"Tidak, apa-apaan kamu?" Aku mendorong tubuh Khanif menjauh dari bayiku."Annisa sudah tidak bernyawa, Mbak," sahut Raka. Dia melangkah mendekatiku. Memberi pemahaman, jika Annisa sudah meninggal."Bohong! Anissa tidak meninggal. Tidak!" Aku bangkit dari tempat tidur tanpa peduli nyerinya luka operasi."Mbak Mau kemana?" tanya Raka dan Khanif berbarengan.Aku tidak menjawab. Meraih tubuh Annisa yang kaku, seluruh tubuh yang membiru. Melangkah tertatih-tatih menuju pintu keluar. Kakiku belum sembuh sempurna."Bertahan, Nak. Mama akan membawamu ke rumah sakit," ucapku seraya mencium keningnya pelan."Nak, sini biar ibu gendong," ucap ibu pelan. Wajahnya penuh dipenuhi bulir-bulir bening."Bu, bawa Annisa ke rumah sakit. Ayo!" Aku menarik lengan ibu."Khanif, cepat!" Ibu memberi perintah dengan nada tinggi. Khanif dan Raka bak orang linglung. Terdiam dengan pandangan kosong."Cepatan, tunggu apa lagi?!" teriak Ibu dengan suara parau.Khanif melajukan mobil keluar dari halaman rumah ibu.
"Aaarrrrggghhh! Pergi! Kamu tidak mengakuinya, dia bukan anakmu.Kondisi ruangan semakin kacau. Mas Lukman dan Ali berusaha mengajak Mas Gilang keluar. Namun, dia tetap keras kepala. Aku juga tidak mau mengalah, tetap pada pendirianku."Jangan bertingkah seperti orang gila," desis Nagita pelan."Aku memang Gila. Aku gila karena anakku mati. Aku Gila, Nagita!" jeritku. Lita segera menarik Nagita pergi dari hadapanku.Aku melangkah mengikuti Mbak Aisyah membawa Annisa untuk dimakamkan di depan rumah ibu. Aku tidak akan membiarkan Mas Gilang melihat wajah putriku. Hati cukup sakit dengan penolakannya kala Khanif memintanya untuk melihat kondisi Annisa.Setelah acara pemakaman selesai. Mas Gilang kembali berulah dengan Nagita. Mereka bertengkar di rumah Ibu."Nagita, bersikap baik pada suamimu," tegur Mas Lukman."Gimana caranya aku bersikap baik. Kalau Mas Gilang tidak pernah baik padaku," sergahnya cepat."Mbak, gimana caranya Mas Gilang baik sama Mbak. Kalau kelakuan Mbak busuk. Untuk
"Mas, semua udah terlambat," lirihku pelan."Maafkan, Mas! Maafkan Mas yang tidak bisa memahamimu selama ini. Maafkan Mas yang tidak mampu menuruti inginmu. Maafkan Mas yang menalakmu sepihak ...." Mas Gilang memeluk kakiku."Terlambat, Mas. Terlambat!" jeritku. Kutendang tubuhnya menjauh dariku.Tidak ada yang mendekat. Semua seakan memberi waktu untuk kami saling melepas penyesalan dan beban di dada."Sadar, kita impas, Nia. Impas. Kamu mengkhianatiku, wajar Mas curiga dengan ayah biologis bayi yang kamu kandung. Mas minta maaf, Nia. Tatap aku, Nia!" Mas Gilang berusaha meraih wajahku. Namun, kutepis segera."Jangan menyentuhku lagi. Kita bukan mahram," dengkusku kesal."Gilang, jangan paksa Nia. Dia butuh waktu," ujar Mbak Aisyah."Tidak bisa. Nia tidak boleh seperti ini. Jangan sampai dia depresi. Gilang tidak sanggup melihatnya." Sekian bulan aku ditinggalkan, dihina, dicaci dan dimaki. Baru kali ini, raut kekhawatiran akan diriku terpahat di wajah tampannya."Mas, tolong mengert
"Ayolah, Nagita. Aku rasa tidak perlu lagi kuulang kesalahan besarmu. Semua berawal darimu bukan dariku." Aku melangkah ke arah pintu. Membuka daun pintu lebar-lebar agar dia keluar dari kamarku."Diam!" Nagita mengancung sebuah belati ke hadapanku. Kilatan putih yang keluar dari belati di tangannya membuat jantungku seakan lepas dari tempatnya.Dia semakin mendekat, hingga tubuhku terbentur dinding pembatas. Kutarik napas dalam, melepasnya pelan."Kalau kamu tidak mau keluar dari rumah ini. Lebih baik, kamu mati di tanganku ....""Kamu pikir dengan membunuhku kamu akan bahagia bersama Mas Gilang? Akan disayang oleh keluarga Mas Gilang? Tidak, Nagita. Istighfar, gunakan logika kamu. Yang ada kamu akan membusuk di penjara. Mas Gilang akan membencimu. Begitu juga keluarganya." Nagita terdiam, keningnya berkerut seperti memikirkan sesuatu."Aaarrgh apa bedanya dengan sekarang. Suamiku tidak pernah menganggapku ada. Dia tidak peduli keadaanku, bahkan bayi dalam kandunganku. Dia menyiksaku
"Mas, gimana caranya Mas rujuk sama Mbak Nia. Talak tiga, Mas." Khanif mulai bersuara. "Iya, Khanif benar. Talak tiga. Terus aku mau kamu bawa kemana? Aku sedang hamil, Mas." Nagita melayang protes pada suaminya. "Nyesal kamu, Mas! Nyesal. Makanya sebelum bertidak. Otak di pake jangan disimpan di dengkul." Ali terlihat sangat geram. "Gilang. Jangan sampai karena cinta iman kamu tergadaikan. Mas yakin kamu tahu hukum agama. Suami yang menalak istrinya dengan talak tiga tidak bisa rujuk kembali, kecuali wanita itu menikah dengan lelaki lain. Seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 230 yang artinya 'Jika dia mentalak istrinya (talak tiga) maka tidak halal baginya setelah itu, sampai dia menikah dengan lelaki yang lain ...' maka tidak semudah itu Gilang," terang Mas Lukman. "Gilang akan mencari lelaki lain untuk menikahi Nia sementara waktu. Setelah itu, Gilang akan rujuk dengan Nia," ujar Mas Gilang. Raut wajahnya sangat serius. Nagita semakin tak tenang. "Gilang, jangan gi
"Tidak. Mbak akan pergi. Terima kasih untuk kamu yang selalu ada saat Mbak terpuruk. Setelah ini, kembali lanjutkan kuliah kamu. Setelah itu menikah lah. Berikan ibu menantu. Umur udah mau kepala tiga, masih saja betah sendiri." Aku mengulas senyum padanya. Kutangkupkan tangan di dada sebagai salam perpisahan untuknya. "Ka, bantu Mbak beres-beres. Ambilkan tas dan koper di kamar. Kita pulang malam ini," ucapku pada adik kesayanganku. Dia tidak membantah. Bergegas membantuku berdiri. Keadaan belum stabil. Luka operasi masih nyeri, bahkan bernanah. Aku memilih diam, tidak ingin yang lainnya panik. Setelah sampai di Jogja, aku akan berobat lebih baik lagi. "Tidak bisa kamu menunggu sampai besok pagi, Nak?" tanya Ibu pilu. "Tidak, Bu. Lebih cepat lebih baik untuk semua. Ini untuk kebaikan kita semua. Kuurai senyum manis. Padahal, hati enggan beranjak dari sini. Semua baju sudah kumasukkan dalam tas dan koper. Aku akan memulai hidup baru. Mencari kebahagia yang tidak lagi ada di sini.
JogjaUdara pagi begitu dingin. Mungkin saja efek hujan yang sedari tadi malam menguyur kota kelahiranku. Aku beringsut dari ranjang. Menuju jendela kamar yang berbatas dengan alam yang penuh pesona.Kusibak tirai kamar yang sudah berdebu. Aku tersenyum pelan.Kedua adik lelakiku terlalu sibuk. Sampai lupa mencuci tirai jendela. Berharap sinar matahari memberi cahaya kehidupan. Namun, mentari masih betah bersembunyi di balik awan hitam.Cuaca hari ini mendung. Aku memilih kembali meringkuk di atas ranjang. Kupeluk erat guling dalam pelukan. Tidak ada hal yang kulakukan untuk sementara waktu selain beristirahat memulihkan kondisi.Suara pintu diketuk terdengar dari arah luar. Sedetik kemudian, wajah Raka menyembul di balik pintu."Mbak, siap-siap, ya. Raka mau membawa Mbak ke rumah sakit. Kita cek kondisi luka operasi, Mbak," ujar adikku."Nggak usah, Mbak sehat kok. Beli saja obat di apotik," pintaku dengan mengulas senyum."Jangan membantah. Mbak harus sembuh. Cepat berkemas!" Raka m
BandungSatu tahun kemudian"Mbak cepetan!" teriak Raka heboh dari balik pintu kamarku."Apaan sih? Sabar dong!""Gimana bisa sabar. Ini sudah jam delapan. Acara pembukaan restorannya tinggal beberapa menit lagi. Mbak ngapain di dalam?" Raka mendadak bawel."Mbak Nia. Nggak usah dandan berlebihan. Cepetaan!" Daffa ikut berteriak."Ya Allah! Heboh kali lah kalian," gerutuku seraya mempercepat gerakan tanganku yang sedang memasang hijab.Sejenak mematut diri depan cermin. Wajahku kembali sempurna setelah menjalani sekarangkai perawatan. Menghabiskan ratusan juta dalam kurun waktu hampir enam bulan."Mbak!""Ya Allah! Sabar!" teriakku.Kusambar tas atas ranjang. Aku tersenyum sendiri melihat tas yang sekarang tersangkut di bahu. Bukan barang branded seperti yang sering aku tenteng dulu. Ah! Kutepis bayangan yang seharusnya tidak perlu kubayangkan lagi.Kumelangkah ke arah pintu. Wajah dua lelaki tampanku terlihat cemberut."Lamanya," ketus Daffa."Harus terbiasa. Biar nanti saat punya i
Suasana hening, Nia fokus pada pikirannya yang sulit diurai, sementara Lukman membiarkan Nia tenang sebelum melanjutkan ucapannya. "Sampai kapan ini akan berakhir, Mas?" lirih Nia pelan."Mas tidak menyangka bahwa Gilang belum berhenti untuk merebutmu dari Khanif. Mas bingung mikirin cara agar kita semua hidup tenang," keluh Lukman. Keduanya seakan terperangkap pada beban tanpa ujung. "Bukankah Gilang akan menikah dengan Maya dalam waktu dekat?" selidik Nia. "Menikahi Maya sahabat SMA Khanif?" Lukman mencoba memastikan karena ia belum menerima kabar apa pun tentang hal ini. "Iya, Mas. Aku mendengar hal tersebut dari Maya kemarin. Namun, aku tidak yakin mereka menikah karena cinta." Nia berspekulasi. "Mas akan bicara kepada Gilang mengenai hal ini, perkara perusahaan Khanif yang disabotase Gilang untuk sementara tolong rahasiakan dari Khanif, jangan sampai pikirannya kembali terbeban. Mas akan cari cara agar Khanif tidak tahu bahwa Gilang merupakan dalang dari ini semua," tukas Lu
"Mbak mau kita tinggal serumah?" tanya Daffa yang terkejut dengan permintaan Nia. Nia mengangguk pelan, bola matanya menatap lurus ke arah jalanan yang disesaki bermacam jenis mobil dan sepeda motor. "Ada apa? Kenapa mendadak?" tanya Daffa. Lelaki muda itu merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh kakak tercintanya. "Nggak ada apa-apa, pengen kamu dekat sama Mbak saja. Lagian kamu selama ini sendiri," jawab Nia. Dia masih mencoba menyembunyikan prahara yang merudungnya. "Iya sih, aku sendiri semenjak abang kerja keluar negeri." Daffa membenarkan ucapan Nia. "Jadi tidak ada penolakan, kamu setuju, 'kan?" Nada bicara Nia terdengar mendesak. "Sudah ada izin dari Mas Khanif?" "Sudah, makanya Mbak berani." Nia berbohong pada Daffa. Padahal, Khanif tidak memberikan izin secara jelas akan permintannya. Daffa tersenyum tipis, kedua tangannya tiba-tiba membingkai wajah Nia. "Mbak bahagia dengan Mas Khanif?"Nia menghela napas sejenak, berat untuk menjelaskan gejolak perasaannya saat
"Beneran Maya mau menikah dengan Mas Gilang?" tanya Nia pada Khanif. Khanif menoleh sejenak, lalu fokus pandangan ke depan. Posisinya sedang mengemudi mobil dalam kecepatan cepat karena memburu waktu agar segera sampai ke rumah yang mereka tempati sekarang. "Nggak tahu, Sayang. Memangnya kenapa, cemburu?" tanya Khanif datar. Intonasi suara seakan orang kesal jelas memekik di telinga Nia. "Cemburu? Atas dasar apa?" tanya Nia seraya merebahkan kepalanya ke bahu sang suami. Tatapannya fokus menatap wajah tampan Khanif yang nyaris tanpa ekspresi. "Ntah, mungkin belum bisa move on," ketus Khanif. Nia hendak tertawa, tapi diurungkan. Wanita cantik itu enggan memantik emosi sang suami yang sedang tidak mood diajak bercanda. Nia memuji Khanif setinggi bintang di langit, membelai pelan dada bidang sang suami seraya menghitung kancing kemeja yang membalut tubuh kekarnya. Ya, walaupun ototnya sudah mulai hilang karena sudah sangat jarang olahraga. "Jangan dipikirkankan, aku hanya bertanya,
Hening menyelimuti ruang privat milik Lukman di lantai paling atas bangunan pencakar langit miliknya. Ruang itu digunakan untuk acara penting dengan tamu yang tentunya khusus dan spesial. Lukman duduk bersila di depan Khanif dan Nia, tidak bicara. Namun, tatapan matanya tertuju pada Khanif yang sibuk menatap indahnya hamparan puncak gunung dari balik kaca gedung. "Apakah kalian datang hanya untuk berdiam diri?" Lukman bertanya dengan nada santai. "Begini, Mas. Khanif ...," Ucapan Nia terjeda karena Khanif berdehem dengan sorot mata tajam ke arahnya. "Mas Khanif setuju bekerja di perusahaan Mas Lukman." Nia menambah embel Mas di belakang nama Khanif. Hampir saja ia melupakan perjanjian mereka sebelumnya. Lukman yang menyadari adanya progres dalam hubungan sang adik hanya mampu mengulum senyum bahagia. "Apakah yang disampaikan Nia itu benar?" "Iya, Mas," jawab Khanif singkat. "Sejak kapan kamu pelit bicara? Apakah Nia sekarang menjadi juru bicara kamu?" goda Lukman dengan tawa r
Trauma, Nia harap rasa itu segera menghilang dalam diri Khanif. Dia sudah tidak sabar mereguk indahnya jalinan cinta yang semestinya. Dia mulai bosan kala aktivitas malam hanya berbaring tanpa cerita mesra. Terkadang, sisi buruk mengajaknya untuk menyerah. Namun, sisi baik selalu menjadi penengah. "Sayang, bangun! Katanya mau jenguk ibu, kok tidur lagi?" Nia menatap wajah Khanif yang kembali terlelap. Wanita cantik itu baru saja keluar kamar mandi, tubuhnya dibalut handuk putih yang menutupi area dada sampai pangkal paha. "Sayang, bangun, Sayang," desah Nia manja. Perlahan tangannya menyentuh pipi Khanif. Ekpresi wajah Nia langsung berubah. Wajah Khanif terasa panas. "Astaghfirullah! Kamu sakit, Mas?!" pekik Nia. Jemari Nia berpindah ke dahi Khanif. "Mas, sakit, ya!" "Engh ..., tidak. Aku hanya sedikit pusing." Khanif membuka matanya perlahan. "Ya sudah, Sayang lanjut tidur. Nanti setelah mendingan kita ke rumah sakit. Aku ambilkan kain kompres dulu." Nia terlihat panik. Khanif m
Nia duduk di depan cermin rias, bukan karena ingin meneliti setiap lekuk wajahnya. Namun, memantau Khanif yang duduk di sisi ranjang, layar gawai menyala dalam genggamannya. Namun, fokusnya terpusat ke arah lainnya. Untuk kesekiankalinya Khanif duduk termenung tanpa menghiraukan kehadiran Nia di sampingnya. Perasaan Nia seakan ditarik ulur dengan sikap Khanif yang bisa berubah dengan sangat cepat. Seperti malam ini, harusnya Khanif mengarahkan perhatiannya pada Nia yang sejak tadi berusaha menggoda. Lingerie tipis berenda membalut tubuhnya, setiap lekuk tubuh menguncang birahi. Namun, Khanif diam seolah Nia tidak terlihat oleh pandangannya. Khanif terlalu larut dalam beban pikiran dan melupakan hal indah yang seharusnya dilakukan bersama Nia. "Sayang ...." Panggil Nia lembut.Khanif menoleh dengan begitu cepat, mengulas senyum menawan, mencoba menyembunyikan gumpalan beban yang menyesaki alam pikirannya. Bukannya ia melupakan Nia, tapi ketakutan dan kegelisahannya telah mengikis kew
Sesampai di Mall, Nia turun seorang diri, Khanif memilih menunggu di mobil. Dia sedikit nyaman karena mengetahui Gilang berada di luar negeri. Lelaki itu merasa tidak nyaman dengan kondisi fisiknya yang acak-acakan. "Sebentar ya, Sayang," ujar Nia seraya mengecup pelan pucuk kepala Khanif. "Jangan lama-lama," tukas Khanif pelan. "Nggak kok sebentar, ada titipan?" tanya Nia bersemangat. Khanif mengeleng pelan, ia meminta Nia untuk berhati-hati. "Hubungi aku jika ada masalah." "Siap, Sayang," balas Nia seraya menjauh. Kakinya melangkah memasuki Mall. Kaki jenjang Nia fokus melangkah ke gerai baju pria, ia berniat mencarikan baju untuk Khanif. Sifat penyayang Nia memang sudah terbukti, hanya saja keadaan yang seakan tidak berpihak padanya. "Selamat datang, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" sapa pegawai mall dengan ramah. Nia melempar senyum seraya mengungkapkan keinginannya. "Silakan ikut saya," ujar gadis di depan Nia dengan sopan. Khanif tidak enak hati membiarkan Nia belanja s
Ibu, sinar kasih dalam senyum lembut, penuh pengorbanan seperti embun pagi meresapi bunga kehidupan. Dalam tatapannya, dunia terhampar seperti lautan tak terhingga, tiada batas untuk cinta yang mengalir dalam setiap detiknya. Ia adalah pelindung setia, tempat berlindung dari badai hidup, dan sang pemandu dalam lorong gelap. Ibu, nyanyian lembut yang mengalun dalam setiap doa, mengukir jejak keabadian di hati yang mencintai."Ibu kenapa?" tanya Khanif dengan panik. Kalimat yang pertama kali ia lontarkan ketika melihat wanita yang melahirkannya tersebut terbaring lemah di atas ranjang. "Bu, kenapa ibu tidak menjawab. Ibu sakit apa? Dimana yang sakit?" Khanif meraba seluruh tubuh sang ibu dengan gelisah. Namun, tidak ada jawaban, hanya bulir bening yang mengalir di kedua sudut mata sayunya. "Khanif datang, Bu." Lukman menimpali seraya mendekati ranjang sang ibu. "Untuk apa ia ke sini?" Pertanyaan yang membuat Khanif kaget. Spontan melirik ke arah Nia dan Lukman secara bergantian. "Bu
"Kamu sudah gila, hah?" gumam Nia dengan bibir bergetar. "Aku gila dan trauma karena kehilangan kamu, Nia," Balas Khanif pelan. Nia membingkai wajah Khanif dengan kedua tanganya. "Kamu mencintaiku?" Untuk beberapa saat mata mereka beradu, banyak cerita yang sulit diurai menjadi kata hanya bisa dicerna oleh ia yang paham akan rasa. "Aku mohon kesekian kali, kita jalani hidup yang normal. Aku mau kita bulan madu." Permintaan indah, tapi sayang di waktu yang tidak tepat. Mata Khanif membelalak kaget. Untuk beberapa saat ia terdiam. Batin Khanif bergejolak hebat, napsu dengan pikirannya berdebat keras. Perasaan mengambang tidak jelas, bibir bergerak. Akan tetapi, tidak ada suara yang terdengar, hanya leguhan samar tanpa makna. "Kamu butuh ketenangan. Jangan anggap bulan madu kalau kamu keberatan. Anggap saja ini healing atau liburan. Aku takut kesehatan mentalmu semakin terganggu," ucap Nia cemas. "Apakah harus keluar negeri?" tanya Khanif ragu. "Tidak sih, tapi menurutku keluar n