Bab 5
Mata terus fokus melihat rentetan kejadian yang tak pernah terbayang dalam mimpi sekalipun.
"Ya Allah, ibu lihat perhiasan yang jadi mas kawin. Itu ... bukannya perhiasaan yang ibu berikan sebagai hadiah pernikahan Mas Gilang dan Mbak Nia," pekik istrinya Ali.
Aku bergegas menuju kamar, berlari menaiki tangga dengan sangat cepat. Tujuanku melihat kotak perhiasanku di brankas. Semua keluarga Mas Gilang mengikutiku.
"Bu, Mas Gilang tega, Bu," aku menjerit histeris. Tubuhku lunglai ke lantai granit yang dingin. Semua perhiasan di brankas ludes. Yang tersisa hanya perhiasan yang diberikan untuk mas kawin.
"Suruh Gilang pulang hari ini juga, cepat," titah ibu dengan suara parau.
"Kita hubungi dia di mana?" tanya Ali bingung.
"Mas, kita bisa inbox atau koment di live Mas Gilang. Mas komen, ya," desak istrinya.
"Yeah! Livenya berhenti, bu," lirih Ali dengan nada putus asa.
"Bu, semua perhiasan Nia dibawa sama Mas Gilang. Dia jahat!" Aku menangis tersedu. Bagaimana ini sudah di talak, suami menikah lagi dan sekarang satu pun harta tidak tersisa. Apakah kamu sengaja, Mas?
Ali mendengkus kesal. Dia menceracau tak jelas. Tentunya mengumpat kelakuan kakanya memalukan.
"Bilang sama Gilang ibu sudah mati!" jerit Ibu. Dia tersungkur di sampingku.
Suara derap langkah orang berlari mendekat ke arah kami. Rupanya Mas Lukman dan Mbak Tari.
Mas Lukman dengan sigap membopong tubuh ibu ke atas ranjang.
"Tak ada ampun lagi bagi Gilang. Ini keterlaluan. Mencoreng muka keluarga kita. Kemana otaknya?" Mas Lukman terlihat murka.
"Hubungi dia segera. Katakan padanya ibu sudah mati," desak ibu.
"Bu, tidak baik berkata yang tidak-tidak. Setiap perkataan adalah doa." Mas Lukman mengingatkan. Dia mengeleng tak setuju.
"Lukman. Kita tidak bisa menunggu delapan hari lagi. Itu terlalu lama. Kirimkan pesan kepadanya segera. Ibu mau lihat, apakah anak yang ibu besarkan dengan susah payah masih punya hati atau tidak!" tegas ibu dengan helaan napas berat.
"Mas, Ibu ada benarnya. Kita tidak bisa menunggu kepulangan Mas Gilang. Itu terlalu lama. Kita bisa stres di sini." Ali setuju dengan rencana ibu.
Setelah berembuk, semuanya sepakat. Ali mengirimkan pesan untuk Mas Gilang berisi kalimat tentang kematian ibu. Aku juga tak sabar mempertanyakan hal yang melintas di otakku.
"Hubungi orang tua kamu, Nia. Kita akan selesaikan ini segera," lirih ibu.
Aku hanya mengangguk pelan. Sakit hatiku bagai ditusuk jutaan pedang dalam sekali tusukan.
"Mbak Nia, lihat status terbaru Mas Gilang!" Ali menyodorkan gawainya ke arahku.
[Kepercayaan itu sesuatu yang tak terlihat, tapi berharga. Akan ada masa yang disi-siakan berhenti mencintai dan menyia-nyiakan baru mulai baru mencinta. Tak ada pasangan yang sempurna. Namun, kesempurnaan itu dimana kita bisa menerima kekurangan dan kelebihan pasangan kita.]
Ya Allah! Apa Mas Gilang tahu rahasia yang telah aku tutup rapat?
Gawai ibu terus berdering. Ini baru satu jam berlalu dari peristiwa memalukan itu. Nomor asing yang tak tertera di kontak.
"Biar Lukman yang angkat." Mas Lukman meraih gawai Ibu di lantai.
"Pecundang, pulang segera! Bikin malu saja," gerutu Mas Lukman. Wajahnya memerah bak kepiting rebus. Aku yakin itu Mas Gilang.
"Untuk apa peduli sama ibu. Nggak perlu bicara panjang lebar. Pulang segera! Kami tunggu kepulanganmu di rumahmu, " ujar Mas Lukman. Tangannya terkepal menahan amarah.
"Mas, aku ingin bicara," ujarku seraya merampas gawai di telinga Mas Lukman.
"Halo, halo Mas ...."
Tuts! Tuts! Tuts!
Sialan, sambungan teleponnya dimatikan. Kenapa dia bisa berubah seaneh ini?
"Dimatikan," ucapku lesu.
"Sabar, Nia. Gilang akan pulang. Kita tunggu saja," ujar Mas Gilang datar.
Mas Lukman memapah ibu keluar dari kamarku. Tak ada pembicaraan apa-apa lagi. Semua larut dalam pikiran masing-masing. Tidak sabar menunggu kepulangan Mas Gilang.
Aku duduk termenung di balkon kamar, terik matahari membakar kulit. Jarum jam di dinding kamar berada di angka tiga. Kupandangi pepohonan yang di tiup angin. Apakah ini cara Mas Gilang membalas perbuatanku? Apa mungkin dia mengetahui semuanya? Tidak mungkin! Dia terlalu percaya padaku. Setiap yang aku lakukan selalu rapi tanpa cela. Tidak mungkin dia mengetahui itu. Pikiran berkecamuk dalam dada. Menghadirkan getar yang tak biasa.
Kling!
Kling!
Segera kusambar gawai di sampingku berharap itu kabar dari Mas Gilang. Namun, harapanku patah. Chat dari kontak bernama Nagita.
[Suamimu kenapa, Dek?]
[Apa dia tahu sesuatu tentang kita?]
Aaarrrggh! Kenapa harus pertanyaan lain di saat kepalaku penuh dengan tanda tanya.
[Jangan hubungi aku lagi!]
Aku segera memblokir kontak yang bernama Nagita. Fokus pada masalahku. Aku hanya ingin bersenang-senang. Kenapa ujungnya seperti ini? Kutarik jilbabku kasar. Kubuang ke sebarang tempat. Membiarkan angin memainkan mayang hitamku.
Kuhirup oksigen dalam lalu melepasnya pelan. Aku tak sanggup menjalani hidup tanpa Mas Gilang. Kembali hidup seperti dulu, tidak berkelas dan mewah. Tak ada barang branded. Tidak! Aku tidak sanggup!
Aku sering meringkuk di ranjang sendirian. Melepas tangis pada bantal yang tak bisa berbuat apa-apa. Menceritakan lara pada bintang-bintang malam. Mencoba menjadi istri solehah, agar tak sia-sia ilmu agama yang aku pelajari.
Aku dan Mas Gilang sama-sama memiliki kekurangan dalam berumah tangga. Tidak ada yang sempurna, benar, di dunia ini tidak ada yang sempurna. Aku mencintai Mas Gilang dengan segala kekurangan dan kelebihan. Namun, tatkala kita merasa terabai, akankah cinta itu senantiasa bertahta? Aku ragu dengan cintaku padanya. Tulus atau hanya modus menikmati kekayaannya yang melimpah ruah.
Terkadang, aku tidak tidur sampai larut malam. Hanya untuk menunggu suamiku pulang. Tak jarang aku sampai terlelap di sofa. Entah apa kesibukannya sampai dia harus pulang larut malam. Padahal dia pemilik perusahaan. Sering kupertanyakan, banyak kerjaan menjadi alasan.
Awalnya aku bisa sabar dengan sikap Mas Gilang. Pendiam dan tidak banyak bicara. Romantis di lima tahun pernikahan. Namun, semakin ke depan semuanya memudar dengan kesibukan masing-masing. Apa itu karena masalah anak?
Tidak, jawabannya kala itu. Ah! Bukan sekali, ratusan kali jawabannya seperti itu. Aku mencintaimu karena Allah, kalimat yang selalu didengungkan di telinga. Hidupnya menonton, berbeda denganku yang menyukai perubahan.
Sering berpikir, haruskah ikatan ini aku akhiri? Namun, aku terlalu bergantung padanya. Semua keperluanku ditanggung olehnya. Dia terlalu agamis, banyak batasan yang tak boleh dilakukan. Tentunya aku mudah bosan.
Semua kekecewaanku kukubur dalam. Pikiranku sering tak sejalan dengannya. Namun, mencoba mengulas dalam senyum seakan tidak terjadi apa-apa. Memang Mas Gilang tidak KDRT. Namun, hati seiring teriris dengan kelakuannya. Uh! Aku tak tahu, apakah ini murni kesalahannya? Atau memang permasalahan ini semua berawal dariku.
***
"Astaghfirullah!" pekik Mbak Aisyah.
"Ada apa, Mbak?" tanya Ali.
"Ada kawan Mbak bagiin berita si Gilang. Yang kita takutkan terjadi," gumam Mbak Aisyah lemas.
"Seorang pengusaha ternama menalak istrinya melalui aplikasi F*," baca Ali.
Aku tak mampu berbicara lagi. Lidah kelu. Kehabisan kata-kata dengan hal ini. Orang tuaku dalam perjalanan menuju ke sini. Saat ini lebih memilih meringkuk di atas sofa.
"Ini lagi, Mbak, di youtube juga ada. Wow, model talak zaman now," ucap Ali. Matanya fokus menatap layar gawainya.
"Ih! Mbak baca komennya!" Istri Ali menyodorkan gawainya ke depan mataku.
[Padahal pengusaha, tapi attitudenya kok begini?]
[Talak zaman Now.]
[Gilaa! Pengusaha kaya kok gila? Siniin bini lu untuk gue.] Di ikutin emoticon ketawa.
[Hal sakral jadi konsumsi publik. Imannya mana, Pak?]
[Nggak ada iman!]
[Salah istrimu apa, Pak? Kok mainnya sadis begini?]
[Ya Allah, nggak malu tuh, Pak. Masalahnya diumbar gitu?]
[Suami pencundang, bilang saja mau cari daun muda. Nggak punya hati!]
[Dunia mau kiamat. Ada aja kelakuan manusia.]
[Selamat bro! Lu jadi pecetus pertama dari Indonesia menalak istri lewat F*.]
Aku tak kuat membaca ribuan komentar penguna media sosial. Kutepis tangan istrinya Ali untuk mengeser gawai di hadapanku. Kusandarkan tubuh ke sofa.
"Nasi sudah menjadi bubur. Tak ada yang bisa dilakukan lagi," tutup Mbak Aisyah.
"Yo, tinggal tambahin suwiran daging ayam biar enak dimakan," canda Ali. Alhasil tangan Mbak Aisyah menghantam kepalanya.
"Huush! Mas, jaga bicaramu," desis istrinya.
"Abisnya, kalau serius terus meletus kepalaku, Mbak. Kelakuan Mas Gilang mempengaruhi ruang gerakku," keluh Ali. Dia menyugar rambutnya frustasi.
"Sabar, beberapa jam lagi Gilang harusnya sudah sampai. Kita hajar sampai mampus," ketus Mbak Aisyah.
"Setuju," jawab Ali Garang.
Ibu menutup telinga, dia tak sanggup lagi mendengar berita buruk tentang putranya. Memilih menyandarkan kepala ke pinggir sofa. Menyedihkan. Terkukung dalam rasa penasaran.
Air mata kembali lolos dari pelupuk mata. Kalimat talak itu terekam jelas dalam ingatanku. Tiba-tiba saja, mual bergejolak hebat. Sampai isi perut tumpah saat langkah belum mencapai kamar mandi. Seluruh keluarga panik dengan dengan kondisiku. Denyar-denyar kepala sungguh menyiksa.
Ibu membalurkan minyak putih di tekuk. Mbak Aisyah sibuk mengambilkan air. Beberapa menit berada di kamar mandi. Sampai seluruh isi perut keluar tanpa sisa. Mata mulai berkunang.
"Ini gara-gara Mbak nggak makan dari kemarin," protes istrinya Ali.
"Bener, Dek. Siapkan makanan, ya," pinta Mbak Aisyah.
"Sekalian pangilkan Dokter Raisa!" teriak Mbak Aisyah.
"Nggak perlu, aku nggak perlu dokter, Mbak. Aku perlu Mas Gilang," lirihku dengan derai air mata. Pipiku mulai terasa panas. Sekujur tubuh dibasahi peluh.
"Kamu sakit, Nia. Jangan membantah," ujar Mbak Aisyah.
Aku bangkit hendak kembali ke ruang tamu. Namun, tubuhku sempoyongan. Ibu membantu memapahku berjalan menuju sofa. Sayangnya beberapa langkah lagi mencapai tujuan. Tungkaiku lemas tak berfungsi. Pandangan semakin kabur hitam. Aku seperti masuk dalam gulungan benang tanpa simpul. Gelap. Hanya terdengar sayup suara keluarga Mas Gilang memanggil namaku.
***
"Mas Gilang!" pekikku histeris. Aku terbangun dengan peluh di mengalir di dahi. Mendapati diri berada di kamar bawah.
"Sabar, Nak. Gilang masih dalam perjalanan," desah ibu pelan. Dia membelai pucuk kepalaku pelan.
"Mas Gilang, Bu. Bilang sama Mas Gilang jangan ceraikan Nia, Bu," renggekku. Meski aku tahu semua itu tak bisa ditarik kembali.
Ibu hanya mengusap pundakku pelan. Dia kembali terisak, luka hatinya sangat dalam. Sungguh tak kuasa menantap wajah sang pemilik surga.
Aku tidak mendapati ipar-iparku. Kemana mereka?
"Maafkan Ibu yang gagal mendidik Gilang menjadi lelaki yang bertanggung jawab. Maafkan Ibu, Nia," rintih ibu. Jemarinya meraih jemariku dan menciumnya pelan. Aku mengeleng, tak pantas ibu mencium tanganku.
"Bu, biarkan saja Mas Gilang itu. Dia pasti akan nyesal nyia-nyiain Mbak Nia ..."
"Benar, Mas. Dia akan nangis darah saat tahu Mbak Nia hamil," sela istrinya Ali.
"Nia, kenapa kamu nggak bilang kalau kamu hamil?" tanya Ibu
"Maafkan Ibu yang gagal mendidik Gilang menjadi lelaki yang bertanggung jawab. Maafkan Ibu, Nia," rintih ibu. Jemarinya meraih jemariku dan menciumnya pelan. Aku mengeleng, tak pantas ibu mencium tanganku."Bu, biarkan saja Mas Gilang itu. Dia pasti akan nyesal nyia-nyiain Mbak Nia ...""Benar, Mas. Dia akan nangis darah saat tahu Mbak Nia hamil," sela istrinya Ali."Nia, kenapa kamu nggak bilang kalau kamu hamil?" tanya Ibu dengan pandangan sayu.Aku mengamati setiap wajah penghuni ruangan. Ada bahagia di balik duka yang tercipta. Mereka bahagia dengan kehamilanku. Hah! Mereka tahu, tapi sekarang tidak ada gunanya lagi."Hamil? Nia hamil, Bu?" tanyaku dengan memasang ekspresi bahagia. Tanganku mengelus perut yang masih rata."Kata dokter Raisa sepertinya Mbak Hamil. Ciri-cirinya seperti itu. Untuk mastiinnya aku udah beli testpack sama Mas Ali, nih!" Iparku yang baik hati memperlihatkan alat tes kehamilan di tangannya."Kamu sudah sanggup bangun, belum?" tanya ibu pelan.Aku mengangg
Ruang tamu rumahku terasa panas. Padahal AC dalam posisi menyala. Kulirik ke segala arah, kedua keluarga sudah berkumpul dalam satu ruangan. Tak ada pembicaraan. Hening. Sebelah kanan ada ibu kandungku dan sebelah kiri posisi ibu mertua. Ah! Masih pantaskah aku menyebutnya ibu mertua. Talak sudah putranya ucapkan. Aku sudah menjadi bekas madunya. Di depanku sudah ada Bapak, Mas lukman, Mbak Tari, Mbak Aisyah dan juga suami. Tak ketinggalan Ali dan istri yang cantik dan baik budi. Mereka semua hidup bahagia tanpa masalah. Aku iri, kehidupan yang lengkap dan sempurna. "Ali, tolong panggilkan Mas Gilang. Kenapa dia lama sekali. Kasian Bapak dan Ibu sudah jauh datang, bukannya istirahat malah harus ditahan di sini," ujar Ibu pada Ali. Tanpa membantah lelaki berhidung mancung itu melangkah menaiki tangga. "Sebenarnya ini bagaimana ya, Bu. Dua hari yang lalu Nia bilang akunnya gilang di apaain itu namanya?" "Dihack, Bu," jawab Mbak Aisyah. "Iya, begitulah. Kenapa kemarin ada video pe
Semua terdiam, mulutku bungkam. Kedua mataku mulai berkaca-kaca. Raut ketakutan bisa dibaca jelas di wajahku. Mertua menjauh, kenapa? Lalu, dengan suara parau dia berkata, "Siapa Nagita?""Siapa, Mbak? Hari itu Mbak bilang itu suaminya Nagita?" Istrinya Ali ikut bertanya."Benar, Ibu saksinya," sambung Ibu. "Perlu kalian tahu, Nagita itu sudah lama menjanda dan suaminya sudah meninggal," beber Mas Gilang. Ya Allah, satu rahasia sudah terungkap.Aku berdiri dengan tubuh gemetar. Hati yang hancur berkeping-keping dilanda ketakutan, tanpa sedikit kegembiraan di hati. Bagaimana caranya aku membela diri? Otakku berpikir keras. Namun buntu. "Kalian lihat, Nia tidak bisa menjawab karena dia salah. Salah besar!""Kamu yang salah, Mas!" sentakku emosi. Dia mempermainkan gejolak amarahku. "Aku yang salah, tolong jelaskan salahku di depan orangtuaku. Ayo!" tantangnya tanpa rasa takut. "Ngomong, sebelum darah tinggi Bapak Naik," desak Bapak.Kutarik napas dalam. Dia meminta perang, maka lebih
Fix, Mas Gilang mengetahui rahasiaku. Semua mata memandang aneh ke arahku. Aku hanya ingin bersenang-senang. Tak lebih, kenapa ujungnya seperti ini? Hiks. "Apa maksud dari semua ini, Nia?" Mertuaku mulai meninggikan suaranya. "Sepertinya aku tahu arah pembicaraan Mas Gilang. Mbak Nia sepertinya selingkuh dengan lelaki yang kontak gawainya di beri nama Nagita. Ya, aku yakin seperti itu. Benar, 'kan?" tanya istrinya Ali pada Mas Gilang. "Tepat! ....""Nia! Benarkah apa yang Gilang tuduhkan," tanya Bapak garang. "Jawab, Nia!" Ibu mendorong pundakku kasar. "Nia tidak akan bisa menjawabnya. Dia pikir, Gilang bodoh nggak bisa mengendus bangkai yang dia simpan. Demi Allah, Gilang mencintai Nia tulus, tanpa embel apa-apa. Namun, Gilang tidak bisa mentoleril perbuatan Nia. Sadis." Tatapan Mas Gilang kosong. "Astaghfirullah, Nia. Kenapa kamu bisa seperti ini? Mas nggak menyangka kamu bisa serendah ini," ucap Mas Lukman berang. "Mbak Nia selamat atas prestasi yang Mbak capai. Geram, pikir
Mataku mengikuti arah kakinya. Melangkah menaiki tangga menuju kamar. Dia sama sekali tidak menaruh iba padaku. Kuakui ini adalah kesalahan dari pihakku. Namun, aku memastikan bahwa penyebabnya adalah dari lelaki itu. Dia yang tidak mampu menjadi suami yang sempurna untukku."Mbak Aisyah, tolong pesankan makanan yang banyak nanti malam. Ayam bakar, Daging sapi rica-rica, dua itu kesukaan calon suami Nia yang baru. Pokoknya yang mewah. Kita menunggu kedatangan tamu spesial." Aku terperanjat dengan ucapannya. Dia terlalu jauh mengetahui hubunganku. Langkahnya kembali dilanjutkan, hingga tubuhnya tak mampu terlihat oleh indera penglihatanku."Apaan ini? Apa dia mau membawa pulang istri barunya?" tanya Mbak Aisyah. Sayang, tidak ada yang mampu menjawab. Mereka saling pandang, menunggu dalam rasa penasaran yang menggunung. "Huh! Terpaksa menginap semalam lagi," dengkus Ali pada istrinya. "Ini gara-gara Mbak Nia! Kenapa, Mbak? Apa yang kurang dari Mas Gilang? tanya istrinya Ali. Wanita c
PART 11Kami semua sudah menunggu di meja makan. Sama seperti perintah Mas Gilang. Tak ada komunikasi antara aku dan keluarganya. Ibu mertua yang selama ini membelaku memilih diam dan duduk menjauh dariku. Ali sibuk bercanda dengan istrinya. Mbak Aisyah masih di dapur dengan suaminya. Sedangkan, Mas Lukman dan Mbak Tari fokus menatap layar gawai mereka. "Ini udah jam delapan, Gilang juga belum pulang. Kemana dia?" tanya Bapak. Matanya terus menatap ke arah depan. "Sabar, Pak. Gilang dalam perjalanan pulang," jawab Mbak Aisyah. "Setelah semuanya selesai, kemasi pakaianmu, ikut Bapak pulang ke kampung," lirih Bapak. "Aku nggak mau, Pak. Ini rumahku," sergahku cepat."Ingat, Nduk. Kamu sudah ditalak. Jangan permalukan Ibu lagi." Suara Ibu terdengar serak dan berat.Berusaha mengontrol otak untuk tetap tenang. Aku salah dalam hal ini. Mas Gilang juga lebih salah. Aku tidak mau hancur seorang diri." Mas Gilang datang!" seru Ali. Aku melempar pandangan ke arah Mas Gilang. Sialan, dia
Part 12Mas Gilang menjelaskan benda-benda yang dia letakkan di atas meja. Gawaiku yang dijambret ketika liburan bersamanya. Berhari-hari dilanda ketakutan akan isi di dalamnya disebarluaskan. Namun, bisa bernafas lega, tidak terjadi apa setelah itu. Huh! Kenapa gawai itu bisa di tangan Mas Gilang?"Lingerie yang Aldo beli untuk aku pakai saat bercinta dengannya. Aarrgh! Kenapa dia sampai tahu lingerie yang kusimpan rapat dalam lemari pribadiku. Testpack yang aku gunakan untuk tes urine bulan lalu. Kenapa juga bisa ada di tangannya?"Sekarang sudah jelas, 'kan? Nia mengkhianatiku dengan bawahanku. Harga diriku sudah hancur, reputasiku apa lagi. Seorang istri direktur yang kaya raya selingkuh dengan pegawai rendahan. Tak sangup lagi berkata, hidupku sudah hancur." Mas Gilang menarik rambutnya kasar. Ali segera memeluk Kakaknya. Ternyata dia terluka dengan kelakuanku. Sungguh, tak ada maksud hati berpisah dengannya. Aku hanya ingin menuntaskan hasrat yang 12 tahun tak terpenuhi dengan
Aarrrghhh! "Tidak, aku tidak ingin lagi berhubungan denganmu. Pulang bersama orang tuamu. Aku butuh waktu menenangkan pikiran," ujarnya dengan kilatan kemarahan di sorot matanya. "Pak, jangan pecat saya. Bagaimana dengan masa depan saya?" rengek Aldo di kaki Mas Gilang. "Terserah! Aku tidak ingin memiliki bawahan sampah sepertimu!" Aldo ditendang menjauh, hingga cekalan tangannya terlepas dari kaki lelaki yang pengampunannya masih kuharapkan. Suasana semakin menegangkan. Tubuhku basah oleh peluh yang bercucuran. Ali menyeret Aldo keluar. Teriakannya membuat bulu kudukku merinding. "Bapak dan Ibu tenang saja, meski Aku bukan lagi menantu kalian. Uang bulanan tetap seperti biasa, ya. Pak. Biaya kuliah Daffa dan Raka akan aku tranfer seperti biasa," ungkap Mas Gilang. Ya Allah! Aku menyia-nyiakan lelaki sebaik dia. Mas Gilang masih peduli dengan keluargaku. "Tidak perlu, Nak. Nia sudah menyakiti kamu. Malu Bapak, Nak," lirih Bapak. Disudut matanya mengantung bulir bening yang hend
Suasana hening, Nia fokus pada pikirannya yang sulit diurai, sementara Lukman membiarkan Nia tenang sebelum melanjutkan ucapannya. "Sampai kapan ini akan berakhir, Mas?" lirih Nia pelan."Mas tidak menyangka bahwa Gilang belum berhenti untuk merebutmu dari Khanif. Mas bingung mikirin cara agar kita semua hidup tenang," keluh Lukman. Keduanya seakan terperangkap pada beban tanpa ujung. "Bukankah Gilang akan menikah dengan Maya dalam waktu dekat?" selidik Nia. "Menikahi Maya sahabat SMA Khanif?" Lukman mencoba memastikan karena ia belum menerima kabar apa pun tentang hal ini. "Iya, Mas. Aku mendengar hal tersebut dari Maya kemarin. Namun, aku tidak yakin mereka menikah karena cinta." Nia berspekulasi. "Mas akan bicara kepada Gilang mengenai hal ini, perkara perusahaan Khanif yang disabotase Gilang untuk sementara tolong rahasiakan dari Khanif, jangan sampai pikirannya kembali terbeban. Mas akan cari cara agar Khanif tidak tahu bahwa Gilang merupakan dalang dari ini semua," tukas Lu
"Mbak mau kita tinggal serumah?" tanya Daffa yang terkejut dengan permintaan Nia. Nia mengangguk pelan, bola matanya menatap lurus ke arah jalanan yang disesaki bermacam jenis mobil dan sepeda motor. "Ada apa? Kenapa mendadak?" tanya Daffa. Lelaki muda itu merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh kakak tercintanya. "Nggak ada apa-apa, pengen kamu dekat sama Mbak saja. Lagian kamu selama ini sendiri," jawab Nia. Dia masih mencoba menyembunyikan prahara yang merudungnya. "Iya sih, aku sendiri semenjak abang kerja keluar negeri." Daffa membenarkan ucapan Nia. "Jadi tidak ada penolakan, kamu setuju, 'kan?" Nada bicara Nia terdengar mendesak. "Sudah ada izin dari Mas Khanif?" "Sudah, makanya Mbak berani." Nia berbohong pada Daffa. Padahal, Khanif tidak memberikan izin secara jelas akan permintannya. Daffa tersenyum tipis, kedua tangannya tiba-tiba membingkai wajah Nia. "Mbak bahagia dengan Mas Khanif?"Nia menghela napas sejenak, berat untuk menjelaskan gejolak perasaannya saat
"Beneran Maya mau menikah dengan Mas Gilang?" tanya Nia pada Khanif. Khanif menoleh sejenak, lalu fokus pandangan ke depan. Posisinya sedang mengemudi mobil dalam kecepatan cepat karena memburu waktu agar segera sampai ke rumah yang mereka tempati sekarang. "Nggak tahu, Sayang. Memangnya kenapa, cemburu?" tanya Khanif datar. Intonasi suara seakan orang kesal jelas memekik di telinga Nia. "Cemburu? Atas dasar apa?" tanya Nia seraya merebahkan kepalanya ke bahu sang suami. Tatapannya fokus menatap wajah tampan Khanif yang nyaris tanpa ekspresi. "Ntah, mungkin belum bisa move on," ketus Khanif. Nia hendak tertawa, tapi diurungkan. Wanita cantik itu enggan memantik emosi sang suami yang sedang tidak mood diajak bercanda. Nia memuji Khanif setinggi bintang di langit, membelai pelan dada bidang sang suami seraya menghitung kancing kemeja yang membalut tubuh kekarnya. Ya, walaupun ototnya sudah mulai hilang karena sudah sangat jarang olahraga. "Jangan dipikirkankan, aku hanya bertanya,
Hening menyelimuti ruang privat milik Lukman di lantai paling atas bangunan pencakar langit miliknya. Ruang itu digunakan untuk acara penting dengan tamu yang tentunya khusus dan spesial. Lukman duduk bersila di depan Khanif dan Nia, tidak bicara. Namun, tatapan matanya tertuju pada Khanif yang sibuk menatap indahnya hamparan puncak gunung dari balik kaca gedung. "Apakah kalian datang hanya untuk berdiam diri?" Lukman bertanya dengan nada santai. "Begini, Mas. Khanif ...," Ucapan Nia terjeda karena Khanif berdehem dengan sorot mata tajam ke arahnya. "Mas Khanif setuju bekerja di perusahaan Mas Lukman." Nia menambah embel Mas di belakang nama Khanif. Hampir saja ia melupakan perjanjian mereka sebelumnya. Lukman yang menyadari adanya progres dalam hubungan sang adik hanya mampu mengulum senyum bahagia. "Apakah yang disampaikan Nia itu benar?" "Iya, Mas," jawab Khanif singkat. "Sejak kapan kamu pelit bicara? Apakah Nia sekarang menjadi juru bicara kamu?" goda Lukman dengan tawa r
Trauma, Nia harap rasa itu segera menghilang dalam diri Khanif. Dia sudah tidak sabar mereguk indahnya jalinan cinta yang semestinya. Dia mulai bosan kala aktivitas malam hanya berbaring tanpa cerita mesra. Terkadang, sisi buruk mengajaknya untuk menyerah. Namun, sisi baik selalu menjadi penengah. "Sayang, bangun! Katanya mau jenguk ibu, kok tidur lagi?" Nia menatap wajah Khanif yang kembali terlelap. Wanita cantik itu baru saja keluar kamar mandi, tubuhnya dibalut handuk putih yang menutupi area dada sampai pangkal paha. "Sayang, bangun, Sayang," desah Nia manja. Perlahan tangannya menyentuh pipi Khanif. Ekpresi wajah Nia langsung berubah. Wajah Khanif terasa panas. "Astaghfirullah! Kamu sakit, Mas?!" pekik Nia. Jemari Nia berpindah ke dahi Khanif. "Mas, sakit, ya!" "Engh ..., tidak. Aku hanya sedikit pusing." Khanif membuka matanya perlahan. "Ya sudah, Sayang lanjut tidur. Nanti setelah mendingan kita ke rumah sakit. Aku ambilkan kain kompres dulu." Nia terlihat panik. Khanif m
Nia duduk di depan cermin rias, bukan karena ingin meneliti setiap lekuk wajahnya. Namun, memantau Khanif yang duduk di sisi ranjang, layar gawai menyala dalam genggamannya. Namun, fokusnya terpusat ke arah lainnya. Untuk kesekiankalinya Khanif duduk termenung tanpa menghiraukan kehadiran Nia di sampingnya. Perasaan Nia seakan ditarik ulur dengan sikap Khanif yang bisa berubah dengan sangat cepat. Seperti malam ini, harusnya Khanif mengarahkan perhatiannya pada Nia yang sejak tadi berusaha menggoda. Lingerie tipis berenda membalut tubuhnya, setiap lekuk tubuh menguncang birahi. Namun, Khanif diam seolah Nia tidak terlihat oleh pandangannya. Khanif terlalu larut dalam beban pikiran dan melupakan hal indah yang seharusnya dilakukan bersama Nia. "Sayang ...." Panggil Nia lembut.Khanif menoleh dengan begitu cepat, mengulas senyum menawan, mencoba menyembunyikan gumpalan beban yang menyesaki alam pikirannya. Bukannya ia melupakan Nia, tapi ketakutan dan kegelisahannya telah mengikis kew
Sesampai di Mall, Nia turun seorang diri, Khanif memilih menunggu di mobil. Dia sedikit nyaman karena mengetahui Gilang berada di luar negeri. Lelaki itu merasa tidak nyaman dengan kondisi fisiknya yang acak-acakan. "Sebentar ya, Sayang," ujar Nia seraya mengecup pelan pucuk kepala Khanif. "Jangan lama-lama," tukas Khanif pelan. "Nggak kok sebentar, ada titipan?" tanya Nia bersemangat. Khanif mengeleng pelan, ia meminta Nia untuk berhati-hati. "Hubungi aku jika ada masalah." "Siap, Sayang," balas Nia seraya menjauh. Kakinya melangkah memasuki Mall. Kaki jenjang Nia fokus melangkah ke gerai baju pria, ia berniat mencarikan baju untuk Khanif. Sifat penyayang Nia memang sudah terbukti, hanya saja keadaan yang seakan tidak berpihak padanya. "Selamat datang, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" sapa pegawai mall dengan ramah. Nia melempar senyum seraya mengungkapkan keinginannya. "Silakan ikut saya," ujar gadis di depan Nia dengan sopan. Khanif tidak enak hati membiarkan Nia belanja s
Ibu, sinar kasih dalam senyum lembut, penuh pengorbanan seperti embun pagi meresapi bunga kehidupan. Dalam tatapannya, dunia terhampar seperti lautan tak terhingga, tiada batas untuk cinta yang mengalir dalam setiap detiknya. Ia adalah pelindung setia, tempat berlindung dari badai hidup, dan sang pemandu dalam lorong gelap. Ibu, nyanyian lembut yang mengalun dalam setiap doa, mengukir jejak keabadian di hati yang mencintai."Ibu kenapa?" tanya Khanif dengan panik. Kalimat yang pertama kali ia lontarkan ketika melihat wanita yang melahirkannya tersebut terbaring lemah di atas ranjang. "Bu, kenapa ibu tidak menjawab. Ibu sakit apa? Dimana yang sakit?" Khanif meraba seluruh tubuh sang ibu dengan gelisah. Namun, tidak ada jawaban, hanya bulir bening yang mengalir di kedua sudut mata sayunya. "Khanif datang, Bu." Lukman menimpali seraya mendekati ranjang sang ibu. "Untuk apa ia ke sini?" Pertanyaan yang membuat Khanif kaget. Spontan melirik ke arah Nia dan Lukman secara bergantian. "Bu
"Kamu sudah gila, hah?" gumam Nia dengan bibir bergetar. "Aku gila dan trauma karena kehilangan kamu, Nia," Balas Khanif pelan. Nia membingkai wajah Khanif dengan kedua tanganya. "Kamu mencintaiku?" Untuk beberapa saat mata mereka beradu, banyak cerita yang sulit diurai menjadi kata hanya bisa dicerna oleh ia yang paham akan rasa. "Aku mohon kesekian kali, kita jalani hidup yang normal. Aku mau kita bulan madu." Permintaan indah, tapi sayang di waktu yang tidak tepat. Mata Khanif membelalak kaget. Untuk beberapa saat ia terdiam. Batin Khanif bergejolak hebat, napsu dengan pikirannya berdebat keras. Perasaan mengambang tidak jelas, bibir bergerak. Akan tetapi, tidak ada suara yang terdengar, hanya leguhan samar tanpa makna. "Kamu butuh ketenangan. Jangan anggap bulan madu kalau kamu keberatan. Anggap saja ini healing atau liburan. Aku takut kesehatan mentalmu semakin terganggu," ucap Nia cemas. "Apakah harus keluar negeri?" tanya Khanif ragu. "Tidak sih, tapi menurutku keluar n