Share

Saka

Author: Ami_Shin
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Saka merasa menang saat ini. Kerapuhan Renata membuat pekerjaannya lebih mudah untuk menjalankan rencananya. Renata sedang bersedih sekaligus kebingungan, dia seperti butuh sebuah pegangan dan tentu saja Saka siap memberikannya. Ya, apa pun akan Saka lakukan demi membuat rencananya berjalan dengan baik.

            Seperti saat ini, Saka berhasil meminta Renata untuk tinggal di rumahnya. Saka bilang, mereka bisa merawat kehamilan Renata bersama-sama. Tadinya Renata ragu karena selain dia baru mengenal Saka, mereka juga tidak mungkin tinggal bersama tanpa status seperti ini.

            Tapi lagi-lagi Saka berhasil meyakinkan Renata jika ini adalah yang terbaik. Lagi pula, Renata tidak memiliki siapa-siapa lagi sekarang setelah keluarganya sendiri sudah mengusirnya dan tidak ingin lagi memiliki hubungan dengannya.

            Saka sudah mengetahui semuanya. Semua yang terjadi pada Renata, apa yang di alami Renata, segala hal yang menyangkut tentang Revan, semuanya telah Saka ketahui.

            Renata lah yang menceritakan semua itu padanya.

            Dengan bersimbah air mata, Renata menceritakan semua masalah dalam hidupnya dengan penuh rasa sakit seolah-olah rasa sakit itu telah lama terpendam dalam hatinya. Ketika itu, Saka hanya mendengarkan dalam diam, sesekali menggenggam jemari Renata ketika dia melihat wanita itu kesulitan untuk mengeluarkan suaranya yang tercekat.

            Saka tidak tahu mengapa dia melakukan itu. Padahal, dia sangat membenci wanita di hadapannya itu, tapi, setiap kali melihat ekspresi tertekan di wajah Renata, hatinya mencelos begitu saja.

            Meski dia sangat membenci Renata, namun, Saka pun tahu seperti apa Renata sebenarnya. Dia hanyalah perempuan polos dan baik yang sayangnya dibutakan oleh cinta hingga tidak menyadari ada begitu banyak cinta yang lebih besar di sekelilingnya.

            Dan setelah mengetahui segalanya, Saka semakin lihai memainkan perannya untuk menjerat Renata dalam rencananya. Kini, Renata telah setuju untuk tinggal bersama Saka hingga dia melahirkan nanti. Bahkan Renata menurut ketika Saka memintanya untuk resign dan hanya menetap di rumah.

            Renata lagi-lagi menyetujuinya karena memang dia tidak mungkin kembali bekerja dalam keadaan seperti ini. Apa kata orang jika tahu dia sedang hamil padahal tidak pernah menikah.

            Hanya sampai dia melahirkan.

            Itu lah syarat yang diberikan Renata untuk keputusannya tinggal bersama Saka dan juga resign dari pekerjaannya. Saka menyetujuinya, meski dia bersumpah kalau semua ini tidak akan berhenti meskipun setelah Renata melahirkan nanti.

            Saka tersenyum miring, senyumannya terlihat kejam menatap pantulan dirinya melalui cermin. Dia sedang memakai jasnya sambil memikirkan betapa mudahnya semua ini terjadi.

            Selesai dengan pekerjaannya, Saka meraih ponselnya, kemudian keluar dari kamar. Begitu dia menghampiri dapur, langkahnya terhenti mana kala menemukan Renata sedang menata meja makan, pekerjaan yang biasanya di lakukan oleh Bi Ambar, ART yang bekerja di sana.

            Saka menatap Renata lekat, mengerjap lambat mana kala banyak sekali pikiran aneh yang mengisi kepalanya mengenai betapa pantasnya Renata berada di sana dan itu membuat Saka merasa ada yang aneh pada dirinya.

            Renata terlihat cekatan dengan pekerjaannya, apa lagi saat membuatkan kopi, minuman wajib untuk Saka di pagi hari. Saka memiringkan wajahnya, dia tidak sembarangan meminum kopi. Saka hanya mau minum kopi buatan sebuah coffee shop langganannya dan juga buatan Bi Ambar. Selebihnya, dia merasa kopi buatan orang lain tidak cocok di lidahnya.

            Dan kali ini, Renata membuatkan kopi untuknya?

            “Pagi.”

            Saka mengerjap lagi, kali ini karena Renata sudah menatapnya dengan senyuman sederhananya yang selalu saja terlihat menyejukkan. Sejak dulu, bahkan hingga detik ini.

            Saka berdehem pelan, dia hanya menganggukan kepala kemudian melanjutkan langkahnya. Ketika Saka menarik kursinya, ekor matanya mengamati piring di depannya yang berisi dua roti panggang, telur, bacon, kacang merah dan juga tomat panggang.

            Mungkin karena menemukan kernyitan di dahi Saka, Renata yang sedang mengulum bibirnya resah kini berujar pelan. “Kata Bi Ambar, kamu biasanya sarapan pagi dengan roti dan kopi. Tapi... aku pikir itu aja nggak cukup, jadi aku tambahin yang lain.” Saka menoleh padanya, membuat Renata kembali menambahkan alasannya. “karena dulu kamu pernah tinggal di London, jadi... makanan ini pasti cocok buat kamu.”

            “Dari mana kamu tahu?”

            “Ya?”

            “Aku pernah tinggal di London.”

            “Oh...” Renata tersenyum tipis. “aku lihat di salah satu pajangan foto, kamu... pernah sekolah di London.”

            Saka mengernyit samar, memang ada satu fotonya ketika baru saja lulus dari Universitas dan terpajang di rumahnya.

            “Nggak apa-apa kan dengan sarapan paginya? Atau–”

            “Nggak apa-apa,” potong Saka. Kemudian dia meneguk kopinya dan lagi-lagi tertegun. Rasa kopi itu... sangat pas di lidahnya. Bahkan rasanya lebih enak dari dua kopi favoritnya. Saka melirik Renata yang kini duduk di kursinya, sedang meminum segelas susu. “Bi Ambar yang ngajarin kamu buat kopi ini?”

            Renata menggelengkan kepalanya, kedua tangannya masih menggenggam gelas susu.

            “Kenapa rasanya...” ucapan Saka menggantung begitu saja karena rasa bingung yang terus menerus menderanya.

            “Aku juga suka kopi. Walaupun sekarang nggak bisa terlalu banyak minum kopi karena aku punya maag, tapi dulu, waktu masih jadi Residence Doctor dan lagi senang-senangnya belajar sampai lupa tidur, aku sering buat kopi untuk diriku sendiri.” bibir Renata mengulas senyuman tipisnya yang terlihat manis, dia seolah sedang mengingat-ingat kenangan manisnya selama mengejar pendidikannya.

            Senyuman itu membuat Saka tersesat karena dia seolah turut kembali ke masa lalu, masa dimana dia sering menemukan senyuman itu di bibir orang yang sama. Dan ya, Saka pun tahu secinta apa Renata pada pekerjaannya yang dulu memang menjadi impian terbesarnya.

            “Saka,” teguran Renata menyentak Saka dari lamunannya. “diminum kopinya, nanti keburu dingin.”

            Saka menunduk, menatap kopinya lagi kemudian berdehem pelan dan kembali menyesapnya. Kemudian mereka mulai menikmati sarapan pagi itu. Saka sesekali melirik Renata yang hanya sarapan dengan segelas susu dan beberapa keping roti.

            “Kemarin apa kata Dokter?”

            “Dokter?”

            “Kamu kemarin periksa ke Dokter, kan? Bayinya...”

            “Oh, hm, aku kemarin udah periksa ke Dokter. Bayinya baik-baik aja. Cuma...” Renata mengulum bibirnya ragu.

            “Cuma?” tanya Saka dengan wajah sedikit cemas. Apa sesuatu yang buruk terjadi pada bayinya?

            Renata menggelengkan kepalanya pelan. “Nggak apa-apa kok.”

            “Renata,” suara berat Saka terdengar lebih tajam dari sebelumnya. “jangan menyembunyikan apa pun mengenai bayiku.”

            “Oke, aku... maksudnya, bayinya baik-baik aja. Cuma kondisiku yang kemarin sedikit nggak baik. Mungkin karena aku masih teralalu shock dan juga soal berat badanku yang terlalu–”

            “Oke, siang nanti kita ke Dokter untuk memeriksakan kandungan kamu lagi.”

            “Buat apa? Kemarin aku udah–”

            “Aku harus memastikan keadaan bayiku.”

            “Saka,” ucap Renata dengan suara yang tak percaya. “ini bayiku juga dan aku yang paling tahu soal keadaan bayiku.”

            “Tapi kamu bilang–”

            “Aku nggak butuh Dokter, Saka. Aku hanya butuh... istirahat. Tubuhku, pikiranku, aku harus mengistirahatkan semuanya. Aku tahu apa yang harus kulakukan dan sebenarnya, aku berterima kasih sama kamu karena jujur aja, keberadaan kamu cukup membuat aku tenang saat ini setelah apa yang aku alami sejak kemarin.”

            Saka hanya menatap Renata lekat.

            “Semua ini masih mengejutkan untuk aku tapi aku juga tahu kalau aku harus tetap  melaluinya,” lirih Renata. “dan aku membutuhkan ketenangan untuk itu. Bayi ini...” Renata menyentuh perutnya sendiri. “akan aku lakukan apa pun demi bayi ini.”

            Tatapan Saka jatuh pada perut Renata.

            Bayi ini...

            Bayi mereka...

            Saka merasakan sebuah perasaan asing yang membuatnya gamang setiap kali dia memikirkan mengenai bayi yang berada dalam kandungan Renata. Jujur saja, bahkan hingga detik ini, Saka tidak tahu apa yang harus dia lakukan pada bayi itu karena sejujurnya, Saka pun tidak pernah punya rencana untuk memilikinya.

            “Pak Saka,”

            Teguran dari Haikal membuat Saka dan Renata menoleh padanya. Haikal menghampiri Saka, menunduk hormat pada Saka dan juga Renata meski dia merasa sedikit aneh dengan keberadaan Renata. Pasalnya, bosnya yang menyebalkan ini tidak pernah sekalipun membawa perempuan atau pun tamu perempuan ke rumahnya.. “Kita sudah harus berangkat sekarang, Pak, hari ini adalah pertemuan penting dengan–”

            “Saya tahu,” ketus Saka jengkel karena Haikal mengganggu percakapannya dan Renata. Haikal hanya mendesah pelan, sudah biasa mendapati sikap menyebalkan bosnya itu. “kita bicarakan lagi nanti malam.” ujar Saka sambil berdiri dari kursinya kemudian pergi begitu saja di ikuti oleh Haikal.

            Renata termangu menatap punggung Saka yang mulai menghilang dari jarak pandangnya. Lalu tatapannya jatuh pada sepiring sarapan pagi yang telah dia siapkan untuk Saka dan sama sekali tidak tersentuh.

            Menghela napas berat, Renata beranjak berdiri untuk merapikan meja makan. Saka sulit sekali di prediksi, pikir Renata. Terkadang Renata merasa dia adalah orang baik, tapi dalam sekejap, Saka seolah berubah menjadi kejam.

            Entahlah, Renata tidak mau terlalu memikirkan bagaimana Saka. Dia hanya ingin fokus pada kehamilannya, sedangkan masalahnya yang lain akan Renata pikirkan setelah bayinya lahir nanti.

            Ketika Renata sedang merapikan meja makan, dia mendengar suara sepatu dan lantai yang saling beradu, membuat gerakannya terhenti meski dia tetap diam di tempatnya. Lalu, sebuah suara perempuan terdengar begitu saja.

            “Maaf, kamu... siapa?”

            Tubuh Renata berbalik dengan cepat, kedua matanya tampak melebar ketika menemukan seorang wanita yang tampak lebih tua darinya tapi masih terlihat sangat cantik di matanya. Renata mengamati wanita berpenampilan glamor itu dari ujung kaki hingga ujung rambut, membuat wanita itu berdehem dan mengejutkan Renata.

            “Sa-saya...”

            “Nyonya,” Bi Ambar berjalan cepat menghampiri wanita itu. “nyona datang?”

            “Di mana Saka?” tanya perempuan itu.

            “Den Saka–”

            “Sudah pergi ke kantor.” sahut Renata ragu.

            Wanita itu masih terus mengamati Renata yang terlihat resah di tempatnya. Kepalanya mengangguk pada Renata, “Dia siapa?” tanya wanita itu pada Bi Ambar.

            Bi Ambar melirik Renata sejenak, lalu terlihat gugup. “Hm... sepertinya... teman Den Saka nyonya.”

            “Teman?” dahi wanita itu mengernyit. Kemudian dia tersenyum malas. “Saka nggak punya teman, apa lagi perempuan.” Lalu wanita itu menghampiri Renata, berdiri di depannya sambil melipat kedua tangannya angkuh. Membuat Renata yang diperlakukan seperti itu terintimidasi. “kamu... siapa?” tanyanya lagi, kali ini tatapannya lebih tajam dari sebelumnya.

            Dan kini, Renata benar-benar kebingungan harus menjawab apa.

***

Saka melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan terburu-buru. Padahal baru sekitar sepuluh menit dia meninggalkan rumah, namun begitu menerima panggilan dari seseorang yang selalu saja membuatnya kesal setiap kali harus bertemu dengannya, Saka langsung meminta supirnya untuk kembali ke rumah.

            Begitu dia sampai, hal pertama yang dia temukan adalah Renata yang duduk di atas sofa panjang dengan wajah sedikit pucat dan juga wanita yang baru saja menelefonnya yang duduk di sofa tunggal, menatap lekat pada Renata.

            “Saka...” gumam Renata begitu menemukan keberadaan Saka.

            Wanita itu menoleh, menatap Saka dengan kernyitan di dahi yang kentara.

            Renata sudah akan berdiri, namun ketika melihat wanita yang memiliki aura mengintimidasi itu kembali menatapnya, Renata mengurungkan niatnya.

            “Ini pacar kamu?” tanya wanita itu pada Saka.

            Saka menghela napasnya berat, melangkah santai dan memilih duduk di samping Renata. “Kapan pulang?” tanyanya dengan nada suara malas.

            Wanita itu tersenyum tipis. Bukan senyuman yang menyejukkan, melainkan senyuman penuh peringatan. “Jangan basa-basi. Pacar kamu atau bukan?” wanita itu mengangguk ke arah Renata.

            “Bukan,” jawab Renata. Karena Saka tidak terlihat mau menjawab pertanyaan wanita itu, dari pada ketegangan itu berlarut-larut, lebih baik Renata yang menjawabnya. “saya–”

            “Jadi, kalau bukan pacar, kamu ini siapanya Saka?” tanya wanita itu lagi.

            Jemari Renata saling meremas gugup satu sama lain. Dia harus menjawab apa sekarang. Maka itu, kali ini Renata melirik pada Saka yang hanya menyandar santai dan menatap malas ke arah lain.

            Wanita itu kembali bersuara. “Atau jangan-jangan... kamu ini...”

            “Ma...” desah Saka malas, membantah dugaan wanita yang dia panggil dengan sebutan Mama.

            Rosie, wanita yang Saka panggil Mama, kini menaikan satu alisnya. “Bukan pacar kamu, tapi jelas-jelas dia kelihatan bermalam di sini. Jadi apa namanya kalau bukan–”

            “Maaf,” potong Renata. “Tante... Mamanya Saka?” tanya Renata dengan wajah yang lebih pucat dari sebelumnya.

            Rosie mengangguk tegas.

            “Mama tiri.” Cetus Saka.

            “Tetap aja Mama kamu.” Balas Rosie.

            Saka mendengus malas kamudian memusatkan perhatiannya pada Rosie. “Kenalin, dia Renata, bukan pacar aku tapi saat ini dia sedang hamil.”

            Rosie tampak tersentak. “Hamil?” Saka mengangguk tegas. “anak... siapa?”

            “Aku nggak mungkin membiarkan dia menginap di sini kalau dia sedang mengandung anak orang lain. Mama jelas tahu, aku nggak pernah membiarkan satu wanita mana pun menginjakan kakinya di sini.” Tegas Saka lagi. “kecuali Mama, yang sekalipun aku usir tapi selalu aja datang terus menerus ke sini.”

            Rosie tampak memegang kepalanya yang tiba-tiba berdenyut sakit setelah mendengar penjelasan Saka. Sedangkan Renata hanya bisa menatap Saka dan Rosie bergantian dengan segala pikirannya yang membingungkan.

            Wanita ini adalah Mama tiri Saka dan kini dia ada di sini, mendapati keberadaan Renata sekaligus mengetahui kehamilannya. Astaga, apa yang harus Renata lakukan kali ini.

            “Saka,” desis Rosie. Dia seperti ingin meledak, tapi saat melihat Renata yang menatapnya takut, Rosie memilih memejamkan matanya erat dan penuh putus asa. “kita harus bicara.”

            Saka sudah mengenal Rosie di sepanjang hidupnya dan dia tahu, jika Rosie sudah mengatakan itu artinya wanita itu sedang tidak ingin bermain-main. Maka meski mendesah malas, namun Saka segera beranjak berdiri dan berjalan santai menuju ruang kerjanya.

            Rosie bergegas mengikuti Saka, namun dia sempat menghentikan langkahnya untuk kembali menatap Renata yang terlihat kebingungan di tempatnya. “Kamu tetap di sini sampai kami selesai bicara.” Tegas Rosie.

            Dan satu-satunya hal yang bisa Renata lakukan adalah mengangguk patuh.

            “Hamil?” tanya Rosie murka begitu dia sudah berada di dalam ruangan Saka. “kamu bilang perempuan itu hamil anak kamu?!”

            Saka mengangguk santai, membuat Rosie semakin terbelalak tak percaya. Apa-apaan ini, pikirnya. Dia baru saja tiba di Jakarta setelah berada selama dua minggu di Jepang dan kini, saat dia ingin menemui Saka untuk menanyakan kabarnya, Rosie malah mendapatkan kejutan seperti ini.

            “Jangan bercanda, Saka!”

            “Aku nggak bercanda, Ma.”

            “Gimana bisa...”

            “Apa aku harus menjelaskan gimana prosesnya–”

            “Saka!” bentak Rosie.

            Saka menghela napas malas, kedua tangannya bersidekap santai seolah-olah apa keterkejutan Rosie tidak berarti di matanya. “Semuanya udah terjadi dan aku nggak mau memperumit segalanya. Renata akan di tinggal di sini sampai bayi itu lahir.”

            “Kalian akan menikah?”

            “Menikah?” Saka tertawa hambar. “nggak.”

            Rosir mengernyit bingung. “Kalau begitu...”

            Saka menghampiri Rosie, berdiri berhadapan dengannya. Tatapan tajamnya tidak pernah gentar sekalipun. “Jangan ikut campur, ini masalahku dan sebaiknya Mama menjauh.”

            Rosie merasakan ketakutan ketika mendengar ucapan Saka. Memang benar, dia hanyalah seorang Ibu tiri bagi Saka, tapi jangan lupakan jika dia adalah adik dari Mama kandung Saka yang merelakan dirinya untuk menggantikan posisi sang Kakak demi keponakannya ini.

            Rosie benar-benar mengenal Saka sebagaimana Saka mengenalnya. Dan kali ini, Rosie tahu ada sebuah rencana yang berbahaya di dalam kepala Saka.

            Saka adalah orang yang berhati dingin, jarang berbalas kasih pada orang lain dan itu terjadi semenjak Mamanya meninggal dunia. Dia... seolah tak tersentuh, sulit sekali untuk meluluhkan hatinya. Rosie sudah mencoba segala hal. Dari memberinya kasih sayang hingga sikap tegas, semuanya tidak berpengaruh banyak untuk Saka.

            Dan kali ini, Saka sedang bermain-main dengan kehamilan seseorang. Bahkan itu menyangkut bayinya sendiri.

            “Saka,” Rosie melunakkan suaranya, jemarinya menyentuh lengan Saka lembut, berharap Saka mau mendengarkannya. “dia hamil, anak kamu. Mama nggak tahu apa yang kamu rencanakan untuknya, tapi, apa pun itu, jangan sampai melukai bayi kamu. Bayi itu... sama sekali nggak bersalah, Saka. Sama seperti kamu.”

            Ketika mendengar kalimat terakhir Rosie, tatapan Saka terlihat sedikit goyah hingga kedua kakinya bergerak mundur begitu saja dan sentuhan Rosie terlepas. Kepala Saka sedikit menunduk ketika ada rasa gamang yang menghantuinya namun dia segera menepisnya dan kembali menajamkan kedua matanya.

            “Aku bilang,” desis Saka. “jangan ikut campur. Hanya karena aku memanggil kamu Mama, bukan berarti kamu adalah Mamaku.”

            Rosie tertegun. Hatinya kembali terluka meski dia tidak pernah mau memerlihatkannya pada Saka. Rosie hanya tersenyum malas. “Suka atau nggak, aku memang sudah menjadi Mamamu.” Jawab Rosie tegas sebelum berbalik pergi.

            Ketika dia melewati Renata, Renata segera berdiri tegak dan menatapnya waspada. Sayangnya, Rosie hanya memalingkan muka dan berlalu pergi, membuat napas Renata yang tercekat berubah menjadi lega.

            Renata bahkan kembali menjatuhkan dirinya duduk di atas sofa. Kepalanya tertunduk, satu telapak tangannya memijat dahinya sendiri karena tiba-tiba saa kepalanya terasa pusing.

            “Jangan terlalu di pikirin, dia nggak akan ganggu kamu. Itu Rosie, Mama tiriku,  dan dia nggak tinggal di sini. Mama tinggal di rumah lain, tapi sesekali bakalan datang ke sini.”

            Mengangkat wajahnya ke depan, Renata menatap Saka yang berdiri tidak jauh di depannya. Berdiri dengan gaya santainya dan kedua tangan yang terbelenggu di dalam saku celana.

            “Mama kamu... tahu?”

            “Soal?”

            “Aku. Dan... bayiku.”

            Saka melirik ke arah perut Renata, ini sudah kali kedua dia melakukannya di pagi ini. “Itu juga bayiku...” gumamnya, kali ini, suaranya terdengar sedikit parau. Mengerjap, Saka berusaha mengeyahkan pikiran anehnya. “aku udah bilang ke Mama soal kita.”

            “Terus... gimana?” Renata menatap Saka waspada. “tadi Mama kamu kelihatan marah sama aku.”

            Bahu Saka mengedik ringan. “Dia nggak punya hak marah sama kamu. Dan seperti yang kubilang tadi, kamu nggak perlu memikirkan soal Mama, Nata.” Saat Renata ingin kembali bersuara, Saka menambahkan. “satu-satunya yang harus kamu lakukan hanyalah memastikan bayiku baik-baik aja.”

            Jemari Renata saling meremas dan itu tidak luput dari perhatian Saka. “Aku bilang jangan dipikirin!” tegas Saka, suaranya terdengar keras begitu saja tanpa dia sadari hingga Renata tersentak dan menghentikan apa yang baru saja dia lakukan.

            Renata mengerjap, dia dan Saka saling bertatapan satu sama lain hingga Saka terlihat menarik napas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Ekor matanya menemukan Haikal yang berdiri tidak jauh darinya, menatapnya resah. Saka tahu kenapa Haikal seperti itu, pasti soal pekerjaan.

            Maka itu, Saka menghampiri Renata, berdiri tepat di depannya, wajahnya menunduk hingga Renata harus menengadah menatapnya. “Selagi kamu bersamaku, percayalah, Nata, nggak akan ada satu orang pun yang bisa menyakiti kamu.” Ucapnya dengan suara beratnya yang khas. Selain aku. “Jadi, mulai sekarang kamu nggak perlu lagi merasa panik atau mencemaskan apa pun.”

            Kenapa Renata mengangguk begitu saja, dia seolah tidak bisa mengatakan tidak di setiap perintah Saka. Entah kenapa, Saka... seperti memiliki sihir dalam dirinya dan membuat Renata mau menuruti semua yang dia katakan. Bahkan kini, ketika Saka sudah pergi meninggalkannya, Renata masih diam terpaku di tempatnya.

            Saka... dia terlihat begitu dingin. Terkadang baik, terkadang kejam. Namun Renata tidak tahu mengapa dia bisa menemukan sedikit ketenangan sejak Saka berada di sampingnya.

***

Related chapters

  • Sleeping With Mr. Arrogant   Renata (1)

    Rintik hujan yang membasahi jendela kamarnya membuat Renata tertarik untuk mengamatinya. Dia bahkan sudah berdiri di depan jendela itu sejak sepuluh menit yang lalu, mengamati setiap tetes hujan yang jatuh. Dan seperti biasa, setiap kali menyendiri, pikirannya akan selalu berkelana. Renata kembali memikirkan bagaimana pertama kali dia jatuh cinta, pada Revan, sepupunya. Kemudian mereka menjalin kasih, saling menyayangi dan melengkapi satu sama lain seolah-olah Renata merasa tidak membutuhkan apa pun lagi selain cinta dan kasih sayang Revan. Asalkan ada Revan di sisinya, Maka Renata merasa baik-baik saja. Revan adalah apa yang dia harapkan dalam hidupnya yang selalu saja terasa membosankan bagi seorang Gadis pendiam yang selalu saja malu jika harus berinteraksi dengan banyak orang.&n

  • Sleeping With Mr. Arrogant   Renata (2)

    Renata sudah bangun, bahkan dia sudah mandi sejak satu jam yang lalu. Tapi, yang dia lakukan sejak tadi hanya lah duduk di tepi tempat tidur, berdiri tegak, jalan kesana kemari dengan wajah resah. Sungguh, Renata benar-benar bingung harus melakukan apa saat ini. Semua itu cumannya dan Saka tadi malam. Ya, ciuman yang mereka lakukan hampir lima belas menit lamanya. Dan ciuman itu terhenti karena ponsel di saku Saka berdering. Tahu apa yang Saka lakukan setelahnya? Dia mengusap bibir basah Renata, menyuruhnya meminum susu yang telah dia buatkan, lalu beranjak pergi begitu saja, meninggalkan Renata yang seketika di landa kebingungan. Bagaimana bisa?! Pekiknya di dalam hati. Bagaimana bisa dia da

  • Sleeping With Mr. Arrogant   Hati Yang Mulai Goyah (1)

    Saka sedang berada di mobilnya, duduk nyaman di bangkunya sambil menatap ke arah jalanan. Supirnya sedang membawanya kembali ke rumah untuk menjemput Renata. Hari ini, sesuai rencana mereka, Saka akan menemani Renata memeriksakan kandungannya. Ini akan menjadi kali pertama Saka melakukan hal ini. Padahal sebelumnya, Saka sama sekali tidak memiliki minat untuk melakukan hal itu. Tapi entah mengapa. Semakin hari, dia semakin sering mendengar Renata bercerita mengenai perkembangan kandungannya. Bahkan bulan lalu, setelah pulang dari memeriksakan kandungannya, Renata bercerita dengan wajah riang mengenai betapa baiknya kondisi bayi mereka. Berat bayi mereka sudah semakin membaik dibandingkan dengan ketika Renata pertama kali memeriksakan kandungannya. Renata bilang, itu semua berkat Saka yang membantunya merawat bayi mereka. Semenjak Renata

  • Sleeping With Mr. Arrogant   Hati Yang Mulai Goyah (2)

    Renata baru saja selesai membeli beberapa keperluannya di sebuah pusat perbelanjaan. Namun, ketika dia melewati sebuah toko perlengkapan bayi, langkahnya terhenti, dia menatap tempat itu lama. Menunduk untuk menatap perutnya, Renata tersenyum kecil kemudian memutuskan untuk masuk kesana. Renata menyusuri tempat itu, menatap sekelilingnya. Lalu. Tatapannya jatuh pada koleksi pakaian bayi. Kedua kakinya melangkah pasti kesana, dia mengambil sebuah pakaian bayi, jemarinya mengusap pakaian itu dengan gerakan lembut. Ada rasa hangat yang menjalari tubuh Renata ketika dia melakukannya. Membayangkan bayinya nanti akan memakai pakaian menggemaskan itu membuat senyuman Renata mengembang sempurna dan kedua matanya berbinar penuh harap. Semakin hari Renata semakin bersyukur a

  • Sleeping With Mr. Arrogant   Keluarga

    TIGA TAHUN KEMUDIAN.Saka membuka pintu rumahnya, dia baru saja kembali setelah melakukan perjalanan Bisnis ke Hongkong. Wajahnya tampak lelah, namun, ketika dia menemukan putrinya yang berlari ke arahnya, senyuman Saka mengembang begitu saja. “Pa...” teriak putrinya, Gheana Adhiyaksa. “Hai, Ghea.” Balas Saka, dia hampir saja menggendong Ghea kalau saja suara Renata tidak mengintrupsi. “Papa mandi dulu, baru boleh peluk Ghea.” Saka melirik Renata, mencebik samar kemudian menghela napas malas. Begini lah kalau Mama dari anaknya adalah seorang Dokter anak, semuanya harus steril demi menjaga kesehatan putri mereka. “

  • Sleeping With Mr. Arrogant   Perangkap (1)

    Renata resah bukan main. Besok, Mamanya bersikeras untuk datang ke rumah Saka dan menemuinya beserta Ghea. Padahal Renata masih ingin mengulur waktu, tapi Mama dan Papanya seolah tidak peduli dan tidak bisa lagi bersabar. Dan kini, Renata benar-benar kebingungan. Dia takut Saka akan marah jika tahu mereka datang ke sini tanpa seizinnya. “Apa aku izin dulu ke Saka, ya...” gumamnya dengan wajah cemas. “iya, aku harus izin dulu ke Saka. Kalau di bicarakan baik-baik, Saka pasti mau mengerti.” Renata menoleh ke atas tempat tidurnya, Ghea masih tertidur pulas sejak pukul lima sore tadi. Setelah memastikan Ghea, Renata keluar dari kamarnya menuju kamar Saka. Dia mengetuk pintu kamar Saka beberapa kali hingga Saka membukakan pintu untuknya. “Apa?” tanya Saka. &n

  • Sleeping With Mr. Arrogant   Perangkap (2)

    Renata mengernyit saat mendengar dering ponselnya. Matanya perlahan-lahan terbuka, lalu kemudian tubuhnya menggeliat pelan. Hal pertama yang dia tatap adalah langit-langit kamarnya. Lampunya masih menyala, membuatnya mengernyit karena merasa aneh. Renata tidak terbiasa tidur dengan lampu utama yang menyala. Dia terbiasa tidur dalam keadaan gelap. Hanya setelah Ghea lahir saja dia mau menyalakan lampu di atas nakas. Ponsel Renata lagi-lagi berdering, membuatnya segera duduk lalu mencari di mana keberadaan ponselnya. Namun, ketika dia menyadari ketidak beradaan Ghea di sampingnya, kedua mata Renata melebar. Dan detik itu juga, dia kembali mengingat kejadian tadi malam. Dia dan Saka bertengkar, kemudian Saka datang ke kamarnya, memberinya segelas jus sebagai bentuk penyesalannya karena sudah mengatakan hal yang tidak-tidak pada Renata. Lalu... Kedua mata Renata terbelalak ngeri. Kini dia menyadari semuanya. Matany

  • Sleeping With Mr. Arrogant   Babak Baru Kehancuran (1)

    Mobil Saka berhenti di depan rumah keluarga Renata. Kepala Renata bergerak lambat menatap rumah yang sudah lama sekali tidak pernah dia lihat. Rumah itu masih sama seperti dulu, membuat hatinya di landa rasa rindu yang membuncah. Di pangkuannya, Ghea berusaha berdiri. Kedua tangannya menyentuh jendela mobil, ikut menatap ke arah rumah itu. “Ana, Ma?” tanya Ghea. Renata tersenyum menatap Ghea. “Ini rumahnya Mama, rumah Kakek sama Neneknya Ghea.” “Nek?” ulang Ghea. “Nek Ocie?” “Bukan...” Renata tertawa pelan. “Nenek Ayu sama Kakek Herman.” Kepala Ghea

Latest chapter

  • Sleeping With Mr. Arrogant   Tidak Akan Menyakiti Lagi

    “Cinderella dan Pangeran, akhirnya menikah dan hidup bahagia selamanya.” Ujar Renata di akhir dongeng yang sedang dia bacakan pada Aya. Renata menutup buku di tangannya, melirik ke bawah, pada Aya yang berbaring di atas pangkuannya. Aya belum tidur, matanya masih menatap lurus ke langit kamar. Usapan telapak tangan Renata di dahinya membuat Aya melirik pada Renata. “Pangeran itu… orang baik ya, Tante?” tanya Aya dengan suara rendahnya yang menyerupai bisikan. Renata mengangguk padanya. Untuk sejenak, Aya hanya berdiam diri dengan tatapan lekatnya yang mengarah pada Renata. Kemudian, dia kembali bertanya. “Benar-benar orang baik?” “Iya.”

  • Sleeping With Mr. Arrogant   Cemburu

    Saka membuka kedua matanya, mengerjap lambat, lalu menatap langit-langit kamarnya yang kini mulai terlihat jelas di kedua matanya. Lelaki ini tidak membutuhkan siapa-siapa untuk membantunya bangun di pagi hari, karena setiap pukul enam pagi, kedua matanya selalu terbuka dengan sendirinya. Pagi ini pun juga begitu. Hanya saja, ada yang berbeda dengan pagi ini. Jika biasanya Saka akan bergegas mandi setelah bangun, maka kali ini dia membutuhkan waktu yang lebih banyak lagi untuk berbaring di tempat tidurnya, sembari mengingat apa yang telah terjadi antara dirinya dan Renata tadi malam. Sebuah ciuman panas nan panjang itu kembali melintasi pikirannya, membuat Saka seolah bisa kembali merasakan bibir kenyal Renata, yang membalas setiap pagutannya. Lidah Renata yang ikut menari bersama lidahnya, dan deru napas Renata yang begitu hangat dan juga… tersengal. Kini, tanpa bisa dicegah, sudut bibir Saka tertarik ke atas dengan sendirinya. Membentuk sebuah senyuman simpul nam

  • Sleeping With Mr. Arrogant   Merindu

    Setelah melihat-lihat lokasi rumah sakit milik Renata yang sedang dibangun, Saka membawa Renata ke rumah orangtuanya. Begitu Saka dan Renata masuk ke dalam rumah, Aya berlari kencang, berhambur ke arah Saka yang merundukan tubuhnya agar bisa menangkap tubuh Aya dan menggendongnya. “Papa jemput Aya?” tanya Aya pada Saka dengan senyuman tipis. “Hm,” kepala Saka mengangguk. “Aya nggak nakal kan selama dijagain Nenek?” “Nggak. Aya anak baik.” “Good.” Saka dan Aya saling berbalas senyuman, sementara itu Renata yang berada di belakang mereka hanya mengamatinya dalam diam. Aya… Renata sudah mengetahui kisah gadis kecil yang Saka adopsi. Usianya masih emopat tahun ketika Saka mengambilnya dari sebuah panti asuhan. Saka bilang, Aya adalah pelipur laranya sejak Renata dan Ghea meninggalkannya. Gadis kecil yang selalu menemani Saka, menjadi penghibur tersendiri bagi Saka, kala dia sedang membutuhkan teman dan seseorang

  • Sleeping With Mr. Arrogant   Mewujudkan Impian

    Renata baru saja keluar dari kamarnya. Karena dia masih mengingat kebiasaan Bi Ambar yang menyiapkan sarapan pagi untuk mereka, Renata berniat untuk membantunya. “Aku bantu ya, Bi.” “Eh, Non Nata, nggak usah, Non. Biar Bibi aja. Ini sebentar lagi selesai kok.” Tolak Bi Ambar sembari membuatkan segelas kopi. “Itu kopinya buat Saka, ya, Bi?” “Iya, Non.” Renata menatap gerak-gerik Bi Ambar yang sedang membuatkan kopi untuk Saka. Dan hal itu membuat Renata teringat akan kebiasaannya dulu yang selalu menyiapkan kopi untuk Saka di pagi hari. “Non?” tegur Bi Ambar. “Ya?” jawab Renata tersentak dari lamunan. Bi Ambar tersenyum tipis padanya. “Kangen buatin kopi buat Den Saka, ya?” Kangen? Renata hanya tersenyum samar menanggapinya. “Non Nata mau Non aja yang buatin kopinya Den Saka?” “Hm?” “Nggak apa-apa kok, nih, gantiin Bibi. Den Saka pasti seneng kalau yang bu

  • Sleeping With Mr. Arrogant   Siapa Aya?

    Renata sedang bersama keluarganya yang kini ikut pulang menemani Saka. Kepulangan Renata kembali ke Jakarta pun membuat seluruh keluarganya ingin menyapanya. Seperti sekarang, Annisa dan anak-anaknya berada di rumah Saka, sedang berbincang dengan Renata. Namun, tidak sekalipun Renata menikmati perbincangan mereka karena yang ada di kepalanya saat ini hanyalah Saka dan juga… gadis kecil itu. Hingga kemudian Renata pamit pada keluarganya untuk menemui Saka. Ketika beranjak pergi, Renata menoleh sekilas pada Calista dan Revan yang duduk di sofa dan sedang menatapnya. Renata mengulas senyuman tipisnya, yang di balas dengan senyuman lega oleh sepasang suami istri itu. Sepertinya kepulangan Renata membuat rasa bersalah Revan sedikit berkurang padanya. Renata berniat mencari Saka, namun ketika dia menemukan Mamanya di meja makan, sedang menyuapi gadis kecil itu, langkah Renata terhenti. Lama dia mengamati Mamanya dan anak kecil itu yang terlihat sangat akrab

  • Sleeping With Mr. Arrogant   Kabar Duka

    Renata baru saja kembali ke rumah setelah berkeliling sejenak sore ini. sebuah kegiatan yang rutin dia lakukan selama tinggal di Berlin. Setahun sudah berlalu, dan Renata Noura yang berwajah muram mulai menghilang, digantikan dengan Renata Noura yang memiliki senyuman ramah dan lembutnya. Renata sudah kembali seperti renata Noura yang sebenarnya. Sepertinya, keputusannya untuk menenangkan diri di Berlin, sekaligus selalu berkonsultasi dengan psikolog adalah keputusan yang tepat. Karena kini, Renata mulai bisa merelakan kepergian Ghea. Dia mulai bisa mengikhlaskan kepergian putrinya itu. Ghea mungkin tidak lagi bisa berada di sisinya, Renata mungkin tidak lagi bisa memeluknya, namun Ghea akan selalu ada di hatinya, di tempat terbaik yang Renata miliki. Dalam pengasingannya, yang kali ini memang atas kemauannya sendiri, bukan demi siapa pun. Kini, Renata memiliki banyak sekali alasan untuk tetap hidup dan menjalani kehidupan yang dia inginkan. Renata banyak belajar

  • Sleeping With Mr. Arrogant   Pergi

    Pagi ini, Saka memutuskan untuk kembali cuti bekerja. Dia merasa urusannya dan Renata belum selesai, apa lagi perbincangan mereka saat itu. Maka itu, kini Saka sudah berada di rumah orangtua Renata, mengetuk pintu kamar Renata sebelum membukanya dan menemukan istrinya itu sedang merapikan tempat tidurnya. “Baru bangun?” tanya Saka. Renata hanya menoleh sebentar dan bergumam pelan padanya. Saka menghampiri Renata, berdiri tidak jauh dari istrinya yang tampak sibuk dengan tempat tidurnya. Saka menyandarkan punggungnya pada dinding kamar, satu tangannya tersimpan di dalam saku celana. Dan dalam diamnya, Saka hanya terus mengamati gerak gerik Renata. Pagi ini Renata tampak lebih baik dari sebelumnya. Buktinya saja, dia mau beranjak dari tempat tidur dan merapikan tempat tidurnya. Karena biasanya, yang Renata lakukan hanyalah duduk atau berbaring di tempat tidur sambil termenung. Dan menemukan Renata yang jauh lebih baik saat ini, membuat Saka te

  • Sleeping With Mr. Arrogant   Ayo, Kita Bercerai (4)

    Renata sedang duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi foto Ghea yang berada di ponselnya. Sesekali jemarinya menyentuh layar ponselnya, seolah-olah dia sedang menyentuh Ghea secara langsung. Renata sedang menceritakan sedikit kebahagiaan yang dia dapatkan hari ini mengenai orang-orang terdekatnya yang kini kembali mau menerimanya. Jujur saja, Renata merasa benar-benar lega, sebuah kelegaan yang sedikit mengurangi seluruh beban yang bertumpu di kedua pundaknya. Dan semua itu juga karena Ghea, putrinya. Andai saja Ghea tidak pergi, mungkin hubungan kekeluargaan itu masih tetap saja seperti sebelumnya. Ghea... putri cantiknya itu benar-benar malaikat baginya. Ada atau tidaknya keberadaan Ghea di dunia ini, dia selalu saja membuat Renata bisa merasakan kebahagiaan meski rasanya nyaris tidak mungkin. Andai aja kamu di sini, Ghea... Mama pasti akan jauh lebih bahagia. Renata masih terus menatap wajah Ghea dari ponselnya, hingga pintu kamarnya terbuka dan Saka masuk ke sana sambil memb

  • Sleeping With Mr. Arrogant   Ayo, Kita Bercerai (3)

    Saka mendorong kursi roda dimana Renata duduk di atasnya selagi mereka menuju di mana mobil Saka sudah menunggu di depan rumah sakit. Di samping Saka, ada Ayu dan juga Herman yang sejak tadi sudah berada di rumah sakit untuk mengantar kepulangan Renata. Ketika melihat Saka dan Renata yang semakin mendekat, Haikal bergegas membukakan pintu mobil untuk istri bosnya itu. Saka sudah akan membantu Renata masuk ke dalam mobil, tapi Renata malah menoleh ke samping, menatap Mamanya dengan tatapan sendu. "Ma, aku... mau pulang ke rumah Mama aja." Ujar Renata dengan suara lirihnya hingga membuat Saka tersentak dan menatapnya terkejut. Bahkan bukan hanya Saka, Ayu dan Herman pun sama terkejutnya. Mereka saling menatap satu sama lain hingga kemudian Ayu bertanya. "Tapi kan, Mamanya Saka udah nungguin kamu di rumah kalian. Lagi pula... kenapa tiba-tiba aja kamu mau pulang ke rumah Mama?" Renata menundukan wajahnya, jemarinya saling meremas. "Nggak apa-apa, kalau nggak boleh." "Ma," panggil Sa

DMCA.com Protection Status