(Putri menambahkan Alisa, Nuriya, Ryanho, Phaelus, Aybe, Lesmana, Reza, dan Ilham ke obrolan)
(Hari ini 19:24)
Putri : Assalamu’alaikum.
Alisa : Wa’alaikumussalam Mba.
Nuriya : Wa’alaikumussalam Mba.
Ryanho : Wa’alaikumussalam Mba.
Lesmana : Wa’alaikumussalam. Ada informasi terkait pertemuan sebelum praktikum pertama, Putri?
Putri : Saya sudah coba hubungi Mas Akbar. Kata masnya, Mas Hamid masih belum balik. Aku dikasih kontak dia.
Reza : Coba dihubungi sekarang Dik. Masnya ga suka kalo mepet ngehubunginya, nanti dikasih minus.
Putri : Iya Mas. Saya sudah coba hubungi tapi belum dibalas.
Lesmana : Sabar saja. Mas Hamid itu lumayan slowresp orangnya.
Reza : Slowresp tapi ga suka kalo lambat di respon. Aneh emang. Sekarape dewe.
Lesmana : Reza.
Reza : Iya iya.
Putri : Ini ada balasan dari masnya Mas Mba Dik.
(Foto) Soul : Tolong sampaikan ke semuanya untuk perwakilan ketemu Dragonus_Blade untuk minta link pra-asistensi saya. Saya akan matikan link nya jam 21:00 malam ini. Kalau nggak selesai dan benar dalam mengerjakan pra-asistensi tugas asistensi on the spot saya gandakan kesulitannya.
Reza : Nah kan. Suka banget nih senior. Ini aku masih rapat BEM dan kabem masih ceramah.
Lesmana : Maaf Dik, saya nggak bisa keluar malam.
Putri : Saya masih diluar kota Mas Mba Dik, ada yang bisa bantu?
Ryanho : Saya dekat kampus Mba, kira-kira Mas atau Mba Dragonus_Blade itu yang mana ya?
Lesmana : Langsung ke lab aja Dik, bilang aja kamu mencari Dragonus_Blade.
Ilham : Aku temenin Dik. Kamu di mana?
Ryanho : Saya di kos dekat kampus Mas. Ketemu di mana ya Mas?
Ilham : Depan lab aja.
Nuriya menghembuskan nafas. Dia berharap setidaknya asistennya akan mudah, tapi ternyata dia mendapatkan asisten paling susah di antara semua asisten. Setidaknya, itu yang dia ketahui saat Ryanho sempat bertanya di grup angkatan mereka. Dia membaringkan tubuhnya dan berdo’a untuk tidur. Namun, saat matanya nyaris terlelap, sebuah pesan memasuki smartphone miliknya yang membuat benda itu berdering.
Putri : Mas Mba Dik, ada tambahan.
(Foto) Soul : Selain tugas dari Dragonus_Blade, aku juga mau kasih kalian tugas khusus yang harus selesai pas kita asistensi kelima sebelum proyek akhir semester ini. Untuk tugasnya saya kirim setelah balik dari perjalanan. Kita asistensi selasa malam. Praktikum senin kan?
(Foto) Putri : Iya Mas. Kami giliran senin sore praktikumnya.
(Foto) Soul : Jam 19:30. Telat saya dobel tugas on the spot nya.
Ilham : Aku asistensi listrik Selasa malam. Gimana nih?
Reza : Asistennya siapa?
Ilham : Mas Yusuf angkatannya Mas Reza.
Reza : Ya udah, bilang aja kalo si Soul jadwal sekarape asistensi hari iku. Angkatanku maklum kalau kamu dapat dia. Yusuf biasanya minta foto bukti asistensi lab lain, kirim aja bukti namamu di papan X-106 sama pesan Soul. Aku cover juga kok, soalnya aku juga malam itu asistensi lab listrik sama dia.
Ilham : Makasih Mas Reza. Akan saya hubungi masnya.
Reza : Dapat link nya Dik?
Ilham : Ini lagi bicara sama masnya.
Ryanho : Ini linknya Mas Mba : (link)
Dengan malas Nuriya membuka link yang dikirim Ryanho dan hanya ada satu kata yang bisa dia katakan saat membaca soal-soal pra-lab itu.
“Astaghfirullah, soal macam apa ini!” teriaknya secara refleks. Dia membuka grup lagi.
Reza : Parah, gile abis emang ini orang. Senang banget bikin orang ngulang. Aku ga bisa KP bangsat!
Lesmana : Reza. Tata kramamu.
Reza : Iya iya. Tapi serius, ini lho susah semua.
Aybe : Mas Mba, itu sepertinya sangat advanced deh soalnya.
Lesmana : Harap maklum ya Dik. Mas kalian itu memang suka bikin soal rumit-rumit.
Reza : Fix ngulang dah. Les, drop drop!
Lesmana : Nggak boleh putus asa Reza.
Ryanho : Bisa copas aja nggak mas? Itu soalnya susah-susah semua. Aku tanya ke grup angkatan juga nggak ada yang bisa.
Lesmana : Kalau ada yang copas satu kelompok kena imbasnya karena kalau Mas Hamid cek manual seteliti mungkin. Nanti semua kelompok juga di cek sama asisten-asisten mereka kalau ada yang ketangkap. Dua tahun terakhir ada yang nyoba, jadi banyak yang ngulang karena yang di kelompok Mas Hamid ketangkap basah semua.
Aybe : Kalau nggak dijawab sebagian kecil ga apa Mba?
Lesmana : Kalau ada yang kosong nanti soal asistensinya dibuat tambah susah dan tambah banyak Dik.
Reza : Drop drop. Kesal aku.
Lesmana : Dik, besok siang jam 1 di kelas CT-103 kalau bebas ketemu aku ya. Aku ajarin cara ngerjainnya. Tahun lalu soalnya juga dapat soal yang mirip. Ini sedang ku kerjakan. Ada asisten lain juga makai soalnya dan teman-temanku minta diajarin juga.
Ilham : Siap Mba.
Putri : Siap Mba.
Nuriya : Siap Mba.
Phaelus : Mas, bisa drop?
Ilham : Saranku jangan drop kalau kamu dapat Soul Dik, nanti semua di kelompok nilainya bakal dikurangin. Jangan tiru Mas Reza.
Phaelus : Siap mas.
Reza : Sini Ham, kita ngobrol dulu.
Ilham : Ampun Mas Reza :(
Nuriya menghembuskan nafas berat. Sepertinya dia akan benar-benar mengambil SBMPTN tahun depan. Kalau Phaelus dan Aybe aja mengeluh, berarti memang susah asisten ini. Jangan-jangan asisten inilah yang ditakuti angkatan atas. The killer assistant, kalau mereka menyebutnya.
Ada pesan pribadi masuk ke smartphone miliknya. Pesan dari Alisa.
Alisa : Gimana nih? Susah banget soalnya.
Nuriya : Aku tahu Lis. Kira-kira bisa minta tolong lab nggak ya?
Alisa : Mana mau mereka. Kamu datang kan besok siang?
Nuriya : Iya. Kita kelas pagi aja kan?
Alisa : Iya, kelas Matematika 1.
Nuriya : Oke!
Nuriya pun menutup smartphone dan kembali meletakkannya di meja, lalu dia pergi tidur.
Pagi hari tiba. Semangat cerah matahari tidak direfleksikan oleh Nuriya yang telat bangun dan ketinggalan Subuh. Jam menunjukkan 7:15 saat dia bangun dan dia dengan segera melakukan kewajiban Subuh yang telat lalu mempersiapkan diri untuk kuliah. Ibunya telah berangkat beberapa waktu sebelum dia bangun.
Setelah melalui satu kelas matematika yang memusingkan kepala, Nuriya pergi untuk mempersiapkan diri untuk salat Zuhur, namun dia tak lupa menyempatkan diri untuk pergi ke bank untuk menabung sebagian sakunya. Tepat setelah dia balik dari masjid kampus ke jurusan, dia bertemu Putri dan juga seorang laki-laki yang tidak dikenalnya. Putri yang melihat Nuriya menyapanya.
“Dik Nuriya!” sapa Putri. Nuriya yang tidak ingin berinteraksi saat ini hanya melihat ke arah seniornya sebelum dia perlahan menjawab.
“Iya mba?” jawabnya, dengan nada yang terkesan bertanya.
“Maba?” tanya temannya.
“Ini Nuriya yang aku bilang segrup sama kita Ilham!” jawab Putri, yang diikuti melengkungkan bibirnya kesal. Ilham hanya tersenyum.
“Perkenalkan, saya Ilham. Teman angkatan Putri,” sapa Ilham kepada Nuriya. Nuriya hanya mengangguk pelan sebelum memperkenalkan dirinya.
“Nama saya Nuriya... mas,” ucapnya pelan. Putri lalu menarik tangannya, mengajaknya untuk ikut dengannya.
“Ayo Nur, kita ketemu Mba Lesmana,” ajak Putri dengan senyuman dan Nuriya hanya mengangguk pelan. Ilham membalikkan arah tubuhnya dan berjalan duluan beberapa langkah sebelum dua perempuan itu menyusulnya. Smartphone miliknya berbunyi saat dia berjalan ke ruangan tujuan mereka, CT-103 yang disebutkan Lesmana kemarin malam.
“Mba Putri, saya buka HP dulu ya,” ucap Nuriya meminta izin. Putri mengangguk santai. Perempuan yang satu tingkat lebih tua itu berpikir di dalam hatinya, apa yang dilakukan angkatannya dan angkatan atas sampai ada maba yang setakut ini?
Alisa : Kamu di mana?
Nuriya : Sama Mba Putri dan Mas Ilham.
Alisa : Aku nunggu kamu nih di masjid kampus padahal. Ya udah, aku nyusul ke sana.
Nuriya : Hati-hati
Alisa : Iya.
Nuriya dan kedua seniornya akhirnya tiba dan bergabung di kelas tambahan itu. Lesmana mengajarkan dengan sabar dan telaten. Bahkan beberapa mahasiswa baru yang terus bertanya, entah memang bertanya atau mencari celah modus meski beresiko ribut sama angkatan atas, dijawab dengan lembut namun jelas. Setelah sekitar dua jam berlalu, akhirnya ada tiga anak yang berhasil, yaitu Phaelus, Aybe dan Azhar. Semuanya dari angkatan pertama. Sisanya, baik angkatan pertama, kedua, maupun ketiga, bahkan keempat dan kelima, masih berkutat dengan laptop masing-masing, mencoba menyelesaikan tugas mengerikan itu. Termasuk diantaranya adalah Nuriya dan Alisa.
“Susah banget,” keluh Nuriya. Dia menghela nafas kesal saat programnya terus menampilkan berbagai macam error setiap dia melakukan perubahan. Alisa juga demikian, dan begitu pula Putri serta Ilham. Reza sendiri geleng-geleng kepala melihat programnya yang selalu gagal yang membuat dirinya frustasi. Saat mereka masih terus fokus menyelesaikan, Lesmana melihat seorang laki-laki dengan tinggi sepantarannya melewati ruangan itu.
“Assar!” teriaknya memanggil laki-laki itu. Laki-laki dengan wajah putih yang menawan itu menoleh ke sumber suara, yaitu Lesmana.
“Ada apa?” tanya laki-laki bernama Assar itu menghentikan langkahnya. Matanya melihat ke ruangan Lesmana berada sekarang. Lesmana menaikkan sebelah alisnya, heran dengan Assar yang sibuk menganalisis ruangan itu.
“Biar kutebak, sepupuku?” tanya Assar langsung. Lesmana mengangguk.
“Mattaku, perlu apa?” tanya Assar lagi. Lesmana memberikan sebuah kertas, dan Assar mengambilnya. Dia melihat ke kertas itu sebelum menggelengkan kepalanya yang diikuti dengan hembusan nafas berat.
“Kelompok mana?” tanya Assar lagi.
“Kelompokku,” jawab Lesmana, datar. Namun, ada selipan permohonan dalam jawaban itu yang ditangkap oleh Assar.
“Aku baca dulu tugasnya baru aku lihat bisa bantu apa nggak. Tugas akhir semester kan?” tanya Assar memastikan arah pembicaraan ini. Dia tahu hobi sepupunya : bikin tugas akhir asistensi yang levelnya sama kayak tugas dosen matkul semester atas. Apaan coba?
“Iya. Yakin aja sih bisa, soalnya itu tentang permainan,” jawab Lesmana. Assar tertawa kecil mendengar kata ‘permainan’. Dia menganggukkan kepalanya.
“Kirim ke aku lewat pc aja. Aku mau nemuin yang ngasih soal dulu.” Assar tertawa lalu pergi meninggalkan ruangan itu. Entah apa yang ada dipikiran manusia-manusia di ruangan itu melihat interaksi tadi. Bagi angkatan satu, hal tersebut bukan urusan mereka, namun angkatan lainnya mulai heboh dan akhirnya kelas menjadi ribut.
BAM!
“Jangan ribut!” hentakan meja dan teriakan itu menghentikan keributan di ruangan itu. Seorang laki-laki yang sepertinya berada di tahun kelimanya memasang wajah serius.
“Disebelah ada kelas pengganti pak prof. Jangan berisik,” tegur laki-laki itu. Semua di ruangan terdiam.
“Makasih banyak mas,” ucap Lesmana yang menghela nafas lega. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi jika dosen kelas sebelah datang. Bisa panjang urusannya. Azan Ashar memasuki tempat mereka.
Setelah Azan Ashar selesai, Lesmana menutup kelas tambahan itu.
Jika kamu pernah membayangkan bagaimana rasanya mengerjakan berlembar-lembar kertas menulis tanpa ada satu tulisan salah, maka sebaiknya buang jauh-jauh bayangan itu. Dia adalah mimpi, dan mimpi dapat melingkup ke dunia nyata. Inilah yang sekarang dirasakan oleh Nuriya.Dia teringat perbincangan singkatnya dengan kakak sepupunya yang baru lulus beberapa bulan silam. Saat itu, dia bingung memilih jurusan dan kakaknya mengusulkan informatika kepadanya. Dan entah apa yang membuatnya berminat mengambil jurusan IT ini. Oh dia sangat menyesal sekarang.Masalahnya, kalau penyesalan di depan namanya pendaftaran.“
“Jangan telat praktikum, sepupu,” ucapan itu adalah satu-satunya hal yang mereka dengar dari laki-laki berdarah dingin itu. Tidak ada nada perasaan, tidak ada emosi. Namun, kalimat akhir dari laki-laki itu mengejutkan mereka.“Sepupu?” ucap Aybe dengan nada sedikit terkejut. Laki-laki itu meninggalkan mereka tanpa memberikan komentar yang lain, sementara Putri tampak membeku. Phaelus menatap bingung ke arah Putri dengan tatapan tidak percaya.“Kakak... sepupu dengan masnya?” tanya Phaelus setelah laki-laki itu sudah menghilang dalam keramaian kantin mereka berada. Putri hanya mengangguk lemah. Ilham tampak tidak senang dengan perlakuan oleh laki-laki ta
“Ryan, kamu di mana? Sudah dekat waktunya lho!” teriak Alisa lewat teleponnya. Nuriya hanya tersenyum kecil melihat sikap Alisa yang emosi. Phaelus geleng-geleng kepala. Sudah 10 menit mereka menunggu dua asisten yang menggantikan Hamid.“Ryan sudah biasa telat,” komentar Aybe datar saat dia membuka laptop.“Tetap saja, nggak baik kalau telat,” tanggap Ilham. Terdengar kaki berlari ke tempat itu dan ternyata itu Ryan.“Akhirnya. Kamu kemana saja?” tanya Alisa ketus.“
Kamis sore, Mas Reza mengundangku dan anggota lainnya di kelompok praktikum untuk bertemu di sebuah cafe. Jujur saja, Mas Reza sekarang lebih terbuka dibanding saat kami pertama mulai praktikum. Memang, dia agak kasar, tetapi dia sangat baik.“Jadi, kemarin aku meminta informasi ke Mas Sadim, tetapi dia hanya memberikan petunjuk yang tidak jelas. Petunjuknya 5, Nikah, dan Pesawat.”Aku merenungkan kalimat dari Mas Reza. Apa yang terjadi?“
“Mas Affa ya?” gumamku saat aku menggosok gigiku. Setelah mempersiapkan diri untuk kuliah hari ini, aku bergegas ke kampus.Jam menunjukkan 10:25 saat aku tiba di kampus. Aku bergegas menuju ruangan kuliah Fisika 1. Untungnya aku kelas jam 10:30, sehingga punya waktu untuk mempersiapkan diri untuk kuliah perdana. Aku membuka diskusi grup yang aku tinggalkan setelah aku tertidur tadi malam saat aku tiba di rumah. Aku tidak sekelas dengan Alisa di Fisika 1. Dia kelas pagi.Reza : “Hei semuanya! Berita bagus! Si Soul bakal sibuk minggu depan!”Lesmana : “En
“Telah terjadi ...”Laki-laki itu mematikan suara dari berita televisi. Dia kembali menatap ke sekumpulan catatan miliknya yang berserakan di mejanya. Gambar sebuah pesawat, sekumpulan daftar nama dan beberapa coretan dengan berbagai gambar serta grafik di dalamnya.“Sepertinya kali ini tidak akan lama dengan lokasi demikian, apalagi dunia masih mengamati kita,” komentar laki-laki itu seraya membenarkan posisinya duduk di salah satu kursi di ruangan itu. Dia lalu menerima sebuah telepon dari seseorang.“Selamat sore?” tanya laki-laki itu seraya men
Aku menyimpan sekumpulan kertas yang berisi laporan tentang maintenance dari motorku. Katakan aku aneh, namun aku memiliki kebiasaan untuk mencatat setiap bagian rusak dan perbaikan dari motorku. Kebiasaan yang aku dapatkan dari terlalu banyak menonton kanal informasi tentang perawatan benda raksasa yang terbang di langit, pesawat terbang.“Mas Arrow, Sudah selesai dengan tugas kuliah Artificial Intelligence?” pertanyaan itu dilontark
“Terima kasih banyak Mas... Arrow,” ucapku sedikit ngelu. Aneh, meskipun aku sudah mengulangnya berkali-kali, nama itu tetap terdengar aneh bagi diriku. Mas Arrow tersenyum.“Kalau ada masalah lain, silahkan hubungi saya. Berlaku untuk semua praktikan. Saya lebih sering bebas daripada kuliah saat ini,” ucap Mas Arrow santai. Entahlah, rasanya aku menyusahkan Mas Arrow, karena dilihat dari pakaian lab yang dia pakai seadanya, ditambah dengan rambut kepalanya yang masih berantakan, dia sepertinya sangat sibuk. Jangan lupakan kantong mata yang jelas sekali terlihat. Namun, dia masih bisa tersenyum.“Baik mas,” ucapku seformal mungkin. Aku selanjutnya memin
Kami semua kembali kala minggu pagi tiba. Upacara penutupan tidak memiliki banyak kesan. Semua sudah berlalu.Hanya saja. Rasa ini terus membuncah, dan aku memutuskan untuk tidak mempedulikannya. Biarkan saja dia tenggelam dari hatiku, tidak pernah ada di sana.Dan tepat saat baru saja kami tiba di kampus, untuk pertama kalinya, aku melihat Mas Arrow yang langsung berlari seperti kesetanan. Dia segera mengambil motornya, dan aku lihat dia seg
Desa tempat kami berada dapat dibilang lumayan besar. 412 Kepala Keluarga. Penduduknya 2.029 orang seluruhnya. Anak-anaknya 1.035, itu dari usia 6-18 tahun. Tugas kelompokku, dan beberapa lainnya, adalah mengedukasi 5 anak setiap kelompok. Untuk yang diajarkan, kami diharapkan bisa mengajarkan keilmuan yang mereka ingin pelajari serta memberikan motivasi kepada anak-anak tersebut.Pagi itu, setelah makan pagi, kami pergi ke balai desa untuk mengajar anak-anak. Ada juga yang mengajar ibu-ibu, ada yang membantu bapak-bapak membersihkan desa dan seterusnya.Aku dan kelompokku bertemu dengan lima anak yang akan kami berikan ilmu. Tiga orang laki-laki, dan dua orang perempuan. Dari penampilannya, mereka sepertinya sekitar 11 hingga 13 tahun. Mereka tampak senang
“Soul masuk rumah sakit?” tanya Abraham kepadaku. Aku hanya menganggukkan kepala. Malam di Enschede memang berbeda dengan malam di Indonesia. Salju berhamburan di seluruh kota ini. Kota yang berada dekat perbatasan dengan Jerman ini.“Kamu sudah mengerjakan tugas?” tanyanya lagi. Aku menganggukkan kepala.“Boleh pinjam? Aku mau cek aja,” tanyanya lagi. Aku serahkan satu kertas hasil pekerjaanku.“Terima kasih. Oh ya, mending kamu tidur aja. Ini dingin banget cuacanya,” komentar Abraham. Aku tetap memandang salju yang berjatuhan.“Tidak apa,&rdquo
Praktikum ke-4 akan dimulai minggu depan. Aku mencatat hal itu di buku catatanku. Tidak terasa aku mencapai minggu ke-10 kuliah.“Nuriya, waktunya tidur,” ucap ibuku dengan lembut dari depan pintu.“Siap bu.”Aku menutup buku catatan itu, lalu pergi tidur.Pagi hari itu, angkatanku dipanggil oleh senior-senior kami. Biasanya, aku tidak pernah peduli dengan kegiatan-kegiatan konyol dari para senior seperti ini, namun kali ini mereka mendesak dengan berbagai ancaman omong kosong yang membuat teman-temanku yang rajin panik luar biasa. Dengan b
Putri : “Assalamu’alaikum, baru dapat kabar dari Mas Arrow kalau praktikum ke-4 asistensinya akan di urus oleh Mas Mpu. Mas Soul sedang di opname.”Reza : “MAMPUS.”Lesmana : “Innalillahi, bagaimana bisa Dik Putri?”Putri : “Nggak tahu mba. Saya belum dapat informasi apa-apa.”Alisa : “GWS Mas Soul.”Ryanho :
“Kamu tampak lelah,” komentar Mas Fath. Aku hanya menggelengkan kepala. Di depan mataku ada laptop yang masih ku pakai untuk menyelesaikan tugas-tugasku. Tugas mata kuliah Proyek Besar lumayan menguras tenaga, apalagi tugas ini dilakukan selama satu semester. Besok jam 9 adalah kelasnya dan teman-temanku sangat kacau dalam membuat rancangan sistem alat yang ingin kami buat. Oh, aku menyesal mempercayakan mereka untuk hal ini.“Biarkan dia Mas Fath, dapat kelompoknya ampas di gacha,” komentar si menyebalkan Arrow. Komentar itu langsung di balas oleh Reynald yang duduk di sebelahku. Mas Fath berlal
Putri : “Mas Soul akan asistensi besok. Jam 6:30 malam katanya. Gak ada penugasan.”Reza : “ TUMBEN!”Lesmana : “Alhamdulillah.”Ryanho : “Mantap! [OK]”Lesmana : “Yakin nggak ada tugas tambahannya, Dik Putri?”Putri : “Iya mba.”
Praktikum ketiga dimulai hari ini. Tinggal sedikit lagi kami terbebas dari bencana Mas Soul. Semoga kami dikuatkan. Aku sudah selesai membuat laporan untuk praktikum ini, dan sekarang sedang duduk di kantin kampus bersama Alisa.“Kantin jauh lebih ramai,” komentar Alisa.“Sepertinya jurusan lain?” tanyaku setengah bergumam.“Sepertinya begitu, Nur,” jawab Alisa. Kami melihat
Pernahkah kamu merasa takut pada seseorang? Mungkin iya. Aku juga sering merasakannya. Namun, Mas Soul adalah orang pertama yang membuat nyaliku sangat ciut hingga berbicara saja seperti sebuah pisau akan lewat lehermu jika salah berkata. Hari itu, aku belajar ketakutan yang lebih menakutkan daripada saat dulu aku pernah di-bully.“Nuriya, sudah malam, ayo tidur,” ucap ibuku saat memasuki kamarku. Aku tersenyum sebelum menolehkan kepalaku kepada ibuku.“Nuriya masih mengerjakan tugas kuliah bu. Se