"Anjay! Vokalis udah jadi CEO pakenya jas, woi! Nggak ada lagi celana sobek-sobek," timpal Rendi ikut terbahak di tempat duduknya.
"Gue kemari bukan buat jadi bahan ledekan kalian, bangsat!" Nevano menyeringai kepada dua orang sahabat lamanya itu.
"Nah, gitu dong ngegas." Bram makin terpingkal. "Itu baru Nevano."
"Sialan lo!" Nevano menoyor kepala pemuda berpotongan rambut model undercut itu. Tapi kemudian, ia pun menyunggingkan senyum, mengulurkan tangan untuk ber-high five dan langsung disambut kedua sahabatnya.
"Gimana kabar lo, Bro? Sombong amat sembilan taun ngilang nggak pake kabar." Rendi memutar-mutar gelas minumannya yang sudah tersisa setengah.
"Lo yang sombong. Ganti nomor nggak bilang-bilang," sungut Nevano sambil mengempaskan bokong di sebelahnya. Mereka duduk di dekat meja bar, menghadap barista yang sedang membuatkan minuman untuk pengunjung.
"Sori, gue sibuk semenjak lulus."
"Sibuk paan? Ngelonte?"
"Anjing!" Rendi nyaris tersedak, sementara Bram kembali tertawa. "Gue udah tobat, Man! Lo kali yang masih ngelonte sana-sini."
"Jiah, tobat! Lo pikir gue percaya." Nevano memutar bola mata. Lalu, mengeluarkan kotak rokok, menyulutnya sebatang.
"Kalian bertiga kalo udah ngumpul berisiknya ngalahin emak-emak di pasar." Median, salah satu sahabat mereka yang merupakan pemilik Cafe ini ikut bergabung. Ia merangkul bahu Nevano sekilas dan bertanya, "So, apa kabar nih Tuan CEO? Nggak nyangka gue lo mau ngurusin perusahaan bokap lo."
Nevano mendesah, mengetukkan ujung rokok ke asbak di atas meja dan menyugar rambutnya. "Kepaksa lah. Tahu sendiri bokap gue gimana."
"Bener banget. Kemaren lo masih untung dibuang ke Amrik. Siapa yang tahu berikutnya lo dibuang ke Zimbabwe," ledek Rendi yang membuat teman-temannya tertawa.
"Taik lo!" umpat Nevano.
Median mengambil posisi duduk di sebelahnya. "Lo mau minum apa, No? Tenang aja, minum di tempat gue mah gratis kalo cuma segelas."
"Yang bikin happy ada nggak? Mumet pala gue ngurus perusahaan. Bentar-bentar meeting, bentar-bentar ketemu klien, bentar-bentar tanda tangan. Anjir banget."
"Kalo lo pegel tanda tangan, kasih aja cap bibir," celetuk Bram, sementara Rendi kembali terbahak di sebelahnya.
Nevano berdecak. Kalau sudah berkumpul dengan ketiga orang sahabatnya ini pasti tidak akan pernah serius. Mereka sudah bersahabat sejak SMA dan dulunya membentuk sebuah band bernama "Demigod" di mana Nevano adalah sang vokalis. Band mereka bahkan sudah beberapa kali tampil di acara radio dan juga cafe. Sayangnya, Rafianto melarang keras Nevano tiap kali ia tampil bersama band-nya.
Demigod pun bubar saat Nevano pindah ke Amerika secara mendadak lantaran masalah besar yang pernah dibuatnya dulu. Dan malam ini merupakan pertemuan perdana mereka kembali setelah 9 tahun tak berjumpa. Jika Rendi, Bram dan Median masih sesekali melakukan reuni, lain halnya dengan Nevano yang tak pernah pulang sejak dirinya berada di negeri paman sam itu.
"Udah berapa tahun lo buka cafe, Med?" tanya Nevano sambil mengedarkan pandang ke sekeliling. Sedikit kagum dengan interior dan suasana cafe milik sahabatnya ini.
"Udah empat tahun. Gue berenti kuliah. Nggak cocok gue jadi anak hukum. Mending gue berbisnis," jelas Median, lantas memanggil seorang barista di dekatnya untuk membuatkan minuman pada Nevano.
Nevano ingat kalau keluarga Median memang membuka firma hukum yang sudah sangat terkenal di negara ini.
"Lo dibolehin buka bisnis?"
Median mengendikkan bahu. "Awalnya bokap gue nggak setuju dan kecewa. Tapi, dia nggak bisa apa-apa karena gue bener-bener nggak minat. Dan sekarang dia berharap sama adek-adek gue buat nerusin firma hukumnya."
"Terus kalian berdua gimana? Masih jadi gigolo?" Nevano berpaling pada Rendi dan Bram.
"Gigolo pala lu!" protes Rendi tak terima.
Nevano tertawa.
"Si Rendi sekarang jadi komposer musik, No. Nih, salah satu lagu yang dia aransemen," beritahu Median tepat ketika sebuah lagu baru mulai berputar di sound system yang terdengar sampai ke penjuru ruangan.
Lagu itu bernuansa pop dengan sedikit sentuhan nada beat di bagian Reff. Rendi memang sejak dulu pandai mengaransemen lagu dan saat mereka masih di band dulu, Rendi merangkap menjadi keyboardis.
"Nah, kalo si Bram. Dia lagi projek bikin film. Dia udah jadi sutradara. Mantep nggak tuh." Median kembali memberitahu.
"Paan cuma projek film kecil kok. Gue masih ingusan lah," elak Bram dengan wajah sedikit memerah.
"Well, you guys so hurt me when you can reach your dream while i didn't," gumam Nevano sambil mengembuskan asap rokoknya ke depan, merasa ironis.
Bagaimana tidak? Ketiga temannya itu sama berandal dengan dirinya waktu di SMA dulu. Mereka juga sama-sama berasal dari keluarga jetset yang menjalani bisnis. Selain Median yang keluarganya punya perusahaan firma hukum, Rendi dan Bram pun terlahir dari keluarga pengusaha. Ayah Rendi memiliki bisnis property yang cukup besar di Indonesia, sementara orang tua Bram mengelola bisnis fashion. Namun, ketiga orang itu masih tetap bisa meraih cita-cita sesuai yang mereka inginkan, tak seperti dirinya yang terjebak oleh ego ayahnya.
"Udah syukurin aja, No. Lo beruntung bisa dapet warisan perusahaan dari bokap lo sekalipun lo abis dibuang ke antah berantah." Rendi menepuk bahunya, mencoba memberi dukungan. "Lagian gue denger-denger sekretaris CEO pasti cantik dan seksi. Bener nggak?"
Nevano menatapnya sambil nyengir. "Mayan lah. Bodinya mantep."
Ketiga temannya seketika tergelak.
"Jangan bilang lo udah mantap-mantap sama sekretaris lo," celetuk Bram.
Nevano menggeleng. "Belom mood gue."
"Anjir, pake acara nggak mood. Biasanya lo liat kambing lewat aja langsung sange." Rendi meledek.
"Sialan!" Nevano menoyor kepalanya, sementara gelak tawa terus mengiringi percakapan mereka.
"Kalian inget sama Zora?" Tiba-tiba Nevano berkata. Kembali teringat pada gadis itu.
"Zora?" ulang Median. Dahinya berkerut. "Maksud lo Zora Kaureen adek kelas kita di sekolah dulu?"
Nevano mengangguk sekilas. Seorang bartender meletakkan segelas Irish Coffee di hadapannya, sejenis minuman kopi yang dicampur wishkey.
"Yang pernah lo tidurin itu, 'kan? Kenapa emangnya?" sambung Bram.
Nevano menyesap minuman kopinya, lalu menyunggingkan senyum tipis. "Dia jadi bawahan gue di kantor."
"Shit!" Median terbelalak. "Lo serius?"
"Do I look joking?"
"Terus lo mau ngapain kalo dia di sana? Udah cukup hidup dia rusak gara-gara lo." Median menatap Nevano sambil geleng-geleng. Beberapa orang pengunjung wanita terlihat berkali-kali melirik ke arah meja mereka. Tentu saja. Keempat pemuda itu bisa dikatakan memiliki visual yang tidak main-main, terutama Nevano yang keberadaannya selalu lebih mencolok dibanding teman-temannya.
Nevano tak menjawab. Dipadamkannya puntung rokok yang telah mengecil ke dalam asbak, kemudian menyandar ke kursi. Teringat kembali pertemuannya tadi siang dengan gadis itu. Zora tampak sama seperti dulu, terutama nasibnya yang masih menyedihkan.
"By the way, si Levi gue denger-denger ada di Inggris," sela Rendi tiba-tiba.
"Besok juga dia udah balik dan sekarang dia jadi dokter," beritahu Nevano. Sekelumit perasaan iri menyebar dalam dada, mengingat Levi bisa meraih cita-cita, sementara dirinya tidak. "Udah ah, gue mau cabut."
"Cabut? Tunggu bentar kek. Itu si Lexa lagi nyusul ke sini." sela Bram.
"Lexa?" Nevano mengerutkan alis.
"Ah, elah masa lo lupa? Itu Lexana Pamela, cewek lo waktu di SMA dulu. Anaknya Pak Nugroho yang punya mall di daerah Thamrin," jelas Bram.
"Ngapain dia ke sini?" Suara Nevano terdengar tak tertarik.
"Ya, mau ketemu lo lah. Mau ngapain lagi."
"Mayan, No. Dia udah jadi model sekarang. Embat aja jangan dianggurin."
Nevano menyalakan lagi rokoknya sebatang. Saat itu ekor matanya tanpa sengaja menangkap kemunculan seorang gadis berambut cokelat sepunggung di pintu masuk.
"Panjang umurnya. Tuh anaknya dateng," gumam Bram sambil melambai sekilas ke arah gadis yang baru datang itu agar segera kemari.
Aroma parfum Coco Chanel seketika menyergap penciuman sewaktu gadis itu sampai ke tempat mereka.
"Halo, Guys! Long time no see!" sapanya seraya menatap lekat ke arah Nevano. Ia mengulurkan tangan untuk bersalaman. "How are you doing, My Bae?"
Nevano membalas uluran tangan gadis bernama Lexana yang sempat ia lupakan itu. Keduanya saling berpandangan lekat selama berjabat tangan. Lexa terlihat begitu cantik, seksi dan menggoda dalam gaun pendek yang dikenakannya. Hal itu membuat naluri lelaki Nevano bangkit.
"Never been better after we met." Suara baritone Nevano menarik sudut bibir Lexa melengkung ke atas dengan sempurna.
Ketiga teman mereka otomatis saling melempar tatapan penuh arti.
"Udah-udah, pesen kamar sana buat melepas rindu." Rendi berkata diiringi gelak tawa Bram dan gelengan jengah Median yang memang selalu paling waras di antara ketiganya.
✨✨✨
✨✨✨
Panas. Satu kata itulah yang terlintas dalam benak seorang pemuda berpenampilan casual ketika ia baru saja keluar dari terminal kedatangan Bandara Soekarno Hatta siang ini. Sambil mendorong troli berisi koper serta barang-barangnya, pemuda bernama lengkap Fahlevi Abraham itu menyusuri koridor. Sebelah tangannya sibuk men-scroll ponsel untuk memesan taksi. Namun, suara familiar wanita yang sayup-sayup terdengar memanggil dari arah sisi kirinya, membuat perhatian Levi sedikit teralihkan. Wanita itu berdiri tak jauh dari koridor luar bandara, mengenakan setelan blazer panjang, berkacamata hitam sambil menenteng tas branded di sebelah tangan. Usianya memang sudah mendekati paruh baya. Namun, kecantikannya tetap saja terpancar tanpa cela. Ketika tatapan mereka akhirnya bertemu. Senyuman manis seketika mengembang di wajahnya. "Levi, sini!" Sekali lagi wanita bernama Kinanti Atmaja itu memanggil. Kali ini nadanya terdengar lebih antusias dari sebelumnya. L
Suara ketukan sepatu beradu dengan lantai marmer menggema di sepanjang koridor gedung kantor. Zora tampak berjalan tergesa-gesa menuju lift karena pagi ini ia sedikit bangun terlambat. Belum lagi terjebak macet di perjalanan tadi. Sekarang sudah pukul delapan lewat dua puluh menit, Pak Arizal pasti akan memarahinya. Juga Bu Riska yang tentu akan menegur meski ia hanya terlambat satu menit saja. Zora menggigit bibir selama menunggu lift terbuka. Jantungnya berdebar-debar antara takut dimarahi dan juga kelelahan sehabis berlari. Ting! Suara pintu lift terbuka. Zora mendongak. Ternyata bukan lift yang ditunggunya, tetapi lift eksekutif yang berada di sebelahnya. Gadis itu meneguk ludah ketika melihat sosok Nevano bersama Mia keluar dari pintu lift tersebut. Sial! Kenapa dirinya harus bertemu dengan Nevano sekarang? "Jam berapa pertemuannya?" Suara baritone Nevano te
Mobil Mercedes Benz C Class berwarna putih itu tampak begitu mencolok ketika berhenti di depan sebuah rumah makan yang terletak di pinggiran kota. Seorang pemuda berpakaian casual keluar dari dalamnya. Ia tampak ragu-ragu sejenak sebelum memutuskan untuk masuk ke sana. Sudah sembilan tahun Levi tak pernah kemari, tapi rupanya tak ada yang berubah dari tampilan bangunan ini, kecuali warna catnya yang sekarang lebih cerah. Ia mendongak mengamati sekeliling bangunan dengan pintu kaca dan etalase yang terlihat dari jendela kaca besarnya. Perasaan Levi tiba-tiba berkecamuk. Sedikit menyesal kenapa ia sampai nekat berkendara ke tempat ini. Apakah ia sebaiknya kembali saja? Tempat itu terlalu banyak menyimpan kenangan yang tak boleh lagi diingat. Jika ia masuk ke sana bisa-bisa pertahanannya runtuh dalam sekejap. Levi mengembuskan napas panjang, lantas memutuskan untuk langsung masuk saja ke dalam bangunan itu. Toh, dia
Untuk sepersekian detik, baik Levi maupun Zora hanya bisa mematung dalam posisi saling berpandangan dan ekspresi terkejut yang sama. Tak ada yang bergerak maupun bersuara, seolah saraf-saraf di tubuh mereka sedang mengalami lumpuh total. Kata orang, hidup ini selalu dipenuhi oleh peristiwa-peristiwa kebetulan yang tak bisa diramalkan, tak terduga dan seringnya mengejutkan. Ada yang beranggapan kebetulan itu terjadi karena bentuk dari sebab akibat yang saling bergesekan. Namun, pendapat lain mengatakan bahwa kebetulan terjadi bukanlah peristiwa tanpa makna, melainkan memiliki tujuan. Dan di sini, di dalam sebuah ruangan yang luasnya tak sampai sepuluh meter. Terletak sedikit menyudut dari pusat kota. Pada waktu pagi menjelang siang. Levi tak yakin apakah ini hanyalah sebuah kebetulan dirinya bisa bertemu lagi dengan Zora, atau justru semua ini adalah permainan takdir yang sengaja ingin memporak-porandakan kepingan
Nevano turun dari mobil sedan BMW hitamnya sambil mengembuskan asap rokok ke depan. Matanya tertuju pada bangunan megah bak istana yang menjulang dengan 2 paviliun mengapit sisi kiri-kanannya. Istana kediaman Rafianto Abraham. Jika bukan karena desakan pria tua itu yang terus-menerus menyuruhnya datang malam ini, Nevano takkan sudi menginjakkan kaki kemari. Ia sudah lama menyingkir semenjak dua makhluk sialan—Kinanti dan Levi—resmi menjadi penghuni di sana. Sambil mendesah, Nevano membuang puntung rokok ke tanah dan menginjaknya sampai padam. Ditatap arloji di pergelangan tangan tanpa bersemangat. Acara makan malam menyebalkan itu pasti sudah dimulai sejak tadi. Ini jelas kabar baik. Ia sama sekali tak berminat untuk berlama-lama di sana, lalu berbasa-basi pada orang-orang di dalamnya. Pemuda itu membetulkan jas yang membalut tubuh tegapnya sebelum melangkah menuju
How do I live without the ones I love?Time still turns the pages of the book its burned.Place and time always on my mind.I have so much to say but you're so far away.(Avenged Sevenfold ~ So Far Away)❣Ombak biru itu bergulung-gulung memecah bibir pantai. Semilir angin bertiup beriringan dengan burung camar yang beterbangan, sesekali memutar dan menukik. Dari sini matahari senja yang kemerahan tampak bersiap turun dalam peraduan.Dingin dan berangin. Semua itu bagaikan keindahan yang menari dalam sudut benak berbalut duka serta kegetiran tak berujung di sekujur badan. Tanpa beralaskan kaki, seorang bocah terlihat berjalan menerjang ombak pa
"Jadi, Nevano ngehubungin lo sampe 15 kali?" seru Mbak Alin dengan terbelalak. "Mau ngapain lagi sih dia?""Sssttt!" Zora langsung memberi isyarat dengan telunjuk di bibir. Matanya menatap sekitar, takut kalau-kalau perkataan mereka menarik perhatian orang di sekeliling. Mereka sedang istirahat makan siang di kafetaria."Terus lo jawab teleponnya?""Nggak lah! Ngapain? Nanti yang ada gue bakal kena masalah. Lagian udah malem gitu tiba-tiba dia nelpon. Nggak ada angin, nggak ada ujan."Mbak Alin mengaduk-aduk nasi gulainya dengan raut gemas setengah mati. "Nevano tuh bener-bener deh. Pengen gue sentil ginjalnya biar tau rasa. Apa perlu gue samperin dia supaya nggak gangguin lo lagi?""Mbak, udahlah. Walau gimana pun dia itu atasan kita. Jangan sampe dia pecat Mbak gegara aku." Zora berusaha menenangkannya. "Tenang a
Mungkin bagi sebagian orang saat melihat Nevano untuk pertama kali adalah pemuda itu memiliki kesempurnaan fisik tanpa cela, kehidupan mewah yang menyenangkan dan segudang keberuntungan lainnya. Namun, tak banyak yang tahu kalau pemuda itu adalah iblis yang bersembunyi di balik raga manusia. Intimidatif, manipulatif, egois dan berbahaya. Setidaknya, itulah kesan yang Zora dapatkan sejak pertama kali ia mengenal pemuda itu dalam hidupnya."Zora ... Kaureen ...." Suara baritone itu menarik perhatian Zora yang baru saja hendak menaiki tangga menuju kelasnya di lantai dua.Gadis itu mendongak, mendapati seorang cowok bertubuh jangkung, mengenakan seragam yang tak dimasukan, tindikan di salah satu telinga, handband di tangan kanan dan dasi yang dilonggarkan. Cowok itu berdiri dua tangga di atasnya, bersedekap. Menatapnya dari ujung kaki sampai ujung kepala.Ah, Zora mengenaliny