Share

| 3 |

Penulis: Poetry Alexandria
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Nevano mengempaskan tubuh ke kursi putar di balik meja sambil mendesah. Para Dewan Direksi sialan itu berhasil memaksanya berkeliling gedung cuma untuk menyapa bawahan mereka. Kaki pemuda itu pegal sekali. Bayangkan hampir seluruh lantai ia kunjungi dan bibirnya terasa kebas karena kebanyakan senyum.

Jangan bilang ini adalah ide papa yang sengaja menyuruh dirinya melakukan kegiatan menyebalkan itu dengan alasan menyambung silahturahmi antara atasan dan bawahan. Lihat saja, Nevano pasti memprotes.

Pemuda itu menyandar pada kursi putar dengan ekspresi keruh. Baru beberapa jam saja, ia sudah merasa bosan. Bekerja di kantor bukanlah kesukaannya. Tapi ya, tetap saja mau sebebal apapun, Nevano paling sulit untuk melawan keinginan papanya.

Rafianto sangat otoriter dan pandai menjungkir balikkan hidup seseorang yang dianggapnya benalu atau tak menguntungkan. Lagipula, Nevano sadar kalau ia masih membutuhkan papanya dan tentu saja tidak ingin sampai dikeluarkan dari hak ahli waris. Ia tidak akan membiarkan ibu tiri serta adik tirinya menguasai kekayaan mereka. Oh, tidak bisa!

"Apa jadwal kita selanjutnya?" Nevano berpaling ke arah Mia, sekretarisnya yang sejak tadi setia mengikuti kemana pun. 

"Setengah jam lagi kita akan meeting bersama para kepala departemen di ruang meeting, Pak," sahut Mia.

Nevano mengetuk-ngetuk jemari ke pegangan kursi. Otaknya tiba-tiba teringat dengan karyawan perempuan yang tak sengaja dilihatnya di lantai tujuh tadi. Karyawan yang mirip sekali dengan gadis di masa lalunya itu.

"Bisa bawakan saya data seluruh karyawan di kantor ini sekarang? Saya ingin melihatnya," pinta Nevano. 

"Baik, Pak." Mia mengangguk.

"Dan juga segelas kopi hangat, ya. Kepala saya mau meledak gara-gara berkeliling tadi," tambahnya yang membuat Mia tampak menahan tawa.

"Bapak harus terbiasa karena jadwal Bapak ke depannya akan sangat sibuk."

Mendengar itu, Nevano mengembuskan napas keras-keras. Ia sudah bisa membayangkan betapa menyebalkan hari-hari yang akan dilaluinya di sini.

"Tapi, Bapak tenang saja ...." Mia berjalan mendekat sambil menatapnya penuh arti. "Kalau Bapak kesulitan, saya siap membantu Bapak kapanpun dengan senang hati. Dan apapun yang Bapak perintahkan pasti akan saya turuti."

Nevano tersenyum. Jelas sekali apa maksud ucapan sekretarisnya itu. "Terima kasih, Mia."

"Kalau begitu, saya akan menyiapkan semua yang Bapak minta tadi." Sebelum pergi, wanita bertubuh sintal itu menyentuh sekilas lengan Nevano di atas meja seraya tersenyum menggoda, lalu berjalan menuju pintu.

Nevano menatap punggung sekretarisnya sambil tersenyum miring. Satu lagi wanita yang sangat mudah ditebak dan gampang terjerat oleh pesonanya. Jelas sekali apabila Nevano mengajak wanita itu untuk tidur dengannya sekarang, wanita itu pasti takkan sanggup menolak.

Sejak pertama kali mereka diperkenalkan, Mia tak henti berusaha menarik perhatiannya. Saat mereka berkeliling kantor untuk melihat para karyawan divisi bekerja, Mia juga beberapa kali melakukan skinship padanya. Entah itu bersentuhan tangan, bahu, kaki dan juga anggota tubuh lain.

Nevano hanya mengukir senyum bila Mia mulai memberikan sinyal flirting . Mungkin ia bisa mempertimbangkan wanita itu sebagai alternatif hiburan di kala ia bosan. Lagipula, Mia bukanlah pilihan buruk untuk diajak bersenang-senang.

Nevano memutar kursi menghadap dinding kaca di belakangnya. Dari sini pemandangan kota Jakarta terlihat begitu menawan. Gedung-gedung tinggi berlatar langit biru jernih membuat pemuda itu kembali teringat pada karyawan perempuan yang berada di lantai tujuh tadi. 

Bila dugaannya benar kalau gadis itu memang gadis yang ada di masa lalunya, rasanya Nevano ingin tertawa. Setelah sembilan tahun ia tak pernah pulang ke Indonesia, lucu sekali takdir kembali mempertemukan mereka sebagai atasan dan bawahan.

Tak berapa lama, pintu ruangan terdengar dibuka. Mia masuk membawakan map berisi data karyawan juga secangkir kopi untuknya. "Silakan diminum, Pak. Dan ini data karyawan yang Bapak minta."

"Thank's, Mia." Nevano menyunggingkan senyum lebar, memperlihatkan dua lesung pipi yang dalam.

"Apa Bapak perlu yang lain lagi?"

"Nggak usah. Cukup ingatkan saya jadwal meeting nanti bila sudah tiba waktunya."

"Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak." Sekali lagi, Mia menyentuh bahu Nevano sekilas sambil memberi senyuman penuh arti dan bergegas meninggalkan ruangan.

Nevano mengalihkan atensinya pada map dokumen itu, membuka lembaran pertama sambil menghirup pelan-pelan kopi yang dibawakan Mia tadi. Satu per satu wajah karyawan beserta profil mereka terpampang di sana. Gerakannya terhenti ketika ia membalik lembar ke-8. Di sana tertera profil seorang karyawan perempuan yang telah menjadi fokusnya sejak tadi.

Zora Kaureen. 26 tahun. Assistant Plan Manager. 

Nevano menyunggingkan senyum lebar. Dugaannya sama sekali tidak salah. Zora Kaureen. Gadis yang pernah ditidurinya di masa lalu ternyata memang menjadi bawahannya. Pemuda itu merasa beruntung tak menolak permintaan papanya mengelola perusahaan ini. Siapa yang sangka ia akan bertemu lagi dengan gadis itu.

Kenyataan ini otomatis menumbuhkan antusiasme dalam diri Nevano. Well, rasanya cerita ini akan menjadi semakin menarik saja. 

šŸ’«

Zora menggigiti kuku jarinya yang tak henti gemetar sejak tadi. Pikirannya terus saja terfokus pada CEO baru yang ia lihat di koridor beberapa saat lalu. CEO bernama Nevano Abraham dan menjadi bahan gosip seluruh karyawan kantor. Betapa mereka memuja visual Nevano yang bak dewa Yunani, juga pesonanya yang tak bisa ditolak.

Zora mulas membayangkan betapa mengerikan Nevano yang sebenarnya andai semua orang di kantor ini tahu. Nevano adalah mimpi buruk dalam hidupnya. Mimpi yang sudah sejak lama ingin ia hapus. Ingin ia lupakan. Namun, kenapa takdir harus mempertemukan mereka kembali? Dan mengapa di saat dirinya menjadi bawahan lelaki brengsek itu?

Zora betul-betul tidak ingin terlibat lagi dengan Nevano. 

"Ra? Lo kenapa dari tadi diem aja?" tegur Resi yang baru saja selesai menyusun makalah proposal pada setiap meja rapat.

Saat ini mereka sedang berada di ruang meeting. Sepuluh menit lagi mereka akan memulai rapat dengan Nevano.

Zora menggeleng. "Nggak ada apa-apa."

"Muka lo pucet banget. Lo sakit?" Resi menatapnya lekat.

Zora menggigit bibir dan kembali menggeleng.

"Kalo lo sakit, ntar abis meeting lo minta izin aja sama Pak Arizal."

"Kalo gitu, boleh nggak gueā€”" Suara Zora terputus karena para peserta rapat dari Departemen lain mulai masuk mengisi kursi-kursi yang kosong.

Resi segera mengajak Zora untuk duduk bersama Pak Arizal dan Dino yang menjadi perwakilan Depertemen Perencanaan dan Pengembangan. Mereka berempat duduk di kursi tengah, berhadapan dengan para staff dari departemen produksi.

Setelah ruang rapat terisi penuh oleh setiap perwakilan departemen, barulah Nevano dan sekretarisnya masuk ke dalam. Dengan gaya yang sangat berwibawa dan sorot arogan dari kedua mata elangnya, pemuda itu duduk di kursi paling ujung, kursi kebesaran pemimpin rapat hari ini.

"Selamat siang, Semua!" Nevano menyapa dalam suara baritone-nya, menatap satu per satu orang di dalam ruangan. Ia sedikit tersenyum samar kala netranya bersibobrok dengan Zora. 

Zora berharap Nevano tidak mengenalinya untuk saat ini atau mungkin selamanya.

"Siang, Pak!" sahut semua orang.

Kemudian, Nevano mulai memimpin rapat setelah setiap perwakilan memperkenalkan diri. Nevano sempat memperhatikan Zora waktu gadis itu melakukan perkenalan di tempat duduknya. Lalu, mereka mulai membahas agenda rapat tentang penurunan penjualan selama satu tahun terakhir. Nevano meminta Departemen Marketing memberikan laporan hasil penjualan perusahaan untuk ia teliti.

"Jadi, seburuk ini. Tidak ada peningkatan sama sekali dan malah mengalami kerugian sampai nyaris 40%," ujar pemuda itu setelah mempelajari laporan tersebut selama beberapa saat. "Bagaimana ini bisa terjadi?"

"Perusahaan-perusahaan kompetitor membuat promo besar-besaran pada saat itu, Pak. Mereka berhasil menggaet para pelanggan kita dan membuat produk baru yang meledak di pasaran. Kami kesulitan menaikkan profit saat produk kita tidak bisa terjual mencapai target," jelas Pak Ramlan, Manager Marketing.

"Dan itu terjadi secara terus menerus selama setahun lebih, hingga keuangan perusahaan menjadi defisit." Nevano menyimpulkan.

"Benar, Pak." Pak Ramlan mengangguk.

"Bagaimana cara kalian mengatasinya?"

"Kami mencoba membuat ide bisnis baru dan merombak apa yang sudah terencana. Tetapi, tetap saja penjualan dan kerugian tidak bisa dihindari."

Nevano mengalihkan atensinya ke arah Departemen Keuangan dan meminta laporan Cash Flow selama dua tahun terakhir. Begitu membacanya, wajah Nevano berubah keruh. Perbandingan arus kas masuk dan kas keluar sangat tidak berimbang. Ia benar-benar tak habis pikir perusahaan sebesar ini bisa mengalami kemerosotan yang signifikan hingga mengalami kerugian besar.

Ini benar-benar buruk." Ia kembali bicara. "Kita perlu melakukan sesuatu untuk memperbaiki kekacauan ini. Bagaimana dengan ide bisnis yang ingin kalian tunjukan hari ini?"

Tatapan Nevano mengarah ke Departemen Perencanaan dan Pengembangan di mana Zora duduk di sana.

"Kami berencana untuk mengubah strategi marketing di pasaran, mendesain ulang produk dengan kreatif dan membuat sebuah produk baru di kuartal kedua tahun ini, Pak," sahut Pak Arizal yang duduk di samping Zora.

Nevano menatap pria berusia 29 tahun dengan janggut tipis itu. Pandangannya sempat bertemu Zora meski hanya 1 detik. "Silakan presentasikan ide bisnisnya ke depan," pintanya kemudian.

Pak Arizal segera bangkit, lalu berjalan ke layar proyektor untuk mempresentasikan materi ide bisnis yang telah digagas divisinya. Dino membantu pria itu menjalankan presentasi di laptop. 

"Are you sure to run this damn business?" Tiba-tiba suara baritone Nevano terdengar menyela di tengah-tengah presentasi.

Pak Arizal spontan menghentikan presentasinya dan mengangguk.

Nevano mendengkus. "Apa kalian benar-benar tidak bisa memikirkan ide lain?"

"Maaf, Pak. Tapi, menurut kami ini adalah ide yang efektif dengan menargetkan pasar Kpop yang sedang booming di Indonesia." Pak Arizal menyela.

"Apa kalian tidak memikirkan modal yang harus kita keluarkan hanya untuk sebotol minuman kopi berharga Rp. 5000,-?" cemooh Nevano. "Ini memang peluang bagus dengan menjadikan Artis Kpop sebagai Brand Ambassador produk. Tapi, liat dulu keuangan kita!"

Dilemparkannya buku laporan keuangan yang tadi sempat dibacanya ke tengah meja peserta rapat. 

"Mengundang artis luar membutuhkan dana besar, sementara kita saja masih defisit karena kerugian, dan kekurangan modal. Bagaimana kita bisa melakukan ide bisnis seperti itu? Kalian berharap perusahaan Abraham Prima Group menanggung semuanya? Atau berharap keajaiban supaya ada investor besar menyuntikkan dana pada perusahaan hampir bangkrut ini?"

Tak ada yang menjawab. Semua orang hanya bisa terdiam dan saling pandang.

"Apa kalian tidak bisa berinovasi lebih kreatif lagi?" Nevano kembali berkata. Kepalanya serasa mau meledak. Ia tidak menyangka perusahaan ini lebih buruk dari yang ia bayangkan. "Tidak perlu Wah! Tapi, yang tepat sasaran."

Tiba-tiba Zora mengangkat tangan. Semua orang menoleh padanya, termasuk Nevano. Gadis itu sudah tak tahan lagi ingin bicara.

"Ya? Apa ada yang ingin kamu sampaikan?" Nevano menatap lurus padanya.

"Bagaimana dengan mengganti bahan baku mie instan yang selama ini kita jual dengan bahan baku lain?"

Nevano semakin menatapnya lekat. "Bahan baku lain?"

Zora bangkit dari duduknya dan melanjutkan, "Karena beberapa tahun belakangan produk mie instan yang kita jual di pasaran juga kurang mendapat respon baik di masyarakat, saya pikir kita perlu membuat resep baru dan mengganti tepung terigu yang digunakan dengan tepung tapioka atau tepung sagu."

"Tepung sagu?" celetuk seorang karyawan dari Departemen Produksi. "Bagaimana itu?"

"Sebenarnya mie berbahan dasar tepung sagu sudah sejak lama ada di Indonesia. Makanan ini berasal dari daerah Riau. Nggak ada salahnya kalau kita mencoba untuk memproduksinya menjadi makanan instan kemasan agar lebih dikenal masyarakat."

"Apa kamu sudah pernah mencobanya?" tanya Nevano.

Zora mengangguk. "Saya pernah memakannya di suatu tempat dan rasanya enak. Kita bisa meriset ke tempat itu untuk mendapatkan gambaran bumbu yang tepat. Saya juga sempat mencari banyak informasi mengenai kelebihan dan kekurangannya. Selain aman bagi penderita lambung, mie sagu juga lebih banyak nutrisi yang baik untuk tubuh ketimbang mie dari tepung terigu. Jadi, tidak akan berbahaya jika dikonsumsi tiap hari. Hanya saja mie sagu tidak bisa dimasak terlalu lama karena cepat lembek dan mengembang."

"Bagaimana dengan peluang pasarnya?" tanya Manager Marketing.

"Mungkin memang tidak akan bisa mengalahkan kepopuleran mie berbahan tepung terigu. Tetapi, kita bisa memanfaatkan peluang usaha yang belum banyak saingan. Dan yang terpenting adalah rasa. Orang Indonesia sangat menyukai mie instan, tidak ada salahnya kita membuat gebrakan baru. Mungkin saja kita bisa menjadi pelopor utama merk mie instan berbahan dasar sagu di Indonesia."

"Impressive!" komentar Nevano, tersenyum lebar, pertanda menyukai ide bisnis yang diutarakannya. Orang-orang ikut mengangguk setuju.

"Terima kasih!" Zora balas mengangguk pada semua orang.

"Apa masih ada yang lain?" tanya Nevano lagi, menatap Zora semakin intens.

Zora tercenung sejenak. Ia agak ragu untuk mengatakan, tetapi akhirnya mengangguk. "Saya pikir bagaimana jika kita juga meluncurkan produk baru dalam makanan ringan."

Semua orang kembali memusatkan perhatian pada gadis itu.

"Makanan ringan? Sejenis camilan?" celetuk seseorang dari Departemen Keuangan.

"Ya. Snack Macaron," jawab Zora lugas. "Macaron adalah kue yang berasal dari Prancis. Terbuat dari tepung almond dan putih telur. Rasanya manis, berbentuk bundar dan berwarna-warni. Saya pikir kalau kita membuat makanan tersebut dalam bentuk kemasan dan menjualnya secara massal, mungkin saja banyak konsumen yang akan menyukainya. Karena macaron termasuk makanan yang sudah cukup terkenal di Indonesia. Dan belum ada perusahaan yang memasarkannya secara resmi."

"Bagaimana dengan peluang pasar dan target harganya? Macaron termasuk jenis makanan ringan dengan harga yang lumayan mahal untuk dijangkau masyarakat kelas menengah bawah," kata seseorang dari Departemen Marketing.

Zora menoleh. "Soal itu, kita bisa diskusikan lagi dan mungkin sedikit memodifikasi bahan baku untuk menekan harga dan juga yang lainnya."

Terdengar bisik-bisik lirih, tetapi Zora bisa merasakan sebagian orang menunjukkan ekspresi antusias. Terutama teman-teman satu divisinya: Pak Arizal, Resi dan juga Dino. Ketiga orang itu tak menyangka Zora bisa memikirkan ide yang brilian.

"Baiklah, kamu boleh mengajukan ide bisnis itu secara detail pada makalah proposal selanjutnya." Nevano memutuskan. "Kita akan meeting kedua minggu depan membahas masalah ini. Kalian semua siapkan proposalnya dengan baik!"

Setelah itu rapat diakhiri. Nevano dan sekretarisnya lebih dulu meninggalkan ruang rapat. 

"Bagus sekali, Zora!" puji Pak Arizal sambil menghampiri gadis itu dengan semringah. "Kamu benar-benar menyelamatkan departemen kita."

"Terima kasih, Pak!"

"Kenapa nggak dari dulu kamu utarakan saja?"

"Maaf, Pak. Saya cuma berpikir spontan saja tadi karena nggak ingin departemen kita kena semprot." Zora meringis.

"Ide spontan lo keren, Ra. Liat tadi Pak Nevano sampe natap lo kagum gitu," sambung Resi.

Zora hanya tersenyum tipis.

"Baiklah, sudah jam makan siang. Ayo, kita makan siang dulu!" ajak Pak Arizal kemudian.

"Traktir ya, Pak." Dino berjalan di sebelahnya.

"Boleh, nanti Bapak traktir kalian es teh."

"Yee, Bapak! Masa es teh doang!" protes Dino dan Resi bersamaan.

Keempat orang itu meninggalkan ruang meeting yang telah sepi. Saat berada di koridor, Zora meminta izin ke toilet sebentar dan berjanji akan menyusul.

Ia berbalik arah, berbelok ke kiri di mana toilet terletak di sisi paling ujung. Sesekali Zora tersenyum pada karyawan lain yang berpapasan dengannya di lorong.

Saat itulah, Zora tak sengaja melihat Nevano sedang berdiri di dekat balkon yang mengarah ke halaman samping gedung. Pemuda itu sedang memperhatikan pemandangan di bawah sana. Asap rokok mengepul di sekelilingnya. 

Zora meneguk ludah. Bertanya-tanya, apakah Nevano masih mengingatnya setelah 9 tahun berlalu. Tetapi, sebaiknya ia juga tak sering-sering bersinggungan dengan CEO-nya itu daripada terlibat masalah.

Nevano berbalik dan Zora tersentak karena terkejut. Sudah terlambat untuk menghindar sekarang. Pemuda itu telah menangkap basah dirinya sedang memperhatikan.

Dengan kikuk, gadis itu cepat-cepat melanjutkan langkah.

"Zora!" Suara baritone Nevano seolah menenggelamkan jantungnya sampai ke mata kaki. 

Ragu-ragu Zora berpaling. "A-ada apa, Pak?" Bodoh sekali ia berharap pemuda itu sudah melupakannya.

Nevano mengembuskan asap rokok dari mulut sambil menyunggingkan senyum yang sangat Zora benci. "Gimana kabar lo setelah sembilan tahun? Nggak nyangka ya, kita ketemu lagi?"

Zora tak menjawab. Sekujur tubuhnya mulai menegang. Ia berharap Nevano tak mengungkit-ungkit mimpi buruk itu lagi.

Nevano maju selangkah dan Zora refleks mundur dengan jantung bertalu-talu. "Lo masih sama seperti dulu. Cerdas dan intuisi lo selalu bagus."

Zora menahan napas selama pemuda itu berbicara.

"Gue jadi penasaran gimana tanggapan Levi kalo dia tahu lo jadi bawahan gue di kantor."

Mendengar nama Levi disebut, membuat Zora memejamkan mata. Denyar-denyar menyakitkan itu mulai merambati tubuhnya.

Nevano mengembuskan lagi asap rokok, kali ini ke wajah Zora. Ia sedikit menundukkan badan karena gadis itu hanya setinggi bahunya. "Dan ... gue juga penasaran apa lo masih bisa ditiduri pake uang?"

Kedua tangan Zora terkepal erat. Ucapan Nevano benar-benar meruntuhkan harga dirinya. "Tolong ...." Ia berkata di sela-sela gigi yang terkatup rapat. "Tolong, biarin aku hidup tenang."

Nevano tertawa seolah ucapan Zora adalah lelucon.

Saat itu Mia muncul dan segera menghampiri mereka. "Mobilnya sudah siap, Pak. Kita pergi sekarang?" katanya seraya melirik Zora penasaran.

Nevano menegakkan tubuh. Sebelum pergi, ia menatap Zora sebentar dan menyunggingkan senyum khasnya. "Sampai ketemu lagi, Zora!"

Zora menatap punggung Nevano yang bergerak menjauh dengan wajah memanas. Setelah 9 tahun berlalu, pemuda itu ternyata masih sama brengseknya.

āœØāœØāœØ

Bab terkait

  • Stuck With Mr. DevilĀ Ā Ā | 4 |

    Sembilan tahun lalu, Zora terisak-isak di balik selimut yang menaungi tubuh polosnya. Sesuatu yang jelas sia-sia untuk dilakukan lantaran tak mengubah apapun yang terjadi. Namun, untuk menghentikan air matanya sendiri, rasanya gadis itu tak mampu. Dengan sekujur tubuh lemas dan sedikit nyeri, gadis itu pelan-pelan beranjak turun dari tempat tidur, masih berbalut selimut. Lalu, memungut pakaiannya yang berserakan di lantai dengan perasaan hancur, seakan-akan harga dirinya-lah yang sedang dipungutnya saat ini. Air mata Zora pun kembali berderai mengiringi lembaran-lembaran pakaian yang ia ambil. Rasanya ia akan terus menangis sampai matanya sakit dan membengkak. "Kenapa lo nangis sih? Bukannya lo tadi juga sempet menikmati?" Nevano yang masih berbaring di atas tempat tidur terdengar berkata sinis. Zora mengangkat sedikit wajahnya ke arah pemuda itu. Pemuda yang telah merenggut hal paling berharga dalam dirinya beberapa jam lalu. Namun, lidah Zora te

  • Stuck With Mr. DevilĀ Ā Ā | 5 |

    "Wah, liat nih Bapak CEO kita udah dateng!" seru seorang pemuda bernama Bram yang tergelak melihat kemunculan Nevano di pintu cafe. "Anjay! Vokalis udah jadi CEO pakenya jas, woi! Nggak ada lagi celana sobek-sobek," timpal Rendi ikut terbahak di tempat duduknya. "Gue kemari bukan buat jadi bahan ledekan kalian, bangsat!" Nevano menyeringai kepada dua orang sahabat lamanya itu. "Nah, gitu dong ngegas." Bram makin terpingkal. "Itu baru Nevano." "Sialan lo!" Nevano menoyor kepala pemuda berpotongan rambut model undercut itu. Tapi kemudian, ia pun menyunggingkan senyum, mengulurkan tangan untuk ber-high five dan langsung disambut kedua sahabatnya. "Gimana kabar lo, Bro? Sombong amat sembilan taun ngilang nggak pake kabar." Rendi memutar-mutar gelas minumannya yang sudah tersisa setengah. "Lo yang sombong. Ganti nomor nggak bilang-bilang," sungut Nevano sambil mengempaskan bokong di sebelahnya. Mereka duduk di dekat meja bar, meng

  • Stuck With Mr. DevilĀ Ā Ā | 6 |

    Panas. Satu kata itulah yang terlintas dalam benak seorang pemuda berpenampilan casual ketika ia baru saja keluar dari terminal kedatangan Bandara Soekarno Hatta siang ini. Sambil mendorong troli berisi koper serta barang-barangnya, pemuda bernama lengkap Fahlevi Abraham itu menyusuri koridor. Sebelah tangannya sibuk men-scroll ponsel untuk memesan taksi. Namun, suara familiar wanita yang sayup-sayup terdengar memanggil dari arah sisi kirinya, membuat perhatian Levi sedikit teralihkan. Wanita itu berdiri tak jauh dari koridor luar bandara, mengenakan setelan blazer panjang, berkacamata hitam sambil menenteng tas branded di sebelah tangan. Usianya memang sudah mendekati paruh baya. Namun, kecantikannya tetap saja terpancar tanpa cela. Ketika tatapan mereka akhirnya bertemu. Senyuman manis seketika mengembang di wajahnya. "Levi, sini!" Sekali lagi wanita bernama Kinanti Atmaja itu memanggil. Kali ini nadanya terdengar lebih antusias dari sebelumnya. L

  • Stuck With Mr. DevilĀ Ā Ā | 7 |

    Suara ketukan sepatu beradu dengan lantai marmer menggema di sepanjang koridor gedung kantor. Zora tampak berjalan tergesa-gesa menuju lift karena pagi ini ia sedikit bangun terlambat. Belum lagi terjebak macet di perjalanan tadi. Sekarang sudah pukul delapan lewat dua puluh menit, Pak Arizal pasti akan memarahinya. Juga Bu Riska yang tentu akan menegur meski ia hanya terlambat satu menit saja. Zora menggigit bibir selama menunggu lift terbuka. Jantungnya berdebar-debar antara takut dimarahi dan juga kelelahan sehabis berlari. Ting! Suara pintu lift terbuka. Zora mendongak. Ternyata bukan lift yang ditunggunya, tetapi lift eksekutif yang berada di sebelahnya. Gadis itu meneguk ludah ketika melihat sosok Nevano bersama Mia keluar dari pintu lift tersebut. Sial! Kenapa dirinya harus bertemu dengan Nevano sekarang? "Jam berapa pertemuannya?" Suara baritone Nevano te

  • Stuck With Mr. DevilĀ Ā Ā | 8 |

    Mobil Mercedes Benz C Class berwarna putih itu tampak begitu mencolok ketika berhenti di depan sebuah rumah makan yang terletak di pinggiran kota. Seorang pemuda berpakaian casual keluar dari dalamnya. Ia tampak ragu-ragu sejenak sebelum memutuskan untuk masuk ke sana. Sudah sembilan tahun Levi tak pernah kemari, tapi rupanya tak ada yang berubah dari tampilan bangunan ini, kecuali warna catnya yang sekarang lebih cerah. Ia mendongak mengamati sekeliling bangunan dengan pintu kaca dan etalase yang terlihat dari jendela kaca besarnya. Perasaan Levi tiba-tiba berkecamuk. Sedikit menyesal kenapa ia sampai nekat berkendara ke tempat ini. Apakah ia sebaiknya kembali saja? Tempat itu terlalu banyak menyimpan kenangan yang tak boleh lagi diingat. Jika ia masuk ke sana bisa-bisa pertahanannya runtuh dalam sekejap. Levi mengembuskan napas panjang, lantas memutuskan untuk langsung masuk saja ke dalam bangunan itu. Toh, dia

  • Stuck With Mr. DevilĀ Ā Ā | 9 |

    Untuk sepersekian detik, baik Levi maupun Zora hanya bisa mematung dalam posisi saling berpandangan dan ekspresi terkejut yang sama. Tak ada yang bergerak maupun bersuara, seolah saraf-saraf di tubuh mereka sedang mengalami lumpuh total. Kata orang, hidup ini selalu dipenuhi oleh peristiwa-peristiwa kebetulan yang tak bisa diramalkan, tak terduga dan seringnya mengejutkan. Ada yang beranggapan kebetulan itu terjadi karena bentuk dari sebab akibat yang saling bergesekan. Namun, pendapat lain mengatakan bahwa kebetulan terjadi bukanlah peristiwa tanpa makna, melainkan memiliki tujuan. Dan di sini, di dalam sebuah ruangan yang luasnya tak sampai sepuluh meter. Terletak sedikit menyudut dari pusat kota. Pada waktu pagi menjelang siang. Levi tak yakin apakah ini hanyalah sebuah kebetulan dirinya bisa bertemu lagi dengan Zora, atau justru semua ini adalah permainan takdir yang sengaja ingin memporak-porandakan kepingan

  • Stuck With Mr. DevilĀ Ā Ā | 10 |

    Nevano turun dari mobil sedan BMW hitamnya sambil mengembuskan asap rokok ke depan. Matanya tertuju pada bangunan megah bak istana yang menjulang dengan 2 paviliun mengapit sisi kiri-kanannya. Istana kediaman Rafianto Abraham. Jika bukan karena desakan pria tua itu yang terus-menerus menyuruhnya datang malam ini, Nevano takkan sudi menginjakkan kaki kemari. Ia sudah lama menyingkir semenjak dua makhluk sialanā€”Kinanti dan Leviā€”resmi menjadi penghuni di sana. Sambil mendesah, Nevano membuang puntung rokok ke tanah dan menginjaknya sampai padam. Ditatap arloji di pergelangan tangan tanpa bersemangat. Acara makan malam menyebalkan itu pasti sudah dimulai sejak tadi. Ini jelas kabar baik. Ia sama sekali tak berminat untuk berlama-lama di sana, lalu berbasa-basi pada orang-orang di dalamnya. Pemuda itu membetulkan jas yang membalut tubuh tegapnya sebelum melangkah menuju

  • Stuck With Mr. DevilĀ Ā Ā | 11 |

    How do I live without the ones I love?Time still turns the pages of the book its burned.Place and time always on my mind.I have so much to say but you're so far away.(Avenged Sevenfold ~ So Far Away)ā£Ombak biru itu bergulung-gulung memecah bibir pantai. Semilir angin bertiup beriringan dengan burung camar yang beterbangan, sesekali memutar dan menukik. Dari sini matahari senja yang kemerahan tampak bersiap turun dalam peraduan.Dingin dan berangin. Semua itu bagaikan keindahan yang menari dalam sudut benak berbalut duka serta kegetiran tak berujung di sekujur badan. Tanpa beralaskan kaki, seorang bocah terlihat berjalan menerjang ombak pa

Bab terbaru

  • Stuck With Mr. DevilĀ Ā Ā | 99 |

    "Bagaimana kalau kita mencoba mengenalkan new product kita dengan mengusung tema healthy, smarty and friendly?" usul Zora saat Tim Perencanaan, Tim Marketing dan Tim Produksi meeting bersama untuk ke sekian kali di Rabu pagi hari itu.Meeting kali ini dilakukan untuk membahas pengembangan desain serta penyempurnaan uji coba new product yang sebentar lagi akan dirilis ke pasaran."Healthy, smarty and friendly?" ulang Tami, salah satu staff Divisi Marketing, yang duduk tak jauh dari Zora. Ia terlihat menimbang-nimbang usul tersebut.Zora menatap ke arah wanita berambut hitam legam itu dan mengangguk. "Iya, karena dari product concept yang sudah kita kembangkan, tema ini yang paling cocok. Terutama untuk mie sagu.""Bisa dijelaskan lebih rinci?" pinta staff yang lain."Oke." Zora bangkit dari duduknya, sementara rekan-rekannya di Tim Perencanaan menatap gadis itu takjub. Ya, selama meeting berlangsung, mereka tak menyangka Zora begitu antusias memberikan banyak ide ajaib yang amat sangat

  • Stuck With Mr. DevilĀ Ā Ā | 98 |

    RING DING DONG!RING DING DONG!Suara dering alarm dari jam weker digital di atas nakas terdengar beberapa kali berdering. Pemuda di balik selimut itu perlahan-lahan mengulurkan tangan ke atas nakas untuk mematikannya. Namun, karena tak berhati-hati ia malah menjatuhkan benda berbentuk segi empat itu hingga menimbulkan bunyi jatuh cukup keras.Levi mengerang kasar. Matanya yang masih terpejam, seketika terbuka. Disibak selimut yang masih membalut tubuhnya dan menegakkan badan. Rasa pusing tiba-tiba saja mendera dan pemuda itu tersentak kala menyadari bahwa ada jejak air mata yang membasahi kedua pipinya.Hell? Rupanya tanpa sadar, Levi sejak tadi menangis dalam tidurnya.Apa-apaan ini? pikir pemuda itu, heran sekaligus aneh. Kenapa ia bisa menangis seperti ini?Dengan napas yang terembus kasar, Levi pun mencoba mengingat-ingat. Dan pemuda itu langsung terhenyak kala menyadari apa yang menyebabkan dirinya menangis dalam tidur. Ternyata itu karena ia memimpikan Zora.Ya Tuhan! Apa sih y

  • Stuck With Mr. DevilĀ Ā Ā | 97 |

    Sepi.Tak ada apapun selain angin yang berembus menerbangkan dedaunan kering serta tapak sepatu beradu aspal hitam yang dipenuhi jejak hujan semalam. Matahari baru sejengkal menampakkan sinarnya di ujung cakrawala dan keheningan itu masih terasa sama seperti hari-hari sebelumnya.Namun, ada sesuatu yang rasanya janggal.Sesuatu yang menjadi alasan remaja laki-laki itu berdiri diam dengan alis bertautan. Menatap penasaran pada sosok gadis di balik pintu gerbang. "Zora?" Vokal itu datang dengan sedikit tertahan. Ada keterkejutan di ujung nadanya."Ada apa? Kenapa nggak kasih tahu mau kemari sepagi ini?"Gadis yang dipanggil Zora itu tak menjawab. Ia berdiri dengan kepala tertunduk serta kedua bahu bergetar, seolah-olah sedang menahan sesuatu yang mengguncang. Jejemarinya mengepal, mencengkram ujung seragam lusuh yang masih dikenakan, sementara rambut hitam panjangnya yang tergerai, tampak lembab dan kusut di beberapa bagian."Kenapa kamu masih pake seragam? Kamu nggak pulang ke rumah?

  • Stuck With Mr. DevilĀ Ā Ā | 96 |

    "Jadi Nevano membuat ulah lagi di kantor?" Rafianto menatap sekretaris pribadinya yang sedang berdiri di hadapannya dengan pandangan tajam."Ya, Pak. Saya mendengar dari sekretaris Tuan Nevano kalau Tuan Muda mencium gadis bernama Zora itu di kantor kemarin. Sepertinya Tuan Muda sengaja melakukannya untuk membuat kehebohan," sahut Pak Hendris seraya menganggukkan kepala.Rafianto mengepalkan buku-buku jarinya dan mendengkus kasar. "Anak brengsek itu kenapa selalu saja bertindak ceroboh?""Apa yang harus kita lakukan, Pak?"Pertanyaan itu membuat perasaan Rafianto berkecamuk."Apa Anda yakin ingin tetap menjodohkan Tuan Nevano dengan putri Adi Nugraha itu? Saya rasa ini tidak akan berjalan lancar.""Saya harus melakukannya," tegas Rafianto. "Saya tidak bisa membiarkan apa yang sudah saya bangun dengan susah payah harus runtuh begitu saja. Lagipula ini semua demi kebaikan Nevano juga. Dia adalah ahli waris utama keluarga Abraham saat ini. Jadi mencarikannya pendamping yang tepat adalah s

  • Stuck With Mr. DevilĀ Ā Ā | 95 |

    "Oh ya, Pak Septian mana?" tanya Zora seraya mengedarkan pandang. Baru tersadar kalau pria tangan kanan Nevano itu sejak tadi tak kelihatan batang hidungnya."Pak Septian udah pergi dari subuh tadi," jawab Nevano. Kali ini ia bergerak memecah beberapa butir telur dan mengocoknya di dalam wadah kecil untuk dijadikan omelet. "Ke mana?""Ke acara peringatan kematian bunda."Kalimat itu membuat Zora tersentak. "Kamu nggak pergi?"Nevano menoleh sekilas dan menggeleng. "Nggak.""Kenapa?""That's just waste of time." Pemuda itu tersenyum miris. "Aku lebih suka ziarah ke makam bunda secara langsung daripada ikut acara seperti itu."Jeda."Karena apapun yang mereka lakukan sekarang, nggak mengubah fakta kalau mereka dulunya juga ikut andil atas kematian bunda."Zora terdiam. Ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Tetapi, ucapan itu juga turut membuat hati Zora merasa sedih."Nanti siang kita jadi ziarah ke makam bunda kamu, 'kan?" tanya Zora kemudian, menatap Nevano lekat.Yang ditatap refl

  • Stuck With Mr. DevilĀ Ā Ā | 94 |

    It's so sweet, knowing that you love me.Though we don't need to say it to each other, sweet...Knowing that I love you, and running my fingers through your hair.It's so sweet...(Sweet ~ Cigarettes After Sex)ā£"Ayo, kita menikah, Zora."Kalimat itu terus terngiang-ngiang dalam benak Zora sepanjang hari itu. Sepanjang Zora membuka mata dan terbangun dari tidurnya.Gadis itu bahkan sudah membersihkan diri dalam bathub selama nyaris satu jam. Memasang instrumental klasik kesukaan pada speaker phone. Menghidu lilin aromatherapy yang ia bakar dan diletakkan di atas lemari nakas. Melihat bagaimana sinar mentari pagi menyusup masuk melalui jendela dan membias di langit-langit membentuk pola kristal temaram.Namun, Zora masih saja belum bisa mengenyahkan kalimat itu dari pikirannya.Oke, satu hal yang rasanya aneh.Sepanjang Zora mengenal Nevano, pemuda itu memang tipikal pribadi yang spontanitas, impulsif dan sulit ditebak. Namun, tak pernah terbayangkan Nevano bisa mengatakan kalimat ing

  • Stuck With Mr. DevilĀ Ā Ā | 93 |

    "Lo nyari Nevano?" Kedua tangan Zora yang berada di sisi tubuh, mengepal sesaat. Gadis itu kemudian mengangguk sebagai jawaban.Laki-laki dengan tato bergambar mawar hitam di pergelangan tangan itu menilai sejenak penampilan Zora yang mungkin terlalu mencolok. Ya, mengingat gadis itu masih mengenakan seragam di hari menjelang petang dan di tempat para anak muda bermain billiard, tentu hal ini cukup menarik perhatian.Namun, laki-laki itu akhirnya mengendikkan kepala ke arah belakang punggungnya. "Dia ada di lantai dua. Masuk aja. Di meja paling ujung sebelah kiri.""Terima kasih," ucap Zora seraya menganggukkan kepala dan berjalan cepat menaiki tangga yang berada tiga meter dari laki-laki bertato itu.Hal pertama yang menyambut Zora ketika kakinya menjejak di lantai dua adalah bau asap rokok di mana-mana, dentuman keras musik punk serta gelak tawa dan suara geretakan bola-bola dipukul di atas meja pool.Pandangan Zora mengedar. Mencari sosok Nevano di antara para pengunjung yang nyar

  • Stuck With Mr. DevilĀ Ā Ā | 92 |

    "Zora, sudah berapa kali rasanya nilai ulanganmu turun drastis. Sebentar lagi kita akan ujian akhir kenaikan kelas. Kalau nilaimu begini terus, bisa-bisa beasiswamu terancam," tegur Pak Agung pada Zora yang tengah duduk di hadapannya.Saat ini sekolah sudah berakhir dan Zora secara khusus dipanggil oleh guru wali kelas XI IPA 1 itu. Membahas nilai Zora yang menurun beberapa minggu belakangan."Ini adalah nilai ulangan matematikamu kemarin. Bapak benar-benar tidak menyangka kamu bisa mendapat nilai di bawah 60 pada ulangan kali ini."Zora memandangi lembar ulangan miliknya dengan nanar. Angka 58 tertulis besar-besar di sana, membuat gadis itu menelan ludah. Ya, bila mengingat lagi ke belakang, ini adalah pertama kalinya Zora bisa mendapat nilai seburuk ini dalam sejarahnya bersekolah. Paling rendah nilai yang ia dapatkan setiap ulangan adalah 80. Jadi, kejadian ini tentu membuat wali kelasnya itu merasa kaget. "Apa terjadi sesuatu? Apa kamu sedang ada masalah?" Pak Agung menatap Zora

  • Stuck With Mr. DevilĀ Ā Ā | 91 |

    Haloo, berhubung update-an kali ini super duper molor, disarankan untuk membaca part sebelumnya biar gak lupa.Dan juga tiga bab ke depan akan menampilkan adegan flashback yaa.Terimakasih ā¤Sembilan tahun lalu ketika rasa cinta itu belum bermekaran."Anjing!""Bangsat!""Mati aja lo sekarang!"Serentetan makian dan sumpah serapah mengiringi hantaman, tendangan serta pukulan bertubi-tubi pada sosok laki-laki bertubuh agak ringkih di pojokan teras rumah.Laki-laki itu adalah Gustian, ayah Zora. Ia hanya bisa mengerang serta meringkuk tak berdaya setiap kali menerima pukulan keras yang dilakukan oleh lima orang pria berwajah sangar yang mengelilinginya."Berani-beraninya lo kabur dan sembunyi setelah nipu kami semua! Lo pikir kami ini goblok, hah!?" seru pria berperawakan paling kekar di antara yang lain. Sepertinya pria itu merupakan pemimpin gerombolan preman-preman tersebut dan yang sejak tadi paling sadis menghajar Gustian."Mampus lo, anjing!"Satu tendangan lagi mendarat ke perut

DMCA.com Protection Status