Aku mengelus dada pelan. Khanif menjemputku jauh dari Bandung untuk dibawa ke Jakarta. Menuju toko perhiasan langganan keluarga Sentawibara. Menelan saliva berulang, Khanif sangat antusias dengan pernikahan kami. Sedang hatiku, biasa saja. Ya Allah! Berdosakah aku dengan perasaan ini?Kami bertiga turun, menginjakkan kaki ke dalam toko perhiasan yang sepak terjangnya sudah diakui puluhan tahun lamanya."Selamat Siang, Bu Nia Nirmala, Bu Kasih dan .....""Khanif," sahut ibu."Maaf," ujar pelayan toko. Orang yang sama pada saat terakhir kali aku menginjakkan kaki di sini."Tidak apa. Ini putra bungsu saya. Baru pulang dari Mesir," ujar ibu ramah. Pegawai toko itu hanya mengangguk pelan."Jadi apa yang bisa saya bantu?" tanyanya sopan dan mengulas senyum ceria. Hal yang wajib dilakukan bagi mereka yang melayani pembeli."Cincin nikah," jawab Khanif. Pegawai toko tersebut mengangguk dan tersenyum. Dia melangkah menuju etalase perhiasan di belakangnya."Mau modelnya seperti apa, Mas?" tany
"Silahkan, kalau kamu bisa. Jangan ganggu hidupku, jika aku tidak menganggumu," desisku dengan mengigit bibir pelan.Nagita berang dengan rencana pernikahan kami. Menurutnya, itu akan membuat Mas Gilang semakin tidak bisa melupakanku. Umpatan dan makian dia tumpahkan padaku.Dia menuduhku mengingkari janji yang pernah kuucapkan padanya. Aku sudah menunaikan apa yang kuucapkan. Namun, takdir seakan enggan melepasku dari lingkaran keluarga Sentawibara. Bagai buah simalakama. Menjauh dibenci, mendekat juga dicaci. Miris."Aku benci pada manusia sok suci sepertimu!" jerit Nagita. Wajahnya merah bak kepiting rebus yang siap disantap."Itu pintu, silahkan keluar! Aku banyak pekerjaan. Apa pun yang kamu lakukan, aku tetap menikah dengan Khanif. Aku tidak merebut apa-apa darimu. Buka pikiran dan hatimu, jangan selalu siram dengan benci dan emosi. Hingga pada akhirnya dia akan mati dan tidak berfungsi," pungkasku santai. Nagita menatap tajam ke arahku. Langkahnya mendekatiku."Berarti kamu mem
"Khanif! Tolong!" jeritku. Aku tidak ingin berlama-lama dengan Mas Gilang. Otaknya mulai tidak waras."Khanif!" jeritku kembali. Beberapa detik lamanya tidak ada suara di luar sana. Mas Gilang berusaha membekap mulutku."Ibu! Tolong Nia, Ibu!" jeritku histeris."Diam! Jangan ribut," desis Mas Gilang panik.Aku mundur hingga tubuh berbentur tembok pembatas. Tubuhku melorot ke lantai. Menangis sambil memeluk lutut di samping meja rias. Mas Gilang terlihat kelimpungan. Aku terus berteriak, hingga pintu digedor dengan kerasnya."Shiit!" umpat Mas Gilang."Nia! Kenapa pintu dikunci dari dalam. Buka kuncinya, Sayang!" teriak ibu dengan nada suara panik."Tolong!" jeritku. Mas Gilang mondar-mandir nggak tentu arah. Tentunya dia bingung melepas diri dari Khanif dan ibu."Menjauh dari pintu!" teriak Khanif dari luar.Braak!Bruuk!Pintu terlepas dari tempatnya, Khanif, ibu, pegawai butik berserta satpam berdiri di ambang pintu. Mas Gilang tergugu di tempat."Kenapa kamu ada di sini, Mas?" tany
Aku menempuh perjalanan panjang untuk sampai di rumah yang dulu aku tempati. Istana impianku. Tidak ada yang berubah semuanya tetap sama. Hanya ratunya saja yang berganti. Melangkah cepat menuju pintu utama. Bayang-bayang kenangan masa silam meringsek cepat dalam ingatan, membangkitkan gejolak penyesalan atas kebodohan yang pernah kulakukan. Kutekan bel di samping pintu. Aku tidak sabar menunggu penghuninya keluar. Suara berisik terdengar dari dalam. Langkahku mundur ke belakang saat menyadari Mas Gilang yang membukakan pintu. Sejenak, waktu berjalan sangat lamban, tatapannya, membuatku tertunduk tak berdaya. "Kamu datang, Nia. Kamu ingin menemuiku, 'kan?" tanyanya dengan binar mata penuh harap. Ekpresi wajah penuh bahagia tergambar jelas. "Maaf, aku ingin berjumpa dengan istrimu. Tolong panggilkan dia keluar!" pintaku tenang. Berusaha mengelola batin yang sama sekali tidak memiliki ketenangan. "Nagita? Ada masalah apa?" tanyanya dengan kerutan dahi yang sangat menganggu pandangan
"Siapa yang Mbak Nagita sebut pelacur?" Aku terperanjat melihat Khanif berdiri di ambang pintu. Bersamanya hadir dua orang lelaki berseragam polisi lengkap. Nagita menarik diri berlindung di balik tubuh kekar Mas Gilang. "Kenapa bersembunyi, Mbak? Kalau diamati dari cara Mbak bersikap dan berpakaian kata itu lebih cocok disematkan padamu, Mbak. Bukan calon istriku," tegas Khanif tenang. Aku melangkah ke arah ruang laundry mencari kain yang bisa menutupi tubuh Nagita. Beruntung ada selimut besar yang bisa menutupi seluruh tubuhnya. "Gilang, kenapa bawa polisi ke sini?" tanya Mas Gilang. "Aku melaporkan Mbak Nagita atas tindak pengancaman terhadap calon istriku. Mbak Nagita sudah keterlaluan. Kelakuannya tidak bisa ditoleril," jelas Khanif berang. "Apakah hal ini tidak bisa dibicarakan secara kekeluargaan?" tanya Mas Gilang. Satu poin yang kusimpulkan. Bahwa, mantan suamiku itu masih berusaha melindungi istrinya. "Aku rasa tidak, Mas. Dia sudah keterlaluan. Mbak Nagita mencoba me
Aku masih teringat akan Nagita. Seluruh keluarga setuju memberikan efek jera kepadanya. Ancamannya jelas memberatkan hukuman yang akan Nagita jalani. Ditambah lagi rekaman CCTV di malam pengrusakan kaca depan restoranku terjadi. Paling lama hukuman yang dijalani adalah empat tahun.Keluarga Nagita tak ayal mencaci dan menghinaku. Penyebabnya tidak bukan dan tidak lain karena aku menjebloskan anak kesayangan mereka ke penjara.Ekspresi cemburu Khanif mengelitik hati. Tatkala percakapanku dengan Nagita sampai di ancamanku akan merebut Mas Gilang darinya. Lelaki itu cemburu. Cemburu berat. Aku bisa membaca dan merasa cinta Khanif terlalu besar untukku.Sesuai permintaan Khanif, kami pindah ke Jakarta selama persiapan menjelang pernikahan. Aku memilih tinggal di apartemen. Menghindar dari Mas Gilang yang sudah pindah ke rumah ibu. Khanif pun setuju, didasari kecemburuannya kepada Mas Gilang.Semilir angin malam menerpa kulit mengiringi malam panjangku. Hanya mampu berdiri di balik jendel
Ibu menghampiriku, pelukan dan kecupan dia hadiahkan untukku. "Jadilah istri yang taat untuk Khanif, Nak. Jangan kecewakan dia," bisik ibu di telinga. Kata-kata ibu menyentil hati. Terbayang penghianatan setahun silam. Walau sebenarnya, wanita berhati mulia itu tidak ada maksud menyinggungku."InsyaAllah, Bu. Nia akan menjadi istri yang terbaik untukku," sahut Khanif. Digenggam erat tanganku. Aku semakin gugup. Satu persatu ucapan selamat didengungkan. Semua wajah terpampang ekspresi ceria. Kecuali, Mas Gilang. Wajahnya kusut. Hanya sekali-kali menebar senyum pada kolega dan saudaranya. Bisik-bisik tamu undangan pun tidak terhindarkan. Tentunya hubunganku dan Mas Gilang sebelumnya dan sekarang dengan Khanif--adiknya. Aku bisa menebak bermacam kata miring tertuju padaku. Hal inilah yang aku takutkan, kehadiran banyak tamu undangan cukup menambah polemik dalam hidup. Tatapan sinis dari beberapa wanita sosialita di hadapanku tidak dapat dibendung. "Selamat ya, Mbak. Udah jadi bagian ke
POV KHANIFMalam pertama akan berkesan bagi sebagian pengantin baru. Bukan hanya persiapan mental dan fisik. Namun suasana ruangan yang romantis dan nyaman. Aku hanya mampu menyungingkan senyum melihat ruangan khusus yang ibu persiapkan untukku dan Nia.Semua tertata sempurna, tanpa bertanya dekorasi kamar sesuai dengan keinginanku. Terlebih lagi dengan Nia. Sedari pertama melangkah, raut wajahnya takjub dengan hal indah di hadapannya.Harum mawar menyerbak menusuk indera penciuman. Di setiap sudut ruangan mawar merah terlihat rapi disusun dalam vas kaca. Di atas tempat tidur disusun dalam bentuk love. Dari pintu hingga menuju ranjang. Mawar merah disusun bak karpet merah yang dilewati para artis saat menghadiri acara penghargaan bergengsi.Bunga mawar adalah lambang cinta. Oleh karena itu sering digunakan di momen-momen spesial. Salah satunya dekorasi kamar pengantin. Membawa suasana menjadi romantis agar semakin intim dan manis.Pernikahanku dan Nia. Bukanlah pernikahan paksaan atau