Suara derap langkah mereka mengarah ke bawah. Ibu mendorong kursi roda untuk masuk ke dalam kamar. Malas menangapi permasalahan tiada ujung antara Nagita dan Mas Gilang."Tunggu!" teriaknya Mas Gilang. Namun, suara Nagita tak terdengar."Apa maksudmu dengan semua ini?"Craaang!Suara kaca pecah cukup menganggu telinga. Aku dan ibu saling bisik. Menguping pembicaraan mereka."Maksudku baik, Mas. Tidak ada niat buruk sama sekali. Aku ingin mewujudkan keinginan ibu kamu. Ingin memiliki cucu. Dari pada dia sibuk ngurus mantan istri kamu yang dalam perutnya anak tak jelas," kilah Nagita.Uh! Kenapa dia harus terus menyinggungku. Ibu mengusap pundakku pelan. Dia tahu, hati tersentil dengan ucapan wanita yang tidak mempunyai etika itu."Baik apanya? Baik untukmu, tapi musibah bagiku!" Mas Gilang terus berbicara tanpa henti. Nagita juga terus-terusan membela diri."Mas! Aku istrimu sudah seharusnya kamu memberikanku nafkah lahir dan batin. Kamu tidak bisa menyiksaku terus menerus." Suara Nagi
"Mas, diantara kalian sudah terikat dengan akad pernikah. Segala tugas dan tanggung jawab orang tua Nagita berpindah ke pundak Mas. Termasuk memberikannya nafkah batin. Kalau Mas tidak melakukannya dosa. Aku rasa kamu mengetahui semua itu." Khanif memberi penjelasan seperti yang pernah aku jelaskan semalam."Gilang. Bawa istrimu pergi dari rumah ibu. Kembali ke rumahmu. Ibu mau hidup tenang." Nada bicara ibu melemah."Tapi, Bu ....""Mas. Maaf jika ucapanku menyentil hatimu. Kamu berisikeras tinggal di sini karena ingin membuatku cemburu, 'kan? Kamu ingin menyakitiku pelan-pelan dengan kemesraan kalian. Namun, satu hal yang perlu Mas Gilang tahu. Apa pun yang kalian lakukan sama sekali tidak berpengaruh padaku. Lebih baik, Mas dan Nagita perbaiki hubungan. Semoga apa yang terjadi dengan kalian semalam membuahkan benih cinta yang selama ini kamu dambakan, Mas." Aku mengungkap isi hati yang selama ini aku pendam."Hah? Nggak salah? Aku mau Nagita tinggal di sini. Biar ada yang jaga Ibu.
"Sumpah demi Allah! Ini anaknya Mas Gilang. Kenapa sih perlakuan kalian padaku sangat berbeda dengan Mbak Nia. Padahal aku menantu di keluarga ini, sedangkan Mbak Nia hanya mantan mantu. Penghianat pula," ucap Nagita. Wajahnya terlihat murung."Kami bukan tidak menyukaimu, Nagita. Tidak ada yang membantah, jika kamu menantu dari keluarga Sentawibara. Namun, kelakuan kamu dan Mas Gilang itu membuat kami geram," ungkap Mbak Tari."Kelakuan keluarga kamu juga bikin sakit hati," tambah ibu."Karena hubungan kalian dimulai dengan pemaksaan. Ya ... begini akhirnya," timpal Ali. Dia tidak mau ketinggalan dalam berkomentar."Tidak perlu diperpanjang lagi. Kalau memang iya kamu hamil dengan Gilang. Alhamdulillah, kita semua juga trauma dengan permasalahan yang pernah terjadi pada Nia ....""Mas Lukman, aku tidak seperti Mbak Nia ....""Jangan ngebantah bisa nggak?" sela Mbak Aisyah geram."Kalau Mbak Nagita hamil anak Mas Gilang. Tidak menutup kemungkinan, anak dalam kandungan Mbak Nia ....""
Dua bulan berlalu, surat cerai sudah dalam genggaman. Semua itu karena campur tangan Khanif. Lelaki itu datang bak malaikat penolong. Ternyata Allah masih sayang kepadaku. Masih memberiku orang-orang yang menyayangiku tulus tanpa syarat."Mbak, kita belanja keperluan dedek bayi dalam kandungan Mbak, ya. Mbak siap-siap, ya." Khanif membuatku kaget dengan ucapannya. Aku sama sekali tidak memikirkannya. Sampai detik ini, satu persiapan pun belum ada."Nanti saja, tunggu Raka kirim uangnya dulu," ucapku malu. Raka sudah berjanji mengirimkan uang untuk persalinanku."Tenang, Khanif bayarin," ujarnya pelan."Nggak usah, mbak terlalu membebani kalian. Jangan sampai hal sepele seperti ini harus kalian juga yang tangani." Aku menunduk malu."Nia, ini terakhir kali ibu mendengar kalimat seperti itu keluar dari mulut kamu. Jasa kamu menjaga ibu selama 12 tahun tidak sebanding dengan uang yang ibu keluarkan untuk kamu." Ibu keluar dari kamar."Sudahlah, Mbak. Jangan dipikirkan yang lalu. Segera
"Lagi mencari wanita yang mampu mengambil hati ibu dari Mbak Lita, khususnya dari Mbak Nia. Nggak mau ntar dapat istri macam Mbak Nagita. Jadi ... harus melewati seleksi yang ketat," ungkap Khanif dengan mengedipkan mata ke arah ibunya."Jangan kebanyak milih, akhirnya jadi perjaka tua," seloroh ibu.Kemudian Khanif melangkah ke arah kereta dorong. Aku melarangnya. Namun, dia berdalih aku membutuhkannya. Di luar prediksi terlihat Mas Gilang dan Nagita. Mereka juga sedang memilih-milih kereta dorong."Nagita beli perlengkapan bayi juga, Bu," ujarku pada ibu. Telunjukku mengarah ke arah Mas Gilang dan Nagita."Cepet kali." Hanya dua kata itu terlontar dari mulut ibu.Dari kejauhan, aku melihat Khanif menegur Mas Gilang. Dia juga menunjuk ke arah kami. Nagita segera melangkah mendekat. Ekspresinya jangan ditanya sama sekali tidak bersahabat."Mas lihat ibu, lebih milih nemenin mantan mantunya belanja dari padaku," ujar Nagita seraya menarik-narik lengan Mas Gilang. Tak ubah bak gaya anak
"Tenang, kok lebih panikan kamu dari Nia," ujar ibu seraya menarik hidung putra bungsunya."Ntah, Bu. Nggak tega lihat Mbak Nia nggak berdaya gitu. Sakit, ya, Mbak?" tanya pelan. Dia mengambil teh hangat dan diminumkan pelan. Andai rumah tanggaku dengan Mas Gilang masih utuh. Tentunya dia sangat bahagia. Namun, sayang. Napsu menghancurkan ini semua."Tenang, rileks! Jangan ada beban pikiran. Fokus melahirkan. Setelah ini baru kita pikirkan hal lainnya," ujar ibu. Air mataku merembes. Jemari tua ibu menyekanya perlahan."Hari perpisahanku dengan kalian semakin dekat. Aku tidak tak akan pernah bisa melupakan kebaikan kalian ....""Sssttt! Berdoa pada Allah, agar bayi yang sebentar lagi kamu lahirkan mengalir darah keturunan Sentawibara," ucap ibu pelan. Sangat pelan, hanya aku dan Khanif yang mampu mendengarnya.Aku dipindahkan ke ruang rawat inap. Pembukaan sama sekali tidak berjalan. Bayinya pun sama sekali tidak bergerak. Khanif sibuk mengurus segala sesuatunya."Mau sesar atau ope
"Apa maksudmu menuduhku sekeji itu? Aku tidak melakukan seperti yang kalian tuduhkan." Suara Nagita melemah."Tes kesehatan apa lagi? Kenapa masalah kalian nggak habis-habis?" Mas Lukman mengusap wajahnya kasar."Tes kesehatan yang aku perlihatkan pada kalian waktu itu. Di kertas itu ditulis aku mandul. Makanya aku yakin kalau anak dalam kandungan Nia bukan anakku. Terlebih lagi 12 tahun berumah tangga Nia tidak pernah hamil ....""Selama kita berobat, tidak pernah ada tes yang menyatakan kamu mandul," potongku cepat. Terpaksa berbicara walau kondisi sangat lemah."Itulah, makanya aku tanya sama wanita ini. Apakah dia menukar hasil tesnya?""Ya Allah, Mas. Hari ini kamu sadar. Kalau pun iya Semua tidak berarti apa-apa lagi." Khanif terlihat geram dengan apa yang berlangsung di depannya."Bu, tolong suruh mereka keluar," pintaku pada ibu.Aku kembali larut dalam kesedihanku. Memikirkan nasib putriku yang belum jelas keadaanya. Aku tidak peduli Mas Gilang mau mengakui atau tidak. Yang t
"Ibu akan menghubungi Gilang," sahut ibu. Tangannya mengusap lembut pundakku.Suara pintu terdengar, kami serempak melihat ke arah pintu. Khanif muncul dengan mengulas senyum. Ibu segera menyuruhnya menghubungi Mas Gilang. Namun, beberapa kali di coba. Nomornya tidak bisa dihubungi."Cek darah saya, Dok. Kebetulan saya juga O-." Mendengar ucapan Khanif memberi sedikit angin segar dalam pikiranku."Sus, tolong antarkan Bapak ini ke lab. Lakukan segera pengecekan darah. Kalau cocok segera lakukan sesuai petunjuk." Dokter memberi perintah. Wanita yang ditunjuk sang dokter mengarahkan Khanif keluar."Tenangkan diri Ibu. Kalau Ibu sedih kasihan bayinya. Dia akan merasakan sedih juga. Ikatan batin Ibu dan anak itu kuat, Bu. Semangat, jangan lupa terus berdoa kepada Allah. Yakin lah, setiap hal yang terjadi dalam hidup tidak lepas dari campur tangan Sang Pencipta." Nasehat sekaligus motivasi yang baik dari wanita cantik yang tubuh sintalnya dibalut jas putih kebanggaannya.Aku tidak sabar me
Suasana hening, Nia fokus pada pikirannya yang sulit diurai, sementara Lukman membiarkan Nia tenang sebelum melanjutkan ucapannya. "Sampai kapan ini akan berakhir, Mas?" lirih Nia pelan."Mas tidak menyangka bahwa Gilang belum berhenti untuk merebutmu dari Khanif. Mas bingung mikirin cara agar kita semua hidup tenang," keluh Lukman. Keduanya seakan terperangkap pada beban tanpa ujung. "Bukankah Gilang akan menikah dengan Maya dalam waktu dekat?" selidik Nia. "Menikahi Maya sahabat SMA Khanif?" Lukman mencoba memastikan karena ia belum menerima kabar apa pun tentang hal ini. "Iya, Mas. Aku mendengar hal tersebut dari Maya kemarin. Namun, aku tidak yakin mereka menikah karena cinta." Nia berspekulasi. "Mas akan bicara kepada Gilang mengenai hal ini, perkara perusahaan Khanif yang disabotase Gilang untuk sementara tolong rahasiakan dari Khanif, jangan sampai pikirannya kembali terbeban. Mas akan cari cara agar Khanif tidak tahu bahwa Gilang merupakan dalang dari ini semua," tukas Lu
"Mbak mau kita tinggal serumah?" tanya Daffa yang terkejut dengan permintaan Nia. Nia mengangguk pelan, bola matanya menatap lurus ke arah jalanan yang disesaki bermacam jenis mobil dan sepeda motor. "Ada apa? Kenapa mendadak?" tanya Daffa. Lelaki muda itu merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh kakak tercintanya. "Nggak ada apa-apa, pengen kamu dekat sama Mbak saja. Lagian kamu selama ini sendiri," jawab Nia. Dia masih mencoba menyembunyikan prahara yang merudungnya. "Iya sih, aku sendiri semenjak abang kerja keluar negeri." Daffa membenarkan ucapan Nia. "Jadi tidak ada penolakan, kamu setuju, 'kan?" Nada bicara Nia terdengar mendesak. "Sudah ada izin dari Mas Khanif?" "Sudah, makanya Mbak berani." Nia berbohong pada Daffa. Padahal, Khanif tidak memberikan izin secara jelas akan permintannya. Daffa tersenyum tipis, kedua tangannya tiba-tiba membingkai wajah Nia. "Mbak bahagia dengan Mas Khanif?"Nia menghela napas sejenak, berat untuk menjelaskan gejolak perasaannya saat
"Beneran Maya mau menikah dengan Mas Gilang?" tanya Nia pada Khanif. Khanif menoleh sejenak, lalu fokus pandangan ke depan. Posisinya sedang mengemudi mobil dalam kecepatan cepat karena memburu waktu agar segera sampai ke rumah yang mereka tempati sekarang. "Nggak tahu, Sayang. Memangnya kenapa, cemburu?" tanya Khanif datar. Intonasi suara seakan orang kesal jelas memekik di telinga Nia. "Cemburu? Atas dasar apa?" tanya Nia seraya merebahkan kepalanya ke bahu sang suami. Tatapannya fokus menatap wajah tampan Khanif yang nyaris tanpa ekspresi. "Ntah, mungkin belum bisa move on," ketus Khanif. Nia hendak tertawa, tapi diurungkan. Wanita cantik itu enggan memantik emosi sang suami yang sedang tidak mood diajak bercanda. Nia memuji Khanif setinggi bintang di langit, membelai pelan dada bidang sang suami seraya menghitung kancing kemeja yang membalut tubuh kekarnya. Ya, walaupun ototnya sudah mulai hilang karena sudah sangat jarang olahraga. "Jangan dipikirkankan, aku hanya bertanya,
Hening menyelimuti ruang privat milik Lukman di lantai paling atas bangunan pencakar langit miliknya. Ruang itu digunakan untuk acara penting dengan tamu yang tentunya khusus dan spesial. Lukman duduk bersila di depan Khanif dan Nia, tidak bicara. Namun, tatapan matanya tertuju pada Khanif yang sibuk menatap indahnya hamparan puncak gunung dari balik kaca gedung. "Apakah kalian datang hanya untuk berdiam diri?" Lukman bertanya dengan nada santai. "Begini, Mas. Khanif ...," Ucapan Nia terjeda karena Khanif berdehem dengan sorot mata tajam ke arahnya. "Mas Khanif setuju bekerja di perusahaan Mas Lukman." Nia menambah embel Mas di belakang nama Khanif. Hampir saja ia melupakan perjanjian mereka sebelumnya. Lukman yang menyadari adanya progres dalam hubungan sang adik hanya mampu mengulum senyum bahagia. "Apakah yang disampaikan Nia itu benar?" "Iya, Mas," jawab Khanif singkat. "Sejak kapan kamu pelit bicara? Apakah Nia sekarang menjadi juru bicara kamu?" goda Lukman dengan tawa r
Trauma, Nia harap rasa itu segera menghilang dalam diri Khanif. Dia sudah tidak sabar mereguk indahnya jalinan cinta yang semestinya. Dia mulai bosan kala aktivitas malam hanya berbaring tanpa cerita mesra. Terkadang, sisi buruk mengajaknya untuk menyerah. Namun, sisi baik selalu menjadi penengah. "Sayang, bangun! Katanya mau jenguk ibu, kok tidur lagi?" Nia menatap wajah Khanif yang kembali terlelap. Wanita cantik itu baru saja keluar kamar mandi, tubuhnya dibalut handuk putih yang menutupi area dada sampai pangkal paha. "Sayang, bangun, Sayang," desah Nia manja. Perlahan tangannya menyentuh pipi Khanif. Ekpresi wajah Nia langsung berubah. Wajah Khanif terasa panas. "Astaghfirullah! Kamu sakit, Mas?!" pekik Nia. Jemari Nia berpindah ke dahi Khanif. "Mas, sakit, ya!" "Engh ..., tidak. Aku hanya sedikit pusing." Khanif membuka matanya perlahan. "Ya sudah, Sayang lanjut tidur. Nanti setelah mendingan kita ke rumah sakit. Aku ambilkan kain kompres dulu." Nia terlihat panik. Khanif m
Nia duduk di depan cermin rias, bukan karena ingin meneliti setiap lekuk wajahnya. Namun, memantau Khanif yang duduk di sisi ranjang, layar gawai menyala dalam genggamannya. Namun, fokusnya terpusat ke arah lainnya. Untuk kesekiankalinya Khanif duduk termenung tanpa menghiraukan kehadiran Nia di sampingnya. Perasaan Nia seakan ditarik ulur dengan sikap Khanif yang bisa berubah dengan sangat cepat. Seperti malam ini, harusnya Khanif mengarahkan perhatiannya pada Nia yang sejak tadi berusaha menggoda. Lingerie tipis berenda membalut tubuhnya, setiap lekuk tubuh menguncang birahi. Namun, Khanif diam seolah Nia tidak terlihat oleh pandangannya. Khanif terlalu larut dalam beban pikiran dan melupakan hal indah yang seharusnya dilakukan bersama Nia. "Sayang ...." Panggil Nia lembut.Khanif menoleh dengan begitu cepat, mengulas senyum menawan, mencoba menyembunyikan gumpalan beban yang menyesaki alam pikirannya. Bukannya ia melupakan Nia, tapi ketakutan dan kegelisahannya telah mengikis kew
Sesampai di Mall, Nia turun seorang diri, Khanif memilih menunggu di mobil. Dia sedikit nyaman karena mengetahui Gilang berada di luar negeri. Lelaki itu merasa tidak nyaman dengan kondisi fisiknya yang acak-acakan. "Sebentar ya, Sayang," ujar Nia seraya mengecup pelan pucuk kepala Khanif. "Jangan lama-lama," tukas Khanif pelan. "Nggak kok sebentar, ada titipan?" tanya Nia bersemangat. Khanif mengeleng pelan, ia meminta Nia untuk berhati-hati. "Hubungi aku jika ada masalah." "Siap, Sayang," balas Nia seraya menjauh. Kakinya melangkah memasuki Mall. Kaki jenjang Nia fokus melangkah ke gerai baju pria, ia berniat mencarikan baju untuk Khanif. Sifat penyayang Nia memang sudah terbukti, hanya saja keadaan yang seakan tidak berpihak padanya. "Selamat datang, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" sapa pegawai mall dengan ramah. Nia melempar senyum seraya mengungkapkan keinginannya. "Silakan ikut saya," ujar gadis di depan Nia dengan sopan. Khanif tidak enak hati membiarkan Nia belanja s
Ibu, sinar kasih dalam senyum lembut, penuh pengorbanan seperti embun pagi meresapi bunga kehidupan. Dalam tatapannya, dunia terhampar seperti lautan tak terhingga, tiada batas untuk cinta yang mengalir dalam setiap detiknya. Ia adalah pelindung setia, tempat berlindung dari badai hidup, dan sang pemandu dalam lorong gelap. Ibu, nyanyian lembut yang mengalun dalam setiap doa, mengukir jejak keabadian di hati yang mencintai."Ibu kenapa?" tanya Khanif dengan panik. Kalimat yang pertama kali ia lontarkan ketika melihat wanita yang melahirkannya tersebut terbaring lemah di atas ranjang. "Bu, kenapa ibu tidak menjawab. Ibu sakit apa? Dimana yang sakit?" Khanif meraba seluruh tubuh sang ibu dengan gelisah. Namun, tidak ada jawaban, hanya bulir bening yang mengalir di kedua sudut mata sayunya. "Khanif datang, Bu." Lukman menimpali seraya mendekati ranjang sang ibu. "Untuk apa ia ke sini?" Pertanyaan yang membuat Khanif kaget. Spontan melirik ke arah Nia dan Lukman secara bergantian. "Bu
"Kamu sudah gila, hah?" gumam Nia dengan bibir bergetar. "Aku gila dan trauma karena kehilangan kamu, Nia," Balas Khanif pelan. Nia membingkai wajah Khanif dengan kedua tanganya. "Kamu mencintaiku?" Untuk beberapa saat mata mereka beradu, banyak cerita yang sulit diurai menjadi kata hanya bisa dicerna oleh ia yang paham akan rasa. "Aku mohon kesekian kali, kita jalani hidup yang normal. Aku mau kita bulan madu." Permintaan indah, tapi sayang di waktu yang tidak tepat. Mata Khanif membelalak kaget. Untuk beberapa saat ia terdiam. Batin Khanif bergejolak hebat, napsu dengan pikirannya berdebat keras. Perasaan mengambang tidak jelas, bibir bergerak. Akan tetapi, tidak ada suara yang terdengar, hanya leguhan samar tanpa makna. "Kamu butuh ketenangan. Jangan anggap bulan madu kalau kamu keberatan. Anggap saja ini healing atau liburan. Aku takut kesehatan mentalmu semakin terganggu," ucap Nia cemas. "Apakah harus keluar negeri?" tanya Khanif ragu. "Tidak sih, tapi menurutku keluar n