Ketika membuka kedua matanya, Renata mendapati dirinya berada di sebuah kamar yang asing, membuatnya beranjak duduk susah payah karena kepalanya yang masih sedikit pusing meski tidak seperti sebelumnya.
"Jangan bangun kalau masih sakit." Mendengar sebuah suara, Renata terperanjat dan menoleh cepat ke samping. Wajahnya terkejut menemukan keberadaan Saka, sedang duduk dengan gaya menawannya di sebuah kursi, menatap lekat padanya. Apa sejak tadi Saka menunggunya di sana? "Saka..." gumam Renata. Setiap kali mendengar namanya di ebut oleh Renata, Saka selalu saja merasakan reaksi yang dia benci dalam dirinya, hingga membuat Saka berusaha kuat mengenyahkan rasa itu. Kini Saka beranjak dari tempatnya, menghampiri Renata, berdiri di depannya. Renata tidak mengalihkan perhatiannya sedikit pun darinya. "Gimana keadaan kamu?" "Aku... ada di mana?" bukannya menjawab pertanyaan Saka, Renata malah menanyakan hal itu. "Rumahku." "Kenapa kamu bawa aku ke sini?" "Kamu mau aku bawa kemana lagi memangnya? Hotel?" Renata mengernyit terganggu, dia mengerjap lambat, kemudian mengalihkan tatapannya karena apa yang baru saja Saka katakan membuatnya tak nyaman. Apa lagi... dia memiliki kenangan buruk mengenai hotel dan lelaki di depannya itu. "Kita harus bicara." Gumam Saka. Renata mengangguk pelan. "tapi sebelumnya, kamu harus mengisi perut kamu lebih dulu." "Ya?" "Ayo, makan." Renata hanya diam tidak bereaksi. "apa perlu aku gendong lagi ke meja makan?" "Nggak," kepala Renata menggeleng kuat. "aku bisa jalan sendiri." tubuhnya bergerak cepat menyibak selimut, lalu tergesa-gesa turun dari tempat tidur hingga saat kepalanya terasa kembali berdenyut, Renata tampak sedikit oleng. Dan lagi-lagi, Saka bergerak cepat menahan lengannya. "Hati-hati!" suara Saka terdengar bagaikan geraman. Renata menengadahkan wajahnya, menatap wajah tegas Saka dan kedua matanya yang tajam. Seperti tidak asing... Untuk beberapa detik, mereka hanya saling menatap satu sama lain. Saka yang lebih dulu menarik tangannya, kemudian melangkah mundur. "Ikut aku." Ujarnya. Renata melangkah lambat di belakang tubuh Saka. Dia mengitari pandangan ke penjuru rumah milik lelaki itu. Melihat bagaimana penampilan Saka beserta rumahnya, Renata yakin kalau Saka bukanlah lelaki biasa. Namun sayangnya, Renata tidak peduli. Siapa pun Saka, bagaimana latar belakangnya, saat ini, bukan itu yang terpenting. Ada hal yang jauh penting dari itu dan mereka harus segera membahasnya. Renata sedikit terkejut saat melihat jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh. Tentu saja, pukul tujuh malam. entah sudah berapa lama dia tertidur tadi. "Duduk." Suara bernada perintah itu kembali terdengar, Renata menghentikan langkahnya, menatap kursi yang baru saja Saka tarik untuknya. Renata menuruti perintah Saka. Lalu dia menatap meja makan, banyak sekali masakan yang sudah tersaji di sana. Saka mulai mengisi piringnya, dia terlihat sangat santai, berbeda sekali dari Renata yang hanya bisa termangu menatapnya. Aneh, Renata merasa pernah bertemu dengan Saka sebelumnya. Tapi Renata juga tidak mengenalinya. "Kamu nggak akan bisa kenyang hanya dengan menatapku," ujar Saka, saat kepalanya bergerak lambat menoleh pada Renata, dia kembali memerintah tegas. "makan. Nata." "Nata?" ulang Renata, suaranya teramat pelan hingga menyerupai bisikan. "kamu panggil aku... Nata?" Saka tersentak, sikap tenangnya mulai memudar saat kini Renata menatapnya bingung. "Renata. Itu nama kamu, kan? Ada yang salah dengan panggilanku?" "Kamu... tahu namaku dari mana? Kita hanya pernah bertemu sekali, dan hari ini adalah kali kedua." "Lalu?" "Saka, kita... pernah bertemu sebelumnya, kan? Bahkan sebelum malam itu. Aku–" "Kamu nggak akan mendapatkan jawaban apa pun sebelum kita selesai dengan makan malam ini." ujar Saka dengan gaya santainya yang telah kembali. Dia mulai melanjutkan makan malamnya, tanpa mau memedulikan Renata yang menatapnya menunggu. Renata menarik napasnya panjang lalu menghembuskannya perlahan. Dia menatap seluruh makanan di atas meja, lalu mengingat kapan terakhir kali dia makan. Sepertinya tadi pagi, itu pun hanya sebungkus roti yang tidak habis dan sekotak susu. Pantas saja tubuhnya terasa sangat lemas. Belum lagi ada bayi malang yang saat ini berada di rahimnya. Astaga, Renata menyentuh perutnya dengan perasaan bersalah. Bayinya pasti menderita hari ini karenanya. Memikirkan itu, Renata bergegas makan untuk mengisi perutnya. Sekalipun dia sedang tidak berselera, sekalipun mulutnya terasa pahit hingga dia ingin muntah setiap kali memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya, tapi Renata berusaha keras untuk tetap menghabiskan makanannya. Demi bayinya. Dan ternyata, hal itu tidak luput dari pengamatan Saka. Dia melihat bagaimana Renata menyentuh perutnya, memaksa mengunyah makanan di mulutnya dengan wajah berkerut. Selera makan Saka lenyap detik itu juga. Entah mengapa, dia seolah bisa merasakan betapa tersiksanya Renata saat ini dan itu membuatnya kesal.***Selesai makan malam, Saka membawa Renata ke ruang tengah di rumahnya. Mereka di sofa yang berseberangan. Jika sejak tadi Saka hanya diam dengan kedua mata tajamnya yang menatap Renata lekat, maka yang Renata lakukan hanya menunduk sembari memainkan kuku jemarinya. Keheningan yang menyelimuti mereka membuat Renata merasa kikuk dan tidak tahu harus melakukan apa. "Kapan kamu mau mulai mengatakannya?" tanya Saka tiba-tiba. Renata mengangkat wajahnya ke depan. "Ya?" "Kehamilan kamu." Cetus Saka. "bayiku, iya, kan?" Renata menyadari tatapan Saka yang mengarah pada perutnya, membuatnya tanpa sadar menyentuh perutnya sendiri. menghela napas berat, Renata mengangguk pelan. Lagi pula, tidak ada gunanya jika dia berbohong sekalipun karena nyantanya, bayi yang berada dalam kandungannya memanglah bayinya dan juga Saka. "Jadi?" tanya Saka lagi. Mengulum bibirnya ragu, Renata mulai memberanikan diri menatap Saka, kali ini lebih tegas dari sebelumnya. "Aku hamil. Karena satu-satunya orang yang tidur denganku adalah kamu, maka... ya, kamu adalah Ayah dari bayi ini." "Satu-satunya? Benarkah?" bibir Saka tersenyum dingin. "kamu jelas sudah bukan lagi perawaan saat aku meniduri kamu." Wajah Renata tersentak hebat ketika Saka mengucapkan kata itu tanpa rasa sungkan. "Kamu..." "Aku nggak akan minta maaf walaupun kamu tersinggung. Karena kenyataannya, itu lah yang kutahu." "Hm, kamu benar," balas Renata, suara terdengar tegas karena menahan marah. Ucapan Saka melukainya. "maaf kalau kamu kecewa karena aku bukan perempuan perawan yang kamu harapkan. Tapi... untuk kejadian malam itu," dada Renata sedikit tersengal saat menyebut perihal itu. "kesalahan ada pada kamu." "Aku?" "Ya, kamu. Kamu yang bawa aku ke hotel dan meniduriku. Bahkan di saat aku nggak menyadari apa yang kamu lakukan pada tubuhku." Saka menyeringai, kekehannya terdengar bengis hingga Renata semakin menatapnya tidak suka. "Bukan salahku kalau kamu nggak sadarkan diri. Kamu yang memutuskan mabuk-mabukan di klub, sendirian. Seharusnya, kamu tahu akibat dari perbuatan kamu sendiri." "Apa kamu juga akan melakukan hal itu pada perempuan lainnya?" "Kamu berharap apa, Nata? Aku hanya melakukannya dengan kamu?" Saka menggeleng lambat. "jangan terlalu memandang tinggi pada diri kamu sendiri." Renata mengepalkan kedua tangannya. Lagi, ucapan Saka melukainya dan membuat kedua matanya memerah. Saka tidak perlu memperjelas hal itu. Tidak, dia tidak perlu merepotkan diri karena hinaan yang lebih parah dari itu sudah sering Renata terima. Baik secara terang-terangan maupun tidak. Renata tersenyum patah, satu tangannya yang berada di atas pangkuan meremas pelan. Namun, seperti biasanya, Renata selalu berhasil menenangkan dirinya dan seolah-olah setiap luka yang dia terima memang sudah seharusnya ada. Renata tidak berhak untuk menolak semua itu, dia pantas mendapatkannya. "Nata." Tegur Saka, dahinya mengernyit selagi mengamati Renata yang termangu dengan tatapan sedih. Renata menatap Saka lirih, bibirnya tersenyum paksa. "Kamu benar, ini semua... salahku." Lalu tanpa bisa dicegah, air matanya lolos begitu saja, bibirnya gemetar menahan tangis. "sejak awal, aku yang bersalah. Aku yang bersalah karena mau kembali pada Revan, aku yang bersalah karena berharap memilikinya, aku yang bersalah hingga semua orang membenciku..." Revan... Hanya dengan mendengar nama itu kembali di sebut, amarah Saka semakin menjadi di dalam dirinya. Wajahnya kembali mengeras dan rahangnya mengetat tajam. "Dan sekarang... aku kembali melakukan kesalahan hanya karena aku ingin melampiaskan semua rasa sakit di hatiku yang nggak tahu harus aku adukan pada siapa," Renata meremas dadanya sendiri, tubuhnya sedikit membungkuk, merintih perih ketika dia meluapkan semua rasa sesak di hatinya. "aku hanya ingin melupakan semua ini sebentar saja... aku lelah harus berusaha tegar padahal... padahal aku..." Wajah Saka terperengah tak percaya ketika melihat dan mendengar tangis Renata yang menggema. Tangis Renata terlihat begitu menyakitkan, kedua matanya menggambarkan kesedihan yang mendalam hingga Saka seolah ikut merasakannya. "Dan sekarang, aku kembali melakukan kesalahan yang lebih parah sampai Mama dan Papa mengusirku. Semua orang benar-benar meninggalkanku, aku sendirian... aku hanya sendirian..." Semua racauan Renata membuat Saka berusaha menghubungan setiap kalimat yang dia dengar. Saka memang belum bisa menebak apa yang terjadi sebenarnya hingga Renata terlihat seputus asa ini. Tapi, setelah mendengar nama Revan, tangisan Renata dan juga... bekas luka di pergelangan Renata yang Saka lihat ketika membawa Renata yang pingsan ke rumahnya, Saka bisa menarik kesimpulan jika semua penderitaan yang Renata uraikan tadi pasti berhubungan dengan satu nama. Revan. Lelaki yang paling Saka benci hingga detik ini. Renata masih menangis terisak, tubuh kecilnya yang rapuh dan membungkuk itu telah membuat Saka beranjak dari tempatnya tanpa sadar. Menghampiri Renata, berlutut di depannya, lalu merangkum wajah Renata. Kedua mata tajam Saka terlihat tegas ketika dia mengatakan sesuatu. "Aku nggak peduli kesalahan apa yang udah kamu lakukan di masa lalu. Aku juga nggak peduli sebanyak apa orang-orang yang membenci kamu. Tapi, satu hal yang harus kamu tahu. Bayiku..." Saka melirik ke arah perut Renata sejenak. "dia bukan kesalahan." "Saka..." "Aku akan melindungi bayiku dan juga... kamu. Aku nggak akan membiarkan siapa pun menyebut kalian dengan kesalahan. Siapa pun itu, akan berhadapan denganku. Termasuk... keluarga kamu." " "Tapi–" "Sshht..." Saka menggelengkan kepalanya tegas. "kamu tahu, Nata, satu-satunya hal yang harus kamu lakukan ketika semua orang meninggalkan kamu adalah pergi. Jangan sia-siakan hidup kamu untuk orang-orang yang nggak menginginkan kamu, Nata. Jangan." Kedua mata Renata terlihat goyah ketika membalas tatapan Saka yang lekat. "Mereka keluargaku." "Tapi nggak ada satu pun dari mereka yang peduli sama kamu." "Aku bersalah, Saka." "Nggak ada manusia suci di dunia ini, Nata." "Tapi aku–" "Hal pertama yang harus kamu lakukan untuk mengakhiri semua ini hanyalah pergi dan tinggalkan mereka semua." Renata mengerjap terkejut. "Jangan lagi mengharapkan apa pun dari mereka karena itu hanya akan melukai kamu. Sebanyak apa pun kamu memohon maaaf, sebanyak apa pun kamu berusaha memperbaiki keadaan, pada akhirnya, satu kesalahan baru yang kamu lakukan akan membuat mereka semua kembali meninggalkan kamu." Renata merasakan kebenaran dalam ucapan Saka. Dia benar-benar sudah lelah dengan kehidupannya sejak perselingkuhan itu terbongkar. Hidupnya bagaikan tidak lagi memiliki tujuan dan Renata hanya terus menerus melangkah sambil menutup kedua telinga dan matanya, mengabaikan cibiran dan hinaan dari sekelilingnya. "Tinggalkan mereka, Renata. Dan hiduplah bersamaku. Biarkan aku yang menjaga kamu mulai saat ini." Tangis Renata kembali pecah. Renata tidak tahu mengapa ucapan Saka membuat hatinya yang berkecamuk menjadi lebih tenang. Hingga pada akhirnya, Renata kembali menangis, menjatuhkan dahinya ke atas bahu Saka. Kedua lengan Saka bergerak pasti merengkuh tubuh Renata, memeluknya dan mengusap punggungnya penuh kelembutan. Renata semakin menangis terisak. Namun, saat ini sudut bibir Saka terangkat ke atas, menyeringai keji.***Saka merasa menang saat ini. Kerapuhan Renata membuat pekerjaannya lebih mudah untuk menjalankan rencananya. Renata sedang bersedih sekaligus kebingungan, dia seperti butuh sebuah pegangan dan tentu saja Saka siap memberikannya. Ya, apa pun akan Saka lakukan demi membuat rencananya berjalan dengan baik. Seperti saat ini, Saka berhasil meminta Renata untuk tinggal di rumahnya. Saka bilang, mereka bisa merawat kehamilan Renata bersama-sama. Tadinya Renata ragu karena selain dia baru mengenal Saka, mereka juga tidak mungkin tinggal bersama tanpa status seperti ini. Tapi lagi-lagi Saka berhasil meyakinkan Renata jika ini adalah yang terbaik. Lagi pula, Renata tidak memiliki siapa-siapa lagi sekarang setelah keluarganya sendiri sudah mengusirnya dan tidak ingin lagi memiliki hubungan dengannya. 
Rintik hujan yang membasahi jendela kamarnya membuat Renata tertarik untuk mengamatinya. Dia bahkan sudah berdiri di depan jendela itu sejak sepuluh menit yang lalu, mengamati setiap tetes hujan yang jatuh. Dan seperti biasa, setiap kali menyendiri, pikirannya akan selalu berkelana. Renata kembali memikirkan bagaimana pertama kali dia jatuh cinta, pada Revan, sepupunya. Kemudian mereka menjalin kasih, saling menyayangi dan melengkapi satu sama lain seolah-olah Renata merasa tidak membutuhkan apa pun lagi selain cinta dan kasih sayang Revan. Asalkan ada Revan di sisinya, Maka Renata merasa baik-baik saja. Revan adalah apa yang dia harapkan dalam hidupnya yang selalu saja terasa membosankan bagi seorang Gadis pendiam yang selalu saja malu jika harus berinteraksi dengan banyak orang.&n
Renata sudah bangun, bahkan dia sudah mandi sejak satu jam yang lalu. Tapi, yang dia lakukan sejak tadi hanya lah duduk di tepi tempat tidur, berdiri tegak, jalan kesana kemari dengan wajah resah. Sungguh, Renata benar-benar bingung harus melakukan apa saat ini. Semua itu cumannya dan Saka tadi malam. Ya, ciuman yang mereka lakukan hampir lima belas menit lamanya. Dan ciuman itu terhenti karena ponsel di saku Saka berdering. Tahu apa yang Saka lakukan setelahnya? Dia mengusap bibir basah Renata, menyuruhnya meminum susu yang telah dia buatkan, lalu beranjak pergi begitu saja, meninggalkan Renata yang seketika di landa kebingungan. Bagaimana bisa?! Pekiknya di dalam hati. Bagaimana bisa dia da
Saka sedang berada di mobilnya, duduk nyaman di bangkunya sambil menatap ke arah jalanan. Supirnya sedang membawanya kembali ke rumah untuk menjemput Renata. Hari ini, sesuai rencana mereka, Saka akan menemani Renata memeriksakan kandungannya. Ini akan menjadi kali pertama Saka melakukan hal ini. Padahal sebelumnya, Saka sama sekali tidak memiliki minat untuk melakukan hal itu. Tapi entah mengapa. Semakin hari, dia semakin sering mendengar Renata bercerita mengenai perkembangan kandungannya. Bahkan bulan lalu, setelah pulang dari memeriksakan kandungannya, Renata bercerita dengan wajah riang mengenai betapa baiknya kondisi bayi mereka. Berat bayi mereka sudah semakin membaik dibandingkan dengan ketika Renata pertama kali memeriksakan kandungannya. Renata bilang, itu semua berkat Saka yang membantunya merawat bayi mereka. Semenjak Renata
Renata baru saja selesai membeli beberapa keperluannya di sebuah pusat perbelanjaan. Namun, ketika dia melewati sebuah toko perlengkapan bayi, langkahnya terhenti, dia menatap tempat itu lama. Menunduk untuk menatap perutnya, Renata tersenyum kecil kemudian memutuskan untuk masuk kesana. Renata menyusuri tempat itu, menatap sekelilingnya. Lalu. Tatapannya jatuh pada koleksi pakaian bayi. Kedua kakinya melangkah pasti kesana, dia mengambil sebuah pakaian bayi, jemarinya mengusap pakaian itu dengan gerakan lembut. Ada rasa hangat yang menjalari tubuh Renata ketika dia melakukannya. Membayangkan bayinya nanti akan memakai pakaian menggemaskan itu membuat senyuman Renata mengembang sempurna dan kedua matanya berbinar penuh harap. Semakin hari Renata semakin bersyukur a
TIGA TAHUN KEMUDIAN.Saka membuka pintu rumahnya, dia baru saja kembali setelah melakukan perjalanan Bisnis ke Hongkong. Wajahnya tampak lelah, namun, ketika dia menemukan putrinya yang berlari ke arahnya, senyuman Saka mengembang begitu saja. “Pa...” teriak putrinya, Gheana Adhiyaksa. “Hai, Ghea.” Balas Saka, dia hampir saja menggendong Ghea kalau saja suara Renata tidak mengintrupsi. “Papa mandi dulu, baru boleh peluk Ghea.” Saka melirik Renata, mencebik samar kemudian menghela napas malas. Begini lah kalau Mama dari anaknya adalah seorang Dokter anak, semuanya harus steril demi menjaga kesehatan putri mereka. “
Renata resah bukan main. Besok, Mamanya bersikeras untuk datang ke rumah Saka dan menemuinya beserta Ghea. Padahal Renata masih ingin mengulur waktu, tapi Mama dan Papanya seolah tidak peduli dan tidak bisa lagi bersabar. Dan kini, Renata benar-benar kebingungan. Dia takut Saka akan marah jika tahu mereka datang ke sini tanpa seizinnya. “Apa aku izin dulu ke Saka, ya...” gumamnya dengan wajah cemas. “iya, aku harus izin dulu ke Saka. Kalau di bicarakan baik-baik, Saka pasti mau mengerti.” Renata menoleh ke atas tempat tidurnya, Ghea masih tertidur pulas sejak pukul lima sore tadi. Setelah memastikan Ghea, Renata keluar dari kamarnya menuju kamar Saka. Dia mengetuk pintu kamar Saka beberapa kali hingga Saka membukakan pintu untuknya. “Apa?” tanya Saka. &n
Renata mengernyit saat mendengar dering ponselnya. Matanya perlahan-lahan terbuka, lalu kemudian tubuhnya menggeliat pelan. Hal pertama yang dia tatap adalah langit-langit kamarnya. Lampunya masih menyala, membuatnya mengernyit karena merasa aneh. Renata tidak terbiasa tidur dengan lampu utama yang menyala. Dia terbiasa tidur dalam keadaan gelap. Hanya setelah Ghea lahir saja dia mau menyalakan lampu di atas nakas. Ponsel Renata lagi-lagi berdering, membuatnya segera duduk lalu mencari di mana keberadaan ponselnya. Namun, ketika dia menyadari ketidak beradaan Ghea di sampingnya, kedua mata Renata melebar. Dan detik itu juga, dia kembali mengingat kejadian tadi malam. Dia dan Saka bertengkar, kemudian Saka datang ke kamarnya, memberinya segelas jus sebagai bentuk penyesalannya karena sudah mengatakan hal yang tidak-tidak pada Renata. Lalu... Kedua mata Renata terbelalak ngeri. Kini dia menyadari semuanya. Matany
“Cinderella dan Pangeran, akhirnya menikah dan hidup bahagia selamanya.” Ujar Renata di akhir dongeng yang sedang dia bacakan pada Aya. Renata menutup buku di tangannya, melirik ke bawah, pada Aya yang berbaring di atas pangkuannya. Aya belum tidur, matanya masih menatap lurus ke langit kamar. Usapan telapak tangan Renata di dahinya membuat Aya melirik pada Renata. “Pangeran itu… orang baik ya, Tante?” tanya Aya dengan suara rendahnya yang menyerupai bisikan. Renata mengangguk padanya. Untuk sejenak, Aya hanya berdiam diri dengan tatapan lekatnya yang mengarah pada Renata. Kemudian, dia kembali bertanya. “Benar-benar orang baik?” “Iya.”
Saka membuka kedua matanya, mengerjap lambat, lalu menatap langit-langit kamarnya yang kini mulai terlihat jelas di kedua matanya. Lelaki ini tidak membutuhkan siapa-siapa untuk membantunya bangun di pagi hari, karena setiap pukul enam pagi, kedua matanya selalu terbuka dengan sendirinya. Pagi ini pun juga begitu. Hanya saja, ada yang berbeda dengan pagi ini. Jika biasanya Saka akan bergegas mandi setelah bangun, maka kali ini dia membutuhkan waktu yang lebih banyak lagi untuk berbaring di tempat tidurnya, sembari mengingat apa yang telah terjadi antara dirinya dan Renata tadi malam. Sebuah ciuman panas nan panjang itu kembali melintasi pikirannya, membuat Saka seolah bisa kembali merasakan bibir kenyal Renata, yang membalas setiap pagutannya. Lidah Renata yang ikut menari bersama lidahnya, dan deru napas Renata yang begitu hangat dan juga… tersengal. Kini, tanpa bisa dicegah, sudut bibir Saka tertarik ke atas dengan sendirinya. Membentuk sebuah senyuman simpul nam
Setelah melihat-lihat lokasi rumah sakit milik Renata yang sedang dibangun, Saka membawa Renata ke rumah orangtuanya. Begitu Saka dan Renata masuk ke dalam rumah, Aya berlari kencang, berhambur ke arah Saka yang merundukan tubuhnya agar bisa menangkap tubuh Aya dan menggendongnya. “Papa jemput Aya?” tanya Aya pada Saka dengan senyuman tipis. “Hm,” kepala Saka mengangguk. “Aya nggak nakal kan selama dijagain Nenek?” “Nggak. Aya anak baik.” “Good.” Saka dan Aya saling berbalas senyuman, sementara itu Renata yang berada di belakang mereka hanya mengamatinya dalam diam. Aya… Renata sudah mengetahui kisah gadis kecil yang Saka adopsi. Usianya masih emopat tahun ketika Saka mengambilnya dari sebuah panti asuhan. Saka bilang, Aya adalah pelipur laranya sejak Renata dan Ghea meninggalkannya. Gadis kecil yang selalu menemani Saka, menjadi penghibur tersendiri bagi Saka, kala dia sedang membutuhkan teman dan seseorang
Renata baru saja keluar dari kamarnya. Karena dia masih mengingat kebiasaan Bi Ambar yang menyiapkan sarapan pagi untuk mereka, Renata berniat untuk membantunya. “Aku bantu ya, Bi.” “Eh, Non Nata, nggak usah, Non. Biar Bibi aja. Ini sebentar lagi selesai kok.” Tolak Bi Ambar sembari membuatkan segelas kopi. “Itu kopinya buat Saka, ya, Bi?” “Iya, Non.” Renata menatap gerak-gerik Bi Ambar yang sedang membuatkan kopi untuk Saka. Dan hal itu membuat Renata teringat akan kebiasaannya dulu yang selalu menyiapkan kopi untuk Saka di pagi hari. “Non?” tegur Bi Ambar. “Ya?” jawab Renata tersentak dari lamunan. Bi Ambar tersenyum tipis padanya. “Kangen buatin kopi buat Den Saka, ya?” Kangen? Renata hanya tersenyum samar menanggapinya. “Non Nata mau Non aja yang buatin kopinya Den Saka?” “Hm?” “Nggak apa-apa kok, nih, gantiin Bibi. Den Saka pasti seneng kalau yang bu
Renata sedang bersama keluarganya yang kini ikut pulang menemani Saka. Kepulangan Renata kembali ke Jakarta pun membuat seluruh keluarganya ingin menyapanya. Seperti sekarang, Annisa dan anak-anaknya berada di rumah Saka, sedang berbincang dengan Renata. Namun, tidak sekalipun Renata menikmati perbincangan mereka karena yang ada di kepalanya saat ini hanyalah Saka dan juga… gadis kecil itu. Hingga kemudian Renata pamit pada keluarganya untuk menemui Saka. Ketika beranjak pergi, Renata menoleh sekilas pada Calista dan Revan yang duduk di sofa dan sedang menatapnya. Renata mengulas senyuman tipisnya, yang di balas dengan senyuman lega oleh sepasang suami istri itu. Sepertinya kepulangan Renata membuat rasa bersalah Revan sedikit berkurang padanya. Renata berniat mencari Saka, namun ketika dia menemukan Mamanya di meja makan, sedang menyuapi gadis kecil itu, langkah Renata terhenti. Lama dia mengamati Mamanya dan anak kecil itu yang terlihat sangat akrab
Renata baru saja kembali ke rumah setelah berkeliling sejenak sore ini. sebuah kegiatan yang rutin dia lakukan selama tinggal di Berlin. Setahun sudah berlalu, dan Renata Noura yang berwajah muram mulai menghilang, digantikan dengan Renata Noura yang memiliki senyuman ramah dan lembutnya. Renata sudah kembali seperti renata Noura yang sebenarnya. Sepertinya, keputusannya untuk menenangkan diri di Berlin, sekaligus selalu berkonsultasi dengan psikolog adalah keputusan yang tepat. Karena kini, Renata mulai bisa merelakan kepergian Ghea. Dia mulai bisa mengikhlaskan kepergian putrinya itu. Ghea mungkin tidak lagi bisa berada di sisinya, Renata mungkin tidak lagi bisa memeluknya, namun Ghea akan selalu ada di hatinya, di tempat terbaik yang Renata miliki. Dalam pengasingannya, yang kali ini memang atas kemauannya sendiri, bukan demi siapa pun. Kini, Renata memiliki banyak sekali alasan untuk tetap hidup dan menjalani kehidupan yang dia inginkan. Renata banyak belajar
Pagi ini, Saka memutuskan untuk kembali cuti bekerja. Dia merasa urusannya dan Renata belum selesai, apa lagi perbincangan mereka saat itu. Maka itu, kini Saka sudah berada di rumah orangtua Renata, mengetuk pintu kamar Renata sebelum membukanya dan menemukan istrinya itu sedang merapikan tempat tidurnya. “Baru bangun?” tanya Saka. Renata hanya menoleh sebentar dan bergumam pelan padanya. Saka menghampiri Renata, berdiri tidak jauh dari istrinya yang tampak sibuk dengan tempat tidurnya. Saka menyandarkan punggungnya pada dinding kamar, satu tangannya tersimpan di dalam saku celana. Dan dalam diamnya, Saka hanya terus mengamati gerak gerik Renata. Pagi ini Renata tampak lebih baik dari sebelumnya. Buktinya saja, dia mau beranjak dari tempat tidur dan merapikan tempat tidurnya. Karena biasanya, yang Renata lakukan hanyalah duduk atau berbaring di tempat tidur sambil termenung. Dan menemukan Renata yang jauh lebih baik saat ini, membuat Saka te
Renata sedang duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi foto Ghea yang berada di ponselnya. Sesekali jemarinya menyentuh layar ponselnya, seolah-olah dia sedang menyentuh Ghea secara langsung. Renata sedang menceritakan sedikit kebahagiaan yang dia dapatkan hari ini mengenai orang-orang terdekatnya yang kini kembali mau menerimanya. Jujur saja, Renata merasa benar-benar lega, sebuah kelegaan yang sedikit mengurangi seluruh beban yang bertumpu di kedua pundaknya. Dan semua itu juga karena Ghea, putrinya. Andai saja Ghea tidak pergi, mungkin hubungan kekeluargaan itu masih tetap saja seperti sebelumnya. Ghea... putri cantiknya itu benar-benar malaikat baginya. Ada atau tidaknya keberadaan Ghea di dunia ini, dia selalu saja membuat Renata bisa merasakan kebahagiaan meski rasanya nyaris tidak mungkin. Andai aja kamu di sini, Ghea... Mama pasti akan jauh lebih bahagia. Renata masih terus menatap wajah Ghea dari ponselnya, hingga pintu kamarnya terbuka dan Saka masuk ke sana sambil memb
Saka mendorong kursi roda dimana Renata duduk di atasnya selagi mereka menuju di mana mobil Saka sudah menunggu di depan rumah sakit. Di samping Saka, ada Ayu dan juga Herman yang sejak tadi sudah berada di rumah sakit untuk mengantar kepulangan Renata. Ketika melihat Saka dan Renata yang semakin mendekat, Haikal bergegas membukakan pintu mobil untuk istri bosnya itu. Saka sudah akan membantu Renata masuk ke dalam mobil, tapi Renata malah menoleh ke samping, menatap Mamanya dengan tatapan sendu. "Ma, aku... mau pulang ke rumah Mama aja." Ujar Renata dengan suara lirihnya hingga membuat Saka tersentak dan menatapnya terkejut. Bahkan bukan hanya Saka, Ayu dan Herman pun sama terkejutnya. Mereka saling menatap satu sama lain hingga kemudian Ayu bertanya. "Tapi kan, Mamanya Saka udah nungguin kamu di rumah kalian. Lagi pula... kenapa tiba-tiba aja kamu mau pulang ke rumah Mama?" Renata menundukan wajahnya, jemarinya saling meremas. "Nggak apa-apa, kalau nggak boleh." "Ma," panggil Sa