POV Angga.
Aku merasa sangat terkejut saat Siska marah-marah padaku.Ucapan terima kasih itu ternyata hanyalah anganku saja. karena bukannya Terima kasih yang kudapatkan, tapi kekesalan yang saat ini sedang aku dengarkan dari mulut Siska."Oke, aku berterima kasih, karena kamu udah bantuin aku dari geng ibu ibu Itu. Tapi, kamu nggak tahu masalah apa yang udah kamu ciptain dalam kehidupan aku ke depannya. Mereka mungkin percaya saat ini. Tapi, lama kelamaan mereka akan menganggap aku kembali sebagai seorang janda yang selalu bikin Resah' para suami mereka. Kamu gak tau kan rasanya gimana jadi bahan gosip sekampung?" ujar Siska panjang lebar.Aku menatapnya tanpa kedip. Suara omelannya bagaikan sebuah nyanyian merdu di telingaku.Ah, kenapa ini bisa terjadi kepadaku? Apakah aku sudah mulai merasa jatuh cinta kepada wanita berstatus sebagai janda tanpa anak ini?Tidak mungkin! Tak mungkin secepat ini.<"Mau apa Rey?" tanya Siska nampak tak suka dengan kehadiran sosok laki laki yang baru saja tiba dengan pakaian rapi yang ia kenakan. Sepatu hitam mengkilat itu tampak mrnyombongkan diri pada penampilanku yang biasa saja dan apa adanya.Walau aku kaya, tapi aku tak suka berpenampilan wah. Apalagi hanya untuk sekedar pakaian yang aku gunakan. Biarlah itu menjadi urusanku. Aku mengenakan apa yang kurasa nyaman aku kenakan."Aku datang ke sini mau minta maaf sama kamu, Sis." Laki laki bernama Rey itu menjawab dengan nada tak enak."Buat apa? Kamu gak salah apa apa kok! Lagian, kamu juga gak ngelakuin hal yang bikin kamu harus minta maaf sama aku," kata Siska terdengar biasa."Justru kedatanganku ke sini, karena aku sudah berbuat sesuatu yang mengharuskan aku buat minta maaf sama kamu."Siska nampak mengerutkan kening. Sepertinya tak mengerti dengan ucapan laki laki bernam
POV Siska."Jaga ucapanmu, wanita! Siapa kamu, bisa mengatai calon istriku sebagai wanita murahan?"Aku tertegun. Laki laki yang sedari tadi diam dan memerhatikan, kini bangkit dan berdiri. Lalu, merespons tak suka pada perkataan yang meluncur begitu mulus dari mulut si Klinik Naura.Apa laki laki yang sudah kuketahui bernama Angga ini sedang membelaku di hadapan si Klinik Naura dan tunangannya, Rey?"Kamu yang siapa? Jangan ikut campur urusanku dengan wanita berstatus janda meresahkan itu. Kamu tak ada hubungannya sama sekali," balas Si Klinik Naura dengan sinis.Begitulah sifat aslinya, akan keluar saat ia sedang marah. Dan aku sudah tak aneh lagi. Tapi, tetap saja ucapannya menyakiti hatiku.Memang, siapa juga yang mau menjadi janda? Ini bukan keinginanku. Ini semua takdir yang harus kujalani.Suamiku meninggalkan aku den
"Ya ampun, Siska! Ada tamu, kok malah di biarin nganggur gitu aja, sih!"Aku tersentak, malah langsung gelagapan saat suara si Dudu yang nyaring membuatku mengusap telinga dengan kasar. Emang bener bener si Dudu ini. Tak bisa lihat orang tenang sedikit. Pasti di gangguin. Mana aku lagi tak sengaja sedang mandang wajahnya Angga. Aduh, pasti ketahuan nih."Dudu!" sentakku kesal. Eh, dia malah cengengesan. Emang temen lucknut dia ini. "Apa?! Bener toh. Ada tamu kok malah di anggurin. Kasian tau. Mana si Mas-nya ini udah baik bener mau bantuin kamu. Sekarang, kok malah di cuekin. Kasih minum kek, atau kasih makan, biar kenyang. Iya gak, Mas-nya?"Si Dudu nyerocos panjang lebar. Lalu, tatapannya ia alihkan pada sosok ganteng itu.Oh, aku tertegun. Dia mengulum senyum sedikit sambil menggelengkan kepalanya menanggapi ucapan si Dudu.Jantungku berasa lagi konser dangdut lagi melihatnya. Ternyata, kalau senyum dikit, dia lebih ganteng kelihatannya. Apalagi kalau banyak. Bisa tawuran saat d
Baru kali ini lagi, setelah sekian lama menjanda, aku ada yang mengajak pergi. Bukan tak ada yang mengajak pergi. Tapi, aku sering menolaknya. Bukan tanpa alasan aku menolak mereka. Melainkan karena yang mengajakku pergi kebanyakan adalah para lelaki beristri yang sudah memiliki anak. Mana tega aku pergi dengan suami orang. Apalagi yang di kencani adalah seorang ayah yang tidak berstatus sebagai seorang suami. Tapi juga mempunyai anak yang selalu menunggu kepulangannya di rumah.Dag, dig, dug hatiku gelisah. Kulirik cermin setengah badan yang ada di kamar. Penampilanku sudah lumayan wah. Bisa kubilang. Tidak terlalu menor. Tapi juga tidak terlalu pucat.Aku cantik."Ayo Sis. Lama amat dandannya. Kayak mau ada acara lamaran aja!"Astaghfirullah si Dudu ... Kayak gak pernah jatuh cinta aja! Aku mengelus dada beberapa kali. Debat jantungku seakan tak mau ku ajak kom
Kukira, aku akan langsung pergi ke tempat yang akan di tuju oleh Angga. Tapi nyatanya, di sinilah aku sekarang. Di tempat yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Tempat yang bahkan belum pernah sama sekali ku injakkan kaki di sini.Bukan tanpa alasan aku tak mau menginjakkan kaki di tempat ini. Melainkan karena aku yang tak mampu melihat harga barang barang yang pasti akan membuat kantongku menjerit jerit, karena taksiran harganya yang setinggi langit.Butik Bangau Terbang.Begitulah nama butik ini tertera di depan mata memandang. Butik yang sangat terkenal dengan kualitasnya di antara para penjual dan pembeli.Hanya dengan mendengar nama butiknya saja di sebut, membuatku langsung terserang bengek saat itu juga. Dan tak kusangka, kini aku ada di dalamnya. Hal yang hanya bisa aku impikan. Karena aku sadar diri, tempat ini bukanlah kelasku untuk membeli.Seorang pelayan menyambut ramah ke arah kami. Lebih tepatnya, ke arah Angga. Karena ke arahku, dia hanya memindai sesaat. Aku tak di
Ada yang lagi curi pandang. Tapi, bukan mau ngambil barang. Melainkan, mau ngambil hati dari si janda kembang. Mata itu terus melirik ke arahku. Ya elah, pakai acara malu malu segala lagi. Aku tau, kalau aku ini cantik. Apa salahnya sih, kalau mengakui aja, kalau aku emang cantik. Kayaknya susah bener."Dilirik terus, inget jalan, Ga." Aku berujar tanpa memandang ke arahnya.Eh, dia malah gelagapan. Gak tau apa, kalau aku ini punya mata batin yang luar biasa. Bisa tahu kalau dia lagi curi-curi pandang sama aku."Eh, siapa yang lagi lirik kamu? nggak ada tuh. mungkin kamunya aja yang salah lihat. Dari tadi saya lihatin jalan kok bukan liatin kamu. Geer amat," ujarnya tak mau mengakui. padahal sudah jelas-jelas Jika dia melirik alias mencuri-curi pandang ke arahku setelah pulang dari butik yang membuat hatiku dongkol karena pelayannya yang bernama Soraya.Ternyata, dia juga suka sama Angga. Tapi, takdir tidak
Eh, ngapain dia liatin aku gitu banget?Haduh! Panas dingin menjalari tubuhku yang terkena angin dari AC. Jadi gak karuan gini aku di buatnya. "Ka-kamu, ngapain liatin--""Suttt!"Ucapanku terhenti. Mataku juga berhenti berkedip. Bahkan, tak bisa berkedip karena keterkejutan ini. Angga meletakkan satu jari telunjuknya tepat di depan bibirku. Oh my my. Aku grogi."Panggil Mas. Jangan Angga. Bisa kan?" Mataku semakin melotot. Aku tak mampu membalas pertanyaannya. Bukan tak mau. Tapi, grogi masih menggerogoti kewarasan jiwaku. Hanya kepala yang mengangguk dengan pelan, yang bisa aku lakukan."Mulai sekarang, kamu panggil saya Mas. Jangan panggil Angga. Oke?" Aku mengangguk lagi. Tapi, grogi masih juga menguasai diri.Ya ampun! Sebenernya, aku ini kenapa? Kok mudah banget grogi di hadapan Angga. Eh, Mas Angga maksudny
"Rumah siapa ini, Ga?" tanyaku dengan binar takjub yang sudah pasti terlihat jelas oleh Angga.Mataku tak bisa berhenti melihat keindahan bangunan yang saat ini ada di depan mataku.Aku takjub, benar benar takjub dan tak bisa mengungkapkan, betapa indahnya rumah ini, jika aku berada juga di dalamnya.Ce ileh! Mimpiku apa gak ketinggian ya?"Panggil saya, Mas. Mas, bukannya Angga, Siska."Aku melirik sejenak. Ternyata, permintaannya yang tadi menyuruhku untuk memanggilnya dengan sebutan 'Mas', bukan omong kosong belaka. Angga benar benar ingin aku panggil Mas. Oke deh. "Aku lupa," balasku sambil cengengesan persis bocah ingusan yang mau minta jajan. Tapi eits, aku bukan bocah ya? Apalagi seorang bocah ingusan! Masa masa itu telah lama terlewati."Coba sekarang ulangi?"Keningku berkerut. "Ulangi apa?" tanyaku agak heran. Hingga keningku yang udah mulus kayak