BandungSatu tahun kemudian"Mbak cepetan!" teriak Raka heboh dari balik pintu kamarku."Apaan sih? Sabar dong!""Gimana bisa sabar. Ini sudah jam delapan. Acara pembukaan restorannya tinggal beberapa menit lagi. Mbak ngapain di dalam?" Raka mendadak bawel."Mbak Nia. Nggak usah dandan berlebihan. Cepetaan!" Daffa ikut berteriak."Ya Allah! Heboh kali lah kalian," gerutuku seraya mempercepat gerakan tanganku yang sedang memasang hijab.Sejenak mematut diri depan cermin. Wajahku kembali sempurna setelah menjalani sekarangkai perawatan. Menghabiskan ratusan juta dalam kurun waktu hampir enam bulan."Mbak!""Ya Allah! Sabar!" teriakku.Kusambar tas atas ranjang. Aku tersenyum sendiri melihat tas yang sekarang tersangkut di bahu. Bukan barang branded seperti yang sering aku tenteng dulu. Ah! Kutepis bayangan yang seharusnya tidak perlu kubayangkan lagi.Kumelangkah ke arah pintu. Wajah dua lelaki tampanku terlihat cemberut."Lamanya," ketus Daffa."Harus terbiasa. Biar nanti saat punya i
"Khanif," gumamku pelan. "Yeeee! Horeee! Suprise!" Daffa dan Raka berteriak histeris di belakangku. Aku menatap ke arah mereka berdua. Wajahnya semringah. Lalu beralih pada Khanif yang hanya mengulas senyum sambil mengerak-gerakkan alisnya. "Ada apa ini? tanyaku bingung. "Tidak ada apa-apa. Hanya ini," jawab Khanif. Jawaban yang tidak mampu menjawab rasa penasaranku."Dari mana kamu tahu Mbak di sini?" tanyaku pelan. "Kemana pun kamu pergi. Aku selalu bisa menemukanmu." What! Khanif tidak memakai embel Mbak saat memanggilku. "Cieee!" Raka sibuk sendiri di belakangku. "Diam," desisku kesal. "Mbak jangan marah-marah lah," ujar Raka. "Kita sudah mendiskusikan ini sebelumnya. Tujuan kita pindah ke Bandung. Agar Mbak jauh dari mereka. Kenapa sekarang Khanif ada di sini?" tanyaku pada Raka dan Daffa yang salah tingkah. Aku melangkah menjauh. Tidak suka dengan lelucon di hadapanku."Kamu tidak sayang Ibu, Nak? Kamu ingin membuang Ibu? Kamu tidak rindu sama Ibu? Kamu tega menyiksa I
"Cincin Mbak? Mbak nggak punya cincin berlian, Nif. Jangan bercanda," tukasku. Ibu hanya mengulas senyum, saat netra kami beradu. "Iya, Cincin kamu," jawabnya lagi."Sejak kapan kamu berani panggil Mbak dengan sebutan kamu?" tanyaku dengan delikan mata. Hening sejenak. Tidak ada yang bicara. Ibu pamit keluar. Lapar menjadi alasannya. Meninggalkanku dengan Khanif. Jenak-jenak kebisuan tercipta. Entah kenapa aku merasa segan berdua dengannya. Satu tahun tidak berjumpa membuatku canggung dalam menghadapinya. Beruntung, dinding pembatas ruangan terbuat dari kaca. Jadi tidak akan jadi fitnah berduaan dengan lelaki bukan mahramku."Kamu nggak mau makan?" tanyaku mencairkan suasana. "Tidak lapar," jawabnya datar. Kuhela napas panjang. "Baiklah, kembali ke masalah cincin. Bagaimana ceritanya cincin berlian itu bisa ada dalam cake di meja kamu. Terus sekarang kamu bilang itu milik Mbak. Jawab yang jelas. Jangan membuat orang penasaran."Cincin itu milik kamu, Nia." Kepalanya didonggakkan k
Angin bertiup kencang memainkan rambutku. Langit malam hitam pekat, hanya di hiasi beberapa bintang. Duduk seorang diri dengan pikiran melalang buana tidak tentu arah. Ucapan Khanif terus terngian-ngiang dalam ingatan."Mbak!" Suara Raka terdengar dari belakang.Aku menoleh ke arah sumber suara. Kepalanya menyembul di balik tembok pembatas."Ngapain ngelamun seorang diri? Di atas genteng pula. Nggak takut di ambil setan?" tanya Raka sambil cekikikan nggak jelas."Apaan sih? Biasa juga di sini," balasku tidak terima dengan tuduhannya."Tempat yang sama, tapi lamunanya berbeda, 'kan?"Raka naik mendekat ke arahku. Dibawanya dua kaleng minuman ringan dengan kacang kesukaanku."Terima kasih," ucapku pelan."Kembali kasih Mbak cantik," balasnya pelan.Sejenak kami terdiam menikmati pekatnya malam. Udara dingin membelai wajah kami pelan."Mbak kenapa nggak Mbak terima saja cinta Pangeran Arab?" tanyanya memecah keheningan."Pangeran Arab yang mana lagi?" tanyaku dengan memicingkan mata."Ci
Langkahku terhenti saat sampai di pintu dapur restoran. Mendengar rumpian beberapa gadis yang bekerja padaku."Cowok baru tu ganteng kali lah, kayak bule-bule gitu," ujar gadis bertumbuh ramping itu."Bener, macho kali lah. Pengen dijadiin pacar," balas rekannya."Gue pikir-pikir kemarin itu sengaja dia bikin ulah. Dia sendiri yang meletakkan cincin dalam cake agar jadi perhatian. Terus nuntut kerja di sini."Hah! Berita heboh apa lagi ini?"Sependapat. Tapi nggak apa lah, setidaknya ada tempat cuci mata kalau lagi capek. Bisa dipepetin," seloroh mereka.Aku malas menanggapi, memutar badan hendak kembali ke ruanganku. Aku butuh penjelasan.Bruuk!Aku menabrak seseorang. Piring dan gelas berhamburan di lantai. Menimbulkan suara riuh. Sehingga perhatian tertuju ke arah ku."Ibu nggak apa-apa" tanya anak buahku."Nggak apa-apa, saya yang salah," jawabku datar seraya membersihkan baju dari kotoran sisa makanan."Punya mata dipake dong! Ini buk bos. Jangan asal jalan saja!" sentak anak bua
"Mbak akan mencoba, tapi kalau hati Mbak tidak bisa tersentuh oleh Khanif. Jangan salahkan Mbak," ujarku menyerah. Menghela napas panjang. Mengendurkan ego di depan mereka. Meski ini suatu pemaksaan."Alhamdulillah," ucap mereka hampir serempak."Ibu akan segera menghubungi Khanif ....""Tidak perlu, Bu. Biar Nia yang menyusul ke Mesir." Ucapanku membuat mereka bertiga kaget. Bahkan mulut Raka dan Daffa terbuka lebar. Dengan mata melotot. Ibu juga tidak kalah kaget. Menarik tubuhku segera dalam pelukannya."Mbak, serius?" Daffa menghambur ke dekatku."Serius lah. Mana ada main-main," balasku seraya mengedipkan mata nakal.Raka melipat kedua tangannya di depan dada. Melihatku dengan wajah senyam-senyum nggak jelas. "Ini mah, namanya malu-malu tapi mau.""Kami ikut, ya? Kami belum pernah keluar negeri," ungkap Daffa manja. Wajahnya di pasang menyedihkan. Aku diam dengan memainkan mulutku. Daffa mencubit lenganku pelan. Tingkahnya tidak jauh berbeda dengan anak kecil yang merenggek pada
Keluarganya mencoba menahan tawa. Karena, mereka tidak mau menganggu suasana yang sedang Khanif bangun seromantis mungkin. Daffa dan Raka masih sibuk memvidiokan adegan demi adegan yang berlangsung."Fine. Lalu ... apa yang kamu mau, Khanif?" tanyaku mulai menguasai keadaan."Menikahlah denganku. Aku pastikan kamu akan bahagia.""Serius?""Katakan padaku apa yang harus aku lakukan untuk membuktikan keseriusanku.""Tidak perlu," balasku dengan mengulas senyum datar. Menatapnya lekat. Namun, dia membuang muka."Lalu ... apa jawabanmu?" tanyanya tanpa menatapku."Ini!" Aku mengangkat tanganku. Dengan maksud hati memperlihatkan cincin bermata berlian yang melingkar di jari manisku."Apa, katakan padaku!" Khanif mulai mengerjaiku. Ekspresinya berubah garang dipenuhi senyuman."Ini," ucapku kembali seraya menunjuk ke arah cincin berlian di tanganku."Gunakan suaramu untuk menjawab pertanyaanku," pinta Khanif."Ayo Mbak, jawab!" teriak Daffa."Yoi! Ayo, Nia. Berikan jawabanmu!" teriak Ibu tid
"Aku mohon, Nia. Batalkan rencana pernikahanmu dengan Khanif. Aku tersiksa setelah kepergianmu. Jangan kamu siksa aku dengan kebahagian kalian berdua. Tolong, Nia. Pertimbangkan lagi keputusanmu." Mas Gilang mengemis di kakiku. Derai air mata membuat pertahananku luluh."Mas ....""Tolong, Nia. Aku hidup serasa mati sejak kepergianmu. Aku tak sanggup jauh darimu. Batalkan pernikahan kalian. Pergi lah bersamaku, Nia."Sekuat tenaga mempertahankan air mata. Sungguh, sulit untuk kulakukan. Mas Gilang terisak, mengusik cinta yang pernah kami urai. Kubuang pandangan darinya, mencari view yang mampu mengalihkan perhatianku padanya."Mas, kita sudah bicara sebelumnya. Perbaiki hubunganmu dengan Nagita. Kalian sudah punya anak ....""Lihat aku, Nia! Aku tidak bahagia bersama Nagita? Aku tidak mencintai. Karena di dalam hatiku cuma ada kamu. Cuma ada kamu," lirihnya pelan. 12 tahun bersama Mas Gilang. Aku tidak pernah menemukannya setragis ini.Apakah benar kamu tersiksa, Mas?"Aku tidak bisa
Suasana hening, Nia fokus pada pikirannya yang sulit diurai, sementara Lukman membiarkan Nia tenang sebelum melanjutkan ucapannya. "Sampai kapan ini akan berakhir, Mas?" lirih Nia pelan."Mas tidak menyangka bahwa Gilang belum berhenti untuk merebutmu dari Khanif. Mas bingung mikirin cara agar kita semua hidup tenang," keluh Lukman. Keduanya seakan terperangkap pada beban tanpa ujung. "Bukankah Gilang akan menikah dengan Maya dalam waktu dekat?" selidik Nia. "Menikahi Maya sahabat SMA Khanif?" Lukman mencoba memastikan karena ia belum menerima kabar apa pun tentang hal ini. "Iya, Mas. Aku mendengar hal tersebut dari Maya kemarin. Namun, aku tidak yakin mereka menikah karena cinta." Nia berspekulasi. "Mas akan bicara kepada Gilang mengenai hal ini, perkara perusahaan Khanif yang disabotase Gilang untuk sementara tolong rahasiakan dari Khanif, jangan sampai pikirannya kembali terbeban. Mas akan cari cara agar Khanif tidak tahu bahwa Gilang merupakan dalang dari ini semua," tukas Lu
"Mbak mau kita tinggal serumah?" tanya Daffa yang terkejut dengan permintaan Nia. Nia mengangguk pelan, bola matanya menatap lurus ke arah jalanan yang disesaki bermacam jenis mobil dan sepeda motor. "Ada apa? Kenapa mendadak?" tanya Daffa. Lelaki muda itu merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh kakak tercintanya. "Nggak ada apa-apa, pengen kamu dekat sama Mbak saja. Lagian kamu selama ini sendiri," jawab Nia. Dia masih mencoba menyembunyikan prahara yang merudungnya. "Iya sih, aku sendiri semenjak abang kerja keluar negeri." Daffa membenarkan ucapan Nia. "Jadi tidak ada penolakan, kamu setuju, 'kan?" Nada bicara Nia terdengar mendesak. "Sudah ada izin dari Mas Khanif?" "Sudah, makanya Mbak berani." Nia berbohong pada Daffa. Padahal, Khanif tidak memberikan izin secara jelas akan permintannya. Daffa tersenyum tipis, kedua tangannya tiba-tiba membingkai wajah Nia. "Mbak bahagia dengan Mas Khanif?"Nia menghela napas sejenak, berat untuk menjelaskan gejolak perasaannya saat
"Beneran Maya mau menikah dengan Mas Gilang?" tanya Nia pada Khanif. Khanif menoleh sejenak, lalu fokus pandangan ke depan. Posisinya sedang mengemudi mobil dalam kecepatan cepat karena memburu waktu agar segera sampai ke rumah yang mereka tempati sekarang. "Nggak tahu, Sayang. Memangnya kenapa, cemburu?" tanya Khanif datar. Intonasi suara seakan orang kesal jelas memekik di telinga Nia. "Cemburu? Atas dasar apa?" tanya Nia seraya merebahkan kepalanya ke bahu sang suami. Tatapannya fokus menatap wajah tampan Khanif yang nyaris tanpa ekspresi. "Ntah, mungkin belum bisa move on," ketus Khanif. Nia hendak tertawa, tapi diurungkan. Wanita cantik itu enggan memantik emosi sang suami yang sedang tidak mood diajak bercanda. Nia memuji Khanif setinggi bintang di langit, membelai pelan dada bidang sang suami seraya menghitung kancing kemeja yang membalut tubuh kekarnya. Ya, walaupun ototnya sudah mulai hilang karena sudah sangat jarang olahraga. "Jangan dipikirkankan, aku hanya bertanya,
Hening menyelimuti ruang privat milik Lukman di lantai paling atas bangunan pencakar langit miliknya. Ruang itu digunakan untuk acara penting dengan tamu yang tentunya khusus dan spesial. Lukman duduk bersila di depan Khanif dan Nia, tidak bicara. Namun, tatapan matanya tertuju pada Khanif yang sibuk menatap indahnya hamparan puncak gunung dari balik kaca gedung. "Apakah kalian datang hanya untuk berdiam diri?" Lukman bertanya dengan nada santai. "Begini, Mas. Khanif ...," Ucapan Nia terjeda karena Khanif berdehem dengan sorot mata tajam ke arahnya. "Mas Khanif setuju bekerja di perusahaan Mas Lukman." Nia menambah embel Mas di belakang nama Khanif. Hampir saja ia melupakan perjanjian mereka sebelumnya. Lukman yang menyadari adanya progres dalam hubungan sang adik hanya mampu mengulum senyum bahagia. "Apakah yang disampaikan Nia itu benar?" "Iya, Mas," jawab Khanif singkat. "Sejak kapan kamu pelit bicara? Apakah Nia sekarang menjadi juru bicara kamu?" goda Lukman dengan tawa r
Trauma, Nia harap rasa itu segera menghilang dalam diri Khanif. Dia sudah tidak sabar mereguk indahnya jalinan cinta yang semestinya. Dia mulai bosan kala aktivitas malam hanya berbaring tanpa cerita mesra. Terkadang, sisi buruk mengajaknya untuk menyerah. Namun, sisi baik selalu menjadi penengah. "Sayang, bangun! Katanya mau jenguk ibu, kok tidur lagi?" Nia menatap wajah Khanif yang kembali terlelap. Wanita cantik itu baru saja keluar kamar mandi, tubuhnya dibalut handuk putih yang menutupi area dada sampai pangkal paha. "Sayang, bangun, Sayang," desah Nia manja. Perlahan tangannya menyentuh pipi Khanif. Ekpresi wajah Nia langsung berubah. Wajah Khanif terasa panas. "Astaghfirullah! Kamu sakit, Mas?!" pekik Nia. Jemari Nia berpindah ke dahi Khanif. "Mas, sakit, ya!" "Engh ..., tidak. Aku hanya sedikit pusing." Khanif membuka matanya perlahan. "Ya sudah, Sayang lanjut tidur. Nanti setelah mendingan kita ke rumah sakit. Aku ambilkan kain kompres dulu." Nia terlihat panik. Khanif m
Nia duduk di depan cermin rias, bukan karena ingin meneliti setiap lekuk wajahnya. Namun, memantau Khanif yang duduk di sisi ranjang, layar gawai menyala dalam genggamannya. Namun, fokusnya terpusat ke arah lainnya. Untuk kesekiankalinya Khanif duduk termenung tanpa menghiraukan kehadiran Nia di sampingnya. Perasaan Nia seakan ditarik ulur dengan sikap Khanif yang bisa berubah dengan sangat cepat. Seperti malam ini, harusnya Khanif mengarahkan perhatiannya pada Nia yang sejak tadi berusaha menggoda. Lingerie tipis berenda membalut tubuhnya, setiap lekuk tubuh menguncang birahi. Namun, Khanif diam seolah Nia tidak terlihat oleh pandangannya. Khanif terlalu larut dalam beban pikiran dan melupakan hal indah yang seharusnya dilakukan bersama Nia. "Sayang ...." Panggil Nia lembut.Khanif menoleh dengan begitu cepat, mengulas senyum menawan, mencoba menyembunyikan gumpalan beban yang menyesaki alam pikirannya. Bukannya ia melupakan Nia, tapi ketakutan dan kegelisahannya telah mengikis kew
Sesampai di Mall, Nia turun seorang diri, Khanif memilih menunggu di mobil. Dia sedikit nyaman karena mengetahui Gilang berada di luar negeri. Lelaki itu merasa tidak nyaman dengan kondisi fisiknya yang acak-acakan. "Sebentar ya, Sayang," ujar Nia seraya mengecup pelan pucuk kepala Khanif. "Jangan lama-lama," tukas Khanif pelan. "Nggak kok sebentar, ada titipan?" tanya Nia bersemangat. Khanif mengeleng pelan, ia meminta Nia untuk berhati-hati. "Hubungi aku jika ada masalah." "Siap, Sayang," balas Nia seraya menjauh. Kakinya melangkah memasuki Mall. Kaki jenjang Nia fokus melangkah ke gerai baju pria, ia berniat mencarikan baju untuk Khanif. Sifat penyayang Nia memang sudah terbukti, hanya saja keadaan yang seakan tidak berpihak padanya. "Selamat datang, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" sapa pegawai mall dengan ramah. Nia melempar senyum seraya mengungkapkan keinginannya. "Silakan ikut saya," ujar gadis di depan Nia dengan sopan. Khanif tidak enak hati membiarkan Nia belanja s
Ibu, sinar kasih dalam senyum lembut, penuh pengorbanan seperti embun pagi meresapi bunga kehidupan. Dalam tatapannya, dunia terhampar seperti lautan tak terhingga, tiada batas untuk cinta yang mengalir dalam setiap detiknya. Ia adalah pelindung setia, tempat berlindung dari badai hidup, dan sang pemandu dalam lorong gelap. Ibu, nyanyian lembut yang mengalun dalam setiap doa, mengukir jejak keabadian di hati yang mencintai."Ibu kenapa?" tanya Khanif dengan panik. Kalimat yang pertama kali ia lontarkan ketika melihat wanita yang melahirkannya tersebut terbaring lemah di atas ranjang. "Bu, kenapa ibu tidak menjawab. Ibu sakit apa? Dimana yang sakit?" Khanif meraba seluruh tubuh sang ibu dengan gelisah. Namun, tidak ada jawaban, hanya bulir bening yang mengalir di kedua sudut mata sayunya. "Khanif datang, Bu." Lukman menimpali seraya mendekati ranjang sang ibu. "Untuk apa ia ke sini?" Pertanyaan yang membuat Khanif kaget. Spontan melirik ke arah Nia dan Lukman secara bergantian. "Bu
"Kamu sudah gila, hah?" gumam Nia dengan bibir bergetar. "Aku gila dan trauma karena kehilangan kamu, Nia," Balas Khanif pelan. Nia membingkai wajah Khanif dengan kedua tanganya. "Kamu mencintaiku?" Untuk beberapa saat mata mereka beradu, banyak cerita yang sulit diurai menjadi kata hanya bisa dicerna oleh ia yang paham akan rasa. "Aku mohon kesekian kali, kita jalani hidup yang normal. Aku mau kita bulan madu." Permintaan indah, tapi sayang di waktu yang tidak tepat. Mata Khanif membelalak kaget. Untuk beberapa saat ia terdiam. Batin Khanif bergejolak hebat, napsu dengan pikirannya berdebat keras. Perasaan mengambang tidak jelas, bibir bergerak. Akan tetapi, tidak ada suara yang terdengar, hanya leguhan samar tanpa makna. "Kamu butuh ketenangan. Jangan anggap bulan madu kalau kamu keberatan. Anggap saja ini healing atau liburan. Aku takut kesehatan mentalmu semakin terganggu," ucap Nia cemas. "Apakah harus keluar negeri?" tanya Khanif ragu. "Tidak sih, tapi menurutku keluar n