Ketika hendak membuka pesan yang dikirim Gea. Mas Haris terbangun. Aku pun terkejut dan sontak melepaskan ponsel yang kugenggam.
"Loh kok kamu belum tidur? Masih marah?" tanya Mas Haris. Aku pun melengos darinya.
Ia yang tahu aku sedang merajuk pun mendengus. "Dek, aku sudah bilang status itu bukan aku yang buat," kata Mas Haris sambil berusaha merayu.
"Mas, aku mau tidur, perlahan juga bangkai akan tercium," cetusku lagi.
"Ya, buktikan saja," sahutnya.
Kemudian, kami tidur saling membelakangi. Namun, mata ini masih belum mampu terpejam, masih menari-nari goresan luka itu di dalam dada ini.
'Kalau bukan Mas Haris, lalu siapa yang buat status itu?' tanyaku di dalam hati.
Tiba-tiba aku teringat kata-kata Gea, dia bilang bahwa aku sudah membantu suami tapi masih dikhianati. Itu artinya dia tahu aku berprofesi sebagai penulis, padahal tidak ada yang tahu selain suamiku.
Jari ini mulai mengusap layar ponsel milikku sendiri. Mencari tahu tentang Gea di sosial media. Aku buka akun utama yang berteman dengannya, bukan akun nama pena sebagai penulis. Namun, ternyata nama Gea sudah tidak ditemukan dalam pencarian teman.
Deg! Jantungku berdegup sangat kencang, itu artinya akun utamaku diblokir oleh Gea. Wanita yang kukenal adik dari mantannya suamiku.
Gea adalah adiknya Tiara, usianya memang lebih muda dariku dua tahun, tapi kami pernah satu kantor dan berteman dengan baik pada 12 tahun silam. Makanya, hubungan kami seperti teman layaknya saja, tidak ada batasan umur karena usia hanya terpaut 2 tahun. Kakaknya, Tiara sudah meninggal tiga tahun lalu karena depresi berat yang akhirnya mencelakai dirinya sendiri. Itu cerita yang kutahu tentang Gea dan Tiara.
Aku cari kontak Mas Haris juga, ternyata sama, tidak ada di pencarian pertemanan di akun utama. Itu artinya aku diblokir olehnya. Akhirnya kuputuskan untuk pindah akun penulis. Aku cari nama mereka berdua meskipun tidak berteman seharusnya ketemu, tapi ini tidak juga, itu artinya akun penulis pun diblokir.
'Baiklah, tenang, Elena, jangan panik baru diblokir suami dan teman dekat. Bisa cari informasi dengan membuat akun baru,' gumamku dalam hati mencoba menenangkan diri.
Aku tengok kembali bobot tubuh Mas Haris, ternyata ia sudah mendengkur, aku langsung meraih ponselnya lagi. Sekejap aku mengusap layar ponsel ternyata aku sudah tidak dapat menggeledah karena harus memakai kode.
"Kenapa dikunci kalau memang tidak ada apa-apa? Aku jadi semakin curiga, Mas," ucapku pelan bicara sendirian.
Akhirnya aku belum bisa membuka isi pesan messenger Gea dengan Mas Haris. Jadi aku harus mencari tahu dengan cara lain. Sebaiknya aku istirahatkan badan dulu, besok akan kucari tahu lagi tentang Gea ini.
***
Adzan subuh sudah terdengar, aku bangun dan bersiap membuat sarapan. Namun, hati kecil enggan melayani suami yang kuanggap memanfaatkan pekerjaanku yang menghasilkan uang. Jadi, mulai pagi ini tidak ada sarapan di meja makan.
Mas Haris sudah rapi hendak berangkat bekerja, di sebuah pabrik yang gajinya hanya mengandalkan gaji pokok saja. Namun, aku tak pernah meminta jatah lebih dari dua ratus ribu rupiah setiap minggunya.
"Kok nggak ada sarapan, Dek?" tanyanya membuatku menatapnya.
"Sarapan beli sendiri ya, uang dua ratus ribu seminggu untuk makan malam aja dan jajan Sisil," ucapku agak ketus.
"Kamu marah gara-gara handphone aku kunci? Lagian lancang amat d******d messenger segala, kenapa d******d messenger? Masih nggak percaya pada suami sendiri?" tanya Mas Haris seakan menantang.
"Kamu masih berhutang penjelasan dengan status di grup. Lalu Gea ngapain messenger kamu? Hah!" cecarku padanya.
"Itu pesan dari Gea udah lama banget belum aku buka, tiga tahun lalu pas Tiara dikabarkan meninggal dunia," terang Mas Haris.
Aku bergeming seketika, apa dia sudah jujur? Atau ini alibi saja? Sederet pernyataan muncul di kepala.
"Kalau begitu, ponsel nggak usah dikunci, dan kasih tahu aku messenger dari Gea," pintaku pada Mas Haris. Ia langsung mengeluarkan ponselnya, lalu mengusap dan setting handphone tanpa kode lagi.
"Sudah nih, silakan baca sekalian inbox dari Gea, aku aja sengaja nggak baca, kamu malah penasaran, tiga tahun loh aku tidak buka chat darinya," terang Mas Haris.
Akhirnya aku baca pesannya, ternyata benar yang Mas Haris katakan, pesan itu dikirim 3 tahun yang lalu.
"Kamu nggak mau baca isinya, Mas?" tanyaku padanya. "Ini pesan dari Tiara loh sebelum meninggal," tambahku lagi setelah membaca pesan itu.
[Mas Haris, aku hanya mau bilang bahwa Mbak Tiara meninggal karena depresi berat, ia sangat mencintaimu, Mas.]
Empat pesan yang ditulis secara berturut-turut itu isinya tentang kabar Tiara. 'Apa Gea yang sengaja menulis status itu untuk menghancurkan hubunganku dengan Mas Haris? Tapi kok sangat anehnya dia tahu profesiku yang sebagai penulis?' tanyaku dalam hati.
"Hanya itu isinya? Ah dari dulu gosip itu kan memang selalu dilontarkan keluarganya, tapi aku nggak pernah menanggapi karena memang sudah memiliki istri dan anak," ungkap Mas Haris membuat dahiku mengkerut. Lalu aku harus percaya atau tidak? Kalau apa yang dikatakan Mas Haris itu memang masuk akal.
Akhirnya kami berbaikan kembali. Mas Haris pun berangkat kerja setelah kubuatkan nasi goreng untuk sarapannya.
***
Hari begitu cepat, sampai akhirnya weekend pun tiba. Masalah tiga hari yang lalu membuat hubungan kami berdua semakin erat, tidak ada yang aneh dengan sikap Mas Haris di rumah.
Tiba-tiba bel rumah berbunyi, aku segera membuka pintu dengan semangat. Handle pintu kutarik dan alangkah terkejutnya aku melihat kedatangan Gea hari ini. Sosok wanita yang 12 tahun lamanya hanya berjumpa melalui sosial media, kini ia muncul di hadapanku.
"Hai, Len, maaf ya aku mampir nggak bilang-bilang, tadi kebetulan lewat aja," ucap Gea.
Aku pun tidak menyangka akhirnya ia sampai ke sini. Padahal kami sekarang tinggal di kota sedangkan Gea di desa.
Mas Haris berdiri tegak setelah melihat kedatangan Gea. Bibirnya ia basahi dan membelah rambutnya sambil tersenyum padanya.
Bersambung
"Emm, kok bisa sampai ke sini?" tanyaku padanya. "Aku nggak dipersilakan duduk gitu?" tanya Gea sambil menunjuk kursi di teras. Aku menganggukkan kepala dan menggiringnya ke teras. Kami duduk berjejer, sedangkan Mas Haris mendadak masuk lagi ke dalam. Aku terdiam sejenak, mengingat ia yang sempat membuatku marah pada Mas Haris, tidak ada yang memulai pembicaraan, hingga akhirnya Gea bangkit. "Loh mau ke mana? Belum aku suguhkan minum," kataku spontan ketika melihat Gea berdiri. "Aku kayak patung, jadi mendingan pulang," sindir Gea. "Oh memang kalau pulang ke mana?" tanyaku basa-basi. "Rumahku lagi renovasi, baru beli seminggu yang lalu di perumahan ini juga, tapi blok depan, yang lebih komersil," terangnya sambil menunjuk ke arah depan. Aku menggigit bibir mendengar ucapannya, blok paling depan termasuk mahal, hebat juga dia bisa beli rumah di sini tanpa ambil yang subsidi pula. "Oh ya, Gea, aku mau tanya sedikit, beberapa hari lalu kamu yang berikan screenshot status suamiku,
Langkah Gea semakin maju mendekati kami, terhenti tepat di hadapan Mas Haris. Mas Haris bergerak seperti salah tingkah, aku menyaksikannya sendiri dengan mata ini. Tangannya berada di tengkuk seraya melepaskan ketegangan, aku yakin ada sesuatu yang dirahasiakan. "Aku ini sales mobil, Elena, kamu belum tahu ya?" Aku dikejutkan dengan pertanyaan, padahal tadi aku yang bertanya padanya, ini malah balik bertanya. "Aku tidak tahu, bahkan kamu sudah menjanda pun aku baru mengetahuinya, Gea," ketusku dengan mata menyorotnya penuh. Kemudian, Sisil datang dari arah depan, ia pulang dari rumah temannya dengan mata berkaca-kaca. "Sisil kenapa?" tanyaku dengan segera. "Aku ditonjok, Mah, dada Sisil sakit," lirihnya.Mas Haris yang mendengar pengakuan anaknya itu sontak menggendong Sisil dan mengambil kunci mobil. "Kita bawa ke rumah sakit dengan segera," ucap Mas Haris. "Aku takut terjadi sesuatu dengan Sisil," ungkap Mas Haris sambil membuka pintu mobil. "Aku ikut," celetuk Gea membuat da
Suara pintu kamar mandi terdengar dibuka oleh Mas Haris, aku segera meletakkan kembali ponselnya. Meskipun dada ini bergemuruh amarah, tapi aku harus tetap santai menyikapinya sambil mencari bukti lainnya yang lebih akurat lagi. Mas Haris menghampiriku lalu mengambil benda pipih yang barusan kuletakkan di atas meja. "Mas, maaf, Sisil mau masuk sekolah, aku harus mendaftarkan di sekolah bonafit, boleh minta uang dua puluh juta?" tanyaku sambil duduk dengan posisi kesepuluh jari ditautkan. "Dua puluh juta duit dari mana, Dek? Aku kan sudah pakai uang untuk DP mobil kemarin," timpal Mas Haris. Salahku juga tadi tidak melihat saldonya hanya mengecek mutasi saja. "Terus sekolah anakmu bagaimana, Mas?" tanyaku lagi. "Yang murah aja, yang masuknya lima juta ke bawah, ada kan?" tanya Mas Haris balik. Ia begitu perhitungan untuk anak istri, tapi tadi aku lihat transferan ke janda lebih banyak dari jatah bulananku.'Tenang, Elena, jangan gegabah, dia santai, aku harus lebih elegan,' gumamk
Aku mengelus dada ketika tahu bahwa Mas Haris tengah berduaan menuju hotel yang baru diresmikan orang tua angkatku. Darah ini mendidih menyaksikan suami menggandeng wanita itu mesra. Aku coba balas lagi pesannya, siapa tahu ada video yang lebih jelas, sebab aku tidak bisa menebak-nebak siapa wanita itu sebenarnya, tubuhnya tertutup jaket Mas Haris.[Bu Dara, boleh minta video lebih jelasnya?" tanyaku padanya. [Hanya itu aja yang kebetulan kurekam lewat video. sekarang orangnya sudah masuk kamar.]Akhirnya aku tidur dengan rasa penasaran yang sudah di puncak. "Sialan kamu, Mas, berkhianat, padahal aku sudah berusaha setia." Aku bicara sendirian di kamar sambil selonjoran dan merebahkan tubuh ini. Ketika aku miring ke kanan, tiba-tiba terlintas untuk ke rumah Gea. Selama ini dialah wanita yang selalu tahu urusan suamiku, Jangan-jangan dia orang yang tadi di hotel. Kalau Gea tidak ada di rumah, artinya memang dia orangnya. Segera aku ambil kunci motor, tapi sebelum beranjak pergi, a
"Meninggal? Kamu ikut dalam proses pemakamannya?" tanya papa. Aku pun menggelengkan kepala, waktu itu hanya tahu dari Mas Haris. Papa mengelus punggung ini, seraya tengah menenangkan putrinya. Meskipun hanya ayah angkat, ia tetap sedih ketika melihat putrinya sedih. "Haris nggak boleh tahu kamu sudah Papa wariskan hotel ini," pesan papa. "Kamu jangan nangis ya, Mama yakin kamu anak kuat seperti almarhumah mamamu," susul mama. Kuat atau rapuh kondisiku saat ini yang ada di pikiran hanya Sisil, dia seorang anak wanita, dan akan tumbuh dengan semestinya, tapi ternyata memiliki seorang ayah yang tidak memiliki perasaan. Mas Haris kelewat cerdik menutupi ini semua. "Tapi, Pah, yang kutahu Tiara ini sudah meninggal dunia tiga tahun lalu, adiknya juga membenarkan hal itu," pungkasku. Tiba-tiba melintas chat Gea melalui inbox yang kubaca beberapa bulan lalu. Papa terdiam menoleh ke arah istrinya. "Tiga tahun lalu? Apa kamu diajak pulang kampung tiga tahun belakangan?" tanya papa menyeli
Aku menghentikan ucapan yang nyaris kubongkar semuanya. Kalau aku tanya tentang Tiara, itu sama saja memudahkan Mas Haris mencari alasan. Jadi lebih baik aku pura-pura saja. "Aku kesal kamu bilang mau jenguk yang kecelakaan di Depok, tapi ternyata ke hotel bersama ketiga manager di Bekasi, itu terniat banget, Mas bohongin istri," sanggahku lagi. Mas Haris terdiam sejenak, lalu ia menarik tubuh ini ke dekatnya. "Maaf ya, tadi terpaksa bohong, aku takut kamu curiga aku ada main dengan lelaki, soalnya di hotel tempatnya," kata Mas Haris. Ia berpura-pura mesra dan takut dikira jeruk makan jeruk, padahal aku tahu mereka tidak bertemu sama sekali di hotel. Yang ia tunjukkan tadi pasti foto editan. Sebaiknya aku pura-pura percaya saja, sambil menyelidiki dan membongkar di waktu yang tepat. "Lupakan, Mas, anggap aku yang salah, kamu memang selalu benar," celetukku sambil melepaskan pelukannya dan memalingkan wajah ini darinya. Mas Haris berdecak bahagia, aku mendengarnya, dan langsung me
Padahal niat berikan obat pencuci perut hanya ingin buka-buka ponsel Mas Haris lagi, tapi ternyata malah kedapatan Gea menghubungi suamiku. Ya, itu foto Gea yang tertera dalam kontak aplikasi berwarna hijau gambar gagang telepon. Mataku berkeliling, lalu diam-diam mengusap layar ponsel, mulut ini jangan sampai terbuka dan menjawab sapaan darinya, supaya tahu mereka mau apa. "Halo, Mas," ucap kontak yang bernama Gea. Namun, kedengeran telinga ini kenapa suaranya berbeda? Aku diam tak menjawab sapaan darinya. Namun tetap meneliti dan mengenali suaranya yang memang bukan suara Gea yang kukenal. "Mas, ada istri kamu ya? Kirain udah berangkat kerja, maaf kalau gitu," cetusnya. Telepon pun terputus begitu saja. Aku terdiam sambil memegang benda pipih milik Mas Haris. 'Apa Gea lagi flu? Suaranya jauh berbeda yang biasa kudengar,' batinku. Akhirnya aku singkirkan pikiran itu, kemudian mengusap kembali ponselnya untuk membaca semua pesan yang ada di aplikasi warna hijau. Teratas kulihat
Balasan dari wanita itu datang, aku gemetar saat membacanya. [Ya udah, kita ketemuan, kita bahas Gea.]Astaga, aku harus jawab apa? Jari ini langsung mengetik pesan dengan lancarnya. [Kita ketemuan di hotel FitLen, sekarang.]Aku membalasnya dengan ide yang muncul tiba-tiba. [Memang kamu nggak kerja, Mas?][Kita ketemuan sekarang, kamu dandan yang cantik, ya. Di Cafe hotel FitLen. ][Oke, Mas.]Pesan dari wanita itu kuhapus semua, tersisa pesan Mas Haris yang menanyakan pola Gea. Aku segera meletakkan ponsel milik Mas Haris dan segera berdandan untuk bertemu dengan wanita itu. Namun, sebelum berganti pakaian, aku mengusap wajah Mas Haris dari depan. Ia terlihat pulas, aku yakin ia takkan bangun hingga selesai bertemu dengan wanita itu. Setelah yakin, barulah aku segera berangkat. Namun, tiba-tiba ada seorang wanita setengah baya datang ketika aku membuka pintu. Astaga, aku lupa bahwa hari ini adalah pertemuan dengannya. "Maaf, Bu. Saya Mbok Wati, mau ketemu Bu Elena, kata Pak Ha
"Maaf Bu Elena, kami permisi dulu, kami harus menginterogasi tersangka," ucap polisi sambil menarik lengan Tiara dan Mas Haris.Keduanya tidak berontak, hanya saja tepat di hadapanku, Mas Haris berhenti."Aku titip Sisil, Elena, sudah puas kan kamu memporak-porandakan hidupku?" Mas Haris berkata dengan nada pelan. Kemudian disusul oleh Tiara di belakangnya. Ia pun sengaja berhenti di hadapanku."Aku belum kalah, Elena, lihat saja nanti," ancam Tiara dengan mata menyipit. Aku tak menjawab apalagi meladeninya, justru membiarkan keduanya pergi dengan iringan polisi.Tangan ini masih berada dalam gandengan Mbak Fitri. Ia menatapku sambil memberikan senyuman. Kedipan mata Mbak Fitri membuatku merasa tenang, tiba-tiba ada orang yang muncul dari balik vas bunga. Dia Pak Danu, kemudian beranjak ke arahku berdiri."Sudah tenang ya sekarang, berati bisa fokus nulis novel lagi, dan segera jadi penulis terkenal yang naskahnya dipinang dan difilmkan," tutur Pak Danu ternyata masih ada di hotel in
"Dia bohong, ini semua fitnah. Saya bisa laporkan kalian atas tuduhan pencemaran nama baik!" Mas Haris mulai membalikkan fakta lagi. Ia tidak sadar bahwa kesalahannya lebih banyak daripada istrinya. Begitulah manusia, kesalahan orang terus dikoreksi, sedangkan kesalahan sendiri tidak ia pedulikan.Mbak Fitri terkekeh, ia seakan puas mewakili perasaanku, menghancurkan Mas Haris dengan cara sadis sekalian, bukan dengan kekerasan, tapi mempermalukan.Seketika ruangan jadi ramai, beberapa orang berdebat dan berdiskusi mencari yang salah. Ada sebagian yang datang mendadak bubar, mungkin mereka tidak ingin ikut campur urusan beginian.Sekarang di ruangan tidak sebanyak tadi, hanya tersisa beberapa kepala saja, orang yang memiliki banyak waktu tetap di sini, tapi orang yang tidak mau membuang waktunya memilih pergi ketimbang hanya untuk pengumuman masalah rumah tangga.Tiba-tiba saja Mas Haris menarik lengan jas hitam yang ia kenakan, lalu menunjuk ke arah Pak Danu. Kini pandangan semua oran
"Ya, dia adikku, Pak, bisa jadi referensi untuk jadi calon istri nanti, aku pastikan dia akan bercerai dari suaminya," ucap Mbak Fitri sambil terkekeh. "Mbak ih," celetukku malu. Kemudian, Pak Danu menoleh dan menatapku tajam."Kok nggak mirip ya?" tanya Pak Danu."Kami hanya saudara angkat, Pak. Tapi Mbak Fitri dan orang tuanya sangat baik padaku," timpalku membuat Pak Danu mengangguk. Kemudian mata Mbak Fitri terlihat mencari sesuatu. Ternyata ia langsung menghampiri Sisil dan memeluknya."Ponakan Tante, cantik banget sih! Oh ya, nanti Sisil sama Tante cantik itu ya, di play ground main di sana!" seru Mbak Fitri. Ia langsung melambaikan tangan seraya memanggil wanita yang berseragam coklat, seragam yang dikenakan semua pegawai hotel.Pegawai itu menghampiri dan membawa Sisil. Aku tahu pasti ia tidak mau anakku tahu tentang ayahnya."Mereka sudah di dalam, aku ingin kamu buat laporan dulu, terserah kamu mau lapor masalah pernikahan mereka atau pura-pura matinya Tiara, atau kalau per
"Ya udah, aku berangkat bareng Mbok Wati, asisten rumah tangga di sini," ucapku pertanda mengakhiri telepon.Setelah sambungan telepon sudah terputus, akhirnya aku panggil Mbok Wati untuk bersiap ke hotel, sambil lihat jam yang melingkar di tangan, aku memerintahkannya dengan cepat. Mbok Wati paham, ia langsung ke kamar Sisil merapikan anakku.Di depan kaca rias, aku memoles wajah ini dengan bedak. Jadi teringat saat perias pengantin berkata padaku untuk selalu jaga penampilan di hadapan suami. Itu semua sudah kulakukan, tapi tetap saja Mas Haris tergoda rayuan Tiara. Namun, karena hal itu aku pun mengulang kembali kata-kata yang dilontarkan Tiara semalam."Dia bilang menanti belasan tahun, dan baru tiga tahun ini berhasil mendapatkan apa yang diinginkan olehnya." Aku bicara sendirian. "Ah nggak usah diingat kata-kata itu, merusak moodku aja," tambahku sambil menutup tempat make up yang kupakai. Lipstik sudah kuoles dengan warna peach, aku suka warna yang tidak mencolok, natural dan
"Len, Mbak telepon polisi ya!" teriak Mbak Fitri kemudian telepon sengaja aku putus.Plak!Tamparan keras melayang di pipiku. Ini kesempatan emasku untuk menjebak Mas Haris, agar ia tak lagi main-main denganku.Aku ambil tangannya sekali lagi dan memukul wajahku. Namun, tiba-tiba ada yang datang berkunjung.'Sial, siapa yang datang? Aku belum bonyok dan cukup bukti untuk menjebloskan Mas Haris, mukaku harus bonyok dan memar supaya ia bisa dituntut," batinku."Buka sana pintunya!" suruh Mas Haris."Kamu aja, paling istri siri kamu," ucapku agak ketus.Mas Haris terdiam, lalu melangkahkan kakinya ke depan. Ia membuka pintu kemudian aku menunggu di depan televisi. "Kok lama ya, kenapa Mas Haris tidak muncul lagi?" tanyaku bicara sendirian. Akhirnya aku menyusul untuk melihat siapa yang datang. Sebab, sudah hampir dua menit Mas Haris tidak bersuara dan balik ke ruangan keluarga.Aku lihat ke depan, mobilnya masih terparkir, tapi Mas Haris tidak ada di rumah."Ke mana dia?" Aku bertanya-t
"Sudahlah, Mas. Memang kedokmu sudah seharusnya terbongkar. Aku hanya mempermudah saja," kata Gea sambil menghindar pergi. Ia pun sengaja mengejarnya, dan tidak peduli denganku. Akhirnya aku ke arah parkiran tempat Pak Danu menunggu, mobilnya masih tampak di depan. Namun, tiba-tiba Mas Haris memanggilku dengan nada tinggi. "Heh! Perempuan nggak diuntung! Anak yatim piatu yang sudah kuurus 12 tahun, kenapa kamu malah tega menghancurkan karirku?" Pertanyaan Mas Haris terdengar melengking dari belakangku dan membuat badanku terpaksa menoleh ke arahnya. Ternyata ia tidak mengejar Gea, justru kembali mengejarku. "Masih ada lagi yang ingin kamu katakan, Mas? Silakan umpat sepuasnya, setelah itu kamu pergi dari sini!" sentakku. "Ini tempat aku kerja, seharusnya dari tadi kamu tidak injak kakimu itu ke sini!" Mas Haris balik mencaci. "Aku nggak ada niat buruk, Mas, hanya ingin mempermudah perusahaan mengeluarkan benalu seperti kamu. Sekarang perusahaan tahu bahwa anak buahnya tidaklah p
Aku menatap wajahnya, laki-laki yang berprofesi sama dengan Mas Haris, sebagai manager produksi, aku harap beliau menjadi saksi. "Istrinya yang benar, Pak, selama ini Haris memiliki istri dua tanpa sepengetahuan istri," ungkap laki-laki berparas Jawa. Aku menurunkan bahu seraya lega dengan apa yang dia ucapkan. Sedangkan Mas Haris, tampak memerah dan mengeluarkan keringat seketika. HRD dan direktur utama saling beradu pandang, mereka berdua menatap seraya tengah bermusyawarah. Pak Wijaya mengangguk sedangkan Bu Melly menggelengkan kepalanya. Namun, tiba-tiba saja Mas Haris berdiri lagi. Bahkan tangannya menyanggah di meja sambil mengepal. "Ini pasti si Daus sengaja, Pak. Dia ingin naik jabatan lagi. Kan kesempatan orang ini untuk mencari muka di depan direktur!" tukas Mas Haris, lagi-lagi ia melakukan hal yang membuatku geram. Mas Haris pandai membolak-balikan fakta. "Ris, saya ini dulu atasan kamu, dua orang atasan kamu tahu kelakuanmu, dan kami harap kamu ini akan sadar setelah
Selang beberapa menit kemudian, setelah Bu Melly menutup teleponnya, ia kembali bicara padaku. "Kita harus tetap sidang, Bu. Tapi sekarang juga management akan kumpul di ruang meeting, saya akan panggil Pak Harus, selaku manager produksi," terang Bu Melly. "Emm, tapi saya izin ke mobil Pak Danu dulu, Bu. Mau bilang bahwa saya harus ikut rapat," timpalku padanya. "Nggak perlu, biar saya aja yang hubungi Danu," ucapnya. "Eh, ngomong-ngomong jangan naksir sepupu saya ya, lagi say jodohin dengan teman saya," tambahnya membuatku tertawa. "Ibu bisa aja, saya kan masih istri orang, dan sudah punya anak juga. Mana mau Pak Danu dengan saya," sanggahku sambil terkekeh. "Jangan salah, dia emang suka yang seperti kamu, tersakiti oleh lelaki, bagi dia tuh senasib," sambung Bu Melly sambil terkekeh. Kemudian ia menghubungi Pak Danu dan menyuruhnya untuk pergi dari pabrik, tapi kedengarannya Pak Danu menolak untuk disuruh pergi. "Tuh kan, dia milih nungguin sampai sidang selesai, jangan kasih
Pernikahan yang dilaksanakan tiga tahun lalu. Di video itu terlihat jelas kedua mertuaku ikut hadir di tengah-tengah kedua mempelai. Pernikahan yang terlihat sakral itu disaksikan hanya dari kedua belah pihak saja. Gea tidak ada dalam video, kemungkinan dia yang mengambil gambarnya. Sebuah bukti pengkhianatan suamiku yang tersimpan rapi selama bertahun-tahun. Aku dibohongi, didzolimi dengan diberikan nafkah seadanya, sedangkan Tiara mendapatkan hak sepenuhnya. Bagai pisau yang ditancapkan langsung ke hati ini, rasanya sakit. Tak terasa air mata pun jatuh setelah menyaksikan sendiri video tersebut. Entah karena kecewa, atau karena sakit, semua bercampur menjadi satu. Kututup laptop, lalu membawa flashdisk dalam genggaman. Kali ini aku harus bisa balas dendam, tak perlu melihat Sisil yang masih membutuhkan kasih sayang seorang ayah. Mas Haris tidak bisa seenaknya memperlakukan aku seperti boneka. Sebelum berangkat ke perusahaan tempat Mas Haris mencari nafkah, aku menemui Sisil yang