Dua garis merah.
Renata tidak perlu mencobanya berulang-ulang kali untuk meyakinkan diri karena sejujurnya, jauh sebelum dia memutuskan membeli tespek di tangannya itu, dia sudah merasa ada yang salah dalam dirinya. Perubahan hormon, rasa mual dan juga siklus haidnya yang berhenti sejak dua bulan ini. Hamil. Renata tahu kalau dirinya sedang mengandung, hanya saja, dia butuh meyakinkan dirinya lagi. Karena itu dia membeli tespek untuk memastikannya. Dan ya, hasilnya tidak ada yang berubah. Kini, Renata terduduk lemas di atas closet. Tespek di tangannya sudah terjatuh ke lantai. Rasa-rasanya, Renata tidak ingin memercayai semua ini. Kehidupannya sudah teralalu berantakan sejak semua orang mengetahui hubungannya dan Revan, sepupunya yang menjadikannya sebagai selingkuhan selama ini. Belum lagi rasa patah hatinya yang entah kapan bisa sembuh dan membebaskan dia untuk benar-benar bisa hidup dengan damai. Seluruh keluarga memusihinya, orangtuanya menanggung beban akibat ulahnya. Tadinya, Renata pikir dia hanya cukup menjauh dari semua orang agar perlahan-lahan, dia bisa membuat keadaan menjadi lebih baik. Tapi ternyata lagi-lagi takdir mempermainkannya. Tepat di malam ketika Renata tidak bisa membendung rasa rindu dan patah hatinya pada Revan pasca mereka memutuskan berpisah, untuk pertama kalinya Renata menginjakkan kaki di sebuah kelab malam seorang diri. Renata ingin mencoba minum malam itu. Kata orang-orang, ketika mabuk, seluruh masalah yang memenuhi kepala akan menghilang begitu saja. Dan Renata merasa membutuhkan itu. Renata sangat tertutup mengenai kehidupannya. Dia tidak punya sahabat atau pun teman dekat, dia juga tidak pernah mau berbagi banyak hal dalam hidupnya pada siapa pun kecuali Revan. Sejak kecil, dia hanya memiliki Revan, dia hanya terbuka pada Revan hingga bergantung padanya. Ketika Renata menemukan masalah dalam hidupnya, dia hanya akan mengadu pada Revan, mencari solisi bersamanya hingga keadaannya membaik. Tapi sekarang hal itu tidak lagi bisa terjadi. Membuat Renata merasa gamang, hampa dan tidak tahu ingin melakukan apa. Terakhir kali, ketika menemui jalan buntu, Renata memilih mengakhiri hidupnya. sayangnya, Tuhan belum ingin bertemu dengannya. Hingga Renata harus kembali melanjutkan hidup tanpa tahu arah dan tujuannya. Dan malam itu, dia ingin istirahat sejenak dari rasa lelah yang terus menerus menghantuinya. Di sana, Renata duduk seorang diri, meneguk minumannya. Setiap kali gelasnya habis, dia kembali meminta sang Bartander mengisi gelasnya lagi. Kemudian, ketika Renata mulai kehilangan kesadarannya, dia hanya mengingat ada seorang lelaki yang menghampirinya, menanyakan sesuatu yang tidak Renata mengerti karena kepalanya yang terasa berat. Dan entah apa yang terjadi pada malam itu. Renata hanya bisa diam terpaku ketika pagi harinya, dia sudah berada di sebuah kamar hotel, telanjang dengan rasa kebas yang kentara di bawah perutnya, bersama seorang lelaki yang tidak dia kenali. Renata pikir itu akan menjadi mimpi buruk terakhir dalam hidupnya. Sayangnya tidak, karena pagi ini, Renata lagi-lagi mengalami mimpi buruk itu. Dia sedang mengandung. Hasil dari percintaannya malam itu, percintaannya bersama lelaki yang tidak dia kenali. Kini Renata meremas rambutnya putus asa, dia menggigit bibirnya penuh sesal. Bagaimana ini? Apa yang harus dia lakukan? Takdir hidupnya kacau balau, kini, hal mengerikan lainnya kembali hadir dalam hidupnya. Dengan sisa tenaga yang Renata miliki, dia bergegas kembali ke kamarnya, membuka lemari koleksi tasnya, mencari tas yang dia gunakan ketika malam kehancuran itu terjadi. Renata mengeluarkan seluruh isi tas itu hingga berserakan ke atas lantai, kemudian dia bersimpuh dan mencari-cari sesuatu yang seingatnya masih dia simpan di sana dengan kedua mata nanarnya yang menyedihkan. Gerakan tangannya yang gemetar terhenti ketika dia menemukan sebuah kartu nama. Saka Adhiyaksa. Lama Renata menatap kartu nama di tangannya, hingga tiba-tiba dia beranjak cepat dan menyambar ponselnya, menuliskan sederet angka yang tertera di sana. Renata menggigiti kukunya dengan gelagat gelisah karena panggilannya masih belum terjawab. Air matanya memupuk jelas di kedua matanya. [Halo?] Suara bariton itu terdengar. Masih terdengar sama seperti pagi hari di kamar hotel itu. Namun anehnya, setelah mendengar suara itu, tangis yang sejak tadi Renata tahan berakhir luruh begitu saja. Renata menutup mulutnya dengan telapak tangan, menekannya kuat saat isaknya semakin menjadi. Suara itu kembali terdengar, kali ini terdengar jengkel hingga Renata memutuskan panggilan tersebut dan besertaan dengan itu, telapak tangannya terjatuh lunglai begitu saja ke atas pangkuan. Renata membiarkan tangisnya menggema di kamarnya, orangtuanya sedang tidak ada di rumah, tidak akan ada yang tahu jika dia sedang menangis. Apa lagi yang takdir inginkan darinya? Apakah belum cukup dengan menyiksanya untuk terus hidup sedangkan yang dia butuhkan hanyalah kematian? Renata lelah, benar-benar lelah hingga rasanya, da dia merasa tidak lagi sanggup menghadapi semua ini.***Saka duduk di kursi kerjanya dengan gaya yang menawan, mata tajamnya tampak menerawang, kedua tangannya yang berada di atas meja saling mengepal satu sama lain. Dua bulan hampir berlalu, namun sesuatu yang dia tunggu tidak juga datang menghampirinya, membuatnya merasa murka. Saka bukan jenis orang yang memiliki banyak kesabaran. Dia terbiasa selalu mendapatkan apa pun keinginannya dengan mudah. Dan kali ini, sesuatu yang begitu dia damba sejak lama belum juga bisa dia miliki. "Aku nggak akan melepaskan kamu dengan mudah," gumamnya dengan suara rendah yang berbahaya. Ada tekat yang terlihat jelas dari kilat matanya, dan itu jelas bukan sesuatu yang baik. Lalu fokusnya teralihkan ketika ponselnya berdering. Saat mengamatinya, Saka menemukan nomer yang tidak di kenal sedang menelefonnya. "Halo?" Tidak ada sahutan. Hanya ada keheningan. Hingga beberapa saat, Saka mendengar sesuatu yang membuat dahinya mengernyit, seperti sebuah isakan yang tertahan. Ada detak yang tidak asing muncul begitu saja, membuat Saka menegakkan punggungnya. "halo?" ulang Saka lagi dengan penuh ketidak sabaran. Tapi sayangnya, panggilan itu terputus dan membuat Saka mendesis geram serta membanting ponselnya di atas meja. Saka Adhiyaksa, Presiden Direktur di sebuah Bank ternama, menggantikan posisi Papanya yang sudah meninggal dunia sejak dua tahun lalu. Orang nomer satu di perusahaan yang perintahnya tak terbantahkan. Semua orang yang mengenalnya jelas tahu bagaimana sifat Saka yang keras dan juga angkuh. Tidak ada yang pernah berani memandangnya ketika sedang berhadapan, tatapannya selalu saja mengintimidasi. Saka berwajah luar biasa tampan, berkarisma dan juga kejam. Dan saat ini, lelaki kejam itu sedang berusaha merencanakan sesuatu di kepalanya. "Halo," ujarnya pada seseorang yang dia hubungi. "berikan saya informasi apa pun mengenai seseorang," bibirnya menipis tajam ketika menyebutkan satu nama "Renata Noura." Ketika sambungan terputus, sudut bibir Saka menyeringai keji. "Nata..." gumamnya pelan. Suara ketukan pintu membuat ekor mata Saka melirik ke sana, kemudian dia menyimpan ponselnya di dalam saku jas, merapikan pakaiannya sebentar lalu melangkah ringan ke luar dari ruang kerjanya di mana ada Haikal, sekretaris pribadinya yang membungkuk hormat padanya. "Semua orang sudha menunggu Pak Saka di ruang rapat." Ujar Haikal. "Hm." Hanya gumaman itu yang Saka berikan, tanpa mau menatap bahkan melirik Haikal sekalipun. Haikal berjalan sigap di belakangnya, telinganya selalu siaga kalau-kalau Saka mengatakan sesuatu karena Saka tidak pernah suka mengatakan sesuatu lebih dari sekali atau dia akan marah. Ketika Saka berhenti di depan ruang rapat, Haikal membukakan pintu untuknya, kepalanya masih terus tertunduk hormat, hingga ketika Saka masuk ke ruangan itu dan Haikal menutup pintu itu kembali, baru lah Haikal bisa berjalan dengan kepala tegak. Semua orang yang bekerja pada Saka harus mengetahui satu hal. Jangan membuat sang lelaki menawan itu marah.***Semenjak mengandung, Renata merasa tubuhnya cepat sekali lelah. Seperti sekarang, setelah selesai dengan seluruh pasien-pasiennya, Renata merebahkan kepalanya di atas meja dengan mata terpejam. Satu tangannya di bawah sana bergerak mengusap perutnya. Tubuhnya memang cenderung kurus membuatnya mudah menutupi kehamilannya. Belum ada perubahan yang terlihat jelas di tubuhnya karena kehamilannya. Hanya kondisi tubuhnya saja yang tidak sebaik biasanya. Selain mudah lelah, Renata juga kehilangan nafsu makannya. Kalau saja dia tidak memikirkan bayi di perutnya, dia pasti bisa lebih memilih tidur dari pada mengisi perutnya. Ya, pada akhirnya, Renata memilih merawat bayinya. Ditengah kekalutannya dan segala perasaan berkecamuk yang bersarang di benaknya, Renata tidak mau menyalahkan bayinya. Lagi-lagi Renata menyalahkan dirinya untuk semua masalah yang ada dalam hidupnya. Bayi ini ada, karena dia yang memilih menginjakkan kaki ke tempat terkutuk itu. Bayi ini ada, karena dia yang dengan bodohnya menyentuh minuman yang selama ini selalu dia hindari hingga malapetaka itu hadir. Karena semua itu adalah kesalahannya, maka sudah seharusnya Renata menanggung semuanya, sendirian, seperti biasanya. Berusaha menggerakkan tubuhnya, Renata duduk tegak dengan punggung menyandar pada bangku. Dia menunduk, tangannya masih setia membelai perutnya. Lalu perlahan, senyumannya muncul meski tampak samar. "Apa kabar, anak baik?" bisik Renata lirih. Tatapannya menyendu karena membayangkan masa depan apa yang bisa dia berikan pada bayinya nanti, sedangkan untuk memberitahu keberadaannya saja pada keluarganya, Renata belum sanggup. "sabar ya, Mama akan cari jalan keluarnya. Kamu harus tetap sehat sampai nanti ketemu Mama, bantu Mama melewati semua ini ya, sayang." Pada kalimat terakhirnya, Renata memberikan remasan lembut di perutnya, seolah-olah ingin menggenggam jemari bayinya untuk berpegangan karena sejujurnya, Renata memang tidak lagi memiliki pegangan hidupnya saat ini. Mendengar ponselnya berdering, Renata melirik pada benda itu, ada nama Mamanya di sana. "Ya, Ma?" [Pulang kamu sekarang.] Hanya kalimat sesingkat itu yang di katakan oleh Ayu pada putrinya sebelum sambungan itu terputus dan menyisakan raut bingung di wajah Renata. Merasa ada yang tidak beres, Renata bergegas pulang. Seperti biasa, dia mengendarai mobilnya sendiri. Tadinya dia berencana mampir ke sebuah warung makan dan membeli beberapa makanan yang tiba-tiba saja terlintas di benaknya. Tapi, karena merasa cemas pada Mamanya, Renata memutuskan untuk segera pulang. Dia bisa memesan makanan itu dari rumah nanti. Sejak Renata melakukan percobaan bunuh diri beberapa waktu lalu, dia memang kembali tinggal bersama Papa dan Mamanya karena mereka masih mencemaskan Renata.Ketika Renata sampai di rumahnya, begitu masuk ke rumah, dia sudah menemukan Papa dan Mamanya duduk di ruang tengah dengan wajah gusar. Ada Bi Eza juga di sana, duduk dengan kepala tertunduk dalam."Mama... kenapa?" tanya Renata ragu.Kini semua orang menatapnya, Ayu terlihat seperti menahan amarah, sedangkan Herman terlihat begitu sedih, membuat Renata semakin tidak mengerti.Apa lagi saat ini tiba-tiba saja Ayu berdiri dan menghampirinya, menyerahkan sebuah benda yang membuat mata Renata terbelalak ngeri. "Ini punya kamu?" tanya Ayu, suaranya terdengar tajam dan tegas. "Bi Eza bilang, dia nemuin ini di kamar kamu satu minggu yang lalu."Kepala Renata bergerak lambat menoleh pada Bi Eza yang menatapnya takut. "Maaf Mba Renata, tadinya Bibi nggak percaya, mau Bibi buang, tapi...""Jawab Mama, Renata!" bentak Ayu. "ini punya kamu?!"Tuhan...Renata belum siap untuk semua ini, dia bahkan belum mempersiapkan apa pun untuk mengakui kehamilannya. Tapi, lagi-lagi takdir tidak mau berpihak padanya bahkan untuk sekedar mengulur waktu. Hingga pada akhirnya, yang bisa Renata lakukan hanyalah mengangguk pasrah.Lalu seperkian detik setelahnya, sebuah tamparan mendarat di wajahnya."Bukan begini, Renata!" teriak Ayu murka. "bukan begini caranya kalau kamu berniat membunuh Mama!""Mama, maaf..." isak Renata, saat dia ingin menyentuh lengan Ayu, kedua kaki Ayu melangkah mundur."Apa salah Mama sampai kamu begini?! Sejak kacil Mama didik kamu dengan benar, Mama berikan kamu pendidikan yang bagus tapi ini... ini balasan yang kamu berikan sama Mama?!"Wajah Ayu memerah sempurna, dia bahkan tidak peduli jika ada yang mendengar teriakannya di luar sana."Kemarin kamu menjadi selingkuhan suami orang dan sekarang..." Ayu menggelengkan kepalanya berat, wajahnya terlihat sangat terpukul, "kamu hamil, Renata? Kamu hamil..." saat mengatakan kalimat itu tangisnya meledak tak terkendali hingga membuat Renata merasa jantungnya di remas kuat.Lagi, dia menorehkan luka di hati Mamanya."Masih belum cukup kamu mempermalukan Mama kemarin? Di depan keluarga Mama, di depan Kakak dan Adik Mama, Mama menanggung semua rasa malu yang kamu limpahkan pada keluarga kita. Mama yang menanggung semua sikap kamu, Renata, Mama!" telunjuk Ayu terangkat ke depan dadanya, menunjuk-nunjuk kuat seolah ingin meluapkan rasa kecewa dan amarahnya."Revan, kan?" tanya Herman, suaranya terdengar lirih dan berat. "dia Ayahnya?"Mendengar nama Revan di sebut, kepala Renata menggeleng kuat. "Bukan, Pa... bukan, Revan.""Jangan karena cinta buta kamu itu, kamu terus membela, Revan!" bentak Ayu."Bukan Revan, Va... demi Tuhan bukan Revan..." isak Renata."Kalau bukan Revan, lalu... siapa?" tanya Herman lagi.Dan kali ini, Renata bungkam. Apa yang harus dia katakan sekarang?Herman menyentuh jemari Renata, menggenggamnya lembut, seolah itu adalah kekuatan terakhir yang dia miliki karena semua masalah yang terus bertubi-tubi menghantam keluarganya. "Bilang sama Papa, Renata, bilang sama Papa. Papa nggak akan marahi kamu, sayang..."Renata semakin menangis kuat, tatapan mata sang Papa membuat hatinya kian hancur."Renata...""Nggak tahu," kepala Renata menggeleng kuat. Sekuat tangisnya yang semakin menjadi. "Renata nggak tahu, Pa... maafin Renata..."Maka, tidak ada lagi yang bisa Herman katakan selain bahunya yang terkulai dan genggamannya yang terlepas begitu saja. Hancur sudah semua keutuhan keluarganya, habis tak tersisa. Dia merasa gagal sebagai orangtua. Putrinya yang sejak dulu selalu dibanggakan, bisa memutar keadaan dalam sekejab.Ayu menangis kencang, dia meracau penuh kesedihan, meratapi masalah baru yang ditimbulkan oleh putrinya sendiri.Bagaikan anak kecil, Renata berjalan ke sana kemari, menghampiri kedua orangtuanya bergantian, menghiba maaf dengan tangisannya yang pilu, namun tidak ada satu pun dari mereka yang mau memedulikannya. "Pergi kamu dari sini! Mama nggak mau mengenal kamu lagi. Mulai sekarang, jangan pernah kamu memerlihatkan wajah kamu di hadapan Mama. Kamu... sudah bukan lagi bagian dari keluarga ini.""Ma...""Pergi Renata, pergi! Lakukan apa pun yang kamu di luar sana dan jangan pernah kembali."Kini, Renata mendapati satu kenyataan baru. Sekali lagi, satu persatu, orang-orang yang dia cintai memilih untuk pergi dan membuangnya begitu saja.***Tidak sekalipun hal gila ini pernah terlintas di kepalanya. Meski dia masih menyimpan dendam dan luka yang belum mengering sejak bertahun-tahun silam, namun, Saka tidak pernah mengharapkan pertemuan itu. Namun, ketika takdir membawanya kembali bertemu dengan satu-satunya wanita yang pernah membuatnya terpuruk, rasa dendam dan luka itu semakin menguat hingga Saka ingin membalas semuanya. Malam itu, ketika dia menemukan Renata sedang duduk seorang diri di bar, Saka tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari sosok Renata. Kilas masa lalunya yang menyakitkan membuat Saka pada akhirnya membiarkan teman kencannya pergi dengan perasaan kesal karena Saka hanya terus mengamati Renata. Lalu ketika ada seorang lelaki datang menghampiri Renata, berusaha menggodanya sedangkan Renata terlihat mabuk, tanpa Saka sadari, kedua kakinya bergerak begitu saja, melangkah cepat menghampiri mereka lalu mendorong kasar tubuh lelaki itu dan mengusirnya.
Ketika membuka kedua matanya, Renata mendapati dirinya berada di sebuah kamar yang asing, membuatnya beranjak duduk susah payah karena kepalanya yang masih sedikit pusing meski tidak seperti sebelumnya. "Jangan bangun kalau masih sakit." Mendengar sebuah suara, Renata terperanjat dan menoleh cepat ke samping. Wajahnya terkejut menemukan keberadaan Saka, sedang duduk dengan gaya menawannya di sebuah kursi, menatap lekat padanya. Apa sejak tadi Saka menunggunya di sana? "Saka..." gumam Renata. Setiap kali mendengar namanya di ebut oleh Renata, Saka selalu saja merasakan reaksi yang dia benci dalam dirinya, hingga membuat Saka berusaha kuat mengenyahkan rasa itu. Kini Saka beranjak dari tempatnya, menghampiri Renata, berdiri di depannya. Renata tidak mengalihkan perhatiannya sedikit pun darinya. "Gimana keadaan kamu?" "Aku... ada di mana?" bukannya menjawab pertanyaan Saka,
Saka merasa menang saat ini. Kerapuhan Renata membuat pekerjaannya lebih mudah untuk menjalankan rencananya. Renata sedang bersedih sekaligus kebingungan, dia seperti butuh sebuah pegangan dan tentu saja Saka siap memberikannya. Ya, apa pun akan Saka lakukan demi membuat rencananya berjalan dengan baik. Seperti saat ini, Saka berhasil meminta Renata untuk tinggal di rumahnya. Saka bilang, mereka bisa merawat kehamilan Renata bersama-sama. Tadinya Renata ragu karena selain dia baru mengenal Saka, mereka juga tidak mungkin tinggal bersama tanpa status seperti ini. Tapi lagi-lagi Saka berhasil meyakinkan Renata jika ini adalah yang terbaik. Lagi pula, Renata tidak memiliki siapa-siapa lagi sekarang setelah keluarganya sendiri sudah mengusirnya dan tidak ingin lagi memiliki hubungan dengannya. 
Rintik hujan yang membasahi jendela kamarnya membuat Renata tertarik untuk mengamatinya. Dia bahkan sudah berdiri di depan jendela itu sejak sepuluh menit yang lalu, mengamati setiap tetes hujan yang jatuh. Dan seperti biasa, setiap kali menyendiri, pikirannya akan selalu berkelana. Renata kembali memikirkan bagaimana pertama kali dia jatuh cinta, pada Revan, sepupunya. Kemudian mereka menjalin kasih, saling menyayangi dan melengkapi satu sama lain seolah-olah Renata merasa tidak membutuhkan apa pun lagi selain cinta dan kasih sayang Revan. Asalkan ada Revan di sisinya, Maka Renata merasa baik-baik saja. Revan adalah apa yang dia harapkan dalam hidupnya yang selalu saja terasa membosankan bagi seorang Gadis pendiam yang selalu saja malu jika harus berinteraksi dengan banyak orang.&n
Renata sudah bangun, bahkan dia sudah mandi sejak satu jam yang lalu. Tapi, yang dia lakukan sejak tadi hanya lah duduk di tepi tempat tidur, berdiri tegak, jalan kesana kemari dengan wajah resah. Sungguh, Renata benar-benar bingung harus melakukan apa saat ini. Semua itu cumannya dan Saka tadi malam. Ya, ciuman yang mereka lakukan hampir lima belas menit lamanya. Dan ciuman itu terhenti karena ponsel di saku Saka berdering. Tahu apa yang Saka lakukan setelahnya? Dia mengusap bibir basah Renata, menyuruhnya meminum susu yang telah dia buatkan, lalu beranjak pergi begitu saja, meninggalkan Renata yang seketika di landa kebingungan. Bagaimana bisa?! Pekiknya di dalam hati. Bagaimana bisa dia da
Saka sedang berada di mobilnya, duduk nyaman di bangkunya sambil menatap ke arah jalanan. Supirnya sedang membawanya kembali ke rumah untuk menjemput Renata. Hari ini, sesuai rencana mereka, Saka akan menemani Renata memeriksakan kandungannya. Ini akan menjadi kali pertama Saka melakukan hal ini. Padahal sebelumnya, Saka sama sekali tidak memiliki minat untuk melakukan hal itu. Tapi entah mengapa. Semakin hari, dia semakin sering mendengar Renata bercerita mengenai perkembangan kandungannya. Bahkan bulan lalu, setelah pulang dari memeriksakan kandungannya, Renata bercerita dengan wajah riang mengenai betapa baiknya kondisi bayi mereka. Berat bayi mereka sudah semakin membaik dibandingkan dengan ketika Renata pertama kali memeriksakan kandungannya. Renata bilang, itu semua berkat Saka yang membantunya merawat bayi mereka. Semenjak Renata
Renata baru saja selesai membeli beberapa keperluannya di sebuah pusat perbelanjaan. Namun, ketika dia melewati sebuah toko perlengkapan bayi, langkahnya terhenti, dia menatap tempat itu lama. Menunduk untuk menatap perutnya, Renata tersenyum kecil kemudian memutuskan untuk masuk kesana. Renata menyusuri tempat itu, menatap sekelilingnya. Lalu. Tatapannya jatuh pada koleksi pakaian bayi. Kedua kakinya melangkah pasti kesana, dia mengambil sebuah pakaian bayi, jemarinya mengusap pakaian itu dengan gerakan lembut. Ada rasa hangat yang menjalari tubuh Renata ketika dia melakukannya. Membayangkan bayinya nanti akan memakai pakaian menggemaskan itu membuat senyuman Renata mengembang sempurna dan kedua matanya berbinar penuh harap. Semakin hari Renata semakin bersyukur a
TIGA TAHUN KEMUDIAN.Saka membuka pintu rumahnya, dia baru saja kembali setelah melakukan perjalanan Bisnis ke Hongkong. Wajahnya tampak lelah, namun, ketika dia menemukan putrinya yang berlari ke arahnya, senyuman Saka mengembang begitu saja. “Pa...” teriak putrinya, Gheana Adhiyaksa. “Hai, Ghea.” Balas Saka, dia hampir saja menggendong Ghea kalau saja suara Renata tidak mengintrupsi. “Papa mandi dulu, baru boleh peluk Ghea.” Saka melirik Renata, mencebik samar kemudian menghela napas malas. Begini lah kalau Mama dari anaknya adalah seorang Dokter anak, semuanya harus steril demi menjaga kesehatan putri mereka. “
“Cinderella dan Pangeran, akhirnya menikah dan hidup bahagia selamanya.” Ujar Renata di akhir dongeng yang sedang dia bacakan pada Aya. Renata menutup buku di tangannya, melirik ke bawah, pada Aya yang berbaring di atas pangkuannya. Aya belum tidur, matanya masih menatap lurus ke langit kamar. Usapan telapak tangan Renata di dahinya membuat Aya melirik pada Renata. “Pangeran itu… orang baik ya, Tante?” tanya Aya dengan suara rendahnya yang menyerupai bisikan. Renata mengangguk padanya. Untuk sejenak, Aya hanya berdiam diri dengan tatapan lekatnya yang mengarah pada Renata. Kemudian, dia kembali bertanya. “Benar-benar orang baik?” “Iya.”
Saka membuka kedua matanya, mengerjap lambat, lalu menatap langit-langit kamarnya yang kini mulai terlihat jelas di kedua matanya. Lelaki ini tidak membutuhkan siapa-siapa untuk membantunya bangun di pagi hari, karena setiap pukul enam pagi, kedua matanya selalu terbuka dengan sendirinya. Pagi ini pun juga begitu. Hanya saja, ada yang berbeda dengan pagi ini. Jika biasanya Saka akan bergegas mandi setelah bangun, maka kali ini dia membutuhkan waktu yang lebih banyak lagi untuk berbaring di tempat tidurnya, sembari mengingat apa yang telah terjadi antara dirinya dan Renata tadi malam. Sebuah ciuman panas nan panjang itu kembali melintasi pikirannya, membuat Saka seolah bisa kembali merasakan bibir kenyal Renata, yang membalas setiap pagutannya. Lidah Renata yang ikut menari bersama lidahnya, dan deru napas Renata yang begitu hangat dan juga… tersengal. Kini, tanpa bisa dicegah, sudut bibir Saka tertarik ke atas dengan sendirinya. Membentuk sebuah senyuman simpul nam
Setelah melihat-lihat lokasi rumah sakit milik Renata yang sedang dibangun, Saka membawa Renata ke rumah orangtuanya. Begitu Saka dan Renata masuk ke dalam rumah, Aya berlari kencang, berhambur ke arah Saka yang merundukan tubuhnya agar bisa menangkap tubuh Aya dan menggendongnya. “Papa jemput Aya?” tanya Aya pada Saka dengan senyuman tipis. “Hm,” kepala Saka mengangguk. “Aya nggak nakal kan selama dijagain Nenek?” “Nggak. Aya anak baik.” “Good.” Saka dan Aya saling berbalas senyuman, sementara itu Renata yang berada di belakang mereka hanya mengamatinya dalam diam. Aya… Renata sudah mengetahui kisah gadis kecil yang Saka adopsi. Usianya masih emopat tahun ketika Saka mengambilnya dari sebuah panti asuhan. Saka bilang, Aya adalah pelipur laranya sejak Renata dan Ghea meninggalkannya. Gadis kecil yang selalu menemani Saka, menjadi penghibur tersendiri bagi Saka, kala dia sedang membutuhkan teman dan seseorang
Renata baru saja keluar dari kamarnya. Karena dia masih mengingat kebiasaan Bi Ambar yang menyiapkan sarapan pagi untuk mereka, Renata berniat untuk membantunya. “Aku bantu ya, Bi.” “Eh, Non Nata, nggak usah, Non. Biar Bibi aja. Ini sebentar lagi selesai kok.” Tolak Bi Ambar sembari membuatkan segelas kopi. “Itu kopinya buat Saka, ya, Bi?” “Iya, Non.” Renata menatap gerak-gerik Bi Ambar yang sedang membuatkan kopi untuk Saka. Dan hal itu membuat Renata teringat akan kebiasaannya dulu yang selalu menyiapkan kopi untuk Saka di pagi hari. “Non?” tegur Bi Ambar. “Ya?” jawab Renata tersentak dari lamunan. Bi Ambar tersenyum tipis padanya. “Kangen buatin kopi buat Den Saka, ya?” Kangen? Renata hanya tersenyum samar menanggapinya. “Non Nata mau Non aja yang buatin kopinya Den Saka?” “Hm?” “Nggak apa-apa kok, nih, gantiin Bibi. Den Saka pasti seneng kalau yang bu
Renata sedang bersama keluarganya yang kini ikut pulang menemani Saka. Kepulangan Renata kembali ke Jakarta pun membuat seluruh keluarganya ingin menyapanya. Seperti sekarang, Annisa dan anak-anaknya berada di rumah Saka, sedang berbincang dengan Renata. Namun, tidak sekalipun Renata menikmati perbincangan mereka karena yang ada di kepalanya saat ini hanyalah Saka dan juga… gadis kecil itu. Hingga kemudian Renata pamit pada keluarganya untuk menemui Saka. Ketika beranjak pergi, Renata menoleh sekilas pada Calista dan Revan yang duduk di sofa dan sedang menatapnya. Renata mengulas senyuman tipisnya, yang di balas dengan senyuman lega oleh sepasang suami istri itu. Sepertinya kepulangan Renata membuat rasa bersalah Revan sedikit berkurang padanya. Renata berniat mencari Saka, namun ketika dia menemukan Mamanya di meja makan, sedang menyuapi gadis kecil itu, langkah Renata terhenti. Lama dia mengamati Mamanya dan anak kecil itu yang terlihat sangat akrab
Renata baru saja kembali ke rumah setelah berkeliling sejenak sore ini. sebuah kegiatan yang rutin dia lakukan selama tinggal di Berlin. Setahun sudah berlalu, dan Renata Noura yang berwajah muram mulai menghilang, digantikan dengan Renata Noura yang memiliki senyuman ramah dan lembutnya. Renata sudah kembali seperti renata Noura yang sebenarnya. Sepertinya, keputusannya untuk menenangkan diri di Berlin, sekaligus selalu berkonsultasi dengan psikolog adalah keputusan yang tepat. Karena kini, Renata mulai bisa merelakan kepergian Ghea. Dia mulai bisa mengikhlaskan kepergian putrinya itu. Ghea mungkin tidak lagi bisa berada di sisinya, Renata mungkin tidak lagi bisa memeluknya, namun Ghea akan selalu ada di hatinya, di tempat terbaik yang Renata miliki. Dalam pengasingannya, yang kali ini memang atas kemauannya sendiri, bukan demi siapa pun. Kini, Renata memiliki banyak sekali alasan untuk tetap hidup dan menjalani kehidupan yang dia inginkan. Renata banyak belajar
Pagi ini, Saka memutuskan untuk kembali cuti bekerja. Dia merasa urusannya dan Renata belum selesai, apa lagi perbincangan mereka saat itu. Maka itu, kini Saka sudah berada di rumah orangtua Renata, mengetuk pintu kamar Renata sebelum membukanya dan menemukan istrinya itu sedang merapikan tempat tidurnya. “Baru bangun?” tanya Saka. Renata hanya menoleh sebentar dan bergumam pelan padanya. Saka menghampiri Renata, berdiri tidak jauh dari istrinya yang tampak sibuk dengan tempat tidurnya. Saka menyandarkan punggungnya pada dinding kamar, satu tangannya tersimpan di dalam saku celana. Dan dalam diamnya, Saka hanya terus mengamati gerak gerik Renata. Pagi ini Renata tampak lebih baik dari sebelumnya. Buktinya saja, dia mau beranjak dari tempat tidur dan merapikan tempat tidurnya. Karena biasanya, yang Renata lakukan hanyalah duduk atau berbaring di tempat tidur sambil termenung. Dan menemukan Renata yang jauh lebih baik saat ini, membuat Saka te
Renata sedang duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi foto Ghea yang berada di ponselnya. Sesekali jemarinya menyentuh layar ponselnya, seolah-olah dia sedang menyentuh Ghea secara langsung. Renata sedang menceritakan sedikit kebahagiaan yang dia dapatkan hari ini mengenai orang-orang terdekatnya yang kini kembali mau menerimanya. Jujur saja, Renata merasa benar-benar lega, sebuah kelegaan yang sedikit mengurangi seluruh beban yang bertumpu di kedua pundaknya. Dan semua itu juga karena Ghea, putrinya. Andai saja Ghea tidak pergi, mungkin hubungan kekeluargaan itu masih tetap saja seperti sebelumnya. Ghea... putri cantiknya itu benar-benar malaikat baginya. Ada atau tidaknya keberadaan Ghea di dunia ini, dia selalu saja membuat Renata bisa merasakan kebahagiaan meski rasanya nyaris tidak mungkin. Andai aja kamu di sini, Ghea... Mama pasti akan jauh lebih bahagia. Renata masih terus menatap wajah Ghea dari ponselnya, hingga pintu kamarnya terbuka dan Saka masuk ke sana sambil memb
Saka mendorong kursi roda dimana Renata duduk di atasnya selagi mereka menuju di mana mobil Saka sudah menunggu di depan rumah sakit. Di samping Saka, ada Ayu dan juga Herman yang sejak tadi sudah berada di rumah sakit untuk mengantar kepulangan Renata. Ketika melihat Saka dan Renata yang semakin mendekat, Haikal bergegas membukakan pintu mobil untuk istri bosnya itu. Saka sudah akan membantu Renata masuk ke dalam mobil, tapi Renata malah menoleh ke samping, menatap Mamanya dengan tatapan sendu. "Ma, aku... mau pulang ke rumah Mama aja." Ujar Renata dengan suara lirihnya hingga membuat Saka tersentak dan menatapnya terkejut. Bahkan bukan hanya Saka, Ayu dan Herman pun sama terkejutnya. Mereka saling menatap satu sama lain hingga kemudian Ayu bertanya. "Tapi kan, Mamanya Saka udah nungguin kamu di rumah kalian. Lagi pula... kenapa tiba-tiba aja kamu mau pulang ke rumah Mama?" Renata menundukan wajahnya, jemarinya saling meremas. "Nggak apa-apa, kalau nggak boleh." "Ma," panggil Sa