"Silahkan, kalau kamu bisa. Jangan ganggu hidupku, jika aku tidak menganggumu," desisku dengan mengigit bibir pelan.Nagita berang dengan rencana pernikahan kami. Menurutnya, itu akan membuat Mas Gilang semakin tidak bisa melupakanku. Umpatan dan makian dia tumpahkan padaku.Dia menuduhku mengingkari janji yang pernah kuucapkan padanya. Aku sudah menunaikan apa yang kuucapkan. Namun, takdir seakan enggan melepasku dari lingkaran keluarga Sentawibara. Bagai buah simalakama. Menjauh dibenci, mendekat juga dicaci. Miris."Aku benci pada manusia sok suci sepertimu!" jerit Nagita. Wajahnya merah bak kepiting rebus yang siap disantap."Itu pintu, silahkan keluar! Aku banyak pekerjaan. Apa pun yang kamu lakukan, aku tetap menikah dengan Khanif. Aku tidak merebut apa-apa darimu. Buka pikiran dan hatimu, jangan selalu siram dengan benci dan emosi. Hingga pada akhirnya dia akan mati dan tidak berfungsi," pungkasku santai. Nagita menatap tajam ke arahku. Langkahnya mendekatiku."Berarti kamu mem
"Khanif! Tolong!" jeritku. Aku tidak ingin berlama-lama dengan Mas Gilang. Otaknya mulai tidak waras."Khanif!" jeritku kembali. Beberapa detik lamanya tidak ada suara di luar sana. Mas Gilang berusaha membekap mulutku."Ibu! Tolong Nia, Ibu!" jeritku histeris."Diam! Jangan ribut," desis Mas Gilang panik.Aku mundur hingga tubuh berbentur tembok pembatas. Tubuhku melorot ke lantai. Menangis sambil memeluk lutut di samping meja rias. Mas Gilang terlihat kelimpungan. Aku terus berteriak, hingga pintu digedor dengan kerasnya."Shiit!" umpat Mas Gilang."Nia! Kenapa pintu dikunci dari dalam. Buka kuncinya, Sayang!" teriak ibu dengan nada suara panik."Tolong!" jeritku. Mas Gilang mondar-mandir nggak tentu arah. Tentunya dia bingung melepas diri dari Khanif dan ibu."Menjauh dari pintu!" teriak Khanif dari luar.Braak!Bruuk!Pintu terlepas dari tempatnya, Khanif, ibu, pegawai butik berserta satpam berdiri di ambang pintu. Mas Gilang tergugu di tempat."Kenapa kamu ada di sini, Mas?" tany
Aku menempuh perjalanan panjang untuk sampai di rumah yang dulu aku tempati. Istana impianku. Tidak ada yang berubah semuanya tetap sama. Hanya ratunya saja yang berganti. Melangkah cepat menuju pintu utama. Bayang-bayang kenangan masa silam meringsek cepat dalam ingatan, membangkitkan gejolak penyesalan atas kebodohan yang pernah kulakukan. Kutekan bel di samping pintu. Aku tidak sabar menunggu penghuninya keluar. Suara berisik terdengar dari dalam. Langkahku mundur ke belakang saat menyadari Mas Gilang yang membukakan pintu. Sejenak, waktu berjalan sangat lamban, tatapannya, membuatku tertunduk tak berdaya. "Kamu datang, Nia. Kamu ingin menemuiku, 'kan?" tanyanya dengan binar mata penuh harap. Ekpresi wajah penuh bahagia tergambar jelas. "Maaf, aku ingin berjumpa dengan istrimu. Tolong panggilkan dia keluar!" pintaku tenang. Berusaha mengelola batin yang sama sekali tidak memiliki ketenangan. "Nagita? Ada masalah apa?" tanyanya dengan kerutan dahi yang sangat menganggu pandangan
"Siapa yang Mbak Nagita sebut pelacur?" Aku terperanjat melihat Khanif berdiri di ambang pintu. Bersamanya hadir dua orang lelaki berseragam polisi lengkap. Nagita menarik diri berlindung di balik tubuh kekar Mas Gilang. "Kenapa bersembunyi, Mbak? Kalau diamati dari cara Mbak bersikap dan berpakaian kata itu lebih cocok disematkan padamu, Mbak. Bukan calon istriku," tegas Khanif tenang. Aku melangkah ke arah ruang laundry mencari kain yang bisa menutupi tubuh Nagita. Beruntung ada selimut besar yang bisa menutupi seluruh tubuhnya. "Gilang, kenapa bawa polisi ke sini?" tanya Mas Gilang. "Aku melaporkan Mbak Nagita atas tindak pengancaman terhadap calon istriku. Mbak Nagita sudah keterlaluan. Kelakuannya tidak bisa ditoleril," jelas Khanif berang. "Apakah hal ini tidak bisa dibicarakan secara kekeluargaan?" tanya Mas Gilang. Satu poin yang kusimpulkan. Bahwa, mantan suamiku itu masih berusaha melindungi istrinya. "Aku rasa tidak, Mas. Dia sudah keterlaluan. Mbak Nagita mencoba me
Aku masih teringat akan Nagita. Seluruh keluarga setuju memberikan efek jera kepadanya. Ancamannya jelas memberatkan hukuman yang akan Nagita jalani. Ditambah lagi rekaman CCTV di malam pengrusakan kaca depan restoranku terjadi. Paling lama hukuman yang dijalani adalah empat tahun.Keluarga Nagita tak ayal mencaci dan menghinaku. Penyebabnya tidak bukan dan tidak lain karena aku menjebloskan anak kesayangan mereka ke penjara.Ekspresi cemburu Khanif mengelitik hati. Tatkala percakapanku dengan Nagita sampai di ancamanku akan merebut Mas Gilang darinya. Lelaki itu cemburu. Cemburu berat. Aku bisa membaca dan merasa cinta Khanif terlalu besar untukku.Sesuai permintaan Khanif, kami pindah ke Jakarta selama persiapan menjelang pernikahan. Aku memilih tinggal di apartemen. Menghindar dari Mas Gilang yang sudah pindah ke rumah ibu. Khanif pun setuju, didasari kecemburuannya kepada Mas Gilang.Semilir angin malam menerpa kulit mengiringi malam panjangku. Hanya mampu berdiri di balik jendel
Ibu menghampiriku, pelukan dan kecupan dia hadiahkan untukku. "Jadilah istri yang taat untuk Khanif, Nak. Jangan kecewakan dia," bisik ibu di telinga. Kata-kata ibu menyentil hati. Terbayang penghianatan setahun silam. Walau sebenarnya, wanita berhati mulia itu tidak ada maksud menyinggungku."InsyaAllah, Bu. Nia akan menjadi istri yang terbaik untukku," sahut Khanif. Digenggam erat tanganku. Aku semakin gugup. Satu persatu ucapan selamat didengungkan. Semua wajah terpampang ekspresi ceria. Kecuali, Mas Gilang. Wajahnya kusut. Hanya sekali-kali menebar senyum pada kolega dan saudaranya. Bisik-bisik tamu undangan pun tidak terhindarkan. Tentunya hubunganku dan Mas Gilang sebelumnya dan sekarang dengan Khanif--adiknya. Aku bisa menebak bermacam kata miring tertuju padaku. Hal inilah yang aku takutkan, kehadiran banyak tamu undangan cukup menambah polemik dalam hidup. Tatapan sinis dari beberapa wanita sosialita di hadapanku tidak dapat dibendung. "Selamat ya, Mbak. Udah jadi bagian ke
POV KHANIFMalam pertama akan berkesan bagi sebagian pengantin baru. Bukan hanya persiapan mental dan fisik. Namun suasana ruangan yang romantis dan nyaman. Aku hanya mampu menyungingkan senyum melihat ruangan khusus yang ibu persiapkan untukku dan Nia.Semua tertata sempurna, tanpa bertanya dekorasi kamar sesuai dengan keinginanku. Terlebih lagi dengan Nia. Sedari pertama melangkah, raut wajahnya takjub dengan hal indah di hadapannya.Harum mawar menyerbak menusuk indera penciuman. Di setiap sudut ruangan mawar merah terlihat rapi disusun dalam vas kaca. Di atas tempat tidur disusun dalam bentuk love. Dari pintu hingga menuju ranjang. Mawar merah disusun bak karpet merah yang dilewati para artis saat menghadiri acara penghargaan bergengsi.Bunga mawar adalah lambang cinta. Oleh karena itu sering digunakan di momen-momen spesial. Salah satunya dekorasi kamar pengantin. Membawa suasana menjadi romantis agar semakin intim dan manis.Pernikahanku dan Nia. Bukanlah pernikahan paksaan atau
Aku bangun saat matahari meringsek masuk melalui celah gorden. Ah! Bukan celah ini namanya. Seluruh gorden tersingkap sempurna. Mataku mengerjap pelan.Kenapa Nia tidak membangunkanku? Kemana dia?Pertanyaan-pertanyaan yang bergelayut dalam hati. Beringsut cepat dari ranjang. Mencari keberadaan Nia. Kamar terasa sepi tanpa penghuni. Kulirik jam sudah jam sembilan.Aku sudah mencari Nia ke seluruh sudut kamar ini. Namun, dia tidak ada. Aku bergegas meraih gawaiku. Ada chat dari Nia.[Selamat pagi suamiku, kalau Sayang bangun tidak menemukanku. Jangan panik! Aku turun sebentar mencari udara segar.]Isi chat yang dikirimkan Nia hampir dua jam yang lalu.Kenapa dia tidak mengajakku? Kenapa dia harus keluar seorang diri? Arrgh! Aku terus meracau karena kegelisahan hati yang mendera.Kutekan kontak Nia untuk menghubunginya. Namun, tidak bisa tersambung. Apa yang terjadi? Aku mendadak panik. Begegas ke kamar mandi untuk mencuci muka dan mengosok gigi. Setelah itu buru-buru mengenakan pakaian
Suasana hening, Nia fokus pada pikirannya yang sulit diurai, sementara Lukman membiarkan Nia tenang sebelum melanjutkan ucapannya. "Sampai kapan ini akan berakhir, Mas?" lirih Nia pelan."Mas tidak menyangka bahwa Gilang belum berhenti untuk merebutmu dari Khanif. Mas bingung mikirin cara agar kita semua hidup tenang," keluh Lukman. Keduanya seakan terperangkap pada beban tanpa ujung. "Bukankah Gilang akan menikah dengan Maya dalam waktu dekat?" selidik Nia. "Menikahi Maya sahabat SMA Khanif?" Lukman mencoba memastikan karena ia belum menerima kabar apa pun tentang hal ini. "Iya, Mas. Aku mendengar hal tersebut dari Maya kemarin. Namun, aku tidak yakin mereka menikah karena cinta." Nia berspekulasi. "Mas akan bicara kepada Gilang mengenai hal ini, perkara perusahaan Khanif yang disabotase Gilang untuk sementara tolong rahasiakan dari Khanif, jangan sampai pikirannya kembali terbeban. Mas akan cari cara agar Khanif tidak tahu bahwa Gilang merupakan dalang dari ini semua," tukas Lu
"Mbak mau kita tinggal serumah?" tanya Daffa yang terkejut dengan permintaan Nia. Nia mengangguk pelan, bola matanya menatap lurus ke arah jalanan yang disesaki bermacam jenis mobil dan sepeda motor. "Ada apa? Kenapa mendadak?" tanya Daffa. Lelaki muda itu merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh kakak tercintanya. "Nggak ada apa-apa, pengen kamu dekat sama Mbak saja. Lagian kamu selama ini sendiri," jawab Nia. Dia masih mencoba menyembunyikan prahara yang merudungnya. "Iya sih, aku sendiri semenjak abang kerja keluar negeri." Daffa membenarkan ucapan Nia. "Jadi tidak ada penolakan, kamu setuju, 'kan?" Nada bicara Nia terdengar mendesak. "Sudah ada izin dari Mas Khanif?" "Sudah, makanya Mbak berani." Nia berbohong pada Daffa. Padahal, Khanif tidak memberikan izin secara jelas akan permintannya. Daffa tersenyum tipis, kedua tangannya tiba-tiba membingkai wajah Nia. "Mbak bahagia dengan Mas Khanif?"Nia menghela napas sejenak, berat untuk menjelaskan gejolak perasaannya saat
"Beneran Maya mau menikah dengan Mas Gilang?" tanya Nia pada Khanif. Khanif menoleh sejenak, lalu fokus pandangan ke depan. Posisinya sedang mengemudi mobil dalam kecepatan cepat karena memburu waktu agar segera sampai ke rumah yang mereka tempati sekarang. "Nggak tahu, Sayang. Memangnya kenapa, cemburu?" tanya Khanif datar. Intonasi suara seakan orang kesal jelas memekik di telinga Nia. "Cemburu? Atas dasar apa?" tanya Nia seraya merebahkan kepalanya ke bahu sang suami. Tatapannya fokus menatap wajah tampan Khanif yang nyaris tanpa ekspresi. "Ntah, mungkin belum bisa move on," ketus Khanif. Nia hendak tertawa, tapi diurungkan. Wanita cantik itu enggan memantik emosi sang suami yang sedang tidak mood diajak bercanda. Nia memuji Khanif setinggi bintang di langit, membelai pelan dada bidang sang suami seraya menghitung kancing kemeja yang membalut tubuh kekarnya. Ya, walaupun ototnya sudah mulai hilang karena sudah sangat jarang olahraga. "Jangan dipikirkankan, aku hanya bertanya,
Hening menyelimuti ruang privat milik Lukman di lantai paling atas bangunan pencakar langit miliknya. Ruang itu digunakan untuk acara penting dengan tamu yang tentunya khusus dan spesial. Lukman duduk bersila di depan Khanif dan Nia, tidak bicara. Namun, tatapan matanya tertuju pada Khanif yang sibuk menatap indahnya hamparan puncak gunung dari balik kaca gedung. "Apakah kalian datang hanya untuk berdiam diri?" Lukman bertanya dengan nada santai. "Begini, Mas. Khanif ...," Ucapan Nia terjeda karena Khanif berdehem dengan sorot mata tajam ke arahnya. "Mas Khanif setuju bekerja di perusahaan Mas Lukman." Nia menambah embel Mas di belakang nama Khanif. Hampir saja ia melupakan perjanjian mereka sebelumnya. Lukman yang menyadari adanya progres dalam hubungan sang adik hanya mampu mengulum senyum bahagia. "Apakah yang disampaikan Nia itu benar?" "Iya, Mas," jawab Khanif singkat. "Sejak kapan kamu pelit bicara? Apakah Nia sekarang menjadi juru bicara kamu?" goda Lukman dengan tawa r
Trauma, Nia harap rasa itu segera menghilang dalam diri Khanif. Dia sudah tidak sabar mereguk indahnya jalinan cinta yang semestinya. Dia mulai bosan kala aktivitas malam hanya berbaring tanpa cerita mesra. Terkadang, sisi buruk mengajaknya untuk menyerah. Namun, sisi baik selalu menjadi penengah. "Sayang, bangun! Katanya mau jenguk ibu, kok tidur lagi?" Nia menatap wajah Khanif yang kembali terlelap. Wanita cantik itu baru saja keluar kamar mandi, tubuhnya dibalut handuk putih yang menutupi area dada sampai pangkal paha. "Sayang, bangun, Sayang," desah Nia manja. Perlahan tangannya menyentuh pipi Khanif. Ekpresi wajah Nia langsung berubah. Wajah Khanif terasa panas. "Astaghfirullah! Kamu sakit, Mas?!" pekik Nia. Jemari Nia berpindah ke dahi Khanif. "Mas, sakit, ya!" "Engh ..., tidak. Aku hanya sedikit pusing." Khanif membuka matanya perlahan. "Ya sudah, Sayang lanjut tidur. Nanti setelah mendingan kita ke rumah sakit. Aku ambilkan kain kompres dulu." Nia terlihat panik. Khanif m
Nia duduk di depan cermin rias, bukan karena ingin meneliti setiap lekuk wajahnya. Namun, memantau Khanif yang duduk di sisi ranjang, layar gawai menyala dalam genggamannya. Namun, fokusnya terpusat ke arah lainnya. Untuk kesekiankalinya Khanif duduk termenung tanpa menghiraukan kehadiran Nia di sampingnya. Perasaan Nia seakan ditarik ulur dengan sikap Khanif yang bisa berubah dengan sangat cepat. Seperti malam ini, harusnya Khanif mengarahkan perhatiannya pada Nia yang sejak tadi berusaha menggoda. Lingerie tipis berenda membalut tubuhnya, setiap lekuk tubuh menguncang birahi. Namun, Khanif diam seolah Nia tidak terlihat oleh pandangannya. Khanif terlalu larut dalam beban pikiran dan melupakan hal indah yang seharusnya dilakukan bersama Nia. "Sayang ...." Panggil Nia lembut.Khanif menoleh dengan begitu cepat, mengulas senyum menawan, mencoba menyembunyikan gumpalan beban yang menyesaki alam pikirannya. Bukannya ia melupakan Nia, tapi ketakutan dan kegelisahannya telah mengikis kew
Sesampai di Mall, Nia turun seorang diri, Khanif memilih menunggu di mobil. Dia sedikit nyaman karena mengetahui Gilang berada di luar negeri. Lelaki itu merasa tidak nyaman dengan kondisi fisiknya yang acak-acakan. "Sebentar ya, Sayang," ujar Nia seraya mengecup pelan pucuk kepala Khanif. "Jangan lama-lama," tukas Khanif pelan. "Nggak kok sebentar, ada titipan?" tanya Nia bersemangat. Khanif mengeleng pelan, ia meminta Nia untuk berhati-hati. "Hubungi aku jika ada masalah." "Siap, Sayang," balas Nia seraya menjauh. Kakinya melangkah memasuki Mall. Kaki jenjang Nia fokus melangkah ke gerai baju pria, ia berniat mencarikan baju untuk Khanif. Sifat penyayang Nia memang sudah terbukti, hanya saja keadaan yang seakan tidak berpihak padanya. "Selamat datang, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" sapa pegawai mall dengan ramah. Nia melempar senyum seraya mengungkapkan keinginannya. "Silakan ikut saya," ujar gadis di depan Nia dengan sopan. Khanif tidak enak hati membiarkan Nia belanja s
Ibu, sinar kasih dalam senyum lembut, penuh pengorbanan seperti embun pagi meresapi bunga kehidupan. Dalam tatapannya, dunia terhampar seperti lautan tak terhingga, tiada batas untuk cinta yang mengalir dalam setiap detiknya. Ia adalah pelindung setia, tempat berlindung dari badai hidup, dan sang pemandu dalam lorong gelap. Ibu, nyanyian lembut yang mengalun dalam setiap doa, mengukir jejak keabadian di hati yang mencintai."Ibu kenapa?" tanya Khanif dengan panik. Kalimat yang pertama kali ia lontarkan ketika melihat wanita yang melahirkannya tersebut terbaring lemah di atas ranjang. "Bu, kenapa ibu tidak menjawab. Ibu sakit apa? Dimana yang sakit?" Khanif meraba seluruh tubuh sang ibu dengan gelisah. Namun, tidak ada jawaban, hanya bulir bening yang mengalir di kedua sudut mata sayunya. "Khanif datang, Bu." Lukman menimpali seraya mendekati ranjang sang ibu. "Untuk apa ia ke sini?" Pertanyaan yang membuat Khanif kaget. Spontan melirik ke arah Nia dan Lukman secara bergantian. "Bu
"Kamu sudah gila, hah?" gumam Nia dengan bibir bergetar. "Aku gila dan trauma karena kehilangan kamu, Nia," Balas Khanif pelan. Nia membingkai wajah Khanif dengan kedua tanganya. "Kamu mencintaiku?" Untuk beberapa saat mata mereka beradu, banyak cerita yang sulit diurai menjadi kata hanya bisa dicerna oleh ia yang paham akan rasa. "Aku mohon kesekian kali, kita jalani hidup yang normal. Aku mau kita bulan madu." Permintaan indah, tapi sayang di waktu yang tidak tepat. Mata Khanif membelalak kaget. Untuk beberapa saat ia terdiam. Batin Khanif bergejolak hebat, napsu dengan pikirannya berdebat keras. Perasaan mengambang tidak jelas, bibir bergerak. Akan tetapi, tidak ada suara yang terdengar, hanya leguhan samar tanpa makna. "Kamu butuh ketenangan. Jangan anggap bulan madu kalau kamu keberatan. Anggap saja ini healing atau liburan. Aku takut kesehatan mentalmu semakin terganggu," ucap Nia cemas. "Apakah harus keluar negeri?" tanya Khanif ragu. "Tidak sih, tapi menurutku keluar n