Naomi memutuskan pulang secepatnya setelah berbicara dengan Benedic, gadis itu terlihat berantusias untuk membangun sebuah hubungan yang lebih erat dengan Axel untuk memastikan bahwa menikah dengan Axel bukanlah kesalahan meski mereka baru mengenal dalam waktu yang singkat.Dua puluh empat tahun lamanya Naomi berada dalam kesendirian dan seperti terjebak dalam kesulitan jika berusan dengan cinta. Semenjak mengenal Axel, segala kesulitan itu seperti menghilang secara perlahan, lebih menakjubkannya lagi hubungan Naomi dan Axel tidak mendapatkan pertentangan apapun.“David,” panggil Naomi begitu dia memasuki ruangan belakang.David segera menghentikan pekerjaannya dari buku catatannya dan melihat Naomi. “Ya, ada apa Nona?”Naomi mendekat, berdiri di sisi David yang tengah sibuk memeriksa persediaan stock makanan.“David, menurutmu, berapa besar kemungkinan jika aku dan Axel akan berjodoh?” tanya Naomi.Pupil mata David terbelalak tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya mendengar perta
“Selamat datang Tuan,” sambut David dengan senyuman kaku menyembunyikan keterkejutannya karena Axel pulang lebih cepat dari apa yang dipikirkan.“Di mana Naomi?” tanya Axel dengan pandangan mengedar.“Nona Naomi ada di perpustakaan.”“Tolong panggil dia ke kamarku.”Dengan senyuman penuh arti David mengangguk mengerti.Dalam langkah yang lebar Axel langsung pergi, dia tidak memiliki banyak waktu karena harus kembali ke perusahaan. Sesaat Axel berhenti sejenak di sisi pintu kaca, melihat ke arah bukit dan pohon oak yang kini terlihat lebih terang.“Sayang sekali,” bisik Axel, sudah cukup lama dia dan Naomi tidak menghabiskan waktu di bukit, kesibukan yang terjadi membuat Axel tidak memiliki waktu bersantai.Axel menarik lepas dasi yang masih terpasang di kemejanya, pria itu kembali melangkah, memutuskan pergi ke kamarnya.***Naomi tertunduk melihat handpone yang terletak di atas buku, sejak tadi dia berusaha menghubungi Harvey dan telepon rumah, namun tidak ada yang merespon panggilan
“Kenapa diam? Kemarilah,” panggil Axel terdengar lembut.“Ka-kau mau apa?” tanya Naomi terbata.Axel menyeringai, dia menurunkan handuk kecil dan melemparkannya ke sisi kursi. “Memangnya kau tidak merindukanku?”Wajah Naomi bersemu malu. “Aku merindukanmu,” aku Naomi dengan suara yang pelan.“Karena itu, kemarilah, aku ingin memelukmu.”Naomi berdeham pelan mencoba mengurangi kegugupan perasaan berdebarnya, gadis itu melangkah mendekat dengan wajah bersemu malu melihat penampilan Axel yang terlihat segar santai, Axel selalu terbiasa membalut tubuhnya dengan pakaian formal yang membuatnya terlihat kaku.Begitu Naomi sudah berada hadapannya, Axel membuka lebar kedua tangannya, mengisyaratkan agar Naomi duduk dipangkuannya.Naomi segera duduk pangkuannya dan mengalungkan kedua tangannya di leher Axel, pandangan mereka kembali saling bertemu dan mengunci, Axel menarik pinggang Naomi dan merengkuhnya kedalam pelukannya, diraihnya wajah Naomi kedalam satu genggaman, Axel meraup bibir Naomi,
Kegelapan malam terlihat di balik gorden yang berkibar tersapu angin, Naomi terbaring di balik selimut dan dekapan Axel yang masih memeluknya, gadis itu melihat rembulan yang bersinar terang.Malam yang terang mengingatkan Naomi pada Magnus, dulu mereka pernah menghabiskan waktu di atap mall hanya untuk menikmati satu cup mie instant sambil menunggu kembang api yang menyala dalam perayaan tahun baru.Itu adalah kenangan terakhirnya Naomi bersama Magnus saat mereka menikmati malam bersama-sama.Teringat dalam benak Naomi jika tadi dia ingin meminta izin kepada Axel untuk pergi pulang, Naomi sampai lupa mengatakannya karena terlalu larut dalam percintaan yang panas bersama Axel yang terlalu lama menahannya di ranjang.“Axel, aku boleh meminta sesuatu padamu?” tanya Naomi.Axel membalasnya dengan gumaman, pria itu mengecup bahu Naomi dan mengusap helaian rambutnya yang berantakan. Axel malas bergerak sampai waktu dua jam yang dia miliki hampir habis, pasti Hans akan mengomel jika nanti A
Air mata kembali berjatuhan, mata Rihana diratapi kesedihan yang tidak terbendung begitu tahu putranya melihat apa yang terjadi.“Sudah cukup bicaramu, aku tidak mau mendengar omong kosong lagi,” ucap Hutton dengan dingin tidak mempedulikan luka Rihana.“Kita belum selesai bicara,” ucap Rihana dengan suara bergetar.“Kita lanjutkan saja besok, aku sudah muak di rumah,” jawab Hutton seraya menggiling lengan kemejanya, pria itu berbalik hendak pergi.“Kau akan pergi ke tempat selingkuhanmu?” bisik Rihana bertanya.Hutton terdiam, pria itu kembali berbalik dan menatap tajam Rihana, keduanya saling berpandangan penuh dengan ketegangan.“Jika kau pergi ke tempat selingkuhanmu, tolong jangan kembali ke rumah,” ucap Rihana.Rahang Hutton mengetat, dalam dua langkah tidak terduga pria itu mendekat dan meraih sebuah pas bunga, tangan ragu Hutton melempar pas bunga itu pada kepala Rihana hingga kepala Rihana bercucuran darah.Telinga Rihana berdenging sakit, dia sampai tidak bisa bergerak dan m
“Aku minta maaf,” lirih Armon dengan napas tersenggal.Rihana membuang mukanya enggan melihat, desakan air mata kembali mengganggunya, mendesak Rihana untuk menangis. “Kau tidak perlu meminta maaf, kau tidak memiliki kesalahan apapun.”“Aku salah, aku sudah keliru menilai Ibu. Maafkan aku, aku menyesal.”Rihana mengangguk tanpa suara, dia malu untuk menunjukan lebih banyak sisi dirinya yang menyedihkan.Armon memberanikan diri untuk mendekat dan meraih tangan ibunya setelah sekian lamanya dia tidak pernah melakukan kontak fisik dengan ibunya, tanpa ragu kini Armon memeluk Rihan dengan erat.Tubuh Rihana menegang kaget, desakan tangisan yang dia tahan, ketegaran yang berusaha dia pertahankan luruh lantah hanya dengan sebuah pelukan dari putranya yang selama ini selalu dia rindukan.Rihana terisak membalas pelukan Armon. “Jangan mengkhawatirkan ibu, ibu baik-baik.”“Aku akan pergi sekolah ke luar negeri, aku akan mendukung perceraian Ibu. Bercerailah, jangan terus bertahan dengan seseor
Axel berdiam diri di dalam mobilnya, kini dia sudah berada di area parkiran gedung apartement Jennie. Panggilan Jennie kali ini berhasil mengundang Axel untuk datang, namun keraguan masih bergelayut di hatinya.Axel khawatir jika ini hanya sebuah jebakan, namun disisi lain Axel percaya bahwa Jennie tidak mungkin bertindak gegabah karena dia tahu konsekuensinya jika dia mencoba mempermainkan Axel.Tapi, apakah dengan menemui Jennie seperti adalah sebuah keputusan yang benar?Axel tidak gelisah bertemu dengan mantan pacarnya, dia sudah tidak memiliki perasaan apapun lagi, yang Axel pikirkan adalah konsekuensi yang harus dia terima bila menemui Jennie.Dengan berat hati Axel segera keluar dari mobilnya dan pergi masuk, pria itu terlalu tenang karena menganggap sudah tidak memiliki hubungan apapun lagi, dia melupakan kebenaran jika Jennie seorang public figure, dan diam-diam ada seseorang yang mengambil photo dirinya ketika masuk ke dalam gedung apartement hingga menekan bel pintu kamar J
“Axel,” Jennie beranjak dan memutuskan duduk di sisi Axel, wanita itu memberanikan diri menggenggam tangan Axel. “Tenangkan dirimu, kau tidak boleh lemah.”Axel mencoba mengatur napasnya dan mengenyahkan pikiran buruk yang membuatnya kehilangan banyak konsentrasi. Ada rasa sakit yang sangat kuat menusuk hati Axel, teringat kembali wajah terakhir ibunya sebelum menghembuskan napas terakhirnya.Tatapan matanya menyiratkan banyak beban yang belum dia selesaikan.“Axel, kau baik-baik saja?”“Aku baik-baik saja,” ucap Axel seraya melepaskan genggaman tangan Jennie dan sedikit bergeser menjauh untuk menghindari usapan wanita itu di bahunya.“Axel_”“Kita bicarakan ini di lain waktu, ini bukan saat yang tepat, sekarang aku harus pulang,” ucap Axel lagi sebelum beranjak.Segala sesuatu tentang orang tuanya sangat berarti untuk Axel, sangat berat untuknya melihat kembali wajah ibunya di hari-hari terakhirnya. Kecelakaan yang menimpa ibu Axel memang tidak membuat Shue-Shen terluka parah, namun