"Sumpah demi Allah! Ini anaknya Mas Gilang. Kenapa sih perlakuan kalian padaku sangat berbeda dengan Mbak Nia. Padahal aku menantu di keluarga ini, sedangkan Mbak Nia hanya mantan mantu. Penghianat pula," ucap Nagita. Wajahnya terlihat murung."Kami bukan tidak menyukaimu, Nagita. Tidak ada yang membantah, jika kamu menantu dari keluarga Sentawibara. Namun, kelakuan kamu dan Mas Gilang itu membuat kami geram," ungkap Mbak Tari."Kelakuan keluarga kamu juga bikin sakit hati," tambah ibu."Karena hubungan kalian dimulai dengan pemaksaan. Ya ... begini akhirnya," timpal Ali. Dia tidak mau ketinggalan dalam berkomentar."Tidak perlu diperpanjang lagi. Kalau memang iya kamu hamil dengan Gilang. Alhamdulillah, kita semua juga trauma dengan permasalahan yang pernah terjadi pada Nia ....""Mas Lukman, aku tidak seperti Mbak Nia ....""Jangan ngebantah bisa nggak?" sela Mbak Aisyah geram."Kalau Mbak Nagita hamil anak Mas Gilang. Tidak menutup kemungkinan, anak dalam kandungan Mbak Nia ....""
Dua bulan berlalu, surat cerai sudah dalam genggaman. Semua itu karena campur tangan Khanif. Lelaki itu datang bak malaikat penolong. Ternyata Allah masih sayang kepadaku. Masih memberiku orang-orang yang menyayangiku tulus tanpa syarat."Mbak, kita belanja keperluan dedek bayi dalam kandungan Mbak, ya. Mbak siap-siap, ya." Khanif membuatku kaget dengan ucapannya. Aku sama sekali tidak memikirkannya. Sampai detik ini, satu persiapan pun belum ada."Nanti saja, tunggu Raka kirim uangnya dulu," ucapku malu. Raka sudah berjanji mengirimkan uang untuk persalinanku."Tenang, Khanif bayarin," ujarnya pelan."Nggak usah, mbak terlalu membebani kalian. Jangan sampai hal sepele seperti ini harus kalian juga yang tangani." Aku menunduk malu."Nia, ini terakhir kali ibu mendengar kalimat seperti itu keluar dari mulut kamu. Jasa kamu menjaga ibu selama 12 tahun tidak sebanding dengan uang yang ibu keluarkan untuk kamu." Ibu keluar dari kamar."Sudahlah, Mbak. Jangan dipikirkan yang lalu. Segera
"Lagi mencari wanita yang mampu mengambil hati ibu dari Mbak Lita, khususnya dari Mbak Nia. Nggak mau ntar dapat istri macam Mbak Nagita. Jadi ... harus melewati seleksi yang ketat," ungkap Khanif dengan mengedipkan mata ke arah ibunya."Jangan kebanyak milih, akhirnya jadi perjaka tua," seloroh ibu.Kemudian Khanif melangkah ke arah kereta dorong. Aku melarangnya. Namun, dia berdalih aku membutuhkannya. Di luar prediksi terlihat Mas Gilang dan Nagita. Mereka juga sedang memilih-milih kereta dorong."Nagita beli perlengkapan bayi juga, Bu," ujarku pada ibu. Telunjukku mengarah ke arah Mas Gilang dan Nagita."Cepet kali." Hanya dua kata itu terlontar dari mulut ibu.Dari kejauhan, aku melihat Khanif menegur Mas Gilang. Dia juga menunjuk ke arah kami. Nagita segera melangkah mendekat. Ekspresinya jangan ditanya sama sekali tidak bersahabat."Mas lihat ibu, lebih milih nemenin mantan mantunya belanja dari padaku," ujar Nagita seraya menarik-narik lengan Mas Gilang. Tak ubah bak gaya anak
"Tenang, kok lebih panikan kamu dari Nia," ujar ibu seraya menarik hidung putra bungsunya."Ntah, Bu. Nggak tega lihat Mbak Nia nggak berdaya gitu. Sakit, ya, Mbak?" tanya pelan. Dia mengambil teh hangat dan diminumkan pelan. Andai rumah tanggaku dengan Mas Gilang masih utuh. Tentunya dia sangat bahagia. Namun, sayang. Napsu menghancurkan ini semua."Tenang, rileks! Jangan ada beban pikiran. Fokus melahirkan. Setelah ini baru kita pikirkan hal lainnya," ujar ibu. Air mataku merembes. Jemari tua ibu menyekanya perlahan."Hari perpisahanku dengan kalian semakin dekat. Aku tidak tak akan pernah bisa melupakan kebaikan kalian ....""Sssttt! Berdoa pada Allah, agar bayi yang sebentar lagi kamu lahirkan mengalir darah keturunan Sentawibara," ucap ibu pelan. Sangat pelan, hanya aku dan Khanif yang mampu mendengarnya.Aku dipindahkan ke ruang rawat inap. Pembukaan sama sekali tidak berjalan. Bayinya pun sama sekali tidak bergerak. Khanif sibuk mengurus segala sesuatunya."Mau sesar atau ope
"Apa maksudmu menuduhku sekeji itu? Aku tidak melakukan seperti yang kalian tuduhkan." Suara Nagita melemah."Tes kesehatan apa lagi? Kenapa masalah kalian nggak habis-habis?" Mas Lukman mengusap wajahnya kasar."Tes kesehatan yang aku perlihatkan pada kalian waktu itu. Di kertas itu ditulis aku mandul. Makanya aku yakin kalau anak dalam kandungan Nia bukan anakku. Terlebih lagi 12 tahun berumah tangga Nia tidak pernah hamil ....""Selama kita berobat, tidak pernah ada tes yang menyatakan kamu mandul," potongku cepat. Terpaksa berbicara walau kondisi sangat lemah."Itulah, makanya aku tanya sama wanita ini. Apakah dia menukar hasil tesnya?""Ya Allah, Mas. Hari ini kamu sadar. Kalau pun iya Semua tidak berarti apa-apa lagi." Khanif terlihat geram dengan apa yang berlangsung di depannya."Bu, tolong suruh mereka keluar," pintaku pada ibu.Aku kembali larut dalam kesedihanku. Memikirkan nasib putriku yang belum jelas keadaanya. Aku tidak peduli Mas Gilang mau mengakui atau tidak. Yang t
"Ibu akan menghubungi Gilang," sahut ibu. Tangannya mengusap lembut pundakku.Suara pintu terdengar, kami serempak melihat ke arah pintu. Khanif muncul dengan mengulas senyum. Ibu segera menyuruhnya menghubungi Mas Gilang. Namun, beberapa kali di coba. Nomornya tidak bisa dihubungi."Cek darah saya, Dok. Kebetulan saya juga O-." Mendengar ucapan Khanif memberi sedikit angin segar dalam pikiranku."Sus, tolong antarkan Bapak ini ke lab. Lakukan segera pengecekan darah. Kalau cocok segera lakukan sesuai petunjuk." Dokter memberi perintah. Wanita yang ditunjuk sang dokter mengarahkan Khanif keluar."Tenangkan diri Ibu. Kalau Ibu sedih kasihan bayinya. Dia akan merasakan sedih juga. Ikatan batin Ibu dan anak itu kuat, Bu. Semangat, jangan lupa terus berdoa kepada Allah. Yakin lah, setiap hal yang terjadi dalam hidup tidak lepas dari campur tangan Sang Pencipta." Nasehat sekaligus motivasi yang baik dari wanita cantik yang tubuh sintalnya dibalut jas putih kebanggaannya.Aku tidak sabar me
"Tidak, apa-apaan kamu?" Aku mendorong tubuh Khanif menjauh dari bayiku."Annisa sudah tidak bernyawa, Mbak," sahut Raka. Dia melangkah mendekatiku. Memberi pemahaman, jika Annisa sudah meninggal."Bohong! Anissa tidak meninggal. Tidak!" Aku bangkit dari tempat tidur tanpa peduli nyerinya luka operasi."Mbak Mau kemana?" tanya Raka dan Khanif berbarengan.Aku tidak menjawab. Meraih tubuh Annisa yang kaku, seluruh tubuh yang membiru. Melangkah tertatih-tatih menuju pintu keluar. Kakiku belum sembuh sempurna."Bertahan, Nak. Mama akan membawamu ke rumah sakit," ucapku seraya mencium keningnya pelan."Nak, sini biar ibu gendong," ucap ibu pelan. Wajahnya penuh dipenuhi bulir-bulir bening."Bu, bawa Annisa ke rumah sakit. Ayo!" Aku menarik lengan ibu."Khanif, cepat!" Ibu memberi perintah dengan nada tinggi. Khanif dan Raka bak orang linglung. Terdiam dengan pandangan kosong."Cepatan, tunggu apa lagi?!" teriak Ibu dengan suara parau.Khanif melajukan mobil keluar dari halaman rumah ibu.
"Aaarrrrggghhh! Pergi! Kamu tidak mengakuinya, dia bukan anakmu.Kondisi ruangan semakin kacau. Mas Lukman dan Ali berusaha mengajak Mas Gilang keluar. Namun, dia tetap keras kepala. Aku juga tidak mau mengalah, tetap pada pendirianku."Jangan bertingkah seperti orang gila," desis Nagita pelan."Aku memang Gila. Aku gila karena anakku mati. Aku Gila, Nagita!" jeritku. Lita segera menarik Nagita pergi dari hadapanku.Aku melangkah mengikuti Mbak Aisyah membawa Annisa untuk dimakamkan di depan rumah ibu. Aku tidak akan membiarkan Mas Gilang melihat wajah putriku. Hati cukup sakit dengan penolakannya kala Khanif memintanya untuk melihat kondisi Annisa.Setelah acara pemakaman selesai. Mas Gilang kembali berulah dengan Nagita. Mereka bertengkar di rumah Ibu."Nagita, bersikap baik pada suamimu," tegur Mas Lukman."Gimana caranya aku bersikap baik. Kalau Mas Gilang tidak pernah baik padaku," sergahnya cepat."Mbak, gimana caranya Mas Gilang baik sama Mbak. Kalau kelakuan Mbak busuk. Untuk