Rintik hujan yang membasahi jendela kamarnya membuat Renata tertarik untuk mengamatinya. Dia bahkan sudah berdiri di depan jendela itu sejak sepuluh menit yang lalu, mengamati setiap tetes hujan yang jatuh. Dan seperti biasa, setiap kali menyendiri, pikirannya akan selalu berkelana.
Renata kembali memikirkan bagaimana pertama kali dia jatuh cinta, pada Revan, sepupunya. Kemudian mereka menjalin kasih, saling menyayangi dan melengkapi satu sama lain seolah-olah Renata merasa tidak membutuhkan apa pun lagi selain cinta dan kasih sayang Revan.
Asalkan ada Revan di sisinya, Maka Renata merasa baik-baik saja. Revan adalah apa yang dia harapkan dalam hidupnya yang selalu saja terasa membosankan bagi seorang Gadis pendiam yang selalu saja malu jika harus berinteraksi dengan banyak orang.
Karakter dan sifat mereka yang memiliki banyak sekali kesamaan membuat kedekatan mereka semakin terjalin baik. Dan semuanya terjalin indah begitu saja.
Hingga tiba-tiba, sebuah masalah yang sejak awal sudah mereka prediksi akhirnya benar-benar datang. Cinta mereka tidak direstui dan itu membuat Renata sangat terpukul. Renata seolah harus memilih antara Revan dan Mamanya.
Renata sangat mencintai Revan. Lelaki itu adalah hidupnya, napasnya, masa depannya. Hingga Renata seolah tidak bisa hidup tanpanya. Namun, tangisan Mamanya membuatnya terpaksa untuk mundur. Renata pergi, menjauh dari Revan, berharap jarak dan waktu bisa melenyapkan rasa cinta yang telah bertahta begitu lama dan besar di hatinya.
Ketika Renata memutuskan untuk pergi, dia memutuskan semua komunikasinya dengan Revan. Renata menghilang dari jarak pandang Revan. Begitu pun sebaliknya. Mereka tidak pernah lagi bertatap muka, tidak pernah lagi saling bicara bahkan, tidak lagi tahu mengenai kabar.
Hingga ketika suatu hari Mamanya mengajaknya kembali pulang sekaligus membawakan sebuah kabar yang membuatnya terkejut. Setelah bertahun-tahun berpisah, ternyata, Revan telah menikah dan memiliki seorang anak.
Renata tidak tahu apa yang dia rasakan ketika mendengar kabar itu. Yang dia ingat hanya bibirnya yang tersenyum seolah-olah kabar itu merupakan kabar bahagia untuknya. Membuat sang Mama merasa lega dan semakin ingin mengajaknya pulang.
Padahal, hal yang berbeda terjadi dalam diri Renata.
Renata tidak merasa bahagia, tidak juga merasa sedih. Hanya ada kehampaan yang menyelimutinya ketika itu.
Revan...
Nama itu memang tidak pernah benar-benar menghilang dari pikian dan hatinya. Tapi, semenjak mengasingkan diri, Renata telah berhasil menekan perasannya untuk tidak lagi bereaksi sama seperti dulu setiap kali wajah atau suara Revan melintas di benaknya.
Revan telah menikah.
Kalimat itu terus bergaung di telinganya.
Revan telah menikah.
Lelaki yang mati-matian dia cintai itu telah menikah dan memiliki sebuah keluarga. Sekali lagi, Renata tersenyum. Namun kali ini, senyumannya seolah tidak tahu kemana dia harus berlayar. Senyumannya tersesat antara turut berbahagia atau harus bersedih hati.
Revan sudah menikah, artinya, dia berhasil melupakan Renata.
Lagi, Renata tersenyum meski setetes air matanya jatuh.
Sudah lah, semuanya sudah benar-benar berakhir. Renata berhasil pergi, Revan berhasil menjauh. Tidak ada salahnya Renata menuruti permintaan sang Mama untuk kembali kepelukan keluarganya.
Renata benar-benar merasa siap untuk kembali pulang. Dia bahkan bisa bersikap biasa ketika untuk pertama kalinya, meski sesaat, mereka kembali bertatap muka. Renata pikir, semuanya sudah baik-baik saja. Revan sudah memiliki istri yang cantik dan juga menyenangkan. Bahkan Renata bisa menyadari itu di pertemuan pertamanya bersama Calista.
Sudah lah, semuanya sudah baik-baik saja. Kalimat itu terus Renata agungkan di dalam hati. Hingga suatu ketika, takdir kembali mempertemukannya lagi bersama Revan. Di dalam lift itu, petaka itu kembali di mulai.
Hanya dengan satu kecupan, satu bisikan penuh cinta, satu perasaan mendamba, Renata kembali terperosot ke dalam lubang gelap yang dalam, yang dia beri nama cinta.
Bertahun-tahun dia pergi, bertahun-tahun dia mengasingkan diri, dan bertahun-tahun pula dia berhasil melangkah pergi dari rasa hancurnya, semua itu terbuang sia-sia hanya karena sebuah ciuman penuh rindu.
Renata kembali tersesat dan parahnya lagi, kali ini, dia tidak tahu kemana arah jalan pulang. Lubang itu terlalu gelap hingga dia hanya bisa berpegangan pada jemari Revan yang terus menggenggamnya erat dan menariknya semakin dalam.
Gelap, sesak, Renata tidak bisa bernapas. Tapi genggaman tangan Revan seolah selalu menjadi kekuatan baginya. Ya, satu-satunya kekuatan yang pada akhirnya membuat Renata bergantung padanya. Renata pikir, Revan tidak akan pernah pergi meninggalkannya hingga meski tahu apa yang dia lakukan adalah sebuah kesalahan yang besar, Renata tetap memilih pada ketersesatan itu.
Tidak apa-apa jika semua orang akan membencinya. Tidak apa-apa jika keluarganya akan kembali marah padanya. Asalkan Revan terus bersamanya, Renata pikir dia akan baik-baik saja.
Cinta itu buta.
Begitulah pepatah yang sudah teramat sering Renata dengar.
Dan ya, hal itu pun terjadi padanya.
Dibutakan oleh cinta, Renata lupa jika ada wanita tanggung yang sudah menemani Revan selama dia pergi. Dibutakan oleh cinta, Renata tidak tahu jika ada seorang anak yang akan selalu menarik Revan kembali pulang dan hidup bersama keluarganya setiap kali Revan semakin melangkah jauh bersama Renata. Dan karena dibutakan oleh cinta, membuat Renata terlalu percaya diri jika Revan... akan benar-benar kembali padanya, hanya untuknya.
Maka ketika semua harapannya tidak pernah terkabul, bahkan ketika Revan memutuskan untuk melepaskan genggaman tangannya, Renata benar-benar hancur. Gelap, sepi, hampa, tidak tahu kemana arah kembali. Renata benar-benar sendirian kali ini. Tanpa Revan, tanpa keluarga dan ditambah lagi dengan semua amarah orang-orang disekelilingnya. Lalu Renata berpikir, jika memang tidak ada orang yang menginginkannya, jika memang hanya ada kebencian untuk dirinya, maka, mengapa dia harus hidup lebih lama.
Renata masih hidup, tapi dia merasa telah mati.
Apa salahnya jika dia benar-benar mati?
Sayangnya, Tuhan pun enggan untuk bertemu dengannya, bahkan di saat Renata berteriak dan memohon padanya. Renata masih tetap hidup, dengan semua penyesalan, kesedihan dan kehancuran yang ada dalam dirinya.
Lalu, semuanya seolah kembali seperti semula. Renata harus kembali berjuang melenyapkan perasaannya. Caranya sama seperti dulu, pergi menjauh dari Revan dan berusaha melupakannya. Hanya saja, kali ini rasanya lebih sulit dari sebelumnya. Dulu, masih ada banyak orang yang menyayanginya dan selalu ada setiap kali dia membutuhkan mereka. Karena dulu, tidak ada yang tahu mengenai hubungannya dan Revan.
Tapi kali ini tidak, hubungan mereka yang merupakan sebuah aib telah di ketahui oleh beberapa keluarga dan semakin menyebak ke keluarga yang lain. Orangtuanya menanggung malu, semua orang mencercanya dan Renata harus bertahan dengan semua itu, sendirian, tanpa bisa membagi semua kehancurannya pada siapa pun.
Hari demi hari telah Renata lalui dengan penuh rasa sesak. Kemana pun dia melangkah, kesedihan dan penyesalan selalu menghantui. Renata ingin mengadu, tapi tidak tahu pada siapa. Renata ingin membagi tangisnya, tapi dia hanya bisa menangis seorang diri di kamarnya yang gelap dan sepi.
Kini dia sendirian, benar-benar sendirian.
Bahkan, setelah Revan pergi, Renata masih tetap berada di dalam lubang itu, tanpa ada seorang pun yang berniat membantunya keluar.
“Nata.”
Menoleh kebelakang, Renata menemukan Saka yang berdiri di depan pintu kamarnya, membawa segelas susu. Saka mendekat, membuat Renata memutar tubuhnya. “Itu susu buat–” ucapan Renata terhenti mana kala jemari Saka menyentuh wajahnya, mengusap air mata yang entah sejak kapan berada di wajah Renata.
Renata tertegun, jemarinya meraba wajahnya sendiri hingga dia menyadari jika wajahnya sudah basa oleh air mata. Ketika matanya kembali bertatapan dengan Saka, Renata tidak tahu kenapa tangisnya semakin menderas bahkan isakannya lolos begitu saja.
Lagi, dadanya terasa sesak setiap kali dia kembali memikirkan perjalanan hidupnya yang tidak pernah benar-benar mengantarkannya pada rasa bahagia. Renata menangis, membiarkan Saka melihat tangisannya. Jemari Renata mencengkram pergelangan Saka, seolah-olah tidak ingin Saka melepaskan sentuhannya dari wajah Renata.
Saka tidak perlu bertanya untuk mencari tahu alasan Renata menangis. Revan. Lelaki itu selalu menjadi satu-satunya alasan Renata menangis, membuat Saka merasa marah. Dengan gerakan cepat, Saka meletakan gelas susu itu di atas meja di samping mereka, kemudian, satu tangannya meraih pinggang Renata, menariknya mendekat hingga bibirnya bisa menyentuh bibir Renata yang sedikit terbuka karena terkejut.
Saka mengecup bibir Renata lama, kedua matanya menatap tajam pada kedua mata Renata yang terbelalak. Kedua telapak tangan Renata yang berada di atas dada Saka mendorong pelan, namun Saka menahannya seolah tidak ingin melepaskan.
Ketika bibir Saka bergerak, memagut lembut bibir Renata, jemari Renata sontak meremas dada Saka. Tubuhnya sedikit menggeliat saat sekujur tubuhnya terasa merinding. Saka melumat bibirnya dengan penuh kelembutan, namun, tidak sekalipun tatapan tajamnya melembut. Tatapannya seolah ingin membakar Renata hingga tak tersisa, membuat Renata merasa takut sekaligus bingung hingga satu-satunya yang bisa Renata lakukan hanyalah memejamkan matanya, membiarkan Saka melakukan apa pun padanya.
Hanya saja, sebuah pemikiran yang baru saja terlintas di kepala Renata membuat kedua matanya kembali terbuka.
Ciuman ini... adalah ciuman pertama yang Renata lakukan dengan lelaki lain selain Revan. Mungkin dia dan Saka pernah berciuman sebelumnya, namun, saat itu Renata tidak menyadarinya. Dan kali ini, dia benar-benar sepenuhnya sadar.
Saka memperdalam pagutannya, berusaha membuai Renata hingga akhirnya Renata benar-benar berhasil terbuai. Saat Renata kembali memejamkan mata, bibirnya perlahan-lahan bergerak pasti membalas setiap lumatan yang Saka berikan, sedangkan kedua tangannya mulai melingkari leher Saka.
Renata tidak tahu mengapa dia melakukan itu, hanya saja, dia berharap melalui ciuman itu, meski tidak sepenuhnya tapi setidaknya, sedikit saja, bisa membuatnya melupakan kesedihannya.
***
Renata sudah bangun, bahkan dia sudah mandi sejak satu jam yang lalu. Tapi, yang dia lakukan sejak tadi hanya lah duduk di tepi tempat tidur, berdiri tegak, jalan kesana kemari dengan wajah resah. Sungguh, Renata benar-benar bingung harus melakukan apa saat ini. Semua itu cumannya dan Saka tadi malam. Ya, ciuman yang mereka lakukan hampir lima belas menit lamanya. Dan ciuman itu terhenti karena ponsel di saku Saka berdering. Tahu apa yang Saka lakukan setelahnya? Dia mengusap bibir basah Renata, menyuruhnya meminum susu yang telah dia buatkan, lalu beranjak pergi begitu saja, meninggalkan Renata yang seketika di landa kebingungan. Bagaimana bisa?! Pekiknya di dalam hati. Bagaimana bisa dia da
Saka sedang berada di mobilnya, duduk nyaman di bangkunya sambil menatap ke arah jalanan. Supirnya sedang membawanya kembali ke rumah untuk menjemput Renata. Hari ini, sesuai rencana mereka, Saka akan menemani Renata memeriksakan kandungannya. Ini akan menjadi kali pertama Saka melakukan hal ini. Padahal sebelumnya, Saka sama sekali tidak memiliki minat untuk melakukan hal itu. Tapi entah mengapa. Semakin hari, dia semakin sering mendengar Renata bercerita mengenai perkembangan kandungannya. Bahkan bulan lalu, setelah pulang dari memeriksakan kandungannya, Renata bercerita dengan wajah riang mengenai betapa baiknya kondisi bayi mereka. Berat bayi mereka sudah semakin membaik dibandingkan dengan ketika Renata pertama kali memeriksakan kandungannya. Renata bilang, itu semua berkat Saka yang membantunya merawat bayi mereka. Semenjak Renata
Renata baru saja selesai membeli beberapa keperluannya di sebuah pusat perbelanjaan. Namun, ketika dia melewati sebuah toko perlengkapan bayi, langkahnya terhenti, dia menatap tempat itu lama. Menunduk untuk menatap perutnya, Renata tersenyum kecil kemudian memutuskan untuk masuk kesana. Renata menyusuri tempat itu, menatap sekelilingnya. Lalu. Tatapannya jatuh pada koleksi pakaian bayi. Kedua kakinya melangkah pasti kesana, dia mengambil sebuah pakaian bayi, jemarinya mengusap pakaian itu dengan gerakan lembut. Ada rasa hangat yang menjalari tubuh Renata ketika dia melakukannya. Membayangkan bayinya nanti akan memakai pakaian menggemaskan itu membuat senyuman Renata mengembang sempurna dan kedua matanya berbinar penuh harap. Semakin hari Renata semakin bersyukur a
TIGA TAHUN KEMUDIAN.Saka membuka pintu rumahnya, dia baru saja kembali setelah melakukan perjalanan Bisnis ke Hongkong. Wajahnya tampak lelah, namun, ketika dia menemukan putrinya yang berlari ke arahnya, senyuman Saka mengembang begitu saja. “Pa...” teriak putrinya, Gheana Adhiyaksa. “Hai, Ghea.” Balas Saka, dia hampir saja menggendong Ghea kalau saja suara Renata tidak mengintrupsi. “Papa mandi dulu, baru boleh peluk Ghea.” Saka melirik Renata, mencebik samar kemudian menghela napas malas. Begini lah kalau Mama dari anaknya adalah seorang Dokter anak, semuanya harus steril demi menjaga kesehatan putri mereka. “
Renata resah bukan main. Besok, Mamanya bersikeras untuk datang ke rumah Saka dan menemuinya beserta Ghea. Padahal Renata masih ingin mengulur waktu, tapi Mama dan Papanya seolah tidak peduli dan tidak bisa lagi bersabar. Dan kini, Renata benar-benar kebingungan. Dia takut Saka akan marah jika tahu mereka datang ke sini tanpa seizinnya. “Apa aku izin dulu ke Saka, ya...” gumamnya dengan wajah cemas. “iya, aku harus izin dulu ke Saka. Kalau di bicarakan baik-baik, Saka pasti mau mengerti.” Renata menoleh ke atas tempat tidurnya, Ghea masih tertidur pulas sejak pukul lima sore tadi. Setelah memastikan Ghea, Renata keluar dari kamarnya menuju kamar Saka. Dia mengetuk pintu kamar Saka beberapa kali hingga Saka membukakan pintu untuknya. “Apa?” tanya Saka. &n
Renata mengernyit saat mendengar dering ponselnya. Matanya perlahan-lahan terbuka, lalu kemudian tubuhnya menggeliat pelan. Hal pertama yang dia tatap adalah langit-langit kamarnya. Lampunya masih menyala, membuatnya mengernyit karena merasa aneh. Renata tidak terbiasa tidur dengan lampu utama yang menyala. Dia terbiasa tidur dalam keadaan gelap. Hanya setelah Ghea lahir saja dia mau menyalakan lampu di atas nakas. Ponsel Renata lagi-lagi berdering, membuatnya segera duduk lalu mencari di mana keberadaan ponselnya. Namun, ketika dia menyadari ketidak beradaan Ghea di sampingnya, kedua mata Renata melebar. Dan detik itu juga, dia kembali mengingat kejadian tadi malam. Dia dan Saka bertengkar, kemudian Saka datang ke kamarnya, memberinya segelas jus sebagai bentuk penyesalannya karena sudah mengatakan hal yang tidak-tidak pada Renata. Lalu... Kedua mata Renata terbelalak ngeri. Kini dia menyadari semuanya. Matany
Mobil Saka berhenti di depan rumah keluarga Renata. Kepala Renata bergerak lambat menatap rumah yang sudah lama sekali tidak pernah dia lihat. Rumah itu masih sama seperti dulu, membuat hatinya di landa rasa rindu yang membuncah. Di pangkuannya, Ghea berusaha berdiri. Kedua tangannya menyentuh jendela mobil, ikut menatap ke arah rumah itu. “Ana, Ma?” tanya Ghea. Renata tersenyum menatap Ghea. “Ini rumahnya Mama, rumah Kakek sama Neneknya Ghea.” “Nek?” ulang Ghea. “Nek Ocie?” “Bukan...” Renata tertawa pelan. “Nenek Ayu sama Kakek Herman.” Kepala Ghea
Saka menyuruh Renata menyusulnya ke sebuah Mal karena dia sedang melakukan pertemuan bisnis di sana dengan seseorang. Karena akhir-akhir ini dia lumayan sibuk dan jarang memiliki waktu untuk bersenang-senang dengan putrinya, Saka merasa harus pintar mencuri waktu agar dia tetap bisa menghabiskan banyak waktu dengan Ghea. Renata sudah mengiriminya pesan jika dirinya dan Ghea sudah berada di sana, Renata menyuruh Saka menghampiri mereka. Kini Saka berjalan ringan, sesekali menatap jam tangannya. Masih ada waktu sekitar setengah jam untuknya makan siang bersama Renata dan juga Ghea. Ya, hanya makan siang bersama dan itu sudah lebih dari cukup. Saka tersenyum tipis saat menemukan Renata sedang berjalan santai sambil mendorong Stroller milik Ghea. Hal itu membuat Saka bergegas menghampiri mereka. Namun ketika dia melihat Renata berbalik dan tampak bicara dengan seorang lelaki, langkah Saka terhenti. Kedua mata Saka
“Cinderella dan Pangeran, akhirnya menikah dan hidup bahagia selamanya.” Ujar Renata di akhir dongeng yang sedang dia bacakan pada Aya. Renata menutup buku di tangannya, melirik ke bawah, pada Aya yang berbaring di atas pangkuannya. Aya belum tidur, matanya masih menatap lurus ke langit kamar. Usapan telapak tangan Renata di dahinya membuat Aya melirik pada Renata. “Pangeran itu… orang baik ya, Tante?” tanya Aya dengan suara rendahnya yang menyerupai bisikan. Renata mengangguk padanya. Untuk sejenak, Aya hanya berdiam diri dengan tatapan lekatnya yang mengarah pada Renata. Kemudian, dia kembali bertanya. “Benar-benar orang baik?” “Iya.”
Saka membuka kedua matanya, mengerjap lambat, lalu menatap langit-langit kamarnya yang kini mulai terlihat jelas di kedua matanya. Lelaki ini tidak membutuhkan siapa-siapa untuk membantunya bangun di pagi hari, karena setiap pukul enam pagi, kedua matanya selalu terbuka dengan sendirinya. Pagi ini pun juga begitu. Hanya saja, ada yang berbeda dengan pagi ini. Jika biasanya Saka akan bergegas mandi setelah bangun, maka kali ini dia membutuhkan waktu yang lebih banyak lagi untuk berbaring di tempat tidurnya, sembari mengingat apa yang telah terjadi antara dirinya dan Renata tadi malam. Sebuah ciuman panas nan panjang itu kembali melintasi pikirannya, membuat Saka seolah bisa kembali merasakan bibir kenyal Renata, yang membalas setiap pagutannya. Lidah Renata yang ikut menari bersama lidahnya, dan deru napas Renata yang begitu hangat dan juga… tersengal. Kini, tanpa bisa dicegah, sudut bibir Saka tertarik ke atas dengan sendirinya. Membentuk sebuah senyuman simpul nam
Setelah melihat-lihat lokasi rumah sakit milik Renata yang sedang dibangun, Saka membawa Renata ke rumah orangtuanya. Begitu Saka dan Renata masuk ke dalam rumah, Aya berlari kencang, berhambur ke arah Saka yang merundukan tubuhnya agar bisa menangkap tubuh Aya dan menggendongnya. “Papa jemput Aya?” tanya Aya pada Saka dengan senyuman tipis. “Hm,” kepala Saka mengangguk. “Aya nggak nakal kan selama dijagain Nenek?” “Nggak. Aya anak baik.” “Good.” Saka dan Aya saling berbalas senyuman, sementara itu Renata yang berada di belakang mereka hanya mengamatinya dalam diam. Aya… Renata sudah mengetahui kisah gadis kecil yang Saka adopsi. Usianya masih emopat tahun ketika Saka mengambilnya dari sebuah panti asuhan. Saka bilang, Aya adalah pelipur laranya sejak Renata dan Ghea meninggalkannya. Gadis kecil yang selalu menemani Saka, menjadi penghibur tersendiri bagi Saka, kala dia sedang membutuhkan teman dan seseorang
Renata baru saja keluar dari kamarnya. Karena dia masih mengingat kebiasaan Bi Ambar yang menyiapkan sarapan pagi untuk mereka, Renata berniat untuk membantunya. “Aku bantu ya, Bi.” “Eh, Non Nata, nggak usah, Non. Biar Bibi aja. Ini sebentar lagi selesai kok.” Tolak Bi Ambar sembari membuatkan segelas kopi. “Itu kopinya buat Saka, ya, Bi?” “Iya, Non.” Renata menatap gerak-gerik Bi Ambar yang sedang membuatkan kopi untuk Saka. Dan hal itu membuat Renata teringat akan kebiasaannya dulu yang selalu menyiapkan kopi untuk Saka di pagi hari. “Non?” tegur Bi Ambar. “Ya?” jawab Renata tersentak dari lamunan. Bi Ambar tersenyum tipis padanya. “Kangen buatin kopi buat Den Saka, ya?” Kangen? Renata hanya tersenyum samar menanggapinya. “Non Nata mau Non aja yang buatin kopinya Den Saka?” “Hm?” “Nggak apa-apa kok, nih, gantiin Bibi. Den Saka pasti seneng kalau yang bu
Renata sedang bersama keluarganya yang kini ikut pulang menemani Saka. Kepulangan Renata kembali ke Jakarta pun membuat seluruh keluarganya ingin menyapanya. Seperti sekarang, Annisa dan anak-anaknya berada di rumah Saka, sedang berbincang dengan Renata. Namun, tidak sekalipun Renata menikmati perbincangan mereka karena yang ada di kepalanya saat ini hanyalah Saka dan juga… gadis kecil itu. Hingga kemudian Renata pamit pada keluarganya untuk menemui Saka. Ketika beranjak pergi, Renata menoleh sekilas pada Calista dan Revan yang duduk di sofa dan sedang menatapnya. Renata mengulas senyuman tipisnya, yang di balas dengan senyuman lega oleh sepasang suami istri itu. Sepertinya kepulangan Renata membuat rasa bersalah Revan sedikit berkurang padanya. Renata berniat mencari Saka, namun ketika dia menemukan Mamanya di meja makan, sedang menyuapi gadis kecil itu, langkah Renata terhenti. Lama dia mengamati Mamanya dan anak kecil itu yang terlihat sangat akrab
Renata baru saja kembali ke rumah setelah berkeliling sejenak sore ini. sebuah kegiatan yang rutin dia lakukan selama tinggal di Berlin. Setahun sudah berlalu, dan Renata Noura yang berwajah muram mulai menghilang, digantikan dengan Renata Noura yang memiliki senyuman ramah dan lembutnya. Renata sudah kembali seperti renata Noura yang sebenarnya. Sepertinya, keputusannya untuk menenangkan diri di Berlin, sekaligus selalu berkonsultasi dengan psikolog adalah keputusan yang tepat. Karena kini, Renata mulai bisa merelakan kepergian Ghea. Dia mulai bisa mengikhlaskan kepergian putrinya itu. Ghea mungkin tidak lagi bisa berada di sisinya, Renata mungkin tidak lagi bisa memeluknya, namun Ghea akan selalu ada di hatinya, di tempat terbaik yang Renata miliki. Dalam pengasingannya, yang kali ini memang atas kemauannya sendiri, bukan demi siapa pun. Kini, Renata memiliki banyak sekali alasan untuk tetap hidup dan menjalani kehidupan yang dia inginkan. Renata banyak belajar
Pagi ini, Saka memutuskan untuk kembali cuti bekerja. Dia merasa urusannya dan Renata belum selesai, apa lagi perbincangan mereka saat itu. Maka itu, kini Saka sudah berada di rumah orangtua Renata, mengetuk pintu kamar Renata sebelum membukanya dan menemukan istrinya itu sedang merapikan tempat tidurnya. “Baru bangun?” tanya Saka. Renata hanya menoleh sebentar dan bergumam pelan padanya. Saka menghampiri Renata, berdiri tidak jauh dari istrinya yang tampak sibuk dengan tempat tidurnya. Saka menyandarkan punggungnya pada dinding kamar, satu tangannya tersimpan di dalam saku celana. Dan dalam diamnya, Saka hanya terus mengamati gerak gerik Renata. Pagi ini Renata tampak lebih baik dari sebelumnya. Buktinya saja, dia mau beranjak dari tempat tidur dan merapikan tempat tidurnya. Karena biasanya, yang Renata lakukan hanyalah duduk atau berbaring di tempat tidur sambil termenung. Dan menemukan Renata yang jauh lebih baik saat ini, membuat Saka te
Renata sedang duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi foto Ghea yang berada di ponselnya. Sesekali jemarinya menyentuh layar ponselnya, seolah-olah dia sedang menyentuh Ghea secara langsung. Renata sedang menceritakan sedikit kebahagiaan yang dia dapatkan hari ini mengenai orang-orang terdekatnya yang kini kembali mau menerimanya. Jujur saja, Renata merasa benar-benar lega, sebuah kelegaan yang sedikit mengurangi seluruh beban yang bertumpu di kedua pundaknya. Dan semua itu juga karena Ghea, putrinya. Andai saja Ghea tidak pergi, mungkin hubungan kekeluargaan itu masih tetap saja seperti sebelumnya. Ghea... putri cantiknya itu benar-benar malaikat baginya. Ada atau tidaknya keberadaan Ghea di dunia ini, dia selalu saja membuat Renata bisa merasakan kebahagiaan meski rasanya nyaris tidak mungkin. Andai aja kamu di sini, Ghea... Mama pasti akan jauh lebih bahagia. Renata masih terus menatap wajah Ghea dari ponselnya, hingga pintu kamarnya terbuka dan Saka masuk ke sana sambil memb
Saka mendorong kursi roda dimana Renata duduk di atasnya selagi mereka menuju di mana mobil Saka sudah menunggu di depan rumah sakit. Di samping Saka, ada Ayu dan juga Herman yang sejak tadi sudah berada di rumah sakit untuk mengantar kepulangan Renata. Ketika melihat Saka dan Renata yang semakin mendekat, Haikal bergegas membukakan pintu mobil untuk istri bosnya itu. Saka sudah akan membantu Renata masuk ke dalam mobil, tapi Renata malah menoleh ke samping, menatap Mamanya dengan tatapan sendu. "Ma, aku... mau pulang ke rumah Mama aja." Ujar Renata dengan suara lirihnya hingga membuat Saka tersentak dan menatapnya terkejut. Bahkan bukan hanya Saka, Ayu dan Herman pun sama terkejutnya. Mereka saling menatap satu sama lain hingga kemudian Ayu bertanya. "Tapi kan, Mamanya Saka udah nungguin kamu di rumah kalian. Lagi pula... kenapa tiba-tiba aja kamu mau pulang ke rumah Mama?" Renata menundukan wajahnya, jemarinya saling meremas. "Nggak apa-apa, kalau nggak boleh." "Ma," panggil Sa