Selamat hari minggu (✷‿✷)(✷‿✷) duh ini seharusnya Paman Alonso jangan datang (・o・)
“Terima kasih Paman.” El menerima uluran berkas, ia membuka segelnya. “Paman? Jangan pulang dulu! Ikut makan malam bersama kami!” Alonso mengangguk. “Baik Tuan Muda.” Ia berjalan menuju paviliun di bagian timur mansion.Tanpa El ketahui, seorang wanita tengah berdebar menanti isi dari amplop besar itu. Livy takut karena tidak biasanya Alonso memberikan berkas penting di depan anggota keluarga.“Mi Amor, kenapa melamun? Bawa Gal ke kamar! Di sini terlalu bising, ocehan para wanita menggangu tidur putraku!” El melirik tajam pada adik bungsu dan kedua iparnya. Sedangkan Livy tak menjawab, hanya melirik amplop di tangan sang suami.“Kak El!” geram Estefania pada kakak tertuanya.El meraih Al dari gendongan sang adik, lalu merangkul bahu Livy, menggiring ke kamar. Ia menoleh ke belakang dan menjulurkan lidah pada ketiga wanita di ruang keluarga.“Sayang, kamu ini keterlaluan. Mereka juga merindukan Gal, aku senang semuanya menyayangi Gal.” Livy mencubit pinggang kekar sang suami. Ayah dua
“Bagus ‘kan Sayang? Mansion ini aku dirikan sesuai kepribadian kamu, lembut dan penyayang.” El merangkul bahu Livy-nya.Tepat siang ini keempatnya memutuskan pindah, jarak dari Mansion Torres ke hunian baru El tidak terlalu jauh, cukup lima belas menit berkendara.Beberapa hari lalu Livy sempat berkunjung ke mansion baru. Ia senang sekaligus sedih, karena di kediaman ini hanya ada keluarga kecilnya. “Sesekali boleh menginap di Mansion Torres ‘kan? Aku merindukan suasana hangat di sana,” pinta ibu dua anak ini sambil menolehkan kepala.“Tentu Mi Amor, setiap hari berkunjung juga tidak masalah,” balas El diikuti cubitan pada pipi kanan dan kiri Livy.Malam harinya, El dan Al sibuk bermain di ruang keluarga, sampai suara bisingnya membuat Livy sesekali tersenyum mendengar celoteh atau teriakan Al. Tidak lupa Gal merengek karena terganggu, tetapi tidak lama kemudian, bayi itu berhenti menangis. Sebagai kakak, Al menenangkan adiknya dan El sigap menghangatkan susu. Ayah dan anak itu kom
“Tuan Muda? Salah satu mobil pengawal kecelakaan. Mendadak mesin mobil tidak berfungsi, sehingga mereka ditabrak dari belakang.” Seorang sopir menyampaikan kabar yang baru saja diterima.Mendengarnya, El menggeram marah. Ia mengepalkan tangan, dan mencoba menghubungi Livy. Lagi, sambungan telepon itu tidak diterima.“Lebih cepat!” perintah El setengah berteriak pada sopir. Pria ini juga menghubungi Alonso untuk memberi bantuan pada mobil pengawal. Entah ini perbuatan Jorge atau bukan, tetapi El kekurangan keamanan dari setengah lusin pengawalnya.“Ayo Mi Amor, terima!” gusar El menatap ponsel.Saking kesalnya tidak mendapat tanggapan apa pun dari Livy, El memerintah sopir turun, dan ia mengemudikan kendaraan roda empat. Meninggalkan anak buahnya dipinggir jalan, lantas mengirim pesan pada Alonso untuk menjemput sopir.Mobil yang dikendarai El melaju dengan kecepatan di atas rata-rata. Ia menyalip dengan mudah, tetapi menimbulkan bahaya bagi pengendara lain, hingga klakson saling bers
“Jorge?!” teriak El setibanya di villa pribadi Jorge Marquez. “Keluar! Tidak sepantasnya melibatkan orang lain ke masalah kita!” berang El.El pikir keamanan di sini tak mengizinkannya masuk, ternyata kehadiran presdir ini telah dinanti. Bahkan di dalam ruangan tamu, Jorge menyiapkan ‘santapan’ istimewa bagi pria.Tidak ada reaksi apa pun atau tanggapan dari anak buah Jorge. Sehingga El murka, kesabaran setipis tisu terkoyak tak berbentuk.El menunjuk salah satu anak buah Jorge. “Katakan padanya Donatello Xavier ada di sini!” titahnya dengan mata berkilat dan wajah memerah, siap meledakkan amarah.“Baik, Tuan.” Seorang pria berjas hitam, badannya besar segera berlari ke lantai dua.Tidak lama terdengar gelak tawa menggelegar. El mendongak, mencari pelaku utama serta sumber suara, napasnya kian memburu kala melihat Jorge mengenakan kacamata milik Kakek.“Lepaskan Kakekku! Beliau tidak ada kaitannya dengan ini Jorge!” El masih bisa sedikit menahan emosi.“Apa? Menurutku ada, dan ini sal
“Nyonya mau ke mana?” Kepala Pelayan tergopoh-gopoh mengejar Livy.“Menemui suamiku, El dalam bahaya. Aku harus menyelamatkannya. Tolong kembalilah ke dalam,” pinta Livy, tatapan mengiba dan memburam karena lelehan bening menganak sungai.“Tapi, Tuan Muda melarang kita semua keluar dari sini. Sebaiknya Nyonya hubungi Tuan Besar,” cetus Kepala Pelayan sembari menahan Livy di depan mansion.Livy tercenung, ia mengangguk, lantas meraih ponsel di dalam tas. Ibu muda ini menghubungi mertua serta dua adik iparnya. Mereka tampak tak percaya mendengar penjelasan Livy, apalagi intonasinya tak jelas.Ia mengakhiri sesi telepon, mengirim bukti foto di mana tubuh El dipenuhi luka serta cairan merah pekat mengalir dari perutnya.Ketika Kepala Pelayan lengah, Livy langsung berlari cepat menuju salah satu mobil sport milik sang suami. Dengan tangan gemetar ia menyalakan mesin, kemudian melaju. “Cepat buka pintunya!” teriak wanita ini dari dalam mobil.“Tidak bisa Nyonya, ini perintah Tuan Muda. Nyon
Satu jam sebelumnya, Dad Leon bersama dua putranya segera menyusul Livy. Mereka mengikuti melalui GPS yang terpasang di mobil sport milik El. Selisih antara Livy dan ketiganya pun berbeda lima belas menit tiba di villa pribadi Jorge.Setelah itu, Ed dan Ar melumpuhkan para penjaga di depan villa, meringkus semuanya kecuali pelayan wanita. Ketika ketiganya masuk ke dalam villa, tiga iris biru safir terkesiap melihat Jorge Marquez menodongkan senapan mengarah pada El.Bahkan mereka turut iba pada Livy—yang brsembunyi di balik dinding. Tubuh ibu dua anak ini gemetar ketakutan sembari mendekap pria sepuh.“Livy, ikut aku … di luar aman, kamu harus membawa Kakek ke rumah sakit. Biar El bersama Ed dan Ar,” ujar Dad Leon sambil membantu Livy berdiri dan memapah kakeknya.“Tapi Dad …” Livy menolehkan kepala, kakinya berat melangkah. Ia takut kehilangan orang-orang tercinta. “Aku tidak bisa meninggalkan suamiku, Dad,” lirihnya.“Percayalah, El menyusulmu ke rumah sakit. Dia baik-baik saja Livy
“Aku memang bukan dermawan Tuan. Setidaknya masih memiliki hati ingin membalas kebaikan pamrih Jorge.”El berdiri tegak di depan pria paruh baya, ia membalas tatapan Tuan Besar Marquez. Sama sekali tidak menundukkan kepala atau merasa sungkan.“El … kalian teman sejak kecil, aku mohon maafkan Jorge. Setelah ini aku berjanji dia tidak akan muncul dihadapan kelurga kalian,” pinta ayah dari Jorge Marquez.Sebenarnya El merasa kasihan pada pria paruh baya ini. Menurut informasi, Tuan Besar Marquez hampir dilarikan ke IGD, paska mendengar kabar buruk menimpa putra sulungnya.Namun, El tetap bertekad memberi Jorge pelajaran sesuai hukum berlaku. Sebab, dari perbincangan singkat di ruang pemulihan setelah operasi, Jorge tak merasa bersalah. Lelaki itu bersikukuh agar El memberikan seluruh kepemilkan kecerdasan buatan.“Tuan benar. Tapi … sayangnya Jorge tidak menganggapku sebagai teman,” pungkas El hendak mengakhiri percakapan.“Aku akan memberimu imbalan saham perusahaan kami asalkan kamu me
Dua minggu setelah tragedi berdarah, kehidupan El dan Livy belum tenang. Pasalnya keadaan kakek masih kritis, serta Jorge Marquez belum divonis hukum.Beberapa hari lalu petugas mengamankan Jorge, sidang perdana pria itu segera di gelar oleh pengadilan. Akan tetapi El tahu, Jorge tidak akan menjalani kehidupan utuh dalam bui. Sebab keluarga Marquez memiliki pengaruh kuat di instansi pemerintah dan hukum. “Daddy, mau itu,” tunjuk Al membuyarkan atensi El yang sedang menonton siaran berita.“Kamu mau ini? Ok, jangan sampai ketahuan Mommy!” El menggapai putra sulungnya. Membawa ke atas paha. “Buka mulutmu!” Tangan kekarnya menyuapi mulut kecil Al. “Enak ‘kan?”Batita itu mengangguk cepat, mulutnya mengunyah makanan, dalam sekejap kembali membuka mulut. Al sangat menyukai bola-bola coklat pemberian Bibinya—Estefania.“Tapi jangan banyak-banyak, Mom bisa marah. Sebaiknya sekarang minum dan kumur-kumur! Ayo!” ajak El sambil menggendong Al ke dapur.Ketika El tengah sibuk menyeka mulut putr
“Ini sudah siang, di mana Al? Dia bilang olahraga di sekitar hotel,” gusar Livy bolak-balik melihat jam digital.“Periksa saja kamarnya, anak itu senang kabur, menyelinap masuk dan seolah tidak terjadi sesuatu,” jawab El begitu enteng sembari bermain lego bersama An.Livy mendengus kasar mendengar jawaban sang suami. Ia ingin sekali mengahancurkan susunan lego yang terhampar luas di atas lantai. Suaminya itu bukan mencari keberadaan Al malah asyik bermain seperti anak kecil. Alhasil ibu tiga anak itu membuka pintu kamar Al, ternyata kosong.“Al belum pulang,” lirih Livy melirik putra kedua yang asyik bermain game.Akibat kesal, tidak ada yang peduli pada perasaannya, Livy mengunjungi pusat kebugaran serta taman hotel. Memang banyak orang menggunakan fasilitas untuk olahraha, tetapi setengah jam ia mengamati, tidak menemukan putra sulungnya.“Di mana kamu Al?” Livy memijat pelipis.Ketika ia berjalan menuju lobi, Livy tercenung melihat El menggendong An, berjalan tergesa-gesa, diikuti
“Kenapa kamu di sini?” Kedua bola mata Al berbinar menatap sosok gadis cantik di depannya.“Menurumu, untuk apa aku di sini?” goda anak kecil yang kini menjelma menjad remaja luar biasa.“Mommy-mu di sini?” Al menolehkan kepala ke kanan dan kiri.Gadis itu terkekeh geli melihat tingkah teman baiknya. Lalu mendekati Al yang masih kebingungan, sebab ini Swiss bukan New York, lintas benua yang tidak mudah dilalui hanya dengan satu atau dua jam.“Tentu saja Al, aku menemani Mommy,” sahut anak itu.“Ah, aku pikir kamu nyasar. Bagaimana kabarmu Belle?” Al maju satu langkah hendak mengulurkan tangan.Namun, gadis itu mundur satu langkah dengan wajah tersipu, tetapi pandangannya tidak teralihkan dari Al. Seakan kehabisan kosakata, Belle bungkam, tidak menjawab pertanyaan Al. Anak itu larut dalam pesona remaja tampan di hadapannya.Tidak ingin semakin salah tingkah, Belle meraih minuman tinggi gula, lantas meneguknya. Membuat Al semakin mengikis jarak.Bahkan, putra sulung El dan Livy, merebu
“Mi Amor?!” pekik El, melihat Livy berjalan gontai di tengah ramainya orang berlalu-lalang.“Mom, ada apa?!”Seketika El, Al, dan Gal berlarian menghampiri Livy. Bahkan El memapah tubuh wanitanya yang gemetaran.“An … di-a menghilang.” Tangis Livy pecah, perhatian semua orang tertuju pada keluarga kecil itu.Setelah mendengar hal itu, Al dan Gal bergegas ke toilet wanita, mereka masuk tanpa izin, hingga para pengguna kamar kecil berteriak. Tak sedikit dari beberapa orang melempar dengan sepatu. “Kak, bagaimana ini? An benar-benar menghilang.” Gal tidak menyangka hari istiewa yang dinanti berujung petaka.“Ayo temui Mom dan Daddy,” ajak Al menyeret pergelangan tangan adik laki-laki. Walaupun perih menjalar, Gal tidak peduli, karena saat ini paling penting menemukan keberadaan Antonia. Pikiran dua remaja tampan itu khawatir adiknya diculik, tetapi mengingat belakang ini tidak ada sesuatu yang mencurigakan, hal itu pun mustahil.Livy dan El menuju ruang keamanan, di susul Al dan Gal.
“Berisik!” teriak seorang gadis kecil, menutup telinga dan memelotot menatap dua remaja di depannya.“Anak nakal!” seru suara bass sambil menunjuk penuh amarah. “Itu milikku!”“Ambil saja kalau berani!” sahut remaja satunya lagi.Dalam beberapa tahun berlalu, putra dan putri Livy tumbuh pesat. Ketiganya meramaikan mansion, terutama ketika momen liburan seperti sekarang.Di mana, bukan hanya Al, Gal dan An berkumpul, tetapi Estelle serta para sepupu lain turut menyumbang suara di Mansion Torres.“Kalian itu sudah besar kenapa bertingkah seperti kami?!” lontar An menatap gemas dua kakak laki-lakinya.“Galtero merebut laptopku!” geram Al, “Adik nakal, seharusnya kamu ikut Daddy dan Mommy ke pertemuan bisnis, bukan menjadi pengganggu!” Kalimat pedas Al tertuju pada adiknya.Tidak ingin acara bermainnya terusik, An melangkah maju, mendekati kakak keduanya. Bocah itu bertolak pinggang, menjulurkan tangan, meminta secara baik-baik supaya Gal mengembalikan laptop Al. Akan tetapi, Galtero sang
“Jika itu sakit tidak mungkin Livy hamil sampai tiga kali!” jawab El.Livy langsung menundukkan wajah, entah dari mana suaminya bisa memiliki jawaban memalukan seperti itu. Jujur, saat ini ia kehilangan muka di hadapan adik ipar. Bukan hanya adik ipar, tetapi ibu mertua yang mendadak masuk kamar. Seketika, ingin sekali Livy melempar bantal pada wajah tampan suami.“Sudah, tidak perlu dibahas. Itu rahasia ranjang,” celetuk Mom Pamela setelah melihat kulit pipi menantu berubah masak.“Tapi … aku penasaran Mom. Setidaknya aku tahu, ternyata tidak sakit.” Tawa Estefania sambil menubrukkan bahu ke lengan Livy.Rasa malu Livy semakin menggunung ketika El sengaja menghampiri, merunduk, lalu menaruh ibu jari di bawah dagu, perlahan menariknya, mempertemukan dua bibir.“Wah, romantis sekali. Tapi seharusnya kalian tidak pamer kemesraan,” ucap Estefania dengan lemas. “Luis belum pulang. Huh, kenapa dia betah sekali di NYC mengunjungi kakak sepupunya, padahal kami lebih membutuhkan,” sambungnya
[Kak El, cepat ke mansion utama! Sepertinya Livy mengalami kontraksi.]Isi pesan Estefania, dikirim secara diam-diam, sebab Livy selalu menolak. Wanita itu berdalih berdasarkan pengalaman, belum waktunya bersalin.Kedua wanita itu entah sudah berapa putara mengelilingi taman mansion yang luas. Estefania dibanjiri keringat, sama seperti Livy. Akan tetapi, ibu hamil itu enggan mengakhiri kegiatan olahraga ringan.“Akh … tidak apa-apa, semakin terasa sakit, maka waktu bertemu kita lebih cepat,” gumam ibu dari Al dan Gal, membelai bagian bawah perut, seakan mengetahui di sanalah letak kepala bayi.“Mommy percaya kita bisa Nak. Kakak Al dan Gal tidak sabar bermain denganmu,” sambung Livy sembari terkekeh pelan.Sementara Estefania berlinang air mata, menatap Livy sesekali meringis, keringat bercucuran dari kening, bahkan bagian punggung tampak basah.Wanita berambut pirang itu sesenggukan karena ia selalu mengeluh tidak mau mengandung dan melahirkan lagi. Sebab, adik bungsu El merasa tidak
“Ternyata kamu masih mengingatnya, aku tidak suka! Di dalam sini dan sini.” El menunjuk kepala serta dada Livy. “Hanya ada aku, pria lain tidak boleh!”Setelah mengatakan itu, El masuk ke mansion lebih dulu, tujuannya bukan ruang kerja atau kamar.Puas menikmati pemandangan langit malam serta suasana kota yang diramaikan pejalan kaki, El memutuskan membawa Livy pulang.Tadi, dalam perjalanan menuju mansion, El penasaran alasan wanitanya sangat menyukai kopi di café itu tetapi enggan berkunjung.Rupanya, di tempat itu Livy kerap menghabiskan waktu, membuang lelah serta perih karena memikirkan nasib pernikahannya bersama Sergio. “Mommy, bagaimana Bibi Es? Apa adik bayi sudah lahir?” tanya Al antara khawatir dan gembira.“Estefania sakit perut karena terlalu banyak makan pedas. Doakan yang terbaik untuk Bibi ya.” Livy memulas senyum lantas memberi kecupan sebelum tidur pada kedua buah hati.Wanita berperut besar itu melangkah ke kamar, ia membersihkan kulit dari sisa-sisa debu. Menggant
“Kita mau ke mana Mi Amor?!” Dahi El berkerut cukup dalam.Pria itu tidak tahu apa pun, tanpa basa-basi Livy membuka pintu kamar, langsung menarik pergelangan tangan sang suami.“Hati-hati jalannya Mi Amor, sebenarnya ada apa? Kenapa kita buru-buru begini?” El mengamati wajah cantik Livy dihiasi garis kecemasan.“Nanti saja di mobil, ini penting El.” Livy tak melepas tangannya dari pergelangan El. “Tolong kemudikan dengan cepat Pak,” pinta wanita itu tanpa memberi perintah dan arah tujuan.Merasa terdapat sesuatu yang genting, El menjelaskan secara perlahan pada sopir untuk mempersiapkan mobil. Bahkan pria itu harus menambah stok kesabaran, lantaran Livy tidak bisa diam karena menarik-narik lengan kaos.Setelah duduk nyaman, kendaraan roda empat melaju menuju kediaman William. Terlebih dahulu, Livy meneguk setengah botol air mineral.“Pelan-pelan Mi Amor! Kamu bisa tersedak!” Nada peringatan El membuat sopir berjengit. “Lanjutkan, jangan berhenti!” titahnya pada pria di balik setir.“T
“Kenapa membeli pakaian bayi sebanyak ini, Es? Dia tumbuh cepat, dan berakhir tidak terpakai semua.” Livy melihat adik iparnya tersenyum lebar sambil memerintah maid merapikan kamar bayi. “Kamu tahu Livy, aku sudah tidak sabar berbelanja pakaian bayi sejak kita mendekor kamar anaknya Abril. Akhirnya sekarang Luis mengizinkan aku keluar, ah senangnya.” Estefania menjentikkan telunjuk pada maid. “Lemarinya digeser sedikit, ranjangnya jangan terlalu dekat dengan jendela!”Beberapa bulan berlalu, kandungan para ibu hamil itu telah memasuki tri semester tiga. Apalagi Estefania kurang dari satu bulan lagi melahirkan. Paska terjadi hal tidak diinginkan di salon, wanita itu terpeleset dan mengalami pendarahan ringan. Luis sangat posesif, melarang Etefania melakukan kegiatan apa pun, termasuk belanja kebutuhan bayi.Estefania melirik Livy. “Lalu kamu sudah membeli apa saja?”“Oh itu, karena dokter bilang calon anak ketiga kami laki-laki, kebetulan beberapa baju bayi Al dan Gal masih ku simpa