"Maafkan Ibu yang gagal mendidik Gilang menjadi lelaki yang bertanggung jawab. Maafkan Ibu, Nia," rintih ibu. Jemarinya meraih jemariku dan menciumnya pelan. Aku mengeleng, tak pantas ibu mencium tanganku.
"Bu, biarkan saja Mas Gilang itu. Dia pasti akan nyesal nyia-nyiain Mbak Nia ..."
"Benar, Mas. Dia akan nangis darah saat tahu Mbak Nia hamil," sela istrinya Ali.
"Nia, kenapa kamu nggak bilang kalau kamu hamil?" tanya Ibu dengan pandangan sayu.
Aku mengamati setiap wajah penghuni ruangan. Ada bahagia di balik duka yang tercipta. Mereka bahagia dengan kehamilanku. Hah! Mereka tahu, tapi sekarang tidak ada gunanya lagi.
"Hamil? Nia hamil, Bu?" tanyaku dengan memasang ekspresi bahagia. Tanganku mengelus perut yang masih rata.
"Kata dokter Raisa sepertinya Mbak Hamil. Ciri-cirinya seperti itu. Untuk mastiinnya aku udah beli testpack sama Mas Ali, nih!" Iparku yang baik hati memperlihatkan alat tes kehamilan di tangannya.
"Kamu sudah sanggup bangun, belum?" tanya ibu pelan.
Aku mengangguk pelan. Jujur kepala masih agak pusing. Namun, keinginan keluarga Mas Gilang harus dituruti. Aku tidak mau dianggap pembangkang. Ini saatnya meraih hati keluarganya. Meski talak sudah terucap, aku tak ingin keluar dari luang lingkup keluarga Sentawibara.
Aku ke kamar mandi dipapah oleh istrinya Ali. Dia sangat perhatian, lembut dan baik hati. Diberikannya tempat untuk menampung urine. Dia meninggalkanku di dalam. Ditarik gagang pintu pelan.
Kuhela napas berat, mematut diri di depan cermin. Penampilanku acak-acakan dengan wajah kusam. Bahkan, mata panda mulai kelihatan menganggu penampilan. Pipi tirus sama sekali tidak terpoles bedak. Hancur.
"Mbak udah?" tanya istrinya Ali. Sepertinya dia tidak sabar.
"Sebentar," jawabku pelan. Kepala masih terasa pusing.
Lima menit kemudian, aku keluar. Berjalan sambil memegang dinding. Langkah masih terasa berat. Mbak Aisyah buru-buru merangkul tubuhku.
"Urinenya mana, Mbak?" tanya iparku.
"Di dalam, Dek," jawabku lemas. Tenaga terkuras habis. Bukan karena bekerja. Namun, karena berpikir.
"Semoga positif ya, Mbak!" Nada suara adik iparku terdengar bahagia.
"Amiin," sahut ibu.
Hening. Jenak-jenak kebisuan tercipta. Larut dalam hayalan yang entah apa. Mau menangis juga percuma, tertawa pun tak punya alasan jelas. Nyeri kepala bagai dihantam palu raksasa. Detik waktu serasa lama berganti. Gumpalan-gumpalan luka semakin menumpuk di hati. Hingga tersisa sedikit ruang untuk merasa.
"Positif!" jerit istrinya Ali.
Ibu langsung memelukku. Ucapan selamat datang bertubi-tubi. Untuk apa, semua juga percuma.
"Nggak ada gunanya juga Nia hamil. Mas Gilang sudah menalak Nia," lirihku. Kuseka air mata dengan hijab. Awan gelap memayungi langitku. Tak ada lagi pelangi mencairkan suasana hati yang beku. Semuanya serasa mati, saat kalimat talak itu terbaca. Apakah aku sudah benar-benar mencintainya?
***
"Bu! Ibu!" teriak Mas Gilang.Aku segera beringsut dari ranjang mendengar suara Mas Gilang. Ibu melarangku turun. Namun tak kuindahkan. Segera berlari ke sumber suara.
Langkah terhenti melihat kehadirannya. Tangisku pecah, kukencangkan lari untuk memeluknya. Namun, hati cukup hancur bagai dilanda gempa. Ditepisnya tanganku, Mas Gilang menghindar dengan wajah tanpa ekspresi. Terlihat dingin dan kaku.
"Maaf, kamu bukan lagi mahramku."
Degh! Jatungku seakan lepas dari tempatnya.
"Mas, katakan bahwa itu bukan kamu!" jeritku. Aku tersungkur ke lantai. Kucekal kedua tungkainya. Tak kubiarkan dia pergi sebelum ada penjelasan atas teka-teki ini.
"Iya, itu aku! Aku, Nia. Gilang Sentawibara," jawabnya lantang. Aku mendonggak kepala untuk melihat wajahnya. Duniaku runtuh dalam seketika.
"Gilang! Lancang kamu, Nak!" sentak ibu. 12 tahun berumah tangga dengan Mas Gilang. Aku tak pernah menyaksikan Ibu membentak Mas Gilang.
"I--ibu, kenapa Ali bilang Ibu sudah meninggal?" tanya Mantan suamiku. Nada bicaranya terdengar bingung. Ibu melangkah semakin mendekat.
Plaak!
"Ibu tidak pernah mengajarimu menjadi lelaki pecund**ng seperti ini. Kenapa kamu coreng arang di wajah Ibu, Gilang? Salah Ibu apa?" tanya wanita senja itu pilu. Dia membungkung dan memintaku untuk bangun.
Mas Gilang bungkam. Dia tidak bicara. Matanya menatap lurus ke depan. Kaca-kaca mulai terbentuk dalam bola matanya. Aku tahu, Mas Gilang tak cukup kuat menjadi seorang pegkhianat.
"Mas, otakmu sudah mereng, ya? Gara-gara kamu relasi bisnisku membatalkan beberapa kerja sama. Pengen aku belah tu batok kepalamu, lalu aku cuci pake rinso," ketus Ali yang tiba-tiba masuk.
"Iya, Mas. Kenapa harus gini? Kalau pun Mas punya masalah sama Mbak Nia, di selesain baik-baik bukan seperti anak kecil," sambung istrinya Ali.
Mas Gilang bergeming. Tetap pada posisinya. Mbak Aisyah masuk langsung mendorong tubuh lelaki yang selalu kupuja. Pertahanannya tak seberapa, tubuhnya tersungkur ke belakang.
"Apa yang membuatmu bisa segila ini? Benar kamu yang membuat status memalukan itu?!" tanya Mbak Aisyah. Nada bicaranya meninggi. Telunjuknya menunjuk kasar ke arah Mas Gilang.
"Iya, aku yang membuatnya dengan kesadaran penuh," jawab Mas Gilang tak gentar. Nyaliku benar-benar menciut.
Bugh! Bugh!
Mas Lukman datang langsung meninju wajah Mas Gilang. Ibu memekik histeris. Tak kuasa melihat kedua anaknya bersiteru. Mbak Tari langsung menarik tubuh suaminya.
"Selesaikan semua dengan kepala dingin, Mas," desah Mbak Tari.
"Gimana kepala dingin. Anak ini perlu dihajar, Ma. Bikin malu keluarga. Orang udah dewasa. Namun, otak entah dimana," gerutu Mas Lukman.
Mas Gilang bangkit, menyeka darah segar yang mengalir di sudut bibirnya. Lalu berkata,"aku nggak suka ditipu seperti ini. Kalian merusak bulan maduku."
Mata kami membulat sempurna, menatap ke arah lelaki pendiam yang tiba-tiba menjadi bar-bar. Mas Lukman berniat memukul adiknya lagi. Namun, Mbak Tari dengan sigap menahannya.
"Kami semua juga tidak suka dengan caramu yang tak beretika. Menalak istri lewat F*. Mau sok hebat kamu. Untuk apa salat setiap hari, kalau pikiran kamu pendek kek gini,' sindir Mas Lukman geram.
"Terserah aku, Mas. Ini rumah tanggaku. Kenapa kalian yang sibuk?"
Mbak Tari tak mampu menghalangi tubuh kekar Mas Lukman. Tubuh Kakak iparku seketika menindih tubuh Mas Gilang. Suara riuh untuk melerai semakin membuat situasi kacau. Ali berusaha melerai. Namun Mas Gilang dan kakaknya terlanjur tersulut emosi.
"Berhenti!" jerit Ibu histeris. Aku segera menenangkannya. Takutnya darah tinggi Ibu bisa naik.
"Aku belum puas, Bu. Anak ini perlu diberi pelajaran," jawab Mas Lukman. Napasnya terengah-engah. Istrinya Ali hanya mampu menutup mata. Sedangkan Mbak Aisyah berusaha menarik Mas Gilang.
"Bun**h saja Ibu, biar Ibu tidak lagi menyaksikan hal busuk seperti ini!" Suaranya parau. Berteriak sambil memukul-mukul dada.
Pertikaian keduanya terhenti. Mereka menghambur memeluk kaki wanita yang melahirkan mereka. Kedua lelaki itu memohon ampun pada Ibunya. Napas Ibu terengah-engah. Ucapan maaf bertubi-tubi diucapkan pada sang pemilik surga.
Ibu meminta Mbak Tari membawa Mas Lukman ke kamar. Luka memar di wajahnya harus segera diobati. Tinggal lah lelaki kesayanganku yang bersimpuh di kaki Ibu.
"Bu, Ibu percaya sama Gilang. Sungguh yang Gilang lakukan adalah yang terbaik untuk keluarga kita. Percaya sama Gilang," ujar Mas Gilang dengan derai air mata.
Hah! Apa maksudnya ini? Menceraikanku adalah yang terbaik untuk keluarganya? Jadi selama ini aku dianggap apa olehnya?
"Berikan Ibu alasan yang jelas untuk semua ini. Ibu malu ... ibu malu, Nak," lirih Ibu. Ekpresi wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam.
"Bu, hubungi keluarga Nia. Biar Gilang jelasin sekalian," pinta Mas Gilang.
"Dalam perjalanan, Mas," jawab istrinya Ali.
"Mas, aku nggak mau cerai!" jeritku tepat di depan wajahnya.
"Mau nggak mau, aku sudah menalakmu. Talak tiga, kita tidak bisa bersamaku lagi," jawabnya tanpa menatapku.
"Tidak bisa, Mas. Tidak bisa. Aku tidak terima kamu mempermalukanku seperti ini. Salah aku apa?" tanyaku tanpa rasa malu. Merasa sempurna dengan seribu kesalahan yang aku tutupi.
Lelaki di hadapanku menyungingkan senyum sarkas. Dia terlihat meremehkanku.
"Kenapa harus Nagita, Mas? Kenapa harus janda itu?!" Aku kelepasan bicara. Semua keluarga Mas Gilang menatapku aneh.
Mas gilang abai dengan pertanyaanku. Dia memilih pamit untuk mandi. Dia akan bicara sampai menunggu keluargaku.
"Mas aku hamil!" jeritku. Berharap dia akan luluh kepadaku.
Dia hanya terkekeh sarkas. Melanjutkan langkah kakinya menginjak tangga. Aku berlari, mencekal pergelangan tangannya kuat.
"Katakan pada alasannya, Mas? Apa?"
"Gilang, Nia benaran hamil, Nak. Bagaimana ini?" tanya Ibu panik. Mas Gilang menatap Ibunya sendu dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja.
"Mas! Harusnya kamu senang, Mas. 12 tahun menunggu dan sekarang Mbak Nia hamil," ujar Ali. Dia melangkah mendekat ke arah kami.
"Nanti kita bicarakan caranya, ya. Gerah , Mas mau mandi," jawab Mas Gilang santai. Dia menepuk pelan pundak Ali.
"Dan untuk kamu, siapkan jawaban atas setiap pertanyaanku!" sentak Mas Gilang.
Ucapan Mas Gilang membuat seluruh keluarganya menatapku. Tatapan penasaran, seakan meminta penjelasan. Sampai tak kuasa menatap mata Ibu. Aku memilih menunduk. Apakah hari ini, hari kehancuranku?
Ruang tamu rumahku terasa panas. Padahal AC dalam posisi menyala. Kulirik ke segala arah, kedua keluarga sudah berkumpul dalam satu ruangan. Tak ada pembicaraan. Hening. Sebelah kanan ada ibu kandungku dan sebelah kiri posisi ibu mertua. Ah! Masih pantaskah aku menyebutnya ibu mertua. Talak sudah putranya ucapkan. Aku sudah menjadi bekas madunya. Di depanku sudah ada Bapak, Mas lukman, Mbak Tari, Mbak Aisyah dan juga suami. Tak ketinggalan Ali dan istri yang cantik dan baik budi. Mereka semua hidup bahagia tanpa masalah. Aku iri, kehidupan yang lengkap dan sempurna. "Ali, tolong panggilkan Mas Gilang. Kenapa dia lama sekali. Kasian Bapak dan Ibu sudah jauh datang, bukannya istirahat malah harus ditahan di sini," ujar Ibu pada Ali. Tanpa membantah lelaki berhidung mancung itu melangkah menaiki tangga. "Sebenarnya ini bagaimana ya, Bu. Dua hari yang lalu Nia bilang akunnya gilang di apaain itu namanya?" "Dihack, Bu," jawab Mbak Aisyah. "Iya, begitulah. Kenapa kemarin ada video pe
Semua terdiam, mulutku bungkam. Kedua mataku mulai berkaca-kaca. Raut ketakutan bisa dibaca jelas di wajahku. Mertua menjauh, kenapa? Lalu, dengan suara parau dia berkata, "Siapa Nagita?""Siapa, Mbak? Hari itu Mbak bilang itu suaminya Nagita?" Istrinya Ali ikut bertanya."Benar, Ibu saksinya," sambung Ibu. "Perlu kalian tahu, Nagita itu sudah lama menjanda dan suaminya sudah meninggal," beber Mas Gilang. Ya Allah, satu rahasia sudah terungkap.Aku berdiri dengan tubuh gemetar. Hati yang hancur berkeping-keping dilanda ketakutan, tanpa sedikit kegembiraan di hati. Bagaimana caranya aku membela diri? Otakku berpikir keras. Namun buntu. "Kalian lihat, Nia tidak bisa menjawab karena dia salah. Salah besar!""Kamu yang salah, Mas!" sentakku emosi. Dia mempermainkan gejolak amarahku. "Aku yang salah, tolong jelaskan salahku di depan orangtuaku. Ayo!" tantangnya tanpa rasa takut. "Ngomong, sebelum darah tinggi Bapak Naik," desak Bapak.Kutarik napas dalam. Dia meminta perang, maka lebih
Fix, Mas Gilang mengetahui rahasiaku. Semua mata memandang aneh ke arahku. Aku hanya ingin bersenang-senang. Tak lebih, kenapa ujungnya seperti ini? Hiks. "Apa maksud dari semua ini, Nia?" Mertuaku mulai meninggikan suaranya. "Sepertinya aku tahu arah pembicaraan Mas Gilang. Mbak Nia sepertinya selingkuh dengan lelaki yang kontak gawainya di beri nama Nagita. Ya, aku yakin seperti itu. Benar, 'kan?" tanya istrinya Ali pada Mas Gilang. "Tepat! ....""Nia! Benarkah apa yang Gilang tuduhkan," tanya Bapak garang. "Jawab, Nia!" Ibu mendorong pundakku kasar. "Nia tidak akan bisa menjawabnya. Dia pikir, Gilang bodoh nggak bisa mengendus bangkai yang dia simpan. Demi Allah, Gilang mencintai Nia tulus, tanpa embel apa-apa. Namun, Gilang tidak bisa mentoleril perbuatan Nia. Sadis." Tatapan Mas Gilang kosong. "Astaghfirullah, Nia. Kenapa kamu bisa seperti ini? Mas nggak menyangka kamu bisa serendah ini," ucap Mas Lukman berang. "Mbak Nia selamat atas prestasi yang Mbak capai. Geram, pikir
Mataku mengikuti arah kakinya. Melangkah menaiki tangga menuju kamar. Dia sama sekali tidak menaruh iba padaku. Kuakui ini adalah kesalahan dari pihakku. Namun, aku memastikan bahwa penyebabnya adalah dari lelaki itu. Dia yang tidak mampu menjadi suami yang sempurna untukku."Mbak Aisyah, tolong pesankan makanan yang banyak nanti malam. Ayam bakar, Daging sapi rica-rica, dua itu kesukaan calon suami Nia yang baru. Pokoknya yang mewah. Kita menunggu kedatangan tamu spesial." Aku terperanjat dengan ucapannya. Dia terlalu jauh mengetahui hubunganku. Langkahnya kembali dilanjutkan, hingga tubuhnya tak mampu terlihat oleh indera penglihatanku."Apaan ini? Apa dia mau membawa pulang istri barunya?" tanya Mbak Aisyah. Sayang, tidak ada yang mampu menjawab. Mereka saling pandang, menunggu dalam rasa penasaran yang menggunung. "Huh! Terpaksa menginap semalam lagi," dengkus Ali pada istrinya. "Ini gara-gara Mbak Nia! Kenapa, Mbak? Apa yang kurang dari Mas Gilang? tanya istrinya Ali. Wanita c
PART 11Kami semua sudah menunggu di meja makan. Sama seperti perintah Mas Gilang. Tak ada komunikasi antara aku dan keluarganya. Ibu mertua yang selama ini membelaku memilih diam dan duduk menjauh dariku. Ali sibuk bercanda dengan istrinya. Mbak Aisyah masih di dapur dengan suaminya. Sedangkan, Mas Lukman dan Mbak Tari fokus menatap layar gawai mereka. "Ini udah jam delapan, Gilang juga belum pulang. Kemana dia?" tanya Bapak. Matanya terus menatap ke arah depan. "Sabar, Pak. Gilang dalam perjalanan pulang," jawab Mbak Aisyah. "Setelah semuanya selesai, kemasi pakaianmu, ikut Bapak pulang ke kampung," lirih Bapak. "Aku nggak mau, Pak. Ini rumahku," sergahku cepat."Ingat, Nduk. Kamu sudah ditalak. Jangan permalukan Ibu lagi." Suara Ibu terdengar serak dan berat.Berusaha mengontrol otak untuk tetap tenang. Aku salah dalam hal ini. Mas Gilang juga lebih salah. Aku tidak mau hancur seorang diri." Mas Gilang datang!" seru Ali. Aku melempar pandangan ke arah Mas Gilang. Sialan, dia
Part 12Mas Gilang menjelaskan benda-benda yang dia letakkan di atas meja. Gawaiku yang dijambret ketika liburan bersamanya. Berhari-hari dilanda ketakutan akan isi di dalamnya disebarluaskan. Namun, bisa bernafas lega, tidak terjadi apa setelah itu. Huh! Kenapa gawai itu bisa di tangan Mas Gilang?"Lingerie yang Aldo beli untuk aku pakai saat bercinta dengannya. Aarrgh! Kenapa dia sampai tahu lingerie yang kusimpan rapat dalam lemari pribadiku. Testpack yang aku gunakan untuk tes urine bulan lalu. Kenapa juga bisa ada di tangannya?"Sekarang sudah jelas, 'kan? Nia mengkhianatiku dengan bawahanku. Harga diriku sudah hancur, reputasiku apa lagi. Seorang istri direktur yang kaya raya selingkuh dengan pegawai rendahan. Tak sangup lagi berkata, hidupku sudah hancur." Mas Gilang menarik rambutnya kasar. Ali segera memeluk Kakaknya. Ternyata dia terluka dengan kelakuanku. Sungguh, tak ada maksud hati berpisah dengannya. Aku hanya ingin menuntaskan hasrat yang 12 tahun tak terpenuhi dengan
Aarrrghhh! "Tidak, aku tidak ingin lagi berhubungan denganmu. Pulang bersama orang tuamu. Aku butuh waktu menenangkan pikiran," ujarnya dengan kilatan kemarahan di sorot matanya. "Pak, jangan pecat saya. Bagaimana dengan masa depan saya?" rengek Aldo di kaki Mas Gilang. "Terserah! Aku tidak ingin memiliki bawahan sampah sepertimu!" Aldo ditendang menjauh, hingga cekalan tangannya terlepas dari kaki lelaki yang pengampunannya masih kuharapkan. Suasana semakin menegangkan. Tubuhku basah oleh peluh yang bercucuran. Ali menyeret Aldo keluar. Teriakannya membuat bulu kudukku merinding. "Bapak dan Ibu tenang saja, meski Aku bukan lagi menantu kalian. Uang bulanan tetap seperti biasa, ya. Pak. Biaya kuliah Daffa dan Raka akan aku tranfer seperti biasa," ungkap Mas Gilang. Ya Allah! Aku menyia-nyiakan lelaki sebaik dia. Mas Gilang masih peduli dengan keluargaku. "Tidak perlu, Nak. Nia sudah menyakiti kamu. Malu Bapak, Nak," lirih Bapak. Disudut matanya mengantung bulir bening yang hend
Degh! Dia benar-benar membeku. Kuatur deru napas yang mulai memburu. Mendoktrin hati dan jiwa untuk tetap tenang. "Mas, aku tidak bermaksud melukai hatimu sekeji ini. Jujur, aku tak mampu melawan gejolak nafsuku yang jarang tersalurkan," ungkapku ragu. Kupilin ujung hijab untuk meredakan rasa nervous yang berlebihan.Hanya terdengar suara kekehan kesakitan dari Mas Gilang. Posisinya masih sama membelakangiku. Pandangannya dilempar jauh dalam pekat malam. Entah apa yang membuatnya betah. "Semua itu terjadi begitu saja. Andai aku bisa memutar waktu. Aku tidak pernah melakukan hal senista itu. Aku khilaf, Mas. Napsu membuatku khilaf," beberku tanpa ada yang kututupi. "Sungguh malang dirimu, Nia. Kau telah menjadikan hawa napsumu sebagai Tuhanmu, hingga kamu lupa apa yang Allah perintahkan dan larang dalam hidupmu," tuduhnya keji. "Itu semua tak lepas dari campur tanganmu, Mas. Kamu yang tidak mampu memberikan aku kepuasan ....""Nia tak cukupkah semalam terkadang sampai sepuluh kali
Suasana hening, Nia fokus pada pikirannya yang sulit diurai, sementara Lukman membiarkan Nia tenang sebelum melanjutkan ucapannya. "Sampai kapan ini akan berakhir, Mas?" lirih Nia pelan."Mas tidak menyangka bahwa Gilang belum berhenti untuk merebutmu dari Khanif. Mas bingung mikirin cara agar kita semua hidup tenang," keluh Lukman. Keduanya seakan terperangkap pada beban tanpa ujung. "Bukankah Gilang akan menikah dengan Maya dalam waktu dekat?" selidik Nia. "Menikahi Maya sahabat SMA Khanif?" Lukman mencoba memastikan karena ia belum menerima kabar apa pun tentang hal ini. "Iya, Mas. Aku mendengar hal tersebut dari Maya kemarin. Namun, aku tidak yakin mereka menikah karena cinta." Nia berspekulasi. "Mas akan bicara kepada Gilang mengenai hal ini, perkara perusahaan Khanif yang disabotase Gilang untuk sementara tolong rahasiakan dari Khanif, jangan sampai pikirannya kembali terbeban. Mas akan cari cara agar Khanif tidak tahu bahwa Gilang merupakan dalang dari ini semua," tukas Lu
"Mbak mau kita tinggal serumah?" tanya Daffa yang terkejut dengan permintaan Nia. Nia mengangguk pelan, bola matanya menatap lurus ke arah jalanan yang disesaki bermacam jenis mobil dan sepeda motor. "Ada apa? Kenapa mendadak?" tanya Daffa. Lelaki muda itu merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh kakak tercintanya. "Nggak ada apa-apa, pengen kamu dekat sama Mbak saja. Lagian kamu selama ini sendiri," jawab Nia. Dia masih mencoba menyembunyikan prahara yang merudungnya. "Iya sih, aku sendiri semenjak abang kerja keluar negeri." Daffa membenarkan ucapan Nia. "Jadi tidak ada penolakan, kamu setuju, 'kan?" Nada bicara Nia terdengar mendesak. "Sudah ada izin dari Mas Khanif?" "Sudah, makanya Mbak berani." Nia berbohong pada Daffa. Padahal, Khanif tidak memberikan izin secara jelas akan permintannya. Daffa tersenyum tipis, kedua tangannya tiba-tiba membingkai wajah Nia. "Mbak bahagia dengan Mas Khanif?"Nia menghela napas sejenak, berat untuk menjelaskan gejolak perasaannya saat
"Beneran Maya mau menikah dengan Mas Gilang?" tanya Nia pada Khanif. Khanif menoleh sejenak, lalu fokus pandangan ke depan. Posisinya sedang mengemudi mobil dalam kecepatan cepat karena memburu waktu agar segera sampai ke rumah yang mereka tempati sekarang. "Nggak tahu, Sayang. Memangnya kenapa, cemburu?" tanya Khanif datar. Intonasi suara seakan orang kesal jelas memekik di telinga Nia. "Cemburu? Atas dasar apa?" tanya Nia seraya merebahkan kepalanya ke bahu sang suami. Tatapannya fokus menatap wajah tampan Khanif yang nyaris tanpa ekspresi. "Ntah, mungkin belum bisa move on," ketus Khanif. Nia hendak tertawa, tapi diurungkan. Wanita cantik itu enggan memantik emosi sang suami yang sedang tidak mood diajak bercanda. Nia memuji Khanif setinggi bintang di langit, membelai pelan dada bidang sang suami seraya menghitung kancing kemeja yang membalut tubuh kekarnya. Ya, walaupun ototnya sudah mulai hilang karena sudah sangat jarang olahraga. "Jangan dipikirkankan, aku hanya bertanya,
Hening menyelimuti ruang privat milik Lukman di lantai paling atas bangunan pencakar langit miliknya. Ruang itu digunakan untuk acara penting dengan tamu yang tentunya khusus dan spesial. Lukman duduk bersila di depan Khanif dan Nia, tidak bicara. Namun, tatapan matanya tertuju pada Khanif yang sibuk menatap indahnya hamparan puncak gunung dari balik kaca gedung. "Apakah kalian datang hanya untuk berdiam diri?" Lukman bertanya dengan nada santai. "Begini, Mas. Khanif ...," Ucapan Nia terjeda karena Khanif berdehem dengan sorot mata tajam ke arahnya. "Mas Khanif setuju bekerja di perusahaan Mas Lukman." Nia menambah embel Mas di belakang nama Khanif. Hampir saja ia melupakan perjanjian mereka sebelumnya. Lukman yang menyadari adanya progres dalam hubungan sang adik hanya mampu mengulum senyum bahagia. "Apakah yang disampaikan Nia itu benar?" "Iya, Mas," jawab Khanif singkat. "Sejak kapan kamu pelit bicara? Apakah Nia sekarang menjadi juru bicara kamu?" goda Lukman dengan tawa r
Trauma, Nia harap rasa itu segera menghilang dalam diri Khanif. Dia sudah tidak sabar mereguk indahnya jalinan cinta yang semestinya. Dia mulai bosan kala aktivitas malam hanya berbaring tanpa cerita mesra. Terkadang, sisi buruk mengajaknya untuk menyerah. Namun, sisi baik selalu menjadi penengah. "Sayang, bangun! Katanya mau jenguk ibu, kok tidur lagi?" Nia menatap wajah Khanif yang kembali terlelap. Wanita cantik itu baru saja keluar kamar mandi, tubuhnya dibalut handuk putih yang menutupi area dada sampai pangkal paha. "Sayang, bangun, Sayang," desah Nia manja. Perlahan tangannya menyentuh pipi Khanif. Ekpresi wajah Nia langsung berubah. Wajah Khanif terasa panas. "Astaghfirullah! Kamu sakit, Mas?!" pekik Nia. Jemari Nia berpindah ke dahi Khanif. "Mas, sakit, ya!" "Engh ..., tidak. Aku hanya sedikit pusing." Khanif membuka matanya perlahan. "Ya sudah, Sayang lanjut tidur. Nanti setelah mendingan kita ke rumah sakit. Aku ambilkan kain kompres dulu." Nia terlihat panik. Khanif m
Nia duduk di depan cermin rias, bukan karena ingin meneliti setiap lekuk wajahnya. Namun, memantau Khanif yang duduk di sisi ranjang, layar gawai menyala dalam genggamannya. Namun, fokusnya terpusat ke arah lainnya. Untuk kesekiankalinya Khanif duduk termenung tanpa menghiraukan kehadiran Nia di sampingnya. Perasaan Nia seakan ditarik ulur dengan sikap Khanif yang bisa berubah dengan sangat cepat. Seperti malam ini, harusnya Khanif mengarahkan perhatiannya pada Nia yang sejak tadi berusaha menggoda. Lingerie tipis berenda membalut tubuhnya, setiap lekuk tubuh menguncang birahi. Namun, Khanif diam seolah Nia tidak terlihat oleh pandangannya. Khanif terlalu larut dalam beban pikiran dan melupakan hal indah yang seharusnya dilakukan bersama Nia. "Sayang ...." Panggil Nia lembut.Khanif menoleh dengan begitu cepat, mengulas senyum menawan, mencoba menyembunyikan gumpalan beban yang menyesaki alam pikirannya. Bukannya ia melupakan Nia, tapi ketakutan dan kegelisahannya telah mengikis kew
Sesampai di Mall, Nia turun seorang diri, Khanif memilih menunggu di mobil. Dia sedikit nyaman karena mengetahui Gilang berada di luar negeri. Lelaki itu merasa tidak nyaman dengan kondisi fisiknya yang acak-acakan. "Sebentar ya, Sayang," ujar Nia seraya mengecup pelan pucuk kepala Khanif. "Jangan lama-lama," tukas Khanif pelan. "Nggak kok sebentar, ada titipan?" tanya Nia bersemangat. Khanif mengeleng pelan, ia meminta Nia untuk berhati-hati. "Hubungi aku jika ada masalah." "Siap, Sayang," balas Nia seraya menjauh. Kakinya melangkah memasuki Mall. Kaki jenjang Nia fokus melangkah ke gerai baju pria, ia berniat mencarikan baju untuk Khanif. Sifat penyayang Nia memang sudah terbukti, hanya saja keadaan yang seakan tidak berpihak padanya. "Selamat datang, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" sapa pegawai mall dengan ramah. Nia melempar senyum seraya mengungkapkan keinginannya. "Silakan ikut saya," ujar gadis di depan Nia dengan sopan. Khanif tidak enak hati membiarkan Nia belanja s
Ibu, sinar kasih dalam senyum lembut, penuh pengorbanan seperti embun pagi meresapi bunga kehidupan. Dalam tatapannya, dunia terhampar seperti lautan tak terhingga, tiada batas untuk cinta yang mengalir dalam setiap detiknya. Ia adalah pelindung setia, tempat berlindung dari badai hidup, dan sang pemandu dalam lorong gelap. Ibu, nyanyian lembut yang mengalun dalam setiap doa, mengukir jejak keabadian di hati yang mencintai."Ibu kenapa?" tanya Khanif dengan panik. Kalimat yang pertama kali ia lontarkan ketika melihat wanita yang melahirkannya tersebut terbaring lemah di atas ranjang. "Bu, kenapa ibu tidak menjawab. Ibu sakit apa? Dimana yang sakit?" Khanif meraba seluruh tubuh sang ibu dengan gelisah. Namun, tidak ada jawaban, hanya bulir bening yang mengalir di kedua sudut mata sayunya. "Khanif datang, Bu." Lukman menimpali seraya mendekati ranjang sang ibu. "Untuk apa ia ke sini?" Pertanyaan yang membuat Khanif kaget. Spontan melirik ke arah Nia dan Lukman secara bergantian. "Bu
"Kamu sudah gila, hah?" gumam Nia dengan bibir bergetar. "Aku gila dan trauma karena kehilangan kamu, Nia," Balas Khanif pelan. Nia membingkai wajah Khanif dengan kedua tanganya. "Kamu mencintaiku?" Untuk beberapa saat mata mereka beradu, banyak cerita yang sulit diurai menjadi kata hanya bisa dicerna oleh ia yang paham akan rasa. "Aku mohon kesekian kali, kita jalani hidup yang normal. Aku mau kita bulan madu." Permintaan indah, tapi sayang di waktu yang tidak tepat. Mata Khanif membelalak kaget. Untuk beberapa saat ia terdiam. Batin Khanif bergejolak hebat, napsu dengan pikirannya berdebat keras. Perasaan mengambang tidak jelas, bibir bergerak. Akan tetapi, tidak ada suara yang terdengar, hanya leguhan samar tanpa makna. "Kamu butuh ketenangan. Jangan anggap bulan madu kalau kamu keberatan. Anggap saja ini healing atau liburan. Aku takut kesehatan mentalmu semakin terganggu," ucap Nia cemas. "Apakah harus keluar negeri?" tanya Khanif ragu. "Tidak sih, tapi menurutku keluar n