Jangan bilang ini adalah ide papa yang sengaja menyuruh dirinya melakukan kegiatan menyebalkan itu dengan alasan menyambung silahturahmi antara atasan dan bawahan. Lihat saja, Nevano pasti memprotes.
Pemuda itu menyandar pada kursi putar dengan ekspresi keruh. Baru beberapa jam saja, ia sudah merasa bosan. Bekerja di kantor bukanlah kesukaannya. Tapi ya, tetap saja mau sebebal apapun, Nevano paling sulit untuk melawan keinginan papanya.
Rafianto sangat otoriter dan pandai menjungkir balikkan hidup seseorang yang dianggapnya benalu atau tak menguntungkan. Lagipula, Nevano sadar kalau ia masih membutuhkan papanya dan tentu saja tidak ingin sampai dikeluarkan dari hak ahli waris. Ia tidak akan membiarkan ibu tiri serta adik tirinya menguasai kekayaan mereka. Oh, tidak bisa!
"Apa jadwal kita selanjutnya?" Nevano berpaling ke arah Mia, sekretarisnya yang sejak tadi setia mengikuti kemana pun.
"Setengah jam lagi kita akan meeting bersama para kepala departemen di ruang meeting, Pak," sahut Mia.
Nevano mengetuk-ngetuk jemari ke pegangan kursi. Otaknya tiba-tiba teringat dengan karyawan perempuan yang tak sengaja dilihatnya di lantai tujuh tadi. Karyawan yang mirip sekali dengan gadis di masa lalunya itu.
"Bisa bawakan saya data seluruh karyawan di kantor ini sekarang? Saya ingin melihatnya," pinta Nevano.
"Baik, Pak." Mia mengangguk.
"Dan juga segelas kopi hangat, ya. Kepala saya mau meledak gara-gara berkeliling tadi," tambahnya yang membuat Mia tampak menahan tawa.
"Bapak harus terbiasa karena jadwal Bapak ke depannya akan sangat sibuk."
Mendengar itu, Nevano mengembuskan napas keras-keras. Ia sudah bisa membayangkan betapa menyebalkan hari-hari yang akan dilaluinya di sini.
"Tapi, Bapak tenang saja ...." Mia berjalan mendekat sambil menatapnya penuh arti. "Kalau Bapak kesulitan, saya siap membantu Bapak kapanpun dengan senang hati. Dan apapun yang Bapak perintahkan pasti akan saya turuti."
Nevano tersenyum. Jelas sekali apa maksud ucapan sekretarisnya itu. "Terima kasih, Mia."
"Kalau begitu, saya akan menyiapkan semua yang Bapak minta tadi." Sebelum pergi, wanita bertubuh sintal itu menyentuh sekilas lengan Nevano di atas meja seraya tersenyum menggoda, lalu berjalan menuju pintu.
Nevano menatap punggung sekretarisnya sambil tersenyum miring. Satu lagi wanita yang sangat mudah ditebak dan gampang terjerat oleh pesonanya. Jelas sekali apabila Nevano mengajak wanita itu untuk tidur dengannya sekarang, wanita itu pasti takkan sanggup menolak.
Sejak pertama kali mereka diperkenalkan, Mia tak henti berusaha menarik perhatiannya. Saat mereka berkeliling kantor untuk melihat para karyawan divisi bekerja, Mia juga beberapa kali melakukan skinship padanya. Entah itu bersentuhan tangan, bahu, kaki dan juga anggota tubuh lain.
Nevano hanya mengukir senyum bila Mia mulai memberikan sinyal flirting . Mungkin ia bisa mempertimbangkan wanita itu sebagai alternatif hiburan di kala ia bosan. Lagipula, Mia bukanlah pilihan buruk untuk diajak bersenang-senang.
Nevano memutar kursi menghadap dinding kaca di belakangnya. Dari sini pemandangan kota Jakarta terlihat begitu menawan. Gedung-gedung tinggi berlatar langit biru jernih membuat pemuda itu kembali teringat pada karyawan perempuan yang berada di lantai tujuh tadi.
Bila dugaannya benar kalau gadis itu memang gadis yang ada di masa lalunya, rasanya Nevano ingin tertawa. Setelah sembilan tahun ia tak pernah pulang ke Indonesia, lucu sekali takdir kembali mempertemukan mereka sebagai atasan dan bawahan.
Tak berapa lama, pintu ruangan terdengar dibuka. Mia masuk membawakan map berisi data karyawan juga secangkir kopi untuknya. "Silakan diminum, Pak. Dan ini data karyawan yang Bapak minta."
"Thank's, Mia." Nevano menyunggingkan senyum lebar, memperlihatkan dua lesung pipi yang dalam.
"Apa Bapak perlu yang lain lagi?"
"Nggak usah. Cukup ingatkan saya jadwal meeting nanti bila sudah tiba waktunya."
"Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak." Sekali lagi, Mia menyentuh bahu Nevano sekilas sambil memberi senyuman penuh arti dan bergegas meninggalkan ruangan.
Nevano mengalihkan atensinya pada map dokumen itu, membuka lembaran pertama sambil menghirup pelan-pelan kopi yang dibawakan Mia tadi. Satu per satu wajah karyawan beserta profil mereka terpampang di sana. Gerakannya terhenti ketika ia membalik lembar ke-8. Di sana tertera profil seorang karyawan perempuan yang telah menjadi fokusnya sejak tadi.
Zora Kaureen. 26 tahun. Assistant Plan Manager.
Nevano menyunggingkan senyum lebar. Dugaannya sama sekali tidak salah. Zora Kaureen. Gadis yang pernah ditidurinya di masa lalu ternyata memang menjadi bawahannya. Pemuda itu merasa beruntung tak menolak permintaan papanya mengelola perusahaan ini. Siapa yang sangka ia akan bertemu lagi dengan gadis itu.
Kenyataan ini otomatis menumbuhkan antusiasme dalam diri Nevano. Well, rasanya cerita ini akan menjadi semakin menarik saja.
💫
Zora menggigiti kuku jarinya yang tak henti gemetar sejak tadi. Pikirannya terus saja terfokus pada CEO baru yang ia lihat di koridor beberapa saat lalu. CEO bernama Nevano Abraham dan menjadi bahan gosip seluruh karyawan kantor. Betapa mereka memuja visual Nevano yang bak dewa Yunani, juga pesonanya yang tak bisa ditolak.
Zora mulas membayangkan betapa mengerikan Nevano yang sebenarnya andai semua orang di kantor ini tahu. Nevano adalah mimpi buruk dalam hidupnya. Mimpi yang sudah sejak lama ingin ia hapus. Ingin ia lupakan. Namun, kenapa takdir harus mempertemukan mereka kembali? Dan mengapa di saat dirinya menjadi bawahan lelaki brengsek itu?
Zora betul-betul tidak ingin terlibat lagi dengan Nevano.
"Ra? Lo kenapa dari tadi diem aja?" tegur Resi yang baru saja selesai menyusun makalah proposal pada setiap meja rapat.
Saat ini mereka sedang berada di ruang meeting. Sepuluh menit lagi mereka akan memulai rapat dengan Nevano.
Zora menggeleng. "Nggak ada apa-apa."
"Muka lo pucet banget. Lo sakit?" Resi menatapnya lekat.
Zora menggigit bibir dan kembali menggeleng.
"Kalo lo sakit, ntar abis meeting lo minta izin aja sama Pak Arizal."
"Kalo gitu, boleh nggak gue—" Suara Zora terputus karena para peserta rapat dari Departemen lain mulai masuk mengisi kursi-kursi yang kosong.
Resi segera mengajak Zora untuk duduk bersama Pak Arizal dan Dino yang menjadi perwakilan Depertemen Perencanaan dan Pengembangan. Mereka berempat duduk di kursi tengah, berhadapan dengan para staff dari departemen produksi.
Setelah ruang rapat terisi penuh oleh setiap perwakilan departemen, barulah Nevano dan sekretarisnya masuk ke dalam. Dengan gaya yang sangat berwibawa dan sorot arogan dari kedua mata elangnya, pemuda itu duduk di kursi paling ujung, kursi kebesaran pemimpin rapat hari ini.
"Selamat siang, Semua!" Nevano menyapa dalam suara baritone-nya, menatap satu per satu orang di dalam ruangan. Ia sedikit tersenyum samar kala netranya bersibobrok dengan Zora.
Zora berharap Nevano tidak mengenalinya untuk saat ini atau mungkin selamanya.
"Siang, Pak!" sahut semua orang.
Kemudian, Nevano mulai memimpin rapat setelah setiap perwakilan memperkenalkan diri. Nevano sempat memperhatikan Zora waktu gadis itu melakukan perkenalan di tempat duduknya. Lalu, mereka mulai membahas agenda rapat tentang penurunan penjualan selama satu tahun terakhir. Nevano meminta Departemen Marketing memberikan laporan hasil penjualan perusahaan untuk ia teliti.
"Jadi, seburuk ini. Tidak ada peningkatan sama sekali dan malah mengalami kerugian sampai nyaris 40%," ujar pemuda itu setelah mempelajari laporan tersebut selama beberapa saat. "Bagaimana ini bisa terjadi?"
"Perusahaan-perusahaan kompetitor membuat promo besar-besaran pada saat itu, Pak. Mereka berhasil menggaet para pelanggan kita dan membuat produk baru yang meledak di pasaran. Kami kesulitan menaikkan profit saat produk kita tidak bisa terjual mencapai target," jelas Pak Ramlan, Manager Marketing.
"Dan itu terjadi secara terus menerus selama setahun lebih, hingga keuangan perusahaan menjadi defisit." Nevano menyimpulkan.
"Benar, Pak." Pak Ramlan mengangguk.
"Bagaimana cara kalian mengatasinya?"
"Kami mencoba membuat ide bisnis baru dan merombak apa yang sudah terencana. Tetapi, tetap saja penjualan dan kerugian tidak bisa dihindari."
Nevano mengalihkan atensinya ke arah Departemen Keuangan dan meminta laporan Cash Flow selama dua tahun terakhir. Begitu membacanya, wajah Nevano berubah keruh. Perbandingan arus kas masuk dan kas keluar sangat tidak berimbang. Ia benar-benar tak habis pikir perusahaan sebesar ini bisa mengalami kemerosotan yang signifikan hingga mengalami kerugian besar.
Ini benar-benar buruk." Ia kembali bicara. "Kita perlu melakukan sesuatu untuk memperbaiki kekacauan ini. Bagaimana dengan ide bisnis yang ingin kalian tunjukan hari ini?"
Tatapan Nevano mengarah ke Departemen Perencanaan dan Pengembangan di mana Zora duduk di sana.
"Kami berencana untuk mengubah strategi marketing di pasaran, mendesain ulang produk dengan kreatif dan membuat sebuah produk baru di kuartal kedua tahun ini, Pak," sahut Pak Arizal yang duduk di samping Zora.
Nevano menatap pria berusia 29 tahun dengan janggut tipis itu. Pandangannya sempat bertemu Zora meski hanya 1 detik. "Silakan presentasikan ide bisnisnya ke depan," pintanya kemudian.
Pak Arizal segera bangkit, lalu berjalan ke layar proyektor untuk mempresentasikan materi ide bisnis yang telah digagas divisinya. Dino membantu pria itu menjalankan presentasi di laptop.
"Are you sure to run this damn business?" Tiba-tiba suara baritone Nevano terdengar menyela di tengah-tengah presentasi.
Pak Arizal spontan menghentikan presentasinya dan mengangguk.
Nevano mendengkus. "Apa kalian benar-benar tidak bisa memikirkan ide lain?"
"Maaf, Pak. Tapi, menurut kami ini adalah ide yang efektif dengan menargetkan pasar Kpop yang sedang booming di Indonesia." Pak Arizal menyela.
"Apa kalian tidak memikirkan modal yang harus kita keluarkan hanya untuk sebotol minuman kopi berharga Rp. 5000,-?" cemooh Nevano. "Ini memang peluang bagus dengan menjadikan Artis Kpop sebagai Brand Ambassador produk. Tapi, liat dulu keuangan kita!"
Dilemparkannya buku laporan keuangan yang tadi sempat dibacanya ke tengah meja peserta rapat.
"Mengundang artis luar membutuhkan dana besar, sementara kita saja masih defisit karena kerugian, dan kekurangan modal. Bagaimana kita bisa melakukan ide bisnis seperti itu? Kalian berharap perusahaan Abraham Prima Group menanggung semuanya? Atau berharap keajaiban supaya ada investor besar menyuntikkan dana pada perusahaan hampir bangkrut ini?"
Tak ada yang menjawab. Semua orang hanya bisa terdiam dan saling pandang.
"Apa kalian tidak bisa berinovasi lebih kreatif lagi?" Nevano kembali berkata. Kepalanya serasa mau meledak. Ia tidak menyangka perusahaan ini lebih buruk dari yang ia bayangkan. "Tidak perlu Wah! Tapi, yang tepat sasaran."
Tiba-tiba Zora mengangkat tangan. Semua orang menoleh padanya, termasuk Nevano. Gadis itu sudah tak tahan lagi ingin bicara.
"Ya? Apa ada yang ingin kamu sampaikan?" Nevano menatap lurus padanya.
"Bagaimana dengan mengganti bahan baku mie instan yang selama ini kita jual dengan bahan baku lain?"
Nevano semakin menatapnya lekat. "Bahan baku lain?"
Zora bangkit dari duduknya dan melanjutkan, "Karena beberapa tahun belakangan produk mie instan yang kita jual di pasaran juga kurang mendapat respon baik di masyarakat, saya pikir kita perlu membuat resep baru dan mengganti tepung terigu yang digunakan dengan tepung tapioka atau tepung sagu."
"Tepung sagu?" celetuk seorang karyawan dari Departemen Produksi. "Bagaimana itu?"
"Sebenarnya mie berbahan dasar tepung sagu sudah sejak lama ada di Indonesia. Makanan ini berasal dari daerah Riau. Nggak ada salahnya kalau kita mencoba untuk memproduksinya menjadi makanan instan kemasan agar lebih dikenal masyarakat."
"Apa kamu sudah pernah mencobanya?" tanya Nevano.
Zora mengangguk. "Saya pernah memakannya di suatu tempat dan rasanya enak. Kita bisa meriset ke tempat itu untuk mendapatkan gambaran bumbu yang tepat. Saya juga sempat mencari banyak informasi mengenai kelebihan dan kekurangannya. Selain aman bagi penderita lambung, mie sagu juga lebih banyak nutrisi yang baik untuk tubuh ketimbang mie dari tepung terigu. Jadi, tidak akan berbahaya jika dikonsumsi tiap hari. Hanya saja mie sagu tidak bisa dimasak terlalu lama karena cepat lembek dan mengembang."
"Bagaimana dengan peluang pasarnya?" tanya Manager Marketing.
"Mungkin memang tidak akan bisa mengalahkan kepopuleran mie berbahan tepung terigu. Tetapi, kita bisa memanfaatkan peluang usaha yang belum banyak saingan. Dan yang terpenting adalah rasa. Orang Indonesia sangat menyukai mie instan, tidak ada salahnya kita membuat gebrakan baru. Mungkin saja kita bisa menjadi pelopor utama merk mie instan berbahan dasar sagu di Indonesia."
"Impressive!" komentar Nevano, tersenyum lebar, pertanda menyukai ide bisnis yang diutarakannya. Orang-orang ikut mengangguk setuju.
"Terima kasih!" Zora balas mengangguk pada semua orang.
"Apa masih ada yang lain?" tanya Nevano lagi, menatap Zora semakin intens.
Zora tercenung sejenak. Ia agak ragu untuk mengatakan, tetapi akhirnya mengangguk. "Saya pikir bagaimana jika kita juga meluncurkan produk baru dalam makanan ringan."
Semua orang kembali memusatkan perhatian pada gadis itu.
"Makanan ringan? Sejenis camilan?" celetuk seseorang dari Departemen Keuangan.
"Ya. Snack Macaron," jawab Zora lugas. "Macaron adalah kue yang berasal dari Prancis. Terbuat dari tepung almond dan putih telur. Rasanya manis, berbentuk bundar dan berwarna-warni. Saya pikir kalau kita membuat makanan tersebut dalam bentuk kemasan dan menjualnya secara massal, mungkin saja banyak konsumen yang akan menyukainya. Karena macaron termasuk makanan yang sudah cukup terkenal di Indonesia. Dan belum ada perusahaan yang memasarkannya secara resmi."
"Bagaimana dengan peluang pasar dan target harganya? Macaron termasuk jenis makanan ringan dengan harga yang lumayan mahal untuk dijangkau masyarakat kelas menengah bawah," kata seseorang dari Departemen Marketing.
Zora menoleh. "Soal itu, kita bisa diskusikan lagi dan mungkin sedikit memodifikasi bahan baku untuk menekan harga dan juga yang lainnya."
Terdengar bisik-bisik lirih, tetapi Zora bisa merasakan sebagian orang menunjukkan ekspresi antusias. Terutama teman-teman satu divisinya: Pak Arizal, Resi dan juga Dino. Ketiga orang itu tak menyangka Zora bisa memikirkan ide yang brilian.
"Baiklah, kamu boleh mengajukan ide bisnis itu secara detail pada makalah proposal selanjutnya." Nevano memutuskan. "Kita akan meeting kedua minggu depan membahas masalah ini. Kalian semua siapkan proposalnya dengan baik!"
Setelah itu rapat diakhiri. Nevano dan sekretarisnya lebih dulu meninggalkan ruang rapat.
"Bagus sekali, Zora!" puji Pak Arizal sambil menghampiri gadis itu dengan semringah. "Kamu benar-benar menyelamatkan departemen kita."
"Terima kasih, Pak!"
"Kenapa nggak dari dulu kamu utarakan saja?"
"Maaf, Pak. Saya cuma berpikir spontan saja tadi karena nggak ingin departemen kita kena semprot." Zora meringis.
"Ide spontan lo keren, Ra. Liat tadi Pak Nevano sampe natap lo kagum gitu," sambung Resi.
Zora hanya tersenyum tipis.
"Baiklah, sudah jam makan siang. Ayo, kita makan siang dulu!" ajak Pak Arizal kemudian.
"Traktir ya, Pak." Dino berjalan di sebelahnya.
"Boleh, nanti Bapak traktir kalian es teh."
"Yee, Bapak! Masa es teh doang!" protes Dino dan Resi bersamaan.
Keempat orang itu meninggalkan ruang meeting yang telah sepi. Saat berada di koridor, Zora meminta izin ke toilet sebentar dan berjanji akan menyusul.
Ia berbalik arah, berbelok ke kiri di mana toilet terletak di sisi paling ujung. Sesekali Zora tersenyum pada karyawan lain yang berpapasan dengannya di lorong.
Saat itulah, Zora tak sengaja melihat Nevano sedang berdiri di dekat balkon yang mengarah ke halaman samping gedung. Pemuda itu sedang memperhatikan pemandangan di bawah sana. Asap rokok mengepul di sekelilingnya.
Zora meneguk ludah. Bertanya-tanya, apakah Nevano masih mengingatnya setelah 9 tahun berlalu. Tetapi, sebaiknya ia juga tak sering-sering bersinggungan dengan CEO-nya itu daripada terlibat masalah.
Nevano berbalik dan Zora tersentak karena terkejut. Sudah terlambat untuk menghindar sekarang. Pemuda itu telah menangkap basah dirinya sedang memperhatikan.
Dengan kikuk, gadis itu cepat-cepat melanjutkan langkah.
"Zora!" Suara baritone Nevano seolah menenggelamkan jantungnya sampai ke mata kaki.
Ragu-ragu Zora berpaling. "A-ada apa, Pak?" Bodoh sekali ia berharap pemuda itu sudah melupakannya.
Nevano mengembuskan asap rokok dari mulut sambil menyunggingkan senyum yang sangat Zora benci. "Gimana kabar lo setelah sembilan tahun? Nggak nyangka ya, kita ketemu lagi?"
Zora tak menjawab. Sekujur tubuhnya mulai menegang. Ia berharap Nevano tak mengungkit-ungkit mimpi buruk itu lagi.
Nevano maju selangkah dan Zora refleks mundur dengan jantung bertalu-talu. "Lo masih sama seperti dulu. Cerdas dan intuisi lo selalu bagus."
Zora menahan napas selama pemuda itu berbicara.
"Gue jadi penasaran gimana tanggapan Levi kalo dia tahu lo jadi bawahan gue di kantor."
Mendengar nama Levi disebut, membuat Zora memejamkan mata. Denyar-denyar menyakitkan itu mulai merambati tubuhnya.
Nevano mengembuskan lagi asap rokok, kali ini ke wajah Zora. Ia sedikit menundukkan badan karena gadis itu hanya setinggi bahunya. "Dan ... gue juga penasaran apa lo masih bisa ditiduri pake uang?"
Kedua tangan Zora terkepal erat. Ucapan Nevano benar-benar meruntuhkan harga dirinya. "Tolong ...." Ia berkata di sela-sela gigi yang terkatup rapat. "Tolong, biarin aku hidup tenang."
Nevano tertawa seolah ucapan Zora adalah lelucon.
Saat itu Mia muncul dan segera menghampiri mereka. "Mobilnya sudah siap, Pak. Kita pergi sekarang?" katanya seraya melirik Zora penasaran.
Nevano menegakkan tubuh. Sebelum pergi, ia menatap Zora sebentar dan menyunggingkan senyum khasnya. "Sampai ketemu lagi, Zora!"
Zora menatap punggung Nevano yang bergerak menjauh dengan wajah memanas. Setelah 9 tahun berlalu, pemuda itu ternyata masih sama brengseknya.
✨✨✨
Sembilan tahun lalu, Zora terisak-isak di balik selimut yang menaungi tubuh polosnya. Sesuatu yang jelas sia-sia untuk dilakukan lantaran tak mengubah apapun yang terjadi. Namun, untuk menghentikan air matanya sendiri, rasanya gadis itu tak mampu. Dengan sekujur tubuh lemas dan sedikit nyeri, gadis itu pelan-pelan beranjak turun dari tempat tidur, masih berbalut selimut. Lalu, memungut pakaiannya yang berserakan di lantai dengan perasaan hancur, seakan-akan harga dirinya-lah yang sedang dipungutnya saat ini. Air mata Zora pun kembali berderai mengiringi lembaran-lembaran pakaian yang ia ambil. Rasanya ia akan terus menangis sampai matanya sakit dan membengkak. "Kenapa lo nangis sih? Bukannya lo tadi juga sempet menikmati?" Nevano yang masih berbaring di atas tempat tidur terdengar berkata sinis. Zora mengangkat sedikit wajahnya ke arah pemuda itu. Pemuda yang telah merenggut hal paling berharga dalam dirinya beberapa jam lalu. Namun, lidah Zora te
"Wah, liat nih Bapak CEO kita udah dateng!" seru seorang pemuda bernama Bram yang tergelak melihat kemunculan Nevano di pintu cafe. "Anjay! Vokalis udah jadi CEO pakenya jas, woi! Nggak ada lagi celana sobek-sobek," timpal Rendi ikut terbahak di tempat duduknya. "Gue kemari bukan buat jadi bahan ledekan kalian, bangsat!" Nevano menyeringai kepada dua orang sahabat lamanya itu. "Nah, gitu dong ngegas." Bram makin terpingkal. "Itu baru Nevano." "Sialan lo!" Nevano menoyor kepala pemuda berpotongan rambut model undercut itu. Tapi kemudian, ia pun menyunggingkan senyum, mengulurkan tangan untuk ber-high five dan langsung disambut kedua sahabatnya. "Gimana kabar lo, Bro? Sombong amat sembilan taun ngilang nggak pake kabar." Rendi memutar-mutar gelas minumannya yang sudah tersisa setengah. "Lo yang sombong. Ganti nomor nggak bilang-bilang," sungut Nevano sambil mengempaskan bokong di sebelahnya. Mereka duduk di dekat meja bar, meng
Panas. Satu kata itulah yang terlintas dalam benak seorang pemuda berpenampilan casual ketika ia baru saja keluar dari terminal kedatangan Bandara Soekarno Hatta siang ini. Sambil mendorong troli berisi koper serta barang-barangnya, pemuda bernama lengkap Fahlevi Abraham itu menyusuri koridor. Sebelah tangannya sibuk men-scroll ponsel untuk memesan taksi. Namun, suara familiar wanita yang sayup-sayup terdengar memanggil dari arah sisi kirinya, membuat perhatian Levi sedikit teralihkan. Wanita itu berdiri tak jauh dari koridor luar bandara, mengenakan setelan blazer panjang, berkacamata hitam sambil menenteng tas branded di sebelah tangan. Usianya memang sudah mendekati paruh baya. Namun, kecantikannya tetap saja terpancar tanpa cela. Ketika tatapan mereka akhirnya bertemu. Senyuman manis seketika mengembang di wajahnya. "Levi, sini!" Sekali lagi wanita bernama Kinanti Atmaja itu memanggil. Kali ini nadanya terdengar lebih antusias dari sebelumnya. L
Suara ketukan sepatu beradu dengan lantai marmer menggema di sepanjang koridor gedung kantor. Zora tampak berjalan tergesa-gesa menuju lift karena pagi ini ia sedikit bangun terlambat. Belum lagi terjebak macet di perjalanan tadi. Sekarang sudah pukul delapan lewat dua puluh menit, Pak Arizal pasti akan memarahinya. Juga Bu Riska yang tentu akan menegur meski ia hanya terlambat satu menit saja. Zora menggigit bibir selama menunggu lift terbuka. Jantungnya berdebar-debar antara takut dimarahi dan juga kelelahan sehabis berlari. Ting! Suara pintu lift terbuka. Zora mendongak. Ternyata bukan lift yang ditunggunya, tetapi lift eksekutif yang berada di sebelahnya. Gadis itu meneguk ludah ketika melihat sosok Nevano bersama Mia keluar dari pintu lift tersebut. Sial! Kenapa dirinya harus bertemu dengan Nevano sekarang? "Jam berapa pertemuannya?" Suara baritone Nevano te
Mobil Mercedes Benz C Class berwarna putih itu tampak begitu mencolok ketika berhenti di depan sebuah rumah makan yang terletak di pinggiran kota. Seorang pemuda berpakaian casual keluar dari dalamnya. Ia tampak ragu-ragu sejenak sebelum memutuskan untuk masuk ke sana. Sudah sembilan tahun Levi tak pernah kemari, tapi rupanya tak ada yang berubah dari tampilan bangunan ini, kecuali warna catnya yang sekarang lebih cerah. Ia mendongak mengamati sekeliling bangunan dengan pintu kaca dan etalase yang terlihat dari jendela kaca besarnya. Perasaan Levi tiba-tiba berkecamuk. Sedikit menyesal kenapa ia sampai nekat berkendara ke tempat ini. Apakah ia sebaiknya kembali saja? Tempat itu terlalu banyak menyimpan kenangan yang tak boleh lagi diingat. Jika ia masuk ke sana bisa-bisa pertahanannya runtuh dalam sekejap. Levi mengembuskan napas panjang, lantas memutuskan untuk langsung masuk saja ke dalam bangunan itu. Toh, dia
Untuk sepersekian detik, baik Levi maupun Zora hanya bisa mematung dalam posisi saling berpandangan dan ekspresi terkejut yang sama. Tak ada yang bergerak maupun bersuara, seolah saraf-saraf di tubuh mereka sedang mengalami lumpuh total. Kata orang, hidup ini selalu dipenuhi oleh peristiwa-peristiwa kebetulan yang tak bisa diramalkan, tak terduga dan seringnya mengejutkan. Ada yang beranggapan kebetulan itu terjadi karena bentuk dari sebab akibat yang saling bergesekan. Namun, pendapat lain mengatakan bahwa kebetulan terjadi bukanlah peristiwa tanpa makna, melainkan memiliki tujuan. Dan di sini, di dalam sebuah ruangan yang luasnya tak sampai sepuluh meter. Terletak sedikit menyudut dari pusat kota. Pada waktu pagi menjelang siang. Levi tak yakin apakah ini hanyalah sebuah kebetulan dirinya bisa bertemu lagi dengan Zora, atau justru semua ini adalah permainan takdir yang sengaja ingin memporak-porandakan kepingan
Nevano turun dari mobil sedan BMW hitamnya sambil mengembuskan asap rokok ke depan. Matanya tertuju pada bangunan megah bak istana yang menjulang dengan 2 paviliun mengapit sisi kiri-kanannya. Istana kediaman Rafianto Abraham. Jika bukan karena desakan pria tua itu yang terus-menerus menyuruhnya datang malam ini, Nevano takkan sudi menginjakkan kaki kemari. Ia sudah lama menyingkir semenjak dua makhluk sialan—Kinanti dan Levi—resmi menjadi penghuni di sana. Sambil mendesah, Nevano membuang puntung rokok ke tanah dan menginjaknya sampai padam. Ditatap arloji di pergelangan tangan tanpa bersemangat. Acara makan malam menyebalkan itu pasti sudah dimulai sejak tadi. Ini jelas kabar baik. Ia sama sekali tak berminat untuk berlama-lama di sana, lalu berbasa-basi pada orang-orang di dalamnya. Pemuda itu membetulkan jas yang membalut tubuh tegapnya sebelum melangkah menuju
How do I live without the ones I love?Time still turns the pages of the book its burned.Place and time always on my mind.I have so much to say but you're so far away.(Avenged Sevenfold ~ So Far Away)❣Ombak biru itu bergulung-gulung memecah bibir pantai. Semilir angin bertiup beriringan dengan burung camar yang beterbangan, sesekali memutar dan menukik. Dari sini matahari senja yang kemerahan tampak bersiap turun dalam peraduan.Dingin dan berangin. Semua itu bagaikan keindahan yang menari dalam sudut benak berbalut duka serta kegetiran tak berujung di sekujur badan. Tanpa beralaskan kaki, seorang bocah terlihat berjalan menerjang ombak pa