan anak yang dianggapnya membawa sial dalam kehidupannya.
"Maksudmu kehidupanmu yang kacau selama di New York?" Rafianto mengukir senyum dinginnya, lalu mengeluarkan sebuah amplop cokelat berisi foto-foto Nevano saat tinggal di negeri paman sam itu. "Beberapa kali terlibat perkelahian di club, mengemudi dalam keadaan mabuk, bolos kuliah, mengamen di tempat hiburan." Rafianto menjejerkan satu per satu foto tersebut di atas meja di hadapan putranya. "Sangat mengesankan, Nevano."
Rahang Nevano mengeras. Wajahnya semakin kelam menahan emosi yang menggelora. "Jadi selama ini kalian memata-matai kehidupanku di New York? How digusting!"
Rafianto menaikkan alis. "Disgusting? How dare you said that!"
Nevano mendengkus. Kedua tangannya terkepal. "Memata-matai privasi seseorang itu adalah sesuatu yang menjijikan," katanya dengan rahang terkatup rapat. "Berhentilah untuk bersikap seolah-olah Nevano ini putra papa!"
Rafianto terdiam. Berusaha menahan emosinya yang sudah mulai terpancing. Nevano akan merasa menang bila berhasil memprovokasinya. Bagaimanapun, ia tak ingin memulai hari pertemuan mereka setelah sembilan tahun dengan pertengkaran.
"Dan asal papa tahu ...," lanjut Nevano sambil meneguk air yang dituang pelayan tadi untuknya, "Nevano bukan mengamen, tapi bermusik seperti yang dilakukan bunda dulu."
Ucapan itu sedikit berhasil menyentil ego Rafianto. Pria itu selalu menunjukkan raut bersalah tiap kali Nevano menyebut-nyebut bundanya.
"Jangan bawa-bawa bundamu dalam pembicaraan ini," gumamnya sambil mengembuskan napas pelan. Nafsu makannya mendadak hilang. Ia mengedarkan pandang ke sekeliling, berharap pengunjung lain tak merasa terganggu dengan keributan kecil mereka. Untungnya, dentingan piano mengalunkan lagu Fur Elise karya Beethoven cukup meredam suara lancang Nevano.
"Kenapa? Papa merasa bersalah tiap inget bunda?" ejek Nevano, menyandar kembali di kursi. Sebelah kakinya disilangkan dengan gaya menantang.
"Papa menyuruhmu pulang bukan ingin bertengkar denganmu."
"Nevano nggak pernah mau pulang. Lagian papa juga yang ngusir Nevano ke Amerika, kenapa tiba-tiba maksa Nevano kembali?"
"Bantu Papa urus perusahaan itu. Setidaknya, selama satu tahun. Papa tidak bisa menemukan pengganti yang tepat selain kamu untuk saat ini."
"Kenapa harus Nevano? Levi tentu lebih dari bisa kalau cuma mengelola perusahaan."
"Levi akan bekerja di rumah sakit. Dia sudah jadi dokter sekarang. Jadi, tidak mungkin dia yang papa suruh."
Jawaban Rafianto membuat senyum Nevano memudar. "Dokter? Levi jadi dokter?" serunya terkejut.
Sungguh tidak adil. Bagaimana mungkin adik tiri yang dibencinya itu diizinkan meraih cita-citanya sementara ia tidak?
Rafianto tak segera menjawab. Ekor matanya melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Satu jam lagi ada meeting yang harus ia hadiri. Sebagai seorang pengusaha besar di negeri ini, waktu adalah hal yang sangat berharga. Jadi, ia tak bisa berlama-lama untuk mengobrol meski dengan putranya sendiri.
"Kenapa Levi boleh jadi dokter, sedangkan Nevano nggak boleh wujudin mimpi Nevano sendiri?" Tiba-tiba Nevano bergumam pelan. Matanya berkilat kecewa.
"Memangnya apa mimpimu? Bermusik di pinggir jalan? Di cafe murahan?" Rafianto mengeluarkan seringai mengejek. "Levi menjadi dokter karena ingin mengurus rumah sakit milik keluarga kita. Dia tidak sama seperti kamu yang tidak punya tujuan dalam hidup."
Nevano tak menjawab. Tatapannya semakin menajam. Ia benci sekali jika pria tua itu mulai mencemooh mimpi yang telah dirajutnya sejak kecil dan juga membanding-bandingkan dirinya dengan Levi.
Rafianto bangkit dari duduknya. Pak Hendris, sekretaris pribadi Rafianto yang sejak tadi berdiri beberapa meter dari meja mereka bergegas menghampiri. Ia kemudian meletakkan sebuah map cokelat ke hadapan Nevano.
"Itu adalah profil perusahaan yang akan kamu kelola. Papa berhasil mengakuisisinya saat mereka nyaris pailit karena defisit." Rafianto menjelaskan sementara Nevano menatap map dokumen itu dengan tak berminat. "Pelajari baik-baik. Tugasmu hanya mengelolanya sampai perusahaan itu besar kembali. Papa yakin kamu pasti bisa, Nevano."
"Kalau begitu, Nevano minta imbalan." Suara Nevano akhirnya terdengar. Pemuda itu mengangkat wajah menatap lurus papanya dan menyunggingkan senyum samar.
"Apa yang kamu inginkan?" Rafianto terlihat was-was.
"Biarkan Nevano melakukan apapun yang Nevano mau selama di sini. Dan Nevano berjanji akan mengurus perusahaan itu dengan baik."
Rafianto tak menjawab. Ekspresi di wajahnya mengatakan kalau putra sulungnya itu pasti sudah gila meminta hal itu pada dirinya.
"Kalau papa nggak mau, ya udah." Nevano mengendikkan bahu dan ikut bangkit berdiri. Melemparkan map dokumen itu dengan kasar ke atas meja, lantas melanjutkan, "Cari orang lain buat urus perusahaan itu. Nevano kayaknya nggak bisa."
Nevano berjalan melewati bahu Rafianto sambil membetulkan kemejanya yang kusut.
"Perusahaan itu akan papa wariskan padamu jika kamu berhasil mengelolanya dengan baik," ujar Rafianto kemudian.
Tawaran yang cukup menarik. Namun, masih belum berhasil menggugah hati Nevano.
"Tetapi, jika kamu masih menolak. Terpaksa Papa akan mengeluarkanmu dari hak ahli waris keluarga Abraham. Karena Papa tidak ingin mempunyai keturunan yang tidak bisa diandalkan. Silakan hidup dengan caramu sendiri, tapi jangan memakan sepeser pun uang Papa."
Nevano berhenti melangkah. Jurus kedua pria tua itu jika tak berhasil membujuknya adalah dengan cara mengancam. Sangat mudah ditebak.
"Bagaimana? Cukup adil 'kan?" Rafianto menyunggingkan senyum puas kala Nevano berbalik menatapnya. "Bukan Papa yang rugi, tapi kamu sendiri, Nevano." Ia menambahkan.
Nevano mengatupkan rahang rapat-rapat. Rafianto tak pernah main-main dengan ancaman yang dibuatnya. Ia sudah pernah nyaris dibuang oleh pria tua itu karena membuat masalah. Jadi, situasi ini jelas sekali dimenangkan oleh Rafianto karena Nevano akhirnya merenggut map dokumen perusahaan yang harus ia kelola dari atas meja dan segera berlalu dengan wajah masam.
✨✨✨
"Ra, fotokopi ini, ya! Lima rangkap. Kalo udah selesai bawa ke meja saya!" "Laporan proposal kemarin mana, Ra? Udah selesai, 'kan? Mau aku kasih ke Pak Arizal." "Ra, kalo kamu nggak ada kerjaan, bantuin saya hitung data ini dong. Keknya ada yang salah nih." "Jangan lupa kirim dokumen ini ke bagian Divisi Keuangan. Tadi aku lupa. Tolong, ya!" Begitulah keseharian Zora Kaureen yang bekerja sebagai Asman alias Assistant Manager di PT. Asafood selama tujuh bulan terakhir. Ada-ada saja permintaan pegawai atau rekan kerja lain yang menyuruhnya untuk membantu pekerjaan mereka. Entah itu sekedar menulis laporan, membantu mendesain produk, memfotokopi berkas, mencatat ulang kegiatan rapat, sampai-sampai membelikan kopi atau teh dan juga makan siang mereka. Rasanya gadis itu bukan hanya menjadi asisten manager-nya, tapi juga asisten semua orang di divisinya. "Ra, bantuin
Nevano mengempaskan tubuh ke kursi putar di balik meja sambil mendesah. Para Dewan Direksi sialan itu berhasil memaksanya berkeliling gedung cuma untuk menyapa bawahan mereka. Kaki pemuda itu pegal sekali. Bayangkan hampir seluruh lantai ia kunjungi dan bibirnya terasa kebas karena kebanyakan senyum. Jangan bilang ini adalah ide papa yang sengaja menyuruh dirinya melakukan kegiatan menyebalkan itu dengan alasan menyambung silahturahmi antara atasan dan bawahan. Lihat saja, Nevano pasti memprotes. Pemuda itu menyandar pada kursi putar dengan ekspresi keruh. Baru beberapa jam saja, ia sudah merasa bosan. Bekerja di kantor bukanlah kesukaannya. Tapi ya, tetap saja mau sebebal apapun, Nevano paling sulit untuk melawan keinginan papanya. Rafianto sangat otoriter dan pandai menjungkir balikkan hidup seseorang yang dianggapnya benalu atau tak menguntungkan. Lagipula, Nevano sadar kalau ia masih membutuhkan papanya dan tentu saja tidak ingin sampai dikeluarkan da
Sembilan tahun lalu, Zora terisak-isak di balik selimut yang menaungi tubuh polosnya. Sesuatu yang jelas sia-sia untuk dilakukan lantaran tak mengubah apapun yang terjadi. Namun, untuk menghentikan air matanya sendiri, rasanya gadis itu tak mampu. Dengan sekujur tubuh lemas dan sedikit nyeri, gadis itu pelan-pelan beranjak turun dari tempat tidur, masih berbalut selimut. Lalu, memungut pakaiannya yang berserakan di lantai dengan perasaan hancur, seakan-akan harga dirinya-lah yang sedang dipungutnya saat ini. Air mata Zora pun kembali berderai mengiringi lembaran-lembaran pakaian yang ia ambil. Rasanya ia akan terus menangis sampai matanya sakit dan membengkak. "Kenapa lo nangis sih? Bukannya lo tadi juga sempet menikmati?" Nevano yang masih berbaring di atas tempat tidur terdengar berkata sinis. Zora mengangkat sedikit wajahnya ke arah pemuda itu. Pemuda yang telah merenggut hal paling berharga dalam dirinya beberapa jam lalu. Namun, lidah Zora te
"Wah, liat nih Bapak CEO kita udah dateng!" seru seorang pemuda bernama Bram yang tergelak melihat kemunculan Nevano di pintu cafe. "Anjay! Vokalis udah jadi CEO pakenya jas, woi! Nggak ada lagi celana sobek-sobek," timpal Rendi ikut terbahak di tempat duduknya. "Gue kemari bukan buat jadi bahan ledekan kalian, bangsat!" Nevano menyeringai kepada dua orang sahabat lamanya itu. "Nah, gitu dong ngegas." Bram makin terpingkal. "Itu baru Nevano." "Sialan lo!" Nevano menoyor kepala pemuda berpotongan rambut model undercut itu. Tapi kemudian, ia pun menyunggingkan senyum, mengulurkan tangan untuk ber-high five dan langsung disambut kedua sahabatnya. "Gimana kabar lo, Bro? Sombong amat sembilan taun ngilang nggak pake kabar." Rendi memutar-mutar gelas minumannya yang sudah tersisa setengah. "Lo yang sombong. Ganti nomor nggak bilang-bilang," sungut Nevano sambil mengempaskan bokong di sebelahnya. Mereka duduk di dekat meja bar, meng
Panas. Satu kata itulah yang terlintas dalam benak seorang pemuda berpenampilan casual ketika ia baru saja keluar dari terminal kedatangan Bandara Soekarno Hatta siang ini. Sambil mendorong troli berisi koper serta barang-barangnya, pemuda bernama lengkap Fahlevi Abraham itu menyusuri koridor. Sebelah tangannya sibuk men-scroll ponsel untuk memesan taksi. Namun, suara familiar wanita yang sayup-sayup terdengar memanggil dari arah sisi kirinya, membuat perhatian Levi sedikit teralihkan. Wanita itu berdiri tak jauh dari koridor luar bandara, mengenakan setelan blazer panjang, berkacamata hitam sambil menenteng tas branded di sebelah tangan. Usianya memang sudah mendekati paruh baya. Namun, kecantikannya tetap saja terpancar tanpa cela. Ketika tatapan mereka akhirnya bertemu. Senyuman manis seketika mengembang di wajahnya. "Levi, sini!" Sekali lagi wanita bernama Kinanti Atmaja itu memanggil. Kali ini nadanya terdengar lebih antusias dari sebelumnya. L
Suara ketukan sepatu beradu dengan lantai marmer menggema di sepanjang koridor gedung kantor. Zora tampak berjalan tergesa-gesa menuju lift karena pagi ini ia sedikit bangun terlambat. Belum lagi terjebak macet di perjalanan tadi. Sekarang sudah pukul delapan lewat dua puluh menit, Pak Arizal pasti akan memarahinya. Juga Bu Riska yang tentu akan menegur meski ia hanya terlambat satu menit saja. Zora menggigit bibir selama menunggu lift terbuka. Jantungnya berdebar-debar antara takut dimarahi dan juga kelelahan sehabis berlari. Ting! Suara pintu lift terbuka. Zora mendongak. Ternyata bukan lift yang ditunggunya, tetapi lift eksekutif yang berada di sebelahnya. Gadis itu meneguk ludah ketika melihat sosok Nevano bersama Mia keluar dari pintu lift tersebut. Sial! Kenapa dirinya harus bertemu dengan Nevano sekarang? "Jam berapa pertemuannya?" Suara baritone Nevano te
Mobil Mercedes Benz C Class berwarna putih itu tampak begitu mencolok ketika berhenti di depan sebuah rumah makan yang terletak di pinggiran kota. Seorang pemuda berpakaian casual keluar dari dalamnya. Ia tampak ragu-ragu sejenak sebelum memutuskan untuk masuk ke sana. Sudah sembilan tahun Levi tak pernah kemari, tapi rupanya tak ada yang berubah dari tampilan bangunan ini, kecuali warna catnya yang sekarang lebih cerah. Ia mendongak mengamati sekeliling bangunan dengan pintu kaca dan etalase yang terlihat dari jendela kaca besarnya. Perasaan Levi tiba-tiba berkecamuk. Sedikit menyesal kenapa ia sampai nekat berkendara ke tempat ini. Apakah ia sebaiknya kembali saja? Tempat itu terlalu banyak menyimpan kenangan yang tak boleh lagi diingat. Jika ia masuk ke sana bisa-bisa pertahanannya runtuh dalam sekejap. Levi mengembuskan napas panjang, lantas memutuskan untuk langsung masuk saja ke dalam bangunan itu. Toh, dia
Untuk sepersekian detik, baik Levi maupun Zora hanya bisa mematung dalam posisi saling berpandangan dan ekspresi terkejut yang sama. Tak ada yang bergerak maupun bersuara, seolah saraf-saraf di tubuh mereka sedang mengalami lumpuh total. Kata orang, hidup ini selalu dipenuhi oleh peristiwa-peristiwa kebetulan yang tak bisa diramalkan, tak terduga dan seringnya mengejutkan. Ada yang beranggapan kebetulan itu terjadi karena bentuk dari sebab akibat yang saling bergesekan. Namun, pendapat lain mengatakan bahwa kebetulan terjadi bukanlah peristiwa tanpa makna, melainkan memiliki tujuan. Dan di sini, di dalam sebuah ruangan yang luasnya tak sampai sepuluh meter. Terletak sedikit menyudut dari pusat kota. Pada waktu pagi menjelang siang. Levi tak yakin apakah ini hanyalah sebuah kebetulan dirinya bisa bertemu lagi dengan Zora, atau justru semua ini adalah permainan takdir yang sengaja ingin memporak-porandakan kepingan
"Bagaimana kalau kita mencoba mengenalkan new product kita dengan mengusung tema healthy, smarty and friendly?" usul Zora saat Tim Perencanaan, Tim Marketing dan Tim Produksi meeting bersama untuk ke sekian kali di Rabu pagi hari itu.Meeting kali ini dilakukan untuk membahas pengembangan desain serta penyempurnaan uji coba new product yang sebentar lagi akan dirilis ke pasaran."Healthy, smarty and friendly?" ulang Tami, salah satu staff Divisi Marketing, yang duduk tak jauh dari Zora. Ia terlihat menimbang-nimbang usul tersebut.Zora menatap ke arah wanita berambut hitam legam itu dan mengangguk. "Iya, karena dari product concept yang sudah kita kembangkan, tema ini yang paling cocok. Terutama untuk mie sagu.""Bisa dijelaskan lebih rinci?" pinta staff yang lain."Oke." Zora bangkit dari duduknya, sementara rekan-rekannya di Tim Perencanaan menatap gadis itu takjub. Ya, selama meeting berlangsung, mereka tak menyangka Zora begitu antusias memberikan banyak ide ajaib yang amat sangat
RING DING DONG!RING DING DONG!Suara dering alarm dari jam weker digital di atas nakas terdengar beberapa kali berdering. Pemuda di balik selimut itu perlahan-lahan mengulurkan tangan ke atas nakas untuk mematikannya. Namun, karena tak berhati-hati ia malah menjatuhkan benda berbentuk segi empat itu hingga menimbulkan bunyi jatuh cukup keras.Levi mengerang kasar. Matanya yang masih terpejam, seketika terbuka. Disibak selimut yang masih membalut tubuhnya dan menegakkan badan. Rasa pusing tiba-tiba saja mendera dan pemuda itu tersentak kala menyadari bahwa ada jejak air mata yang membasahi kedua pipinya.Hell? Rupanya tanpa sadar, Levi sejak tadi menangis dalam tidurnya.Apa-apaan ini? pikir pemuda itu, heran sekaligus aneh. Kenapa ia bisa menangis seperti ini?Dengan napas yang terembus kasar, Levi pun mencoba mengingat-ingat. Dan pemuda itu langsung terhenyak kala menyadari apa yang menyebabkan dirinya menangis dalam tidur. Ternyata itu karena ia memimpikan Zora.Ya Tuhan! Apa sih y
Sepi.Tak ada apapun selain angin yang berembus menerbangkan dedaunan kering serta tapak sepatu beradu aspal hitam yang dipenuhi jejak hujan semalam. Matahari baru sejengkal menampakkan sinarnya di ujung cakrawala dan keheningan itu masih terasa sama seperti hari-hari sebelumnya.Namun, ada sesuatu yang rasanya janggal.Sesuatu yang menjadi alasan remaja laki-laki itu berdiri diam dengan alis bertautan. Menatap penasaran pada sosok gadis di balik pintu gerbang. "Zora?" Vokal itu datang dengan sedikit tertahan. Ada keterkejutan di ujung nadanya."Ada apa? Kenapa nggak kasih tahu mau kemari sepagi ini?"Gadis yang dipanggil Zora itu tak menjawab. Ia berdiri dengan kepala tertunduk serta kedua bahu bergetar, seolah-olah sedang menahan sesuatu yang mengguncang. Jejemarinya mengepal, mencengkram ujung seragam lusuh yang masih dikenakan, sementara rambut hitam panjangnya yang tergerai, tampak lembab dan kusut di beberapa bagian."Kenapa kamu masih pake seragam? Kamu nggak pulang ke rumah?
"Jadi Nevano membuat ulah lagi di kantor?" Rafianto menatap sekretaris pribadinya yang sedang berdiri di hadapannya dengan pandangan tajam."Ya, Pak. Saya mendengar dari sekretaris Tuan Nevano kalau Tuan Muda mencium gadis bernama Zora itu di kantor kemarin. Sepertinya Tuan Muda sengaja melakukannya untuk membuat kehebohan," sahut Pak Hendris seraya menganggukkan kepala.Rafianto mengepalkan buku-buku jarinya dan mendengkus kasar. "Anak brengsek itu kenapa selalu saja bertindak ceroboh?""Apa yang harus kita lakukan, Pak?"Pertanyaan itu membuat perasaan Rafianto berkecamuk."Apa Anda yakin ingin tetap menjodohkan Tuan Nevano dengan putri Adi Nugraha itu? Saya rasa ini tidak akan berjalan lancar.""Saya harus melakukannya," tegas Rafianto. "Saya tidak bisa membiarkan apa yang sudah saya bangun dengan susah payah harus runtuh begitu saja. Lagipula ini semua demi kebaikan Nevano juga. Dia adalah ahli waris utama keluarga Abraham saat ini. Jadi mencarikannya pendamping yang tepat adalah s
"Oh ya, Pak Septian mana?" tanya Zora seraya mengedarkan pandang. Baru tersadar kalau pria tangan kanan Nevano itu sejak tadi tak kelihatan batang hidungnya."Pak Septian udah pergi dari subuh tadi," jawab Nevano. Kali ini ia bergerak memecah beberapa butir telur dan mengocoknya di dalam wadah kecil untuk dijadikan omelet. "Ke mana?""Ke acara peringatan kematian bunda."Kalimat itu membuat Zora tersentak. "Kamu nggak pergi?"Nevano menoleh sekilas dan menggeleng. "Nggak.""Kenapa?""That's just waste of time." Pemuda itu tersenyum miris. "Aku lebih suka ziarah ke makam bunda secara langsung daripada ikut acara seperti itu."Jeda."Karena apapun yang mereka lakukan sekarang, nggak mengubah fakta kalau mereka dulunya juga ikut andil atas kematian bunda."Zora terdiam. Ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Tetapi, ucapan itu juga turut membuat hati Zora merasa sedih."Nanti siang kita jadi ziarah ke makam bunda kamu, 'kan?" tanya Zora kemudian, menatap Nevano lekat.Yang ditatap refl
It's so sweet, knowing that you love me.Though we don't need to say it to each other, sweet...Knowing that I love you, and running my fingers through your hair.It's so sweet...(Sweet ~ Cigarettes After Sex)❣"Ayo, kita menikah, Zora."Kalimat itu terus terngiang-ngiang dalam benak Zora sepanjang hari itu. Sepanjang Zora membuka mata dan terbangun dari tidurnya.Gadis itu bahkan sudah membersihkan diri dalam bathub selama nyaris satu jam. Memasang instrumental klasik kesukaan pada speaker phone. Menghidu lilin aromatherapy yang ia bakar dan diletakkan di atas lemari nakas. Melihat bagaimana sinar mentari pagi menyusup masuk melalui jendela dan membias di langit-langit membentuk pola kristal temaram.Namun, Zora masih saja belum bisa mengenyahkan kalimat itu dari pikirannya.Oke, satu hal yang rasanya aneh.Sepanjang Zora mengenal Nevano, pemuda itu memang tipikal pribadi yang spontanitas, impulsif dan sulit ditebak. Namun, tak pernah terbayangkan Nevano bisa mengatakan kalimat ing
"Lo nyari Nevano?" Kedua tangan Zora yang berada di sisi tubuh, mengepal sesaat. Gadis itu kemudian mengangguk sebagai jawaban.Laki-laki dengan tato bergambar mawar hitam di pergelangan tangan itu menilai sejenak penampilan Zora yang mungkin terlalu mencolok. Ya, mengingat gadis itu masih mengenakan seragam di hari menjelang petang dan di tempat para anak muda bermain billiard, tentu hal ini cukup menarik perhatian.Namun, laki-laki itu akhirnya mengendikkan kepala ke arah belakang punggungnya. "Dia ada di lantai dua. Masuk aja. Di meja paling ujung sebelah kiri.""Terima kasih," ucap Zora seraya menganggukkan kepala dan berjalan cepat menaiki tangga yang berada tiga meter dari laki-laki bertato itu.Hal pertama yang menyambut Zora ketika kakinya menjejak di lantai dua adalah bau asap rokok di mana-mana, dentuman keras musik punk serta gelak tawa dan suara geretakan bola-bola dipukul di atas meja pool.Pandangan Zora mengedar. Mencari sosok Nevano di antara para pengunjung yang nyar
"Zora, sudah berapa kali rasanya nilai ulanganmu turun drastis. Sebentar lagi kita akan ujian akhir kenaikan kelas. Kalau nilaimu begini terus, bisa-bisa beasiswamu terancam," tegur Pak Agung pada Zora yang tengah duduk di hadapannya.Saat ini sekolah sudah berakhir dan Zora secara khusus dipanggil oleh guru wali kelas XI IPA 1 itu. Membahas nilai Zora yang menurun beberapa minggu belakangan."Ini adalah nilai ulangan matematikamu kemarin. Bapak benar-benar tidak menyangka kamu bisa mendapat nilai di bawah 60 pada ulangan kali ini."Zora memandangi lembar ulangan miliknya dengan nanar. Angka 58 tertulis besar-besar di sana, membuat gadis itu menelan ludah. Ya, bila mengingat lagi ke belakang, ini adalah pertama kalinya Zora bisa mendapat nilai seburuk ini dalam sejarahnya bersekolah. Paling rendah nilai yang ia dapatkan setiap ulangan adalah 80. Jadi, kejadian ini tentu membuat wali kelasnya itu merasa kaget. "Apa terjadi sesuatu? Apa kamu sedang ada masalah?" Pak Agung menatap Zora
Haloo, berhubung update-an kali ini super duper molor, disarankan untuk membaca part sebelumnya biar gak lupa.Dan juga tiga bab ke depan akan menampilkan adegan flashback yaa.Terimakasih ❤Sembilan tahun lalu ketika rasa cinta itu belum bermekaran."Anjing!""Bangsat!""Mati aja lo sekarang!"Serentetan makian dan sumpah serapah mengiringi hantaman, tendangan serta pukulan bertubi-tubi pada sosok laki-laki bertubuh agak ringkih di pojokan teras rumah.Laki-laki itu adalah Gustian, ayah Zora. Ia hanya bisa mengerang serta meringkuk tak berdaya setiap kali menerima pukulan keras yang dilakukan oleh lima orang pria berwajah sangar yang mengelilinginya."Berani-beraninya lo kabur dan sembunyi setelah nipu kami semua! Lo pikir kami ini goblok, hah!?" seru pria berperawakan paling kekar di antara yang lain. Sepertinya pria itu merupakan pemimpin gerombolan preman-preman tersebut dan yang sejak tadi paling sadis menghajar Gustian."Mampus lo, anjing!"Satu tendangan lagi mendarat ke perut