Kira-kira di mana Livyata? Beda negara kah? Atau beda benua?
“Cukup jauh, kamu tenang saja tidak ada yang mengganggumu di sini. Udaranya juga segar ‘kan?” ujar Penelope membuka jendela kamar.Sedangkan Livy hanya terbaring sembari memeluk bantal dan menutupi tubuh dengan selimut. Sebab udara musim gugur terasa dingin di pagi hari, ia tersenyum simpul mengingat El selalu memeluknya.“Livy? Hey Livy kenapa melamun?” tegur Penelope merasa tak mendapat sahutan.“Livy, kamu mau makan apa? Aku mau jalan-jalan sekitar sini.” Estefania menyampirkan telapak pada bahu ibu hamil, menyadarkan dari kenangan yang berputar.“Oh, i-ya … apa saja, terima kasih,” jawab Livy gugup, menatap lekat wanita cantik berambut pirang dengan warna iris sama dengan El. Lagi, ibu hamil merenung, telah pergi menjauh, tetap bayang El selalu mengikuti. Membuat hatinya terluka karena meninggalkan pria itu begitu saja. Bukan karena tak cinta, hanya saja masalah datang silih berganti, Livy ingin El bisa hidup normal dan layak seperti sebelumnya.Semesta seakan mengetahui kerinduan
“Kenapa diam? Kakimu baik-baik saja ‘kan?” Suara dingin El mengubah atmosfer ruangan menjadi mencekam.“Aw … sayang!” pekik Sonia menjatuhkan diri sangat keras. “Tadi aku coba berdiri, aku pikir tidak ada salahnya berusaha sendiri, benar ‘kan?” Bibir seksinya berucap dusta demi meraup keuntungan pribadi.“Hebat! Kamu bisa mengelabui semua orang termasuk ayahmu sendiri. Kamu layak mendapat penghargaan akting terbaik Sonia!”Walau El tidak membentak, tetapi alunan nada yang keluar dari bibirnya membuat siapa pun merinding. Sarat makna, menusuk jantung dan tembus ke punggung.“Sayang? Bu-kan begitu …” cicit Sonia masih bersimpuh di atas lantai.Sedangkan El enggan menanggapi leluon baru dari sang istri. Pria ini memilih menggunakan pakaian, kemudian hendak keluar dari kamar. Ia akan membocorkan rahasia Sonia, El berencana menghubungi orang kepercayaan untuk memberinya bukti kuat.“Kamu mau ke mana El? Kakiku sakit, tolong perhatikan aku! Aku ini istrimu!” teriak Sonia dengan tangan terkep
“Cek? Satu miliar?” desis Sonia merasa bodoh. ‘Sial, ceroboh! Seharusnya aku gunakan rekening ayah bukan akunku sendiri. Tidak … El jangan sampai tahu alasan di balik cek itu!’ sambungnya dalam hati.El berdecak kesal, karena Sonia diam-diam menyerangnya dari belakang. Ia akan memastikan wanita itu menerima balasan setimpal, ia tidak rela kekasihnya diperlakukan dengan buruk. Tangan kekarnya merebut kertas di atas pangkuan sang istri. Sebelah suduh bibir El tertarik, mata biru safirnya menyorot tajam pada Sonia. “Untuk apa kamu menarik dana tunai dalam jumlah besar? Apa istriku kekurangan uang?” cerca El dengan aura mematikan hingga Sonia berubah gugup, hanya bisa menarik napas.Namun, otak cerdik model cantik ini tetap berfungsi, Sonia mengemukakan jawaban luar biasa. Sayangnya, El telah kehilangan kepercayaan seluruhnya pada sang istri. Semua karena tingkah tak kunjung membaik padahal diberi kesempatan terus menerus.“Cek itu … tentu saja untuk Livy. Aku ingin dia hidup nyaman dan
Keesokan harinya, di kamar sederhana dengan dinding batu estetik, Livy membelai perut sembari mendengarkan musik klasik. Melodi yang dimainkan oleh El, sengaja ia rekam sendiri sebagai kenang-kenangan. “Tumbuh sehat sayang, Mommy mencintaimu,” gumam Livy hendak memejamkan mata.Namun, tiba-tiba pintu terbuka lebar, Penelope menerobos masuk. Wanita itu segera menghempas bokong ke ranjang empuk, hingga ibu hamil terlonjak dan mengerjap berulang kali.“Livy, kamu lihat ini!” seru Penelope.“Apa? Lihat makanan lagi? Aku tidak nafsu makan dokter.” Livy tersenyum kecut.Padahal semua makanan di Desa Albarracin sangat lezat, memang dasar dirinya manja begitu merindukan El. Alhasil apa pun yang masuk mulut terasa hambar tanpa garam.Seminggu lebih di atas kasur membuatnya bosan, tidak ada aktifitas apa pun kecuali menonton TV. Untuk melihat pemandangan Livy tidak bisa, pernah perutnya kram sewaktu ia mencoba turun dari ranjang. Setelah itu kapok, biarlah jenuh yang penting janinnya selamat sa
“Ternyata ini artinya. Jahat sekali … seharusnya kamu cerita semuanya padaku Livy!” monolog El sembari menatap pada pot berisi tanaman Forget Me Not yang diberikan Livy.Paska pengusiran Sonia seminggu yang lalu, El mendapat informasi baru. Rupanya Livy berhasil lolos dari kejaran orang bayaran, dan sekarang wanitanya melarikan diri ke tempat jauh. Sial, El tidak bisa melacak keberadaan Livy, semua tertutup rapat.Untuk mendapat keterangan lebih lanjut, terpaksa ia mendatangi apartemen. Tanpa sengaja menemukan jajaran pot bunga yang dibeli oleh sang kekasih—semua berubah layu. Termasuk tanaman pemberian Livy, dengan cepat El membawanya kembali ke mansion.Demi menjaga tumbuhan teristimewa tetap hidup dan segar, El memerintah spesialis kebun khusus. Sayang, bunga itu memang ditakdirkan gugur sebelum waktunya. Sekarang di sinilah El duduk di balkon kamar seraya menopang dagu pada meja kecil. Ia tersenyum kecut ketika berhasil mencari tahu makna bunga itu. Sebenarnya memiliki arti sangat
“Argh … sial. Seharusnya aku bisa menyusul Mom dan Estefania, mereka pasti bertemu Livy, benar ‘kan Dad?” El menolehkan kepala pada Dad Leon yang berdiri di depan pintu ruang rawat khusus pasien jantung.“Sok tahu kamu! Mereka jalan-jalan, tidak perlu diganggu!” sentak pria paruh baya dengan gaya angkuhnya.Sedangkan El benar-benar tidak tenang, antara memikirkan ayah mertua dan keberadaan Livy. Seandainya, bisa membelah diri, pasti El melesat pergi mengekor dua wanita itu. Akan tetapi, hati nurani sebagai manusia tidak tega, apa lagi Tuan Fabregas tampak kesakitan.“Di mana Sonia? Kenapa belum datang?!” El mondar-mandir, sesekali menatap selasar yang mengarah pada pintu utama.“Nonya bilang dia pasti ke sini, sebaiknya kita tunggu dulu Tuan,” timpa Alonso menahan kekesalan.Pasalanya, tadi, sewaktu menghubungi dan memerintah Sonia datang ke rumah sakit, wanita itu malah menolak. Dengan ringan menyatakan bahwa di sini sudah ada El, cukup sebagai perwakilan keluarga.Alonso tidak menger
“Donatello Xavier Torres, apa yang kamu lakukan, hah?!” bentak Dad Leon ditelepon.[Maaf Dad, tapi aku merindukan Livy. Jangan sembunyikan dia dariku.]Setelah mencari ke area parkir, rupanya El benar-benar meninggalkan dua pria paruh baya di tempat istirahat. Betapa kesal Dad Leon karena putra sulungnya pergi tanpa pamit.“Pasti dia mendapat alamat Livy, anak nakal …” geram Dad Leon. “Alonso, cari mobil! Kita harus menyusulnya. Dia tidak boleh bertemu Livy sebelum sidang perceraian selesai.”“B-baik Tuan.” Alonso bergerak cepat, meskipun ponsel, dompet dan benda berharga lain dibawa oleh El, tidak menghalangi kinerja. Terbukti, dengan cepat mendapat mobil, walau tidak semewah milik tuannya.Di sisi lain, Livy semakin erat menggenggam gelas. Ia menegang karena ketukan pintu bertambah keras, seperti orang tak sabaran.“Siapa yang bertamu malam begini? Apa dia tidak tahu penghuni rumah sudah tidur?” gerutu Livy sembari merasa was-was. Sebelum membuka pintu, ia mengintip dari celah, ken
“Kamu memang selalu manis. Tunggu aku Livyata, semua selesai sebelum anak kita lahir,” gumam El sembari memegang erat teropong yang di arahkan ke rumah sederhana.“Buktikan ucapanmu El! Sonia pasti merencanakan sesuatu, dia wanita cerdik yang bisa mempertahankan posisinya,” imbuh Dad Leon duduk menyandar di samping jendela, menunggu Alonso selesai memanggang daging.Sepakat dengan rencana yang dijalankan oleh Dad Leon, El berjanji menahan diri tidak menemui Livy hingga skandalnya lenyap. Akan tetapi hari ini, ia meminta sesuatu yang sangat merepotkan kedua orang tua.Demi mengobati rasa rindu, El ingin puas melihat Livy . Untuk itu di dua tempat berbeda, mereka melakukan kegiatan serupa.Di rumah kecil yang disewa El, tampak Alonso tengah membolak-balik daging di atas panggangan kecil. Pria paruh baya mendesah lesu, di usia yang tak lagi muda harus melakukan kegiatan membosankan demi bos muda.“Sudah matang belum, Alonso? Aku lapar, belum sarapan,” desak Dad Leon.“Sabar Tuan, saya jug
“Ini sudah siang, di mana Al? Dia bilang olahraga di sekitar hotel,” gusar Livy bolak-balik melihat jam digital.“Periksa saja kamarnya, anak itu senang kabur, menyelinap masuk dan seolah tidak terjadi sesuatu,” jawab El begitu enteng sembari bermain lego bersama An.Livy mendengus kasar mendengar jawaban sang suami. Ia ingin sekali mengahancurkan susunan lego yang terhampar luas di atas lantai. Suaminya itu bukan mencari keberadaan Al malah asyik bermain seperti anak kecil. Alhasil ibu tiga anak itu membuka pintu kamar Al, ternyata kosong.“Al belum pulang,” lirih Livy melirik putra kedua yang asyik bermain game.Akibat kesal, tidak ada yang peduli pada perasaannya, Livy mengunjungi pusat kebugaran serta taman hotel. Memang banyak orang menggunakan fasilitas untuk olahraha, tetapi setengah jam ia mengamati, tidak menemukan putra sulungnya.“Di mana kamu Al?” Livy memijat pelipis.Ketika ia berjalan menuju lobi, Livy tercenung melihat El menggendong An, berjalan tergesa-gesa, diikuti
“Kenapa kamu di sini?” Kedua bola mata Al berbinar menatap sosok gadis cantik di depannya.“Menurumu, untuk apa aku di sini?” goda anak kecil yang kini menjelma menjad remaja luar biasa.“Mommy-mu di sini?” Al menolehkan kepala ke kanan dan kiri.Gadis itu terkekeh geli melihat tingkah teman baiknya. Lalu mendekati Al yang masih kebingungan, sebab ini Swiss bukan New York, lintas benua yang tidak mudah dilalui hanya dengan satu atau dua jam.“Tentu saja Al, aku menemani Mommy,” sahut anak itu.“Ah, aku pikir kamu nyasar. Bagaimana kabarmu Belle?” Al maju satu langkah hendak mengulurkan tangan.Namun, gadis itu mundur satu langkah dengan wajah tersipu, tetapi pandangannya tidak teralihkan dari Al. Seakan kehabisan kosakata, Belle bungkam, tidak menjawab pertanyaan Al. Anak itu larut dalam pesona remaja tampan di hadapannya.Tidak ingin semakin salah tingkah, Belle meraih minuman tinggi gula, lantas meneguknya. Membuat Al semakin mengikis jarak.Bahkan, putra sulung El dan Livy, merebu
“Mi Amor?!” pekik El, melihat Livy berjalan gontai di tengah ramainya orang berlalu-lalang.“Mom, ada apa?!”Seketika El, Al, dan Gal berlarian menghampiri Livy. Bahkan El memapah tubuh wanitanya yang gemetaran.“An … di-a menghilang.” Tangis Livy pecah, perhatian semua orang tertuju pada keluarga kecil itu.Setelah mendengar hal itu, Al dan Gal bergegas ke toilet wanita, mereka masuk tanpa izin, hingga para pengguna kamar kecil berteriak. Tak sedikit dari beberapa orang melempar dengan sepatu. “Kak, bagaimana ini? An benar-benar menghilang.” Gal tidak menyangka hari istiewa yang dinanti berujung petaka.“Ayo temui Mom dan Daddy,” ajak Al menyeret pergelangan tangan adik laki-laki. Walaupun perih menjalar, Gal tidak peduli, karena saat ini paling penting menemukan keberadaan Antonia. Pikiran dua remaja tampan itu khawatir adiknya diculik, tetapi mengingat belakang ini tidak ada sesuatu yang mencurigakan, hal itu pun mustahil.Livy dan El menuju ruang keamanan, di susul Al dan Gal.
“Berisik!” teriak seorang gadis kecil, menutup telinga dan memelotot menatap dua remaja di depannya.“Anak nakal!” seru suara bass sambil menunjuk penuh amarah. “Itu milikku!”“Ambil saja kalau berani!” sahut remaja satunya lagi.Dalam beberapa tahun berlalu, putra dan putri Livy tumbuh pesat. Ketiganya meramaikan mansion, terutama ketika momen liburan seperti sekarang.Di mana, bukan hanya Al, Gal dan An berkumpul, tetapi Estelle serta para sepupu lain turut menyumbang suara di Mansion Torres.“Kalian itu sudah besar kenapa bertingkah seperti kami?!” lontar An menatap gemas dua kakak laki-lakinya.“Galtero merebut laptopku!” geram Al, “Adik nakal, seharusnya kamu ikut Daddy dan Mommy ke pertemuan bisnis, bukan menjadi pengganggu!” Kalimat pedas Al tertuju pada adiknya.Tidak ingin acara bermainnya terusik, An melangkah maju, mendekati kakak keduanya. Bocah itu bertolak pinggang, menjulurkan tangan, meminta secara baik-baik supaya Gal mengembalikan laptop Al. Akan tetapi, Galtero sang
“Jika itu sakit tidak mungkin Livy hamil sampai tiga kali!” jawab El.Livy langsung menundukkan wajah, entah dari mana suaminya bisa memiliki jawaban memalukan seperti itu. Jujur, saat ini ia kehilangan muka di hadapan adik ipar. Bukan hanya adik ipar, tetapi ibu mertua yang mendadak masuk kamar. Seketika, ingin sekali Livy melempar bantal pada wajah tampan suami.“Sudah, tidak perlu dibahas. Itu rahasia ranjang,” celetuk Mom Pamela setelah melihat kulit pipi menantu berubah masak.“Tapi … aku penasaran Mom. Setidaknya aku tahu, ternyata tidak sakit.” Tawa Estefania sambil menubrukkan bahu ke lengan Livy.Rasa malu Livy semakin menggunung ketika El sengaja menghampiri, merunduk, lalu menaruh ibu jari di bawah dagu, perlahan menariknya, mempertemukan dua bibir.“Wah, romantis sekali. Tapi seharusnya kalian tidak pamer kemesraan,” ucap Estefania dengan lemas. “Luis belum pulang. Huh, kenapa dia betah sekali di NYC mengunjungi kakak sepupunya, padahal kami lebih membutuhkan,” sambungnya
[Kak El, cepat ke mansion utama! Sepertinya Livy mengalami kontraksi.]Isi pesan Estefania, dikirim secara diam-diam, sebab Livy selalu menolak. Wanita itu berdalih berdasarkan pengalaman, belum waktunya bersalin.Kedua wanita itu entah sudah berapa putara mengelilingi taman mansion yang luas. Estefania dibanjiri keringat, sama seperti Livy. Akan tetapi, ibu hamil itu enggan mengakhiri kegiatan olahraga ringan.“Akh … tidak apa-apa, semakin terasa sakit, maka waktu bertemu kita lebih cepat,” gumam ibu dari Al dan Gal, membelai bagian bawah perut, seakan mengetahui di sanalah letak kepala bayi.“Mommy percaya kita bisa Nak. Kakak Al dan Gal tidak sabar bermain denganmu,” sambung Livy sembari terkekeh pelan.Sementara Estefania berlinang air mata, menatap Livy sesekali meringis, keringat bercucuran dari kening, bahkan bagian punggung tampak basah.Wanita berambut pirang itu sesenggukan karena ia selalu mengeluh tidak mau mengandung dan melahirkan lagi. Sebab, adik bungsu El merasa tidak
“Ternyata kamu masih mengingatnya, aku tidak suka! Di dalam sini dan sini.” El menunjuk kepala serta dada Livy. “Hanya ada aku, pria lain tidak boleh!”Setelah mengatakan itu, El masuk ke mansion lebih dulu, tujuannya bukan ruang kerja atau kamar.Puas menikmati pemandangan langit malam serta suasana kota yang diramaikan pejalan kaki, El memutuskan membawa Livy pulang.Tadi, dalam perjalanan menuju mansion, El penasaran alasan wanitanya sangat menyukai kopi di café itu tetapi enggan berkunjung.Rupanya, di tempat itu Livy kerap menghabiskan waktu, membuang lelah serta perih karena memikirkan nasib pernikahannya bersama Sergio. “Mommy, bagaimana Bibi Es? Apa adik bayi sudah lahir?” tanya Al antara khawatir dan gembira.“Estefania sakit perut karena terlalu banyak makan pedas. Doakan yang terbaik untuk Bibi ya.” Livy memulas senyum lantas memberi kecupan sebelum tidur pada kedua buah hati.Wanita berperut besar itu melangkah ke kamar, ia membersihkan kulit dari sisa-sisa debu. Menggant
“Kita mau ke mana Mi Amor?!” Dahi El berkerut cukup dalam.Pria itu tidak tahu apa pun, tanpa basa-basi Livy membuka pintu kamar, langsung menarik pergelangan tangan sang suami.“Hati-hati jalannya Mi Amor, sebenarnya ada apa? Kenapa kita buru-buru begini?” El mengamati wajah cantik Livy dihiasi garis kecemasan.“Nanti saja di mobil, ini penting El.” Livy tak melepas tangannya dari pergelangan El. “Tolong kemudikan dengan cepat Pak,” pinta wanita itu tanpa memberi perintah dan arah tujuan.Merasa terdapat sesuatu yang genting, El menjelaskan secara perlahan pada sopir untuk mempersiapkan mobil. Bahkan pria itu harus menambah stok kesabaran, lantaran Livy tidak bisa diam karena menarik-narik lengan kaos.Setelah duduk nyaman, kendaraan roda empat melaju menuju kediaman William. Terlebih dahulu, Livy meneguk setengah botol air mineral.“Pelan-pelan Mi Amor! Kamu bisa tersedak!” Nada peringatan El membuat sopir berjengit. “Lanjutkan, jangan berhenti!” titahnya pada pria di balik setir.“T
“Kenapa membeli pakaian bayi sebanyak ini, Es? Dia tumbuh cepat, dan berakhir tidak terpakai semua.” Livy melihat adik iparnya tersenyum lebar sambil memerintah maid merapikan kamar bayi. “Kamu tahu Livy, aku sudah tidak sabar berbelanja pakaian bayi sejak kita mendekor kamar anaknya Abril. Akhirnya sekarang Luis mengizinkan aku keluar, ah senangnya.” Estefania menjentikkan telunjuk pada maid. “Lemarinya digeser sedikit, ranjangnya jangan terlalu dekat dengan jendela!”Beberapa bulan berlalu, kandungan para ibu hamil itu telah memasuki tri semester tiga. Apalagi Estefania kurang dari satu bulan lagi melahirkan. Paska terjadi hal tidak diinginkan di salon, wanita itu terpeleset dan mengalami pendarahan ringan. Luis sangat posesif, melarang Etefania melakukan kegiatan apa pun, termasuk belanja kebutuhan bayi.Estefania melirik Livy. “Lalu kamu sudah membeli apa saja?”“Oh itu, karena dokter bilang calon anak ketiga kami laki-laki, kebetulan beberapa baju bayi Al dan Gal masih ku simpa