Balasan dari wanita itu datang, aku gemetar saat membacanya. [Ya udah, kita ketemuan, kita bahas Gea.]Astaga, aku harus jawab apa? Jari ini langsung mengetik pesan dengan lancarnya. [Kita ketemuan di hotel FitLen, sekarang.]Aku membalasnya dengan ide yang muncul tiba-tiba. [Memang kamu nggak kerja, Mas?][Kita ketemuan sekarang, kamu dandan yang cantik, ya. Di Cafe hotel FitLen. ][Oke, Mas.]Pesan dari wanita itu kuhapus semua, tersisa pesan Mas Haris yang menanyakan pola Gea. Aku segera meletakkan ponsel milik Mas Haris dan segera berdandan untuk bertemu dengan wanita itu. Namun, sebelum berganti pakaian, aku mengusap wajah Mas Haris dari depan. Ia terlihat pulas, aku yakin ia takkan bangun hingga selesai bertemu dengan wanita itu. Setelah yakin, barulah aku segera berangkat. Namun, tiba-tiba ada seorang wanita setengah baya datang ketika aku membuka pintu. Astaga, aku lupa bahwa hari ini adalah pertemuan dengannya. "Maaf, Bu. Saya Mbok Wati, mau ketemu Bu Elena, kata Pak Ha
Namun, mendadak bahu ini dipegang oleh seseorang. Aku menoleh ke arahnya, dan ternyata wanita itu adalah Gea. "Gea!" Aku tercengang melihat sosok wanita yang ada di belakangku. Ternyata Gea, adik dari Tiara. Astaga, mimpi apa aku semalam dihimpit masalah seperti ini? Mau memergoki malah kepergok. Tanganku dicekal hingga tak bisa berontak, tenaganya lebih kuat dariku, matanya pun menyorot penuh. "Jangan berisik, ada ruangan khusus nggak untuk kita bicara berdua?" tanya Gea. Aku pikir ia akan marah atau berkoar-koar di hadapan karyawan dan pengunjung cafe, tapi ternyata yang dilakukannya tidak seperti yang aku pikirkan. Aku menoleh sebentar, melihat ke arah Tiara yang tengah menikmati secangkir kopi. "Bukankah setelah ini kakakku akan buang air besar terus menerus?" tanya Gea lagi membuat mataku membulat. Tidak menyangka bahwa dirinya tahu semuanya. Akhirnya aku mengajaknya duduk di satu ruangan khusus, untuk kami supaya bisa ngobrol, sebab Gea tahu semua rencanaku. Kemungkinan be
"Mbak Tiara melakukan itu untuk ...."Gea menghentikan ucapannya. Membuatku semakin penasaran, matanya sengaja berkeliling seraya mengejek. "Apa, Gea?""Nanti ya, aku akan kasih tahu kamu semuanya setelah ada perjanjian di atas materai, sekarang lebih baik kamu bersembunyi, kakakku akan datang meminta pertanggungjawaban ke sini," tutur Gea membuatku terdiam, bingung, sebenarnya ia ada di pihak mana? Langkah kakinya mundur, ia terus mengukir senyuman ke arahku. "Aku akan urus Mbak Tiara, kamu urus dirimu sendiri, Elena!" suruhnya kemudian membuka pintu yang terbuat dari kaca. Lalu ia melambaikan tangannya dan perlahan menghilang dari hadapanku. Aku menghela napas sambil menggebrak meja. Lalu meraih telepon yang ada di hadapanku dan memanggil karyawan lain, selain Burhan. Setelah menunggu beberapa menit, satu orang karyawan datang, ia tertunduk, sudah tahu jati diriku. "Tolong bawakan masker dan pakaian pelayan untuk saya," suruhku. "Ta-tapi, Bu ....""Sudah jangan ngeyel," cetusk
Sisil datang dan menyergap papanya dari belakang. Anakku menyelamatkan mamanya. Dengan menghela napas aku membawa barang belanjaan ke dapur supaya Mas Haris lupa untuk memeriksa kembali. Ditambah lagi Sisil akan segera berangkat les, ia memang aku bikin jadwal les siang, karena masih sulit bangun pagi-pagi. "Aku antar Sisil dulu ya," ucap Mas Haris. Jarak tempat les nya cukup jauh, biasanya aku mengantarkan dengan motor, kali ini Mas Haris sudah membawa kunci mobil. 'Semoga ia lupa untuk tidak membicarakan perihal belanjaan tadi, atau kalau perlu aku beli sayuran dulu ke warung sayuran di dekat rumah,' batinku. "Hati-hati, Mas, aku ikut nggak?" tanyaku basa-basi. Padahal dalam hati ini masih gemetar kalau ikut pasti ia tanya-tanya di jalan. "Nggak usah, abis nganter Sisil aku nerus ke bengkel aja deh, kan setelah dari bengkel bisa langsung jemput lagi," jelas Mas Haris. 'Aku terdiam, ini mobil baru, plat aja belum datang, kenapa sudah mau dibawa ke bengkel?' Pertanyaan-pertanyaan
Aku menoleh ke arah Mas Haris, pria yang baru saja naik jabatan beberapa bulan itu tampak membasahi bibirnya. Aku tahu ia sangat shock mendengar ucapan putrinya, aku pun sama, prasangka buruk semakin menyiksaku saat ini. Dada ini bergemuruh, tapi aku tidak ingin hati Sisil semakin hancur jika mengetahui hal yang sebenarnya. Meskipun ini adalah kesalahan Mas Haris, tapi aku tidak mau anak menjadi korban dari perbuatan papanya, hingga harus menanggung malu seperti itu. "Kalau Sisil nggak mau sekolah, boleh kok, tapi kalau nanti sudah kepingin lagi, kita ke sekolah ya, Mama janji akan temani kamu," ungkapku sengaja mengalihkan pembicaraan. Meskipun dalam hati kecil menginginkan Mas Haris menjelaskan ini semua. "Beneran ya, Mah. Kalau gitu, Sisil mau bobo siang dulu," ucapnya sambil menyergap tubuhku. Kemudian, aku menggendongnya dan memanggil Mbok Wati untuk mengajak Sisil ke kamar. Kini tersisa aku dan Mas Haris. Dengan santai aku duduk di dekatnya. Laki-laki yang kini berada di dek
"Hantunya datang ya, Mas? Di depan matamu loh!" ucapku dengan disertai senyuman. Mas Haris terdiam menunduk. Sesekali ia melirik ke arah wanita yang tengah berdiri di hadapan kami. "Kakinya napak ke tanah, Mas. Berati Tiara bukan hantu," tuturku lagi. Mata Mas Haris berputar, lalu tiba-tiba saja ia menarik tangan Tiara dan agak menjauh dariku. Pesan dari Gea pun masuk. Aku membiarkan Mas Haris bicara berdua di depan rumah. [Kakakku ke sana karena aku bilang padanya bahwa Mas Haris akan mempertemukan kamu dengannya. Mbak Tiara sangat antusias dijadikan madumu, Elena.]Sekarang aku paham, Tiara melakukan hal ini untuk mendapatkan Mas Haris, ia cinta mati padanya, hingga rela disebut sudah meninggal dunia. Aku menghampiri kedua orang yang tengah berdebat di garasi rumahku. Dengan tangan dilipat di atas dada, aku pun menyunggingkan senyuman padanya. "Kalian ini cocoknya menjadi pesinetron," ucapku sambil bertepuk tangan. "Kamu salah paham, Elena," sanggah Mas Haris. "Manager yang
"Maaf, Pak, kami sudah berikan peringatan beberapa kali melalui telepon, tapi tidak ada itikad baik, sekarang kami datang untuk memberikan stiker rumah ini tengah jadi pengawasan," ucap salah satu laki-laki berdasi. "Oh jangan, Pak. Saya akan bayar, berapa tiga bulan, Pak?" tanya Mas Haris sambil mengeluarkan ponselnya. "Kalau dikasih stiker, mau ditaro mana muka saya, Pak? Saya ini manager, gaji saya besar," ungkap Mas Haris lagi. Gaji besar tapi berikan nafkah istri seadanya. Jadi ini adalah teguran untuknya. "Totalnya empat juta setengah, Pak, silakan melakukan pembayaran langsung ke rekening rumah Anda, Pak," jawab laki-laki satunya. "Tunggu sebentar, saya akan masuk ke mobile banking dulu," timpal Mas Haris, kemudian ia fokus ke arah layar ponsel dan matanya terbuka lebar ketika tidak bisa transfer. "Sebentar, Pak. Saya cek saldo dulu, sepertinya ada yang salah," tambah Mas Haris gugup. Aku menyunggingkan senyuman, saldo rekening pun sudah aku pindah ke rekening pendidikan m
[Len, Mama sakit.] Pesan dari Mbak Fitri membuatku lemas seketika. Mama angkat sakit dan aku tengah sibuk mengurus rumah tangga yang seharusnya kutinggalkan. Aku langsung menghubungi Mbak Fitri, dan ia pun mengangkat dengan segera. "Halo, Len," ucap Mbak Fitri. "Mama sakit apa, Mbak?" tanyaku padanya. "Kecapean kayaknya, makanya kamu aja yang urus hotel ya. Mama dan Papa nggak sanggup bolak-balik," pinta Mbak Fitri. "Iya, Mbak. Pekan depan kamu ke sini ya, biar urus bareng-bareng," timpalku. "Nggak bisa, aku udah capek urus hotel di sini, udah kamu aja ya, aku nggak apa-apa kok," jawab Mbak Fitri. "Salam untuk Mama ya, Mbak, kalau terjadi sesuatu, tolong informasi ke sini, aku memang bukan siapa-siapa kalian, tapi aku sayang kalian," ungkapku pada kakak angkat. "Kami juga sayang kamu, Len. Baik-baik di sana ya," tutur Mbak Fitri. Kemudian telepon disudahi setelah aku pamit karena hendak pergi bertemu dengan kru. Mbak Fitri memang baik, sama seperti kedua orang tua angkatku. N
"Maaf Bu Elena, kami permisi dulu, kami harus menginterogasi tersangka," ucap polisi sambil menarik lengan Tiara dan Mas Haris.Keduanya tidak berontak, hanya saja tepat di hadapanku, Mas Haris berhenti."Aku titip Sisil, Elena, sudah puas kan kamu memporak-porandakan hidupku?" Mas Haris berkata dengan nada pelan. Kemudian disusul oleh Tiara di belakangnya. Ia pun sengaja berhenti di hadapanku."Aku belum kalah, Elena, lihat saja nanti," ancam Tiara dengan mata menyipit. Aku tak menjawab apalagi meladeninya, justru membiarkan keduanya pergi dengan iringan polisi.Tangan ini masih berada dalam gandengan Mbak Fitri. Ia menatapku sambil memberikan senyuman. Kedipan mata Mbak Fitri membuatku merasa tenang, tiba-tiba ada orang yang muncul dari balik vas bunga. Dia Pak Danu, kemudian beranjak ke arahku berdiri."Sudah tenang ya sekarang, berati bisa fokus nulis novel lagi, dan segera jadi penulis terkenal yang naskahnya dipinang dan difilmkan," tutur Pak Danu ternyata masih ada di hotel in
"Dia bohong, ini semua fitnah. Saya bisa laporkan kalian atas tuduhan pencemaran nama baik!" Mas Haris mulai membalikkan fakta lagi. Ia tidak sadar bahwa kesalahannya lebih banyak daripada istrinya. Begitulah manusia, kesalahan orang terus dikoreksi, sedangkan kesalahan sendiri tidak ia pedulikan.Mbak Fitri terkekeh, ia seakan puas mewakili perasaanku, menghancurkan Mas Haris dengan cara sadis sekalian, bukan dengan kekerasan, tapi mempermalukan.Seketika ruangan jadi ramai, beberapa orang berdebat dan berdiskusi mencari yang salah. Ada sebagian yang datang mendadak bubar, mungkin mereka tidak ingin ikut campur urusan beginian.Sekarang di ruangan tidak sebanyak tadi, hanya tersisa beberapa kepala saja, orang yang memiliki banyak waktu tetap di sini, tapi orang yang tidak mau membuang waktunya memilih pergi ketimbang hanya untuk pengumuman masalah rumah tangga.Tiba-tiba saja Mas Haris menarik lengan jas hitam yang ia kenakan, lalu menunjuk ke arah Pak Danu. Kini pandangan semua oran
"Ya, dia adikku, Pak, bisa jadi referensi untuk jadi calon istri nanti, aku pastikan dia akan bercerai dari suaminya," ucap Mbak Fitri sambil terkekeh. "Mbak ih," celetukku malu. Kemudian, Pak Danu menoleh dan menatapku tajam."Kok nggak mirip ya?" tanya Pak Danu."Kami hanya saudara angkat, Pak. Tapi Mbak Fitri dan orang tuanya sangat baik padaku," timpalku membuat Pak Danu mengangguk. Kemudian mata Mbak Fitri terlihat mencari sesuatu. Ternyata ia langsung menghampiri Sisil dan memeluknya."Ponakan Tante, cantik banget sih! Oh ya, nanti Sisil sama Tante cantik itu ya, di play ground main di sana!" seru Mbak Fitri. Ia langsung melambaikan tangan seraya memanggil wanita yang berseragam coklat, seragam yang dikenakan semua pegawai hotel.Pegawai itu menghampiri dan membawa Sisil. Aku tahu pasti ia tidak mau anakku tahu tentang ayahnya."Mereka sudah di dalam, aku ingin kamu buat laporan dulu, terserah kamu mau lapor masalah pernikahan mereka atau pura-pura matinya Tiara, atau kalau per
"Ya udah, aku berangkat bareng Mbok Wati, asisten rumah tangga di sini," ucapku pertanda mengakhiri telepon.Setelah sambungan telepon sudah terputus, akhirnya aku panggil Mbok Wati untuk bersiap ke hotel, sambil lihat jam yang melingkar di tangan, aku memerintahkannya dengan cepat. Mbok Wati paham, ia langsung ke kamar Sisil merapikan anakku.Di depan kaca rias, aku memoles wajah ini dengan bedak. Jadi teringat saat perias pengantin berkata padaku untuk selalu jaga penampilan di hadapan suami. Itu semua sudah kulakukan, tapi tetap saja Mas Haris tergoda rayuan Tiara. Namun, karena hal itu aku pun mengulang kembali kata-kata yang dilontarkan Tiara semalam."Dia bilang menanti belasan tahun, dan baru tiga tahun ini berhasil mendapatkan apa yang diinginkan olehnya." Aku bicara sendirian. "Ah nggak usah diingat kata-kata itu, merusak moodku aja," tambahku sambil menutup tempat make up yang kupakai. Lipstik sudah kuoles dengan warna peach, aku suka warna yang tidak mencolok, natural dan
"Len, Mbak telepon polisi ya!" teriak Mbak Fitri kemudian telepon sengaja aku putus.Plak!Tamparan keras melayang di pipiku. Ini kesempatan emasku untuk menjebak Mas Haris, agar ia tak lagi main-main denganku.Aku ambil tangannya sekali lagi dan memukul wajahku. Namun, tiba-tiba ada yang datang berkunjung.'Sial, siapa yang datang? Aku belum bonyok dan cukup bukti untuk menjebloskan Mas Haris, mukaku harus bonyok dan memar supaya ia bisa dituntut," batinku."Buka sana pintunya!" suruh Mas Haris."Kamu aja, paling istri siri kamu," ucapku agak ketus.Mas Haris terdiam, lalu melangkahkan kakinya ke depan. Ia membuka pintu kemudian aku menunggu di depan televisi. "Kok lama ya, kenapa Mas Haris tidak muncul lagi?" tanyaku bicara sendirian. Akhirnya aku menyusul untuk melihat siapa yang datang. Sebab, sudah hampir dua menit Mas Haris tidak bersuara dan balik ke ruangan keluarga.Aku lihat ke depan, mobilnya masih terparkir, tapi Mas Haris tidak ada di rumah."Ke mana dia?" Aku bertanya-t
"Sudahlah, Mas. Memang kedokmu sudah seharusnya terbongkar. Aku hanya mempermudah saja," kata Gea sambil menghindar pergi. Ia pun sengaja mengejarnya, dan tidak peduli denganku. Akhirnya aku ke arah parkiran tempat Pak Danu menunggu, mobilnya masih tampak di depan. Namun, tiba-tiba Mas Haris memanggilku dengan nada tinggi. "Heh! Perempuan nggak diuntung! Anak yatim piatu yang sudah kuurus 12 tahun, kenapa kamu malah tega menghancurkan karirku?" Pertanyaan Mas Haris terdengar melengking dari belakangku dan membuat badanku terpaksa menoleh ke arahnya. Ternyata ia tidak mengejar Gea, justru kembali mengejarku. "Masih ada lagi yang ingin kamu katakan, Mas? Silakan umpat sepuasnya, setelah itu kamu pergi dari sini!" sentakku. "Ini tempat aku kerja, seharusnya dari tadi kamu tidak injak kakimu itu ke sini!" Mas Haris balik mencaci. "Aku nggak ada niat buruk, Mas, hanya ingin mempermudah perusahaan mengeluarkan benalu seperti kamu. Sekarang perusahaan tahu bahwa anak buahnya tidaklah p
Aku menatap wajahnya, laki-laki yang berprofesi sama dengan Mas Haris, sebagai manager produksi, aku harap beliau menjadi saksi. "Istrinya yang benar, Pak, selama ini Haris memiliki istri dua tanpa sepengetahuan istri," ungkap laki-laki berparas Jawa. Aku menurunkan bahu seraya lega dengan apa yang dia ucapkan. Sedangkan Mas Haris, tampak memerah dan mengeluarkan keringat seketika. HRD dan direktur utama saling beradu pandang, mereka berdua menatap seraya tengah bermusyawarah. Pak Wijaya mengangguk sedangkan Bu Melly menggelengkan kepalanya. Namun, tiba-tiba saja Mas Haris berdiri lagi. Bahkan tangannya menyanggah di meja sambil mengepal. "Ini pasti si Daus sengaja, Pak. Dia ingin naik jabatan lagi. Kan kesempatan orang ini untuk mencari muka di depan direktur!" tukas Mas Haris, lagi-lagi ia melakukan hal yang membuatku geram. Mas Haris pandai membolak-balikan fakta. "Ris, saya ini dulu atasan kamu, dua orang atasan kamu tahu kelakuanmu, dan kami harap kamu ini akan sadar setelah
Selang beberapa menit kemudian, setelah Bu Melly menutup teleponnya, ia kembali bicara padaku. "Kita harus tetap sidang, Bu. Tapi sekarang juga management akan kumpul di ruang meeting, saya akan panggil Pak Harus, selaku manager produksi," terang Bu Melly. "Emm, tapi saya izin ke mobil Pak Danu dulu, Bu. Mau bilang bahwa saya harus ikut rapat," timpalku padanya. "Nggak perlu, biar saya aja yang hubungi Danu," ucapnya. "Eh, ngomong-ngomong jangan naksir sepupu saya ya, lagi say jodohin dengan teman saya," tambahnya membuatku tertawa. "Ibu bisa aja, saya kan masih istri orang, dan sudah punya anak juga. Mana mau Pak Danu dengan saya," sanggahku sambil terkekeh. "Jangan salah, dia emang suka yang seperti kamu, tersakiti oleh lelaki, bagi dia tuh senasib," sambung Bu Melly sambil terkekeh. Kemudian ia menghubungi Pak Danu dan menyuruhnya untuk pergi dari pabrik, tapi kedengarannya Pak Danu menolak untuk disuruh pergi. "Tuh kan, dia milih nungguin sampai sidang selesai, jangan kasih
Pernikahan yang dilaksanakan tiga tahun lalu. Di video itu terlihat jelas kedua mertuaku ikut hadir di tengah-tengah kedua mempelai. Pernikahan yang terlihat sakral itu disaksikan hanya dari kedua belah pihak saja. Gea tidak ada dalam video, kemungkinan dia yang mengambil gambarnya. Sebuah bukti pengkhianatan suamiku yang tersimpan rapi selama bertahun-tahun. Aku dibohongi, didzolimi dengan diberikan nafkah seadanya, sedangkan Tiara mendapatkan hak sepenuhnya. Bagai pisau yang ditancapkan langsung ke hati ini, rasanya sakit. Tak terasa air mata pun jatuh setelah menyaksikan sendiri video tersebut. Entah karena kecewa, atau karena sakit, semua bercampur menjadi satu. Kututup laptop, lalu membawa flashdisk dalam genggaman. Kali ini aku harus bisa balas dendam, tak perlu melihat Sisil yang masih membutuhkan kasih sayang seorang ayah. Mas Haris tidak bisa seenaknya memperlakukan aku seperti boneka. Sebelum berangkat ke perusahaan tempat Mas Haris mencari nafkah, aku menemui Sisil yang