“Sa-sayang, tumben kamu ke sini, kangen ya?” Sonia berusaha mencairkan suasana sekaligus bersandiwara.Meskipun keduanya tidak saling mencinta, tetapi berkomitmen menjaga hubungan di depan umum. Mereka akan berubah menjadi pasangan hangat yang membuat iri semua, terlebih El sangat memanjakan Sonia.“Memang kenapa? Aku menjemputmu,” jawab El begitu dingin, tanpa senyum apalagi menggoda Sonia.“Kalau begitu tunggu sebentar, pemotretanku sebentar lagi selesai,” ujar Sonia mengecup manja pipi suaminya, lalu membalik tubuh, tanpa sungkan berpose seksi bersama pria lain.Fotografer sempat kikuk dan merasa bersalah karena klien menginginkan Sonia berpasangan dengan model pria yang sedang naik daun. Sekarang, seluruh kru sangat ketakutan, khawatir agensi mereka dibuat merugi oleh Presdir Torres Inc.Hampir satu jam El menunggu, akhirnya sesi foto selesai. Sebagai suami yang baik, tidak ingin menjatuhkan nama istri di depan umum, ia mengikuti Sonia ke ruang ganti.“Kenapa El? Mau coba di sini?
“Panggil namaku sekali lagi!” bisik El di sela gerakan lembutnya.“El … aku.” Livy meremas kain seprei, tubuhnya sudah dibanjiri keringat. Bahkan berulang kali merasa terbang ke angkasa. Ia juga mengatakan, “Tetap seperti ini, jangan terlalu cepat.” El menyeringai, karena Livy malah menyukai tempo lamban sedangkan ia hanya mengulur waktu. Sebenarnya sangat ingin menyentak dan membalik tubuh wanita yang saat ini berada di bawahnya, tetapi hati kecilnya berkata ‘jangan’.Hingga pria ini kembali melepas pasukannya dan terjatuh lemas di sisi tubuh adik iparnya. El membelai kening berkeringat Livy, membawa wanita berperawakan mungil ke dalam pelukan. “Tetap seperti ini sebentar saja,” ujar El, lalu memejamkan mata.“Kenapa datang ke sini? Memangnya Kak Sonia mengizinkan Kakak keluar?” tanya Livy penasaran, sebab tadi tidak sengaja mendengar percakapan antara El dan Tuan Fabregas.Jujur saja, ia sempat cemburu, tetapi di tepis karena menganggap itu hal wajar. Sebagai suami yang baik, El s
Setelah merasa kondisi tubuh jauh lebih baik, Livy bergegas mengunjungi mansion Torres. Ia tidak menggunakan bus, melainkan El sengaja memerintah sopir pribadi untuk mengantarnya ke kediaman keluarga. Pria itu mengkhawatirkan kondisi Livy, karena wanita ini bersikeras menyampaikan vitamin secara langsung.Dalam perjalanan menuju mansion, Livy melamun sebab El secara terang-terangan berharap dirinya hamil. Bahkan lelaki itu menjanjikan masa depan yang manis dan indah. Diikuti ancaman Tuan Fabregas terus menggaung dalam kepala.“Nona, kita sudah sampai.” Sopir pribadi membuka pintu penumpang, namun Livy bergeming, pandangannya lurus ke depan. “Nona Fabregas? Apa Anda memerlukan sesuatu?” sambungnya.“Oh, terima kasih Pak.” Livy menginjakkan kaki di halaman mewah itu. Degup jantungnya bertambah kencang karena berani menemui Sonia, lagi pula ia hanya menjalankan perintah sang ayah. Sebelumnya Livy telah mengirim pesan pada kakak angkatnya, tetapi tidak dibalas.Di sana, ia disambut oleh
Satu jam sebelumnya di tempat berbeda, dua pria saling berhadapan, sorot intimidasi terpancar dari keempat mata. “Aku dengar Tuan Lorenzo berkerja sama dengan istriku? Ah lebih tepatnya … Sonia.” El berdiri tepat di depan meja kerja Kepala Tim Redaksi. “Boleh aku duduk?” sambungnya.Tanpa menginjakkan kaki di Torres Inc, El langsung menuju kantor media pemberitaan. Di sana ia ingin menyelesaikan pekerjaan yang tertunda. “Silakan Tuan Torres, anggap saja ruang kerja Anda,” tutur pria yang seumuran dengannya. El duduk dengan menumpuk satu paha di atas paha satunya. Ia mengangkat dagu dan memperhatikan ruangan yang cukup nyaman, lalu mengangguk dan berdeham. “Aku pikir tidak etis kantor media sebesar ini memberitakan kebohongan. Katakan padaku apa yang dijanjikan istriku … ah maksudku Sonia?” Bola mata biru safir El menatap tajam.Sedangkan pria di depannya mengerutkan kening tampak berpikir, namun El lebih dulu memberi pengingat. Presdir Torres Inc meletakkan ponselnya ke atas meja,
“Livy? Katakan dengan jujur, anak itu milikku ‘kan?” El mengangkat dagu adik ipar yang menunduk. Pria ini menanti jawaban, meskipun hati kecilnya membenarkan. Namun, wanita di depannya hanya diam saja. Livy mengatup rapat mulut, kedua matanya berubah buram akibat dipenuhi kristal bening. Kata-kata untuk menjawab tertahan di bibir, lidahnya terasa kelu, seolah daging tak bertulang itu diikat dan ditarik ke belakang. Pikirannya berkecamuk, ia takut pada ancaman Tuan Fabregas. Livy bukankah cenayang yang bisa meramal kejadian di masa depan, ia hanya waspada dari kondisi tak terduga.“Livyata? Sayang?” El mengelus puncak kepala wanitanya, lantas membawa Livy ke dalam pelukan, membelai sepanjang tulang punggung . “Apa ada seseorang yang mengancam? Siapa? Sergio? Aku bisa melindungimu.”Mendengar kata-kata menenangkan hati, Livy tertegun lalu menyentuh perut ratanya. Ia menelan ludah sembari memejamkan mata, mencari kekuatan. Kemudian menggeleng pelan, sebagai jawaban dari pertanyaan El ya
“Menurutmu apa aku harus diam saja?” El membalas tatapan mata Livy.“Entahlah aku bingung, aku belum siap ayah mengetahui kalau janin dalam kandunganku ini …”“Jangan berpikir macam-macam biar aku saja. Kamu fokus pada kehamilanmu, aku mencintamu Livyta.” El mengabsen wajah mulus kekasihnya, tidak jemu memandang dan menyentuhnya.Malam semakin larut, sepasang kekasih itu terlelap dengan nyenyak, bahkan Livy merasa nyaman berada di pelukan El. Kini ia yakin keputusannya memberitahu kebenaran pada El bukan suatu kesalahan. Keduanya terbangun cukup siang, setelah mentari mulai menunjukkan sinarnya. Bahkan dua kali perawat yang hendak masuk mengurungkan niat, selain pintu yang terkunci, dua pasang kaki saling bertumpuk di atas ranjang pasien.“Selamat pagi sayang. Aku pikir mimpi, terbangun di samping bidadari, ternyata ini kenyataan,” goda El mencolek dagu kekasihnya. Menjadikan pipi tirus Livy bersemu merah, belum juga nyawanya terkumpul sudah digoda seperti ini. Ia langsung membayangk
Sementara itu di tempat berbeda, tepatnya di salah satu apartemen mewah seorang pria baru saja terbangun dari tidurnya. Sergio membuka mata karena mendengar suara tangis bayi yang tidak bisa berhenti.“Astaga Karla di mana ibumu? Kenapa kamu sendirian di sini?” Sergio segera menggendong bayi malang itu dari atas kasur lantai. “Bisa-bisanya dia meninggalkan anakku,” sambung pria dengan rambut berantakan.Bahkan area dapur dan ruang keluarga tampak berantakan, perabotan dan baju kotor berserakan. Sisa makan malam saja belum dibersihkan dari meja makan.“Apa yang wanita itu kerjakan sejak pagi?” geram Sergio melirik apartemennya berubah seperti penampungan sampah.Tidak lama, pintu depan terbuka, Sergio melongokan kepala dan berdecak sebal, lantaran kekasihnya tertawa riang sembari membawa beberapa kantong. Dengan segera, pria ini mencegat wanita itu, menyerahkan bayi dari gendongannya.“Hebat sekali kamu keluar apartemen, meninggalkan anakku dan ruangan belum rapi?!” sentak Sergio.“Maaf
“Kalau ini anak Sergio, tega sekali suamimu itu membiarkan istrinya sendirian,” sindir Sonia.“I-ini anak …” Livy melirik El yang menganggukkan kepala dan tersenyum. Namun, ketika bibir tipisnya hendak menjawab, ia mendengar ayah angkatnya mengeluh sakit dada. Sehingga perhatian Livy teralihkan pada pria paruh baya itu, mulutnya pun kembali tertutup rapat.Sigap El memberi ayah mertua minum dan berdiri tepat dibelakang Tuan Fabregas. Pria ini mengeluarkan saputangan, membantu menyeka air yang tumpah membasahi tangan mertua.“Ini anakku dan … Sergio,” jawab Livy dengan suara bergetar.Seketika El mengeratkan rahang, urat pada lehernya berkedut dan gigi saling bergemeletuk. Ia mengepalkan tangan, tidak rela darah dagingnya diakui milik Sergio.“Oh aku pikir anak pria lain,” sinis Sonia, setelah itu mendekati sang suami, mencium pipi El dan memegang lengan kekar dengan manja. “Sayang, bisa minta tolong antar ayah ke poli jantung? Dadanya sesak.”El yang kesal karena Livy berbohong, meng