Bab 1
[Mulai hari ini dengan segenap kesadaran, Saya Gilang Sentawibara menceraikan istri saya Nia Nirmala dengan talak tiga.]
Gawai mewahku terjatuh dari genggaman. Dada sesak, napas tercekat. Status di F******k suamiku membuat duniaku hitam. Pusing mendera, hingga tak ada kalimat positif yang melintas di dalam kepalaku.
Kling!
Kling!
Kling!
Notifikasi w******p, f******k, SMS dan aplikasi lainnya terus berdering tiada henti. Dengan tangan gemetar mencoba melihat beberapa pesan yang masuk.
[Nia, lihat status suamimu!!!] Chat dari salah satu sahabatku.
[Nia, kalian berantem? Kenapa di publik begini?] Isi chat dari iparku.
[Buk Nia, Pak Gilang kenapa?] Ya Tuhan! Rekan kerja Mas Gilang juga ikut bertanya.
[Dek, kenapa suamimu?] Chat dari Kakak tertuaku.
Ya Allah! Puluhan chat lain menumpuk. Aku tidak berani membukanya lagi. Ada apa dengan Mas Gilang sebenarnya?
Kuabaikan ratusan pesan yang tentunya pertanyaan yang belum bisa aku jawab. Segera kucari kontak Mas Gilang. Berulang kali, aku menghubunginya. Namun, sekalipun tidak masuk.
Mas kamu kemana? Gelisah melanda. Lidah kelu tak bisa berucap. Kaki tak bisa kugerakkan. Apa mungkin ini prank? Tidak! Mana ada prank segila ini. Talak tiga, bukan main-main. Tidak ada kata rujuk kecuali harus menikah dengan pria lain.
Apa jangan-jangan akun Mas Gilang di hack orang? Tidak mungkin juga, kalau iya, pastinya Mas Gilang sudah menghubungiku. Malah sekarang nomornya tidak aktif.
Aaarggh!
Aku menarik napas dalam. Berusaha tenang, meski detak jantung tak lagi normal. Ini ada yang tidak beres. Mas Gilang mencintaiku. Dia tak mungkin membuatku kecewa. Tidak.
Tok! Tok! Tok!
"Nia! Nia! Buka pintunya!" Suara teriakan Ibu mertuaku jelas terdengar.
Dengan langkah gontai menuruni tangga. Uratku menegang, sulit untuk berjalan.
"Nia, buka pintunya, Nak!" teriak wanita yang 12 tahun menjadi mertuaku. Wanita tanpa cacat dan cela. Mencintaiku layaknya putri kandung dia sendiri.
"Sebentar, Bu!" Suaraku parau.
Bergegas kuputar kunci, pintu didorong sebelum kubuka. Wajah mertuaku terlihat panik. Dia mendorong tubuhku pelan untuk masuk ke dalam. Kemudian, kembali mengunci pintu rapat.
"Nia, kamu berantem sama Gilang? Kenapa, Nak? Kenapa harus di publik seperti itu?" todong Ibu mertua. Kuhela napas kasar.
"Tidak, Bu. Nia tidak berantem. Nia juga tidak tahu kenapa bisa begini." Tangisku tumpah seketika.
"Kamu sudah menghubungi Gilang. Ibu berulang kali mencoba, tapi gagal," keluh Ibu dengan wajah lesu.
"Sama, Bu. Mas Gilang juga tidak mengabari Nia. Ditelpon juga nggak nyambung."
"Sebelumnya kalian ada berantem?" tanya Ibu memastikan.
"Tidak, Bu. Kami tidak pernah berantem. Sama sekali tidak pernah," ungkapku.
"Yakin? Kamu tidak melakukan hal yang mengecewakan Gilang, 'kan?" tanya Ibu lagi. Sepertinya dia belum puasa dengan ucapanku.
"Beneran, Bu. Mas Gilang tidak pernah bilang apa-apa. Hubungan kami biasa saja, Bu," balasku yakin.
Ibu menghubungi pihak kantor. Nyatanya Mas Gilang tidak masuk kerja. Semua tugasnya dibebankan pada anak buahnya. Berita lebih mencengangkan, Mas Gilang cuti selama sepuluh hari.
Aku bergegas lari menuju kamar. Biasanya kalau dia pergi ke luar kota atau luar negeri akan membawa banyak perlengkapan. Namun, kali ini dia tidak bilang apa-apa padaku.
"Nia mau kemana?" tanya Ibu. Wanita senja itu berlari mengikutiku menuju kamar.
Kakiku lemas ketika koper Mas Gilang tak tertangkap oleh indera penglihatanku. Kuseret langkah menuju lemari bajunya. Ya Allah, sebagian bajunya tidak berada di tempatnya.
"Bu, Mas Gilang pergi, Bu," lirihku.
"Pergi kemana?" tanya Ibu yang ikutan panik.
"Entah, Bu. Nia tidak tahu." Aku menangis histeris. Ibu berusaha menenangkanku.
"Kapan terakhir kali kalian bertemu?" interogasi Ibu.
"Tadi pagi, Bu. Sebelum Nia berangkat mengajar di panti asuhan. Mas Gilang tidak pesan apa-apa. Dia bersikap biasa saja. Tadi pagi memang duluan Nia yang berangkat," ungkapku pada mertua.
"Ini aneh. Kenapa Gilang seperti ini?"
"Bu, kita cari Mas Gilang, ya? Ayo Bu!" rengekku.
"Kita cari kemana, Nia?" tanya Ibu bingung.
"Nggak mau tahu, Bu. Nia harus ketemu sama Mas Gilang. Nia harus tanya kejelasan talak itu, Bu. Nia malu masalah ini diketahui semua orang ...."
"Ya, seantero negeri," sahut ibu mertuaku.
"Bu, Ayo!" Aku bangkit dan meraih pergelangan Ibu mertuaku. Dia tidak protes mengikutiku turun ke lantai dasar rumahku.
"Nak, kita mau cari Gilang kemana? Sebentar lagi malam, Nia. Percuma saja muter-muter nggak jelas," ucap mertuaku pelan. Dibelainya wajahku berulang kali.
Aku terus merenggek bak anak kecil tak kebagian permen. Pokoknya, aku harus mencari keberadaan Mas Gilang. Aku tidak bisa diperlakukan seperti ini. Malu sampai ke ubun-ubun.
Kling!
Kling!
Kling!
Notifikasi WhatsAppku dan Ibu berbunyi berbarengan. Chat masuk dari grup keluarga besar Mas Gilang.
[Nia, Gilang kenapa? Kamu dimana sekarang?] Pertanyaan dari kakak tertua Mas Gilang.
[Kak Nia! Yang sabar ini belum tentu benar.] Ucapan penyemangat dari adik bungsu Mas Gilang.
[Iya, Mbak. Mungkin F* Mas Gilang di hack orang tak bertanggung jawab. Mas Gilang itu baik, sangat baik.] Kalimat pujian dari ipar Mas Gilang.
Arrrghhh!
"Bu, semua orang sudah tahu masalah ini? Apa salah Nia, Bu?" tanyaku dengan isakan tangis.
Ibu tidak menjawab. Jemarinya menari-nari atas benda pipih kesayangannya. Entah apa yang dia lakukan. Setelah, jemarinya lepas dari layar gawai. Suara notifikasi whatsAppku kembali berbunyi.
[Ibu dan Nia di rumah Gilang. Tidak ada yang tahu kemana Gilang. Keadaan Nia memprihatinkan.]
Ternyata, ibu dari tadi membalas pesan di group keluarganya.
Hanya butuh beberapa detik, balasan dari keluarga Mas Gilang.
[Nia dan Ibu tetap di rumah. Kami akan ke sana. Jangan kemana-mana, sebentar lagi malam.] Kakak tertua Mas Gilang mengingatkan.
Kuhempaskan tubuh ke sofa. Aku tak tahu bagaimana cara menumpahkan lara. Nyeri dada tak mampu kulukis dengan kata.
"Bu, tampar Nia, Bu! Tampar," pintaku pada mertua. Aku berharap, jika ini semua hanya mimpi.
Ibu mertua meletakkan gawainya atas meja. Melangkah mendekat. Dijatuhkan bokongnya di dekatku. Bukan tamparan yang kuterima. Namun sentuhan halus.
"Nak, tenang. Ibu panik juga, kita semua malu dengan ulah Gilang. Kamu tenang, kalau kamu panik, Ibu juga ikutan panik, Nak." Ibu membingkai wajahku dengan kedua tangan lembutnya. Mata kami beradu, kutemukan keteduhan di dalamnya.
Ditarik tubuhku dalam pelukannya. Diusap punggungku perlahan. Ibu menenangkanku dengan kalimat penyemangat. Ayat-ayat Al-Quran di dengungkan di telingaku. Keluarga Mas Gilang sangat agamis. Segala yang dikerjakan selalu sesuai dengan Hukum Islam. Kelakuan Mas Gilang hari ini, berbanding terbalik dengan kepribadiannya.
"Assalamua'laikum!"
"Nia, Itu suara Lukman," ujar ibu.
Ibu bangkit tanpa menunggu balasan dariku. Dia berjalan tergesa untuk membukakan pintu. Aku hanya mampu berlinang air mata. Pikiran kalut, hati serara diiris sembilu. Detak jantung sama sekali tidak normal.
Aku melirik ke pintu depan. Selain Mas Lukman ada juga Mbak Tari_istrinya. Mereka melangkah mendekat. Mbak Tari menghambur memelukku. Tangisku kembali tumpah.
"Bu, Gilang tidak cerita apa-apa sama Ibu?" selidik Mas Lukman.
"Tidak, Nak. Jumpa dengannya pun minggu lalu, ketika jumpa keluarga," ungkap Ibu.
"Sama kamu, Nia?"
"Ti---tidak ada Mas," jawabku terbata.
"Ini aneh. Sangat aneh. Kalian selama ini baik-baik saja. Kenapa langsung bisa seperti ini?" tanya Mbak Tari.
Aku mengeleng tidak tahu. Mas Gilang tidak pernah menunjukkan tanda apa-apa. Hubunganku dengan Mas Gilang biasa saja. Kami berdua menjalani rumah tangga semestinya. Kesibukan kami juga banyak menyita waktu.
Mas Gilang menjalankan perusahaan keluarga. Kesepakatan bersama keluarganya. Hasilnya cuma perlu dibagikan dengan Ibu. Semenjak Ayah mertua tidak ada lagi. Tanggung jawab merawat Ibu sepenuhnya jatuh di pundak putra-putrinya.
Aku sama sekali tidak keberatan. Bahkan, aku ikut mengurus segala keperluan ibu. Hal itu, membuat semua saudara Mas Gilang menyayangiku tanpa batas dalam kasih sayang. Kalau masalah batasan mahram atau bukan itu poin utama yang harus dijaga dalam keluarga suamiku.
"Assalamua'laikum!"
Bab 2Kami semua serempak melihat ke arah pintu. "biar Ibu yang bukakan, itu Ali." Ibu bangun kembali dan berjalan ke arah pintu. Sekian detik, pintu terbuka. Wajah Ali dan istrinya terlihat oleh netra. Ada juga, Mbak Aisyah dan suaminya. Keluarga Mas Gilang sudah komplit. Hanya saja, si bungsu tidak hadir. Dia sedang menimba ilmu di Mesir. "Ali tidak habis pikir, kemana otaknya Mas Gilang. Beraninya mempermalukan diri sendiri dan keluarga," keluh Ali geram."Tenang, Mas. Mungkin saja, akun Mas Gilang di hack orang," ucap Karina lembut sambil mengusap dada suaminya. Istri solehah. "Mungkin saja. Namun yang jadi pertanyaannya sekarang, Gilang kemana? Kenapa ponselnya nggak aktif?" Mas Lukman memasang ekspresi bingung. Aah! Bukan saja dia yang bingung. Kami semua bingung. Namun, yang paling menderita di sini adalah AKU. "Mbak sudah meminta rekan-rekan Mbak mencari keberadaan Gilang. Semua tenang, ya. Akan ada jalan keluar untuk semua masalah," ujar Mbak Aisyah lembut. Dia mencium ke
Bab 3"Nia! Dengerin kata Mbak. Tenang, kita di sini mencari solusi untuk masalah ini. Tolong jangan seperti anak-anak. Mbak tahu ini menyakitkan. Namun, sabar, Nia." Mbak Aisyah dan Tari merangkulku erat. Membisikkan kata-kata semangat untukku. "Nia ngg---nggak mau pisah dengan Mas Gilang. Nia nggak mau, Mbak," lirihku. "Kalau pun ini perbuatan Mas Gilang ... Ali rasa ada hal yang membuat dia kecewa," timpal Ali yang sedari tadi diam."Mbak yakin masalah anak," sahutku."Tidak, Mas tidak sependapat dengan kalian. Gilang pada prinsipnya bukan lelaki pencundang ....""Mas Lukman! Percaya atau tidak prinsip Mas Gilang tidak seperti dulu lagi, kalau ditinjau dari perbuatannya hari ini," sela Ali. Dia membantah pernyataan kakaknya. "Mbak Nia! Aku tanya sekali lagi sama Mbak Nia. Jawab yang jujur, ya? Mbak Nia ada lakuin apa?" Pertanyaan Ali membuat mataku membulat. Seakan dia menyudutkanku. Kuarahkan pandangan ke tempat duduk Ali. Tatapannya membuat jantungku berpacu lebih cepat. Mala
Bab 4"Sssttt! Ndak baik menduga-duga hal yang buruk. Berdoa yang baik, Nia," gumam ibu pelan."Benar, Nia. Kita berharap kalau akun Gilang dibajak," jawab Mbak Tari."Sependapat dan video di bandara itu menunjukkan Mas Gilang dalam perjalanan mencari rezeki untuk Mbak," sambung Istrinya Ali."Semoga saja," lirihku lesu. Sama sekali tidak bersemangat."Harus optimis. Tak ada angin tak hujan. Gimana ceritanya langsung main talak gitu aja." Nada bicara ibu terdengar ragu.Hah! Angin dan hujannya ada, Bu. Namun, aku tidak mungkin menceritakan pada kalian. Kalimat yang hanya mampu terucap dalam hati.***"Mbak Nia, tadi ada yang telpon berulang kali, karena Mbak nggak jawab pas aku panggil, ya aku angkat saja. Nama kontaknya Nagita, tapi yang bicaranya cowok, Mbak. Pas dia dengar suara aku, di tutup terus," lapor istrinya Ali.Darahku serasa berhenti mengalir dalam beberapa detik. Mendengar ucapan iparku di hadapan seluruh keluarga."Siapa, Nia?" tanya Ibu."Itu suaminya Nagita, Bu. Mungk
Bab 5Mata terus fokus melihat rentetan kejadian yang tak pernah terbayang dalam mimpi sekalipun."Ya Allah, ibu lihat perhiasan yang jadi mas kawin. Itu ... bukannya perhiasaan yang ibu berikan sebagai hadiah pernikahan Mas Gilang dan Mbak Nia," pekik istrinya Ali.Aku bergegas menuju kamar, berlari menaiki tangga dengan sangat cepat. Tujuanku melihat kotak perhiasanku di brankas. Semua keluarga Mas Gilang mengikutiku."Bu, Mas Gilang tega, Bu," aku menjerit histeris. Tubuhku lunglai ke lantai granit yang dingin. Semua perhiasan di brankas ludes. Yang tersisa hanya perhiasan yang diberikan untuk mas kawin."Suruh Gilang pulang hari ini juga, cepat," titah ibu dengan suara parau."Kita hubungi dia di mana?" tanya Ali bingung."Mas, kita bisa inbox atau koment di live Mas Gilang. Mas komen, ya," desak istrinya."Yeah! Livenya berhenti, bu," lirih Ali dengan nada putus asa."Bu, semua perhiasan Nia dibawa sama Mas Gilang. Dia jahat!" Aku menangis tersedu. Bagaimana ini sudah di talak,
"Maafkan Ibu yang gagal mendidik Gilang menjadi lelaki yang bertanggung jawab. Maafkan Ibu, Nia," rintih ibu. Jemarinya meraih jemariku dan menciumnya pelan. Aku mengeleng, tak pantas ibu mencium tanganku."Bu, biarkan saja Mas Gilang itu. Dia pasti akan nyesal nyia-nyiain Mbak Nia ...""Benar, Mas. Dia akan nangis darah saat tahu Mbak Nia hamil," sela istrinya Ali."Nia, kenapa kamu nggak bilang kalau kamu hamil?" tanya Ibu dengan pandangan sayu.Aku mengamati setiap wajah penghuni ruangan. Ada bahagia di balik duka yang tercipta. Mereka bahagia dengan kehamilanku. Hah! Mereka tahu, tapi sekarang tidak ada gunanya lagi."Hamil? Nia hamil, Bu?" tanyaku dengan memasang ekspresi bahagia. Tanganku mengelus perut yang masih rata."Kata dokter Raisa sepertinya Mbak Hamil. Ciri-cirinya seperti itu. Untuk mastiinnya aku udah beli testpack sama Mas Ali, nih!" Iparku yang baik hati memperlihatkan alat tes kehamilan di tangannya."Kamu sudah sanggup bangun, belum?" tanya ibu pelan.Aku mengangg
Ruang tamu rumahku terasa panas. Padahal AC dalam posisi menyala. Kulirik ke segala arah, kedua keluarga sudah berkumpul dalam satu ruangan. Tak ada pembicaraan. Hening. Sebelah kanan ada ibu kandungku dan sebelah kiri posisi ibu mertua. Ah! Masih pantaskah aku menyebutnya ibu mertua. Talak sudah putranya ucapkan. Aku sudah menjadi bekas madunya. Di depanku sudah ada Bapak, Mas lukman, Mbak Tari, Mbak Aisyah dan juga suami. Tak ketinggalan Ali dan istri yang cantik dan baik budi. Mereka semua hidup bahagia tanpa masalah. Aku iri, kehidupan yang lengkap dan sempurna. "Ali, tolong panggilkan Mas Gilang. Kenapa dia lama sekali. Kasian Bapak dan Ibu sudah jauh datang, bukannya istirahat malah harus ditahan di sini," ujar Ibu pada Ali. Tanpa membantah lelaki berhidung mancung itu melangkah menaiki tangga. "Sebenarnya ini bagaimana ya, Bu. Dua hari yang lalu Nia bilang akunnya gilang di apaain itu namanya?" "Dihack, Bu," jawab Mbak Aisyah. "Iya, begitulah. Kenapa kemarin ada video pe
Semua terdiam, mulutku bungkam. Kedua mataku mulai berkaca-kaca. Raut ketakutan bisa dibaca jelas di wajahku. Mertua menjauh, kenapa? Lalu, dengan suara parau dia berkata, "Siapa Nagita?""Siapa, Mbak? Hari itu Mbak bilang itu suaminya Nagita?" Istrinya Ali ikut bertanya."Benar, Ibu saksinya," sambung Ibu. "Perlu kalian tahu, Nagita itu sudah lama menjanda dan suaminya sudah meninggal," beber Mas Gilang. Ya Allah, satu rahasia sudah terungkap.Aku berdiri dengan tubuh gemetar. Hati yang hancur berkeping-keping dilanda ketakutan, tanpa sedikit kegembiraan di hati. Bagaimana caranya aku membela diri? Otakku berpikir keras. Namun buntu. "Kalian lihat, Nia tidak bisa menjawab karena dia salah. Salah besar!""Kamu yang salah, Mas!" sentakku emosi. Dia mempermainkan gejolak amarahku. "Aku yang salah, tolong jelaskan salahku di depan orangtuaku. Ayo!" tantangnya tanpa rasa takut. "Ngomong, sebelum darah tinggi Bapak Naik," desak Bapak.Kutarik napas dalam. Dia meminta perang, maka lebih
Fix, Mas Gilang mengetahui rahasiaku. Semua mata memandang aneh ke arahku. Aku hanya ingin bersenang-senang. Tak lebih, kenapa ujungnya seperti ini? Hiks. "Apa maksud dari semua ini, Nia?" Mertuaku mulai meninggikan suaranya. "Sepertinya aku tahu arah pembicaraan Mas Gilang. Mbak Nia sepertinya selingkuh dengan lelaki yang kontak gawainya di beri nama Nagita. Ya, aku yakin seperti itu. Benar, 'kan?" tanya istrinya Ali pada Mas Gilang. "Tepat! ....""Nia! Benarkah apa yang Gilang tuduhkan," tanya Bapak garang. "Jawab, Nia!" Ibu mendorong pundakku kasar. "Nia tidak akan bisa menjawabnya. Dia pikir, Gilang bodoh nggak bisa mengendus bangkai yang dia simpan. Demi Allah, Gilang mencintai Nia tulus, tanpa embel apa-apa. Namun, Gilang tidak bisa mentoleril perbuatan Nia. Sadis." Tatapan Mas Gilang kosong. "Astaghfirullah, Nia. Kenapa kamu bisa seperti ini? Mas nggak menyangka kamu bisa serendah ini," ucap Mas Lukman berang. "Mbak Nia selamat atas prestasi yang Mbak capai. Geram, pikir
Suasana hening, Nia fokus pada pikirannya yang sulit diurai, sementara Lukman membiarkan Nia tenang sebelum melanjutkan ucapannya. "Sampai kapan ini akan berakhir, Mas?" lirih Nia pelan."Mas tidak menyangka bahwa Gilang belum berhenti untuk merebutmu dari Khanif. Mas bingung mikirin cara agar kita semua hidup tenang," keluh Lukman. Keduanya seakan terperangkap pada beban tanpa ujung. "Bukankah Gilang akan menikah dengan Maya dalam waktu dekat?" selidik Nia. "Menikahi Maya sahabat SMA Khanif?" Lukman mencoba memastikan karena ia belum menerima kabar apa pun tentang hal ini. "Iya, Mas. Aku mendengar hal tersebut dari Maya kemarin. Namun, aku tidak yakin mereka menikah karena cinta." Nia berspekulasi. "Mas akan bicara kepada Gilang mengenai hal ini, perkara perusahaan Khanif yang disabotase Gilang untuk sementara tolong rahasiakan dari Khanif, jangan sampai pikirannya kembali terbeban. Mas akan cari cara agar Khanif tidak tahu bahwa Gilang merupakan dalang dari ini semua," tukas Lu
"Mbak mau kita tinggal serumah?" tanya Daffa yang terkejut dengan permintaan Nia. Nia mengangguk pelan, bola matanya menatap lurus ke arah jalanan yang disesaki bermacam jenis mobil dan sepeda motor. "Ada apa? Kenapa mendadak?" tanya Daffa. Lelaki muda itu merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh kakak tercintanya. "Nggak ada apa-apa, pengen kamu dekat sama Mbak saja. Lagian kamu selama ini sendiri," jawab Nia. Dia masih mencoba menyembunyikan prahara yang merudungnya. "Iya sih, aku sendiri semenjak abang kerja keluar negeri." Daffa membenarkan ucapan Nia. "Jadi tidak ada penolakan, kamu setuju, 'kan?" Nada bicara Nia terdengar mendesak. "Sudah ada izin dari Mas Khanif?" "Sudah, makanya Mbak berani." Nia berbohong pada Daffa. Padahal, Khanif tidak memberikan izin secara jelas akan permintannya. Daffa tersenyum tipis, kedua tangannya tiba-tiba membingkai wajah Nia. "Mbak bahagia dengan Mas Khanif?"Nia menghela napas sejenak, berat untuk menjelaskan gejolak perasaannya saat
"Beneran Maya mau menikah dengan Mas Gilang?" tanya Nia pada Khanif. Khanif menoleh sejenak, lalu fokus pandangan ke depan. Posisinya sedang mengemudi mobil dalam kecepatan cepat karena memburu waktu agar segera sampai ke rumah yang mereka tempati sekarang. "Nggak tahu, Sayang. Memangnya kenapa, cemburu?" tanya Khanif datar. Intonasi suara seakan orang kesal jelas memekik di telinga Nia. "Cemburu? Atas dasar apa?" tanya Nia seraya merebahkan kepalanya ke bahu sang suami. Tatapannya fokus menatap wajah tampan Khanif yang nyaris tanpa ekspresi. "Ntah, mungkin belum bisa move on," ketus Khanif. Nia hendak tertawa, tapi diurungkan. Wanita cantik itu enggan memantik emosi sang suami yang sedang tidak mood diajak bercanda. Nia memuji Khanif setinggi bintang di langit, membelai pelan dada bidang sang suami seraya menghitung kancing kemeja yang membalut tubuh kekarnya. Ya, walaupun ototnya sudah mulai hilang karena sudah sangat jarang olahraga. "Jangan dipikirkankan, aku hanya bertanya,
Hening menyelimuti ruang privat milik Lukman di lantai paling atas bangunan pencakar langit miliknya. Ruang itu digunakan untuk acara penting dengan tamu yang tentunya khusus dan spesial. Lukman duduk bersila di depan Khanif dan Nia, tidak bicara. Namun, tatapan matanya tertuju pada Khanif yang sibuk menatap indahnya hamparan puncak gunung dari balik kaca gedung. "Apakah kalian datang hanya untuk berdiam diri?" Lukman bertanya dengan nada santai. "Begini, Mas. Khanif ...," Ucapan Nia terjeda karena Khanif berdehem dengan sorot mata tajam ke arahnya. "Mas Khanif setuju bekerja di perusahaan Mas Lukman." Nia menambah embel Mas di belakang nama Khanif. Hampir saja ia melupakan perjanjian mereka sebelumnya. Lukman yang menyadari adanya progres dalam hubungan sang adik hanya mampu mengulum senyum bahagia. "Apakah yang disampaikan Nia itu benar?" "Iya, Mas," jawab Khanif singkat. "Sejak kapan kamu pelit bicara? Apakah Nia sekarang menjadi juru bicara kamu?" goda Lukman dengan tawa r
Trauma, Nia harap rasa itu segera menghilang dalam diri Khanif. Dia sudah tidak sabar mereguk indahnya jalinan cinta yang semestinya. Dia mulai bosan kala aktivitas malam hanya berbaring tanpa cerita mesra. Terkadang, sisi buruk mengajaknya untuk menyerah. Namun, sisi baik selalu menjadi penengah. "Sayang, bangun! Katanya mau jenguk ibu, kok tidur lagi?" Nia menatap wajah Khanif yang kembali terlelap. Wanita cantik itu baru saja keluar kamar mandi, tubuhnya dibalut handuk putih yang menutupi area dada sampai pangkal paha. "Sayang, bangun, Sayang," desah Nia manja. Perlahan tangannya menyentuh pipi Khanif. Ekpresi wajah Nia langsung berubah. Wajah Khanif terasa panas. "Astaghfirullah! Kamu sakit, Mas?!" pekik Nia. Jemari Nia berpindah ke dahi Khanif. "Mas, sakit, ya!" "Engh ..., tidak. Aku hanya sedikit pusing." Khanif membuka matanya perlahan. "Ya sudah, Sayang lanjut tidur. Nanti setelah mendingan kita ke rumah sakit. Aku ambilkan kain kompres dulu." Nia terlihat panik. Khanif m
Nia duduk di depan cermin rias, bukan karena ingin meneliti setiap lekuk wajahnya. Namun, memantau Khanif yang duduk di sisi ranjang, layar gawai menyala dalam genggamannya. Namun, fokusnya terpusat ke arah lainnya. Untuk kesekiankalinya Khanif duduk termenung tanpa menghiraukan kehadiran Nia di sampingnya. Perasaan Nia seakan ditarik ulur dengan sikap Khanif yang bisa berubah dengan sangat cepat. Seperti malam ini, harusnya Khanif mengarahkan perhatiannya pada Nia yang sejak tadi berusaha menggoda. Lingerie tipis berenda membalut tubuhnya, setiap lekuk tubuh menguncang birahi. Namun, Khanif diam seolah Nia tidak terlihat oleh pandangannya. Khanif terlalu larut dalam beban pikiran dan melupakan hal indah yang seharusnya dilakukan bersama Nia. "Sayang ...." Panggil Nia lembut.Khanif menoleh dengan begitu cepat, mengulas senyum menawan, mencoba menyembunyikan gumpalan beban yang menyesaki alam pikirannya. Bukannya ia melupakan Nia, tapi ketakutan dan kegelisahannya telah mengikis kew
Sesampai di Mall, Nia turun seorang diri, Khanif memilih menunggu di mobil. Dia sedikit nyaman karena mengetahui Gilang berada di luar negeri. Lelaki itu merasa tidak nyaman dengan kondisi fisiknya yang acak-acakan. "Sebentar ya, Sayang," ujar Nia seraya mengecup pelan pucuk kepala Khanif. "Jangan lama-lama," tukas Khanif pelan. "Nggak kok sebentar, ada titipan?" tanya Nia bersemangat. Khanif mengeleng pelan, ia meminta Nia untuk berhati-hati. "Hubungi aku jika ada masalah." "Siap, Sayang," balas Nia seraya menjauh. Kakinya melangkah memasuki Mall. Kaki jenjang Nia fokus melangkah ke gerai baju pria, ia berniat mencarikan baju untuk Khanif. Sifat penyayang Nia memang sudah terbukti, hanya saja keadaan yang seakan tidak berpihak padanya. "Selamat datang, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" sapa pegawai mall dengan ramah. Nia melempar senyum seraya mengungkapkan keinginannya. "Silakan ikut saya," ujar gadis di depan Nia dengan sopan. Khanif tidak enak hati membiarkan Nia belanja s
Ibu, sinar kasih dalam senyum lembut, penuh pengorbanan seperti embun pagi meresapi bunga kehidupan. Dalam tatapannya, dunia terhampar seperti lautan tak terhingga, tiada batas untuk cinta yang mengalir dalam setiap detiknya. Ia adalah pelindung setia, tempat berlindung dari badai hidup, dan sang pemandu dalam lorong gelap. Ibu, nyanyian lembut yang mengalun dalam setiap doa, mengukir jejak keabadian di hati yang mencintai."Ibu kenapa?" tanya Khanif dengan panik. Kalimat yang pertama kali ia lontarkan ketika melihat wanita yang melahirkannya tersebut terbaring lemah di atas ranjang. "Bu, kenapa ibu tidak menjawab. Ibu sakit apa? Dimana yang sakit?" Khanif meraba seluruh tubuh sang ibu dengan gelisah. Namun, tidak ada jawaban, hanya bulir bening yang mengalir di kedua sudut mata sayunya. "Khanif datang, Bu." Lukman menimpali seraya mendekati ranjang sang ibu. "Untuk apa ia ke sini?" Pertanyaan yang membuat Khanif kaget. Spontan melirik ke arah Nia dan Lukman secara bergantian. "Bu
"Kamu sudah gila, hah?" gumam Nia dengan bibir bergetar. "Aku gila dan trauma karena kehilangan kamu, Nia," Balas Khanif pelan. Nia membingkai wajah Khanif dengan kedua tanganya. "Kamu mencintaiku?" Untuk beberapa saat mata mereka beradu, banyak cerita yang sulit diurai menjadi kata hanya bisa dicerna oleh ia yang paham akan rasa. "Aku mohon kesekian kali, kita jalani hidup yang normal. Aku mau kita bulan madu." Permintaan indah, tapi sayang di waktu yang tidak tepat. Mata Khanif membelalak kaget. Untuk beberapa saat ia terdiam. Batin Khanif bergejolak hebat, napsu dengan pikirannya berdebat keras. Perasaan mengambang tidak jelas, bibir bergerak. Akan tetapi, tidak ada suara yang terdengar, hanya leguhan samar tanpa makna. "Kamu butuh ketenangan. Jangan anggap bulan madu kalau kamu keberatan. Anggap saja ini healing atau liburan. Aku takut kesehatan mentalmu semakin terganggu," ucap Nia cemas. "Apakah harus keluar negeri?" tanya Khanif ragu. "Tidak sih, tapi menurutku keluar n