Duduk berdua dengan Siena di belakang rumah, mereka semua meninggalkan Jimmy agar bisa berduaan dengan Siena. Suasana diantara mereka menjadi hening, Jimmy tidak tahu harus berbicara apa dengan Siena, tidak memiliki topik pembicaraan sama sekali atau bisa jadi ada hanya saja tidak tahu memulai darimana.
“Apa kabar?” tanya Jimmy yang langsung menyesali pertanyaannya.“Kamu sudah bertanya itu tadi.” Siena menjawab singkat “Tante bilang kamu di rumah sakit? Koas atau apa?”“Koas sudah selesai, spesialis juga selesai. Sekarang lagi mengumpulkan jam terbang untuk operasi.” Jimmy menjawab dengan menatap Siena.Jimmy menyadari jika Siena banyak perubahan, Siena yang dulu sangat tomboy. Sekarang kesan tomboy sudah tidak terlihat, penampilannya menjadi sedikit feminim dibandingkan dulu saat mereka masih berdekatan. Jimmy dulu selalu bersama dengan Siena membuat banyak yang berpikir jika mereka adalah sepasang kekasih, tidak tahu alasan yang sebenarnya saat Siena menjauh darinya.“Kamu banyak berubah.” Jimmy membuka suaranya.Siena tersenyum “Waktu yang membuatku berubah, tidak mungkin seiring berjalannya usia aku masih tetap sama seperti dulu.”“Satu hal yang sama, kamu selalu memiliki jawaban setiap kali lawan berbicara.” Jimmy tersenyum kecil “Kerja dimana kamu?”“Aku kerja di rumah sakit milik keluargamu.”Jimmy mengerutkan keningnya “Rumah sakit Wijaya?” Siena menganggukkan kepalanya “Sebagai apa?”“Public relation “Jimmy menganggukkan kepalanya “Aku nggak pernah tahu tentang masalah perusahaan.”Kejutan yang didapatnya membuat Jimmy benar-benar tidak tahu tentang Siena dan juga perusahaan, selama ini dirinya hanya fokus pada belajar dan belajar untuk menjadi dokter. Kepergian Siena yang secara tiba-tiba memang sempat mengejutkannya, ditambah kedatangannya yang juga secara tiba-tiba.“Sudah berapa lama kamu kerja di rumah sakit?” tanya Jimmy penasaran.“Baru, belum sampai dua bulan.” Siena mencoba mengingatnya. “Kamu sendiri tetap dengan keinginan menjadi dokter jantung anak?”“Ya, kepergian Sabi masih membekas buatku.” Jimmy menjawab dengan menatap lurus ke taman.“Aku masih ingat lucunya dia, Rey yang sangat menyayangi Sabi. Kak Zee yang senang punya teman cewek di rumah, tapi ternyata Tuhan memiliki rencana sendiri.”Jimmy membenarkan semua kata-kata yang keluar dari Siena, kepergian Sabi membuat mereka tidak lagi memiliki semangat. Mereka semua seakan tidak menduga Sabi akan meninggalkan mereka karena penyakit jantung, padahal Sabi adalah satu-satunya anak yang selamat dari ruang operasi.“Teknologi dan kemampuan dokter sekarang dan dulu berbeda.” Jimmy membuka suaranya “Aku hanya tidak ingin ada keluarga mengalami hal yang sama seperti kami, walaupun aku tahu semua sudah kehendak dan ketentuan Tuhan.”Siena tidak memberikan tanggapan dari semua yang dikatakan Jimmy, mereka kembali diam sibuk dengan pikiran masing-masing. Kenangan tentang Sabi atau membicarakannya selalu bisa membuat mereka semua tidak bisa mengeluarkan suara sama sekali, kenangan tentang Sabi membuat keluarga ini merasakan perasaan bersalah.“Bagaimana kabar keluargamu? Nenek?” tanya Jimmy membuka suara terlebih dahulu.“Nenek sudah meninggal, keluargaku baik-baik saja.”“Bukannya nenek tinggal disini?” tanya Jimmy kaget.“Enam bulan yang lalu kalau nggak salah nenek dibawa ke rumah sakit, itupun sudah dalam keadaan tidak sadarkan diri. Semua terjadi begitu cepat sampai akhirnya meninggal, kami semua tidak menduga jika secepat ini.” Siena mengatakan dengan nada sedih.“Maaf.” Jimmy mengatakan dengan tidak enak “Turut berduka cita.”Siena tersenyum kearah Jimmy “Semua sudah berlalu, hidup harus tetap berjalan.”Suara dari dalam membuat Siena dan Jimmy saling menatap satu sama lain, mereka berdua masuk kedalam rumah dan mendapati meja makan terisi penuh. Jimmy hanya bisa menggelengkan kepalanya, salah satu kebiasaan maminya adalah memasak dalam jumlah banyak ketika ada tamu atau menantunya datang.“Kamu harus makan,” bisik Jimmy tepat di telinga Siena.Siena mengangguk kaku, hal yang tidak disadari Jimmy dengan tetap berjalan kearah meja. Jimmy sendiri sempat berdetak kencang ketika mendekatkan bibirnya di telinga Siena, hanya saja berusaha bersikap biasa saja seakan tidak terjadi apapun.“Dalam rangka apa, tante?” tanya Siena penasaran.“Kebiasaan mami.” Jimmy menjawab yang mendapatkan tatapan tajam dari Tania.“Kamu nikmati makanan ini, Fransiska istrinya Leo lagi ngidam jadi tante siapkan saja makanan ini semua.” Tania mengatakan dengan antusias.Siena menikmati makanan yang disajikan dengan ekspresi bahagia, Jimmy mengalihkan pandangan kearah sang mami yang menatap Siena dengan pandangan sedih. Jimmy mengerutkan keningnya atas apa yang terjadi pada Siena, setelah Siena pulang akan bertanya semua pada sang mami.“Masakan tante memang selalu enak, terima kasih banyak. Saya nggak bisa lama-lama karena masih ada yang harus diselesaikan. Aku pulang dulu, Jim.”Siena berdiri dari meja makan, tidak melihat kearah Jimmy saat berpamitan, kedua wanita berjalan menuju pintu untuk keluar dari rumah. Jimmy mencoba mengingat kesalahan apa yang pernah dilakukannya pada Siena, mengangkat bahunya karena memang tidak tahu kesalahan apa yang pernah dibuatnya.“Kamu makan mulu, nggak anter dia keluar.” Tania menegur Jimmy langsung setelah duduk kembali di tempat makan.“Mami sudah antar dia, jadi buat apa aku ikut.” Jimmy menjawab santai “Mami sedang merencanakan sesuatu?”“Kenapa kamu nggak suka?” tanya Tania penuh selidik.“Mami, aku sudah dewasa jadi biarkan aku memilih dengan siapa hidup bersama. Cukup mami mengatur abang, aku jangan ikutan. Lagian aku nggak pacaran sama wanita yang lebih tua jadi masih aman lah, mi.”“Kamu punya kekasih? Makanya nggak mau pulang? Terus nggak ada niatan ngenalin gitu ke mami sama papi?” tembak Tania membuat Jimmy merapatkan bibirnya langsung.Jimmy hanya diam, tidak menjawab atau memberikan reaksi pada pertanyaan Tania. Tidak mungkin membuka hubungan dengan Febby, pastinya akan membuat keluarga akan semakin tidak menentu, orang tuanya pasti akan langsung menolak hubungan yang dijalaninya.“Kamu sudah ngapain aja? Awas sampai mami dengar tiba-tiba hamil.” Tania masih melanjutkan omelannya.“Mami, aku nggak pulang bukan karena pacar tapi aku memang sibuk. Aku harus mengejar jam terbang untuk belajar mengenai operasi, apalagi menjadi spesialis harus mempunyai jam terbang untuk menangani operasi. Aku saja belum diberikan kepercayaan memegang operasi, jadi pastinya masih sibuk dengan itu semua. Kapan punya waktu kikuk-kikuk kalau fokusnya di rumah sakit. Mami bisa tanya Ruli tentang apa yang aku lakukan selama di rumah sakit.” Jimmy memegang tangan Tania dengan menatap kedua matanya.“Pacar kamu itu satu kerjaan? Dokter juga?” Jimmy menganggukkan kepalanya “Bukannya kamu player, banyak cewek gitu?”“Mami nuduhnya nggak kira-kira?” Jimmy mengerucutkan bibirnya.“Kamu nggak pacaran sama anaknya mantan suami mami, kan?” Jimmy langsung diam “Nggak mungkin kalian...”Jimmy memegang tangan Tania dan menenangkannya “Dia nggak seperti mantan suami mami.”“Mami nggak setuju, kamu harus dengan Siena bukan wanita itu.”“Kamu pacaran sama anak mantan suami mami?” Leo duduk disamping Jimmy.“Mami bilang?” Jimmy memutar bola matanya malas.“Kamu pernah bilang kalau perasaan mami nggak akan pernah salah, buktinya aku terus abang juga.” Diam, tidak membalas perkataan Leo yang memang benar. Melihat Leo dan Lucas membuat Jimmy iri, mereka mendapatkan wanita yang memang baik dan semua itu karena perasaan mami.“Memang dia cantik? Kamu sudah begituan sama dia?” Leo memberikan tatapan menggoda.“Apaan sih? Kepo banget!” Jimmy menatap jijik pada Leo.“Gen Hadinata yang memang tidak bisa dihentikan, jadi?” Leo mengedipkan matanya.“Rahasia.” “Pelit banget!” Leo cemberut mendengar jawaban Jimmy.“Istrimu tuh makin lama makin kelihatan cantik, nggak takut apa aktor-aktor dekatin dia?” goda Jimmy.“Buat apa takut? Fransiska akan tetap memilihku, karena kemampuan ranjangku yang bisa memuaskan dia.” Leo
Liburannya telah selesai, Jimmy memilih kembali ke apartemen terlebih dahulu baru rumah sakit. Berada di rumah tidak memiliki waktu berhubungan dengan Febby, tidak hanya Tania yang mengajaknya berbicara, tapi mendapatkan tugas mengantar jemput Siena yang membuat mereka semakin menjadi orang asing.Suara ponsel membuat Jimmy mengerutkan keningnya, harusnya memang dirinya sudah berangkat ke apartemen, tapi banyak yang harus dilakukan terutama berkaitan dengan kesehatan Wijaya. Membaca pesan dan langsung menghubungi Danu sambil menyiapkan barang-barangnya.“Mau kemana malam-malam?” suara Tania menghentikan langkah Jimmy.“Jimmy sudah bilang kalau bakal pulang,” jawab Jimmy lelah.“Besok kan bisa, keburu sekali harus malam ini.” Tania menatap penuh selidik dan nada tidak suka.“Pasien aku yang mau operasi besok ada masalah, mi. Aku harus kesana buat memastikan dan sudah dihubungi sama Danu juga.” Jimmy mengatakan dengan nada serius.
“Ahhh.....”Jimmy mendorong sampai masuk kedalam saat cairannya keluar, melumat bibir Febby sebelum melepaskan penyatuan mereka. Mengatur nafas masing-masing dengan Febby berada didalam pelukannya, tangan Febby melingkar di pinggang Jimmy erat.“Bagaimana usulku?” tanya Jimmy yang membuatnya mendapatkan cubitan kecil dari Febby.“Aku nggak mau.” Febby menjawab langsung.“Hm...baiklah, kalau begitu aku harus siap-siap.” Jimmy beranjak dan melepaskan pelukannya mencium kening Febby sebelum masuk kedalam kamar mandi.Ide dan rencana gila yang Jimmy katakan memang diluar rencana, semua keluar begitu saja terlebih saat mengingat maminya membahas Siena. Hembusan nafas dikeluarkan Jimmy saat membahas Siena, wanita yang menjadi temannya itu sudah jauh berubah dan masuk dalam kriterianya.Menggelengkan kepalanya, setidaknya harus menatap ke depan bukan masa lalu, lebih baik melupakan segala kenangan yang berhubungan dengan Sie
Badan sudah sangat lelah, operasi membutuhkan waktu yang sangat lama. Jimmy memutuskan tidur di tempat istirahat dokter, harusnya bisa saja pulang dan menghabiskan waktu di ranjang kesayangannya. Memejamkan matanya mencoba istirahat seluruh syarafnya, semua terasa berat sebelum masuk ruang operasi tadi.“Nyokap lo tuh.” Danu duduk tidak jauh dari Jimmy.Mengambil ponselnya, nama yang ada di layar tidak lain adalah maminya. Hembusan nafas panjang, tidak ingin mengangkatnya karena memang tubuhnya benar-benar sangat lelah. “Lo disini ternyata,” ucap Ruli yang tidak dihiraukan Jimmy.Jimmy tidak tahu apa yang dibicarakan kedua pria itu, mereka bertiga memang sudah berteman sejak pertama kali masuk di fakultas kedokteran. Kedekatan mereka bertiga sudah seperti saudara, sebenarnya masih ada lagi tapi teman mereka yang satunya mengambil spesialis berbeda yaitu obgyn.“Lo tahu nggak Tomo kemarin habis temani proses lahiran, tapi pas ka
“Ada masalah?” sebuah suara mengejutkan Jimmy.Menatap sang sumber yang berjalan kearahnya dengan membawa minuman dingin di kedua tangannya, langkahnya semakin mendekat kearah Jimmy. Rooftop rumah sakit, tempat kesukaan Jimmy dalam menghabiskan waktu setelah menyelesaikan pekerjaannya. Menerima minuman dari tangan Febby, menarik tubuhnya dan memberikan ciuman singkat di bibir.“Bagaimana kerjaan kamu?” tanya Jimmy setelah melepaskan ciuman.“Lumayan, berjalan lancar. Kamu sendiri gimana operasinya? Aku dengar setemgahnya kamu yang selesaikan, benar?” Jimmy menganggukkan kepalanya “Aku nggak tahu kalau bakal di tes, pastinya ada papa kamu dan Prof. Markus disana yang lihat di layar.”“Kamu cepat sudah diberikan kesempatan, aku aja belum.” Febby mengerucutkan bibirnya.“Danu malah sudah dua kali, aku kalah sama dia. Ruli juga sama kaya kamu belum, tapi kayaknya nggak lama lagi.” Jimmy mencoba mengingat sahabatnya.
“Pagi semuanya.” Jimmy menyapa teman-temannya yang berada di ruangan.“Seharusnya kita tidak berada disini,” ucap Danu.“Bulan depan kita sudah berada di tempat masing-masing,” ucap Ruli yang menatap teman-temannya.Jimmy menatap isi di ruangan, tempat yang mereka tempati dari awal ditugaskan di rumah sakit ini. Tempat yang juga menjadi saksi bagaimana hubungannya dengan Febby, hembusan nafas panjang saat memikirkan Febby. Mengalihkan pandangan dimana kedua sahabatnya sedang berbicara serius, Jimmy menggelengkan kepalanya saat melihat bagaimana mereka berdebat.“Tomo dimana? Bukannya kita mau keluar bersama?” tanya Jimmy yang menghentikan pembicaraan mereka.“Masih ada pasien yang harus dilihat sama dia,” jawab Danu.“Melahirkan nggak bisa di prediksi sama sekali, inget nggak waktu kita kumpul baru beberapa menit Tomo langsung pergi soalnya ada pasien yang mau melahirkan.” Ruli mengingat pertemuan mereka di jam-jam si
Ruangan jantung anak selalu sepi, tidak banyak yang mengambil spesialis ini. Beberapa dari mereka memilih untuk pindah ke jantung dewasa, alasannya karena anak terlalu sulit Dan membutuhkan ketelitian.“Mereka pada keluar nggak kuat sama Prof Markus.” Danu membuka suaranya.Jimmy tidak menghiraukan sama sekali, fokusnya adalah membuat laporan tentang bayi yang baru lahir. Dua orang yang masih bertahan di angkatannya, Jimmy dan Danu. Dokter senior diatas mereka ada dua dan diatasnya ada tiga, disamping professor. Beberapa diantara mereka ada yang pindah ke rumah sakit lainnya, hanya mereka yang masih bertahan.“Kita jadi kumpul?” Danu mengeluarkan suaranya lagi.“Tergantung Tomo,” jawab Jimmy singkat.“Pria paling sibuk di dunia.” Danu menggelengkan kepalanya.Hening, mereka kembali mengerjakan tugasnya. Danu yang tadi operasi tetap harus membuat laporan mengenai kondisi bayi, mereka bekerja dalam diam dan tidak membuk
Melangkahkan kakinya kedalam rumah sakit milik papinya, bisa dilihat jika rumah sakit ini berbeda dengan rumah sakit pada umumnya. Beberapa kelas untuk kamar dengan harga paling murah sampai mahal, walaupun di rumah sakit lainnya juga ada yang seperti itu tapi pastinya disini berbeda, rumah sakit ini juga menerima mereka yang tidak bisa membayar sama sekali tapi dengan syarat menunjukkan bukti berupa surat tidak mampu. Jimmy tidak tahu bagaimana cara kerjanya karena memang tidak pernah terlibat sama sekali dengan hal-hal seperti itu.“Kamu disini?” suara Tania membuat Jimmy menatap kearahnya.“Gimana papi, mi?” tanya Jimmy langsung.“Ya begitu, tadi mengeluh dadanya sakit terus bawa sini.”Berjalan mendekati Wijaya yang terpasang beberapa alat, Jimmy menatap alat disamping Wijaya dengan serius. Tania duduk disamping Wijaya dengan menatap Jimmy dalam, hembusan nafas keluar dari bibir Jimmy dimana tampaknya tidak bisa berbuat apa-apa.