“Ryan, kamu di mana? Sudah dekat waktunya lho!” teriak Alisa lewat teleponnya. Nuriya hanya tersenyum kecil melihat sikap Alisa yang emosi. Phaelus geleng-geleng kepala. Sudah 10 menit mereka menunggu dua asisten yang menggantikan Hamid.
“Ryan sudah biasa telat,” komentar Aybe datar saat dia membuka laptop.
“Tetap saja, nggak baik kalau telat,” tanggap Ilham. Terdengar kaki berlari ke tempat itu dan ternyata itu Ryan.
“Akhirnya. Kamu kemana saja?” tanya Alisa ketus.
“Tersesat di jalan matamu yang indah,” komentar Ryan dengan senyumannya menggombal, menghadiahkannya sebuah tamparan di pipinya dari Alisa. Berikutnya, pintu di dekat mereka terbuka.
“Apakah Mas Mba sudah terlalu lama menunggu? Maafkan saya, tadi saya dan Kak Affa sedang menyelesaikan penelitian kami jadi kami baru bisa keluar sekarang. Kata Mas Hamsyah kalau asistensi jangan di lab, jadi di plaza aja ya Mas Mba semua,” ucap Rahima yang membuka pintu itu. Kelompok Nuriya dan beberapa kelompok lainnya yang juga asistensi malam itu kepada dua asisten muda sedikit terkejut dengan penuturan Rahima.
“Penelitian apa ya?” tanya Reza penasaran.
“Tentang Artificial Intelligence Mas,” jawab Rahima yang membuat mereka terkejut.
“Aplikasi Artificial Intelligence dalam dunia robot, Mas,” sambung Affa, yang membuat mereka lebih terkejut lagi.
“Usia kalian berapa?” tanya Reza lagi.
“13 Mas,” jawab mereka dalam satu suara. Mereka semakin terkejut, dan hanya bisa merasa malu.
“Ayo Mas Mba, nanti kita nggak bisa mulai asistensinya,” ucap Affa memecahkan rasa malu mereka. Mereka semua pergi ke plaza jurusan mereka.
“Rame,” komentar Reza. Dia melihat ada enam temannya selain Lesmana di kelompok lain yang ikut malam itu.
“Kita mulai ya Mas Mba. Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh,” ucap Affa memimpin asistensi malam itu. Asistensi yang berjalan lancar tanpa hambatan berarti. Lebih banyak Rahima yang menjelaskan tentang teori terkait pemrograman, sementara Affa hanya menjelaskan hal-hal yang bersifat teknis dan lebih banyak menyontohkan dari laptopnya.
Rasanya malu diajar oleh dua orang anak yang lebih muda dibanding dirinya, namun Nuriya tetap berusaha untuk bisa. Dia tidak akan kalah dengan Phaelus dan Aybe, terutama Aybe. Ada sebuah momen disaat mereka orientasi kampus yang masih diingat oleh Nuriya, dan dia merasa sebuah rasa untuk Aybe, namun dia tidak mengasumsikannya sebagai cinta.
Di akhir asistensi, Affa melemparkan kesempatan untuk bertanya diluar asistensi. Saat itu, Reza, entah mengapa, melontarkan sebuah pertanyaan yang mengejutkan semua praktikan yang hadir.
“Maaf kalau saya lancang bertanya masalah seperti ini, tetapi kenapa Mas Hamid terlihat kurang bersahabat dibanding asisten yang lain? Aku sudah ketemu hampir semua asisten selama kuliah di sini dan dia yang paling tidak bersahabat. Jarang menyapa, nadanya dingin, ngomongnya singkat atau langsung dengan nada mengancam dan ya seribu ketidaknyamanan lainnya.”
Tampak wajah Affa menjadi datar, sementara Rahima berusaha untuk menahan senyumnya, meski dia tampak retak. Lesmana menyenggol Reza di sisi kanan, namun sebelum Reza berkomentar meminta maaf, Affa membuka mulutnya.
“Sebuah cerita menyedihkan, Mas Reza,” jawab Affa. Rahima tampak berusaha menahan air yang mulai merayap keluar dari matanya. Semua praktikan yang ada tampak tidak tega dan Reza segera memberi balasannya.
“Jika terlalu memilukan, tidak perlu diceritakan,” ucap Reza. Affa tersenyum tipis, sebelum mendatarkan wajahnya kembali.
“Saya rasa angkatannya bisa menjawab itu. Mas Hamid dulu membanggakan sekali pentingnya sebuah angkatan di jurusan kita ini,” komentar Affa seraya menuliskan di laporan praktikum Reza sebuah kontak.
Mataraya.Sadim
“Asisten lab X-206, Rangkaian Digital dan Sistem Mikro. Dia adalah teman akrab Mas Hamid. Meski Mas Hamid sekarang tertutup, setidaknya Mas Sadim masih sering berbicara dengan Mas Hamid setiap mereka kelas bersama, dan Mas Hamid masih sering senyum saat bersama Mas Sadim. Mas Mba sekalian mungkin bisa mendapatkan jawaban dari masalah Mas Hamid,” ucap Affa, menjelaskan tentang yang dia tulis itu.
“Aku sering berbincang dengan Mas Sadim, tetapi untuk mengetahui bahwa Mas Hamid dan Mas Sadim sangat akrab, itu cukup mengejutkan,” komentar salah seorang senior semester 5 yang asistensi.
“Kau mengenalnya, Ray?” tanya Reza kepada rekannya itu. Ray menganggukkan kepalanya. Dia lalu menambahkan, “dan jangan lupa, Assar juga sepupu dengan Hamid. Namun, kata Assar, ada masalah keluarga sehingga mereka tidak banyak berkomunikasi lagi.”
“Menarik. Terima kasih atas jawabannya, Dik Affa, Ray,” balas Reza dengan nada senang. Nuriya dan yang lainnya juga tertarik dengan informasi ini. Selama ini, semua hal terkait mahasiswa semester 7 itu berubah menjadi misteri, bahkan bagi sebagian besar angkatannya sendiri.
“Apakah ada pertanyaan lain?” tanya Affa lagi.
“Apakah Mas Sadim sibuk?” tanya Alisa, dan Affa hanya mengangguk.
“Masnya robotika, dan juga sibuk dengan proyek dosen,” jawab Rahima. Alisa mengangguk mengerti. Affa menanyakan lagi, apakah mereka sudah selesai dengan pertanyaan di benak mereka dan semua mengangguk.
Sekarang, Nuriya dan teman-temannya mulai mendapat petunjuk awal tentang asisten misterius Hamid Karim, yang disebut dengan nama Soul. Entah semangat apa yang membuat mereka serius untuk memecahkan permasalahan yang menciptakan asisten berhati besi itu. Mereka ingin tahu dan membantu, menyembuhkan luka yang mengeraskan jiwanya.
“Mungkin, kita bisa menghentikan penderitaan angkatan-angkatan selanjutnya dengan memulihkan Mas Hamid,” ucap Reza saat mereka sudah berjalan keluar dari tempat asistensi dan sedang di parkiran. Teman-teman satu kelompoknya mengangguk setuju.
“Menurut Mas Mba dan teman-teman sekalian, apa yang mendorong Mas Hamid sehingga seperti ini?” tanya Ilham. Reza, Lesmana, Putri, Nuriya, Alisa, Phaelus, Ryan dan Aybe tampak berpikir keras. Mereka masih bingung, karena Mas Hamid bisa dikatakan sudah abnormal.
“Untuk seseorang bisa mengerjakan proyek yang selesai 4 bulan dalam 1 bulan, membuat soal asistensi tersusah dan tidak mau dibantah sedikitpun, tidak pernah terlihat lelah meski dia melaksanakan 24 sks bersama proyek-proyek non-stop. Tak lupa, praktikum sebanyak 3 mata kuliah, menang banyak lomba, mengurus UKM dan dipercaya oleh kantor internasionalisasi bersama semua itu, bisa dia kerjakan. Sangat diluar kemampuan manusia. Ada yang bilang dia bukan manusia,” komentar Reza. Lesmana mengangguk setuju. Yang lain tampak terkejut dengan komentar itu.
“Sumpah Mas Reza? Bagaimana bisa?” tanya Aybe tak percaya. Reza mengangkat kedua tangannya, pertanda dia tidak tahu.
“Aku dengar itu dari salah satu angkatannya. Mas Ahsan Imani,” jawab Reza. Nuriya menggelengkan kepala tidak percaya.
“Mustahil,” ucap Nuriya pelan.
“Pasti berbenturan,” celetuk Ryan. Reza membenarkan.
“Aku rasa sedikit dilebih-lebihkan,” komentar Ryan, “namun tetap saja, dia masuk Papan Prestasi Lomba setiap minggu dan IPK mendekati 4, literally mendekati 4,” lanjutnya.
“Bagaimana dia bisa bertahan?” gumam Phaelus. Semua menggeleng tidak tahu.
“Besok aku akan bertanya ke Mas Sadim. Kalian tunggu kabar dariku,” ucap Reza lagi dan mereka semua mengangguk sebelum membubarkan diri.
Kamis sore, Mas Reza mengundangku dan anggota lainnya di kelompok praktikum untuk bertemu di sebuah cafe. Jujur saja, Mas Reza sekarang lebih terbuka dibanding saat kami pertama mulai praktikum. Memang, dia agak kasar, tetapi dia sangat baik.“Jadi, kemarin aku meminta informasi ke Mas Sadim, tetapi dia hanya memberikan petunjuk yang tidak jelas. Petunjuknya 5, Nikah, dan Pesawat.”Aku merenungkan kalimat dari Mas Reza. Apa yang terjadi?“
“Mas Affa ya?” gumamku saat aku menggosok gigiku. Setelah mempersiapkan diri untuk kuliah hari ini, aku bergegas ke kampus.Jam menunjukkan 10:25 saat aku tiba di kampus. Aku bergegas menuju ruangan kuliah Fisika 1. Untungnya aku kelas jam 10:30, sehingga punya waktu untuk mempersiapkan diri untuk kuliah perdana. Aku membuka diskusi grup yang aku tinggalkan setelah aku tertidur tadi malam saat aku tiba di rumah. Aku tidak sekelas dengan Alisa di Fisika 1. Dia kelas pagi.Reza : “Hei semuanya! Berita bagus! Si Soul bakal sibuk minggu depan!”Lesmana : “En
“Telah terjadi ...”Laki-laki itu mematikan suara dari berita televisi. Dia kembali menatap ke sekumpulan catatan miliknya yang berserakan di mejanya. Gambar sebuah pesawat, sekumpulan daftar nama dan beberapa coretan dengan berbagai gambar serta grafik di dalamnya.“Sepertinya kali ini tidak akan lama dengan lokasi demikian, apalagi dunia masih mengamati kita,” komentar laki-laki itu seraya membenarkan posisinya duduk di salah satu kursi di ruangan itu. Dia lalu menerima sebuah telepon dari seseorang.“Selamat sore?” tanya laki-laki itu seraya men
Aku menyimpan sekumpulan kertas yang berisi laporan tentang maintenance dari motorku. Katakan aku aneh, namun aku memiliki kebiasaan untuk mencatat setiap bagian rusak dan perbaikan dari motorku. Kebiasaan yang aku dapatkan dari terlalu banyak menonton kanal informasi tentang perawatan benda raksasa yang terbang di langit, pesawat terbang.“Mas Arrow, Sudah selesai dengan tugas kuliah Artificial Intelligence?” pertanyaan itu dilontark
“Terima kasih banyak Mas... Arrow,” ucapku sedikit ngelu. Aneh, meskipun aku sudah mengulangnya berkali-kali, nama itu tetap terdengar aneh bagi diriku. Mas Arrow tersenyum.“Kalau ada masalah lain, silahkan hubungi saya. Berlaku untuk semua praktikan. Saya lebih sering bebas daripada kuliah saat ini,” ucap Mas Arrow santai. Entahlah, rasanya aku menyusahkan Mas Arrow, karena dilihat dari pakaian lab yang dia pakai seadanya, ditambah dengan rambut kepalanya yang masih berantakan, dia sepertinya sangat sibuk. Jangan lupakan kantong mata yang jelas sekali terlihat. Namun, dia masih bisa tersenyum.“Baik mas,” ucapku seformal mungkin. Aku selanjutnya memin
“Bagaimana asistensinya?” pertanyaan basa-basi itu dilemparkan oleh Arrow yang sedang sibuk dengan game buatannya. Aku juga melihat beberapa aplikasi berjalan di latar laptop miliknya itu.“Biasa saja, cuma tanpa perlu ceramah karena lebih pintar,” komentarku sekenanya. Arrow tersenyum. Dia lalu mengambil smartphone miliknya dan mengetikkan sesuatu. Biar aku tebak, salah satu dari hobinya, menulis.
Pernahkah kamu merasa takut pada seseorang? Mungkin iya. Aku juga sering merasakannya. Namun, Mas Soul adalah orang pertama yang membuat nyaliku sangat ciut hingga berbicara saja seperti sebuah pisau akan lewat lehermu jika salah berkata. Hari itu, aku belajar ketakutan yang lebih menakutkan daripada saat dulu aku pernah di-bully.“Nuriya, sudah malam, ayo tidur,” ucap ibuku saat memasuki kamarku. Aku tersenyum sebelum menolehkan kepalaku kepada ibuku.“Nuriya masih mengerjakan tugas kuliah bu. Se
Praktikum ketiga dimulai hari ini. Tinggal sedikit lagi kami terbebas dari bencana Mas Soul. Semoga kami dikuatkan. Aku sudah selesai membuat laporan untuk praktikum ini, dan sekarang sedang duduk di kantin kampus bersama Alisa.“Kantin jauh lebih ramai,” komentar Alisa.“Sepertinya jurusan lain?” tanyaku setengah bergumam.“Sepertinya begitu, Nur,” jawab Alisa. Kami melihat
Kami semua kembali kala minggu pagi tiba. Upacara penutupan tidak memiliki banyak kesan. Semua sudah berlalu.Hanya saja. Rasa ini terus membuncah, dan aku memutuskan untuk tidak mempedulikannya. Biarkan saja dia tenggelam dari hatiku, tidak pernah ada di sana.Dan tepat saat baru saja kami tiba di kampus, untuk pertama kalinya, aku melihat Mas Arrow yang langsung berlari seperti kesetanan. Dia segera mengambil motornya, dan aku lihat dia seg
Desa tempat kami berada dapat dibilang lumayan besar. 412 Kepala Keluarga. Penduduknya 2.029 orang seluruhnya. Anak-anaknya 1.035, itu dari usia 6-18 tahun. Tugas kelompokku, dan beberapa lainnya, adalah mengedukasi 5 anak setiap kelompok. Untuk yang diajarkan, kami diharapkan bisa mengajarkan keilmuan yang mereka ingin pelajari serta memberikan motivasi kepada anak-anak tersebut.Pagi itu, setelah makan pagi, kami pergi ke balai desa untuk mengajar anak-anak. Ada juga yang mengajar ibu-ibu, ada yang membantu bapak-bapak membersihkan desa dan seterusnya.Aku dan kelompokku bertemu dengan lima anak yang akan kami berikan ilmu. Tiga orang laki-laki, dan dua orang perempuan. Dari penampilannya, mereka sepertinya sekitar 11 hingga 13 tahun. Mereka tampak senang
“Soul masuk rumah sakit?” tanya Abraham kepadaku. Aku hanya menganggukkan kepala. Malam di Enschede memang berbeda dengan malam di Indonesia. Salju berhamburan di seluruh kota ini. Kota yang berada dekat perbatasan dengan Jerman ini.“Kamu sudah mengerjakan tugas?” tanyanya lagi. Aku menganggukkan kepala.“Boleh pinjam? Aku mau cek aja,” tanyanya lagi. Aku serahkan satu kertas hasil pekerjaanku.“Terima kasih. Oh ya, mending kamu tidur aja. Ini dingin banget cuacanya,” komentar Abraham. Aku tetap memandang salju yang berjatuhan.“Tidak apa,&rdquo
Praktikum ke-4 akan dimulai minggu depan. Aku mencatat hal itu di buku catatanku. Tidak terasa aku mencapai minggu ke-10 kuliah.“Nuriya, waktunya tidur,” ucap ibuku dengan lembut dari depan pintu.“Siap bu.”Aku menutup buku catatan itu, lalu pergi tidur.Pagi hari itu, angkatanku dipanggil oleh senior-senior kami. Biasanya, aku tidak pernah peduli dengan kegiatan-kegiatan konyol dari para senior seperti ini, namun kali ini mereka mendesak dengan berbagai ancaman omong kosong yang membuat teman-temanku yang rajin panik luar biasa. Dengan b
Putri : “Assalamu’alaikum, baru dapat kabar dari Mas Arrow kalau praktikum ke-4 asistensinya akan di urus oleh Mas Mpu. Mas Soul sedang di opname.”Reza : “MAMPUS.”Lesmana : “Innalillahi, bagaimana bisa Dik Putri?”Putri : “Nggak tahu mba. Saya belum dapat informasi apa-apa.”Alisa : “GWS Mas Soul.”Ryanho :
“Kamu tampak lelah,” komentar Mas Fath. Aku hanya menggelengkan kepala. Di depan mataku ada laptop yang masih ku pakai untuk menyelesaikan tugas-tugasku. Tugas mata kuliah Proyek Besar lumayan menguras tenaga, apalagi tugas ini dilakukan selama satu semester. Besok jam 9 adalah kelasnya dan teman-temanku sangat kacau dalam membuat rancangan sistem alat yang ingin kami buat. Oh, aku menyesal mempercayakan mereka untuk hal ini.“Biarkan dia Mas Fath, dapat kelompoknya ampas di gacha,” komentar si menyebalkan Arrow. Komentar itu langsung di balas oleh Reynald yang duduk di sebelahku. Mas Fath berlal
Putri : “Mas Soul akan asistensi besok. Jam 6:30 malam katanya. Gak ada penugasan.”Reza : “ TUMBEN!”Lesmana : “Alhamdulillah.”Ryanho : “Mantap! [OK]”Lesmana : “Yakin nggak ada tugas tambahannya, Dik Putri?”Putri : “Iya mba.”
Praktikum ketiga dimulai hari ini. Tinggal sedikit lagi kami terbebas dari bencana Mas Soul. Semoga kami dikuatkan. Aku sudah selesai membuat laporan untuk praktikum ini, dan sekarang sedang duduk di kantin kampus bersama Alisa.“Kantin jauh lebih ramai,” komentar Alisa.“Sepertinya jurusan lain?” tanyaku setengah bergumam.“Sepertinya begitu, Nur,” jawab Alisa. Kami melihat
Pernahkah kamu merasa takut pada seseorang? Mungkin iya. Aku juga sering merasakannya. Namun, Mas Soul adalah orang pertama yang membuat nyaliku sangat ciut hingga berbicara saja seperti sebuah pisau akan lewat lehermu jika salah berkata. Hari itu, aku belajar ketakutan yang lebih menakutkan daripada saat dulu aku pernah di-bully.“Nuriya, sudah malam, ayo tidur,” ucap ibuku saat memasuki kamarku. Aku tersenyum sebelum menolehkan kepalaku kepada ibuku.“Nuriya masih mengerjakan tugas kuliah bu. Se